Thursday, December 1, 2011

Putri Gading Cempaka

0 comments

Putri Gading Cempaka adalah putri bungsu Raja Ratu Agung yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Menurut cerita, Putri Cempaka adalah leluhur dari raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Sungai Lemau, Bengkulu Utara. Bagaimana kisah selengkapnya? Ikuti dalam cerita Putri Gading Cempaka berikut ini.

Dahulu, di daerah Bengkulu Tinggi yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Bengkulu, pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sungai Serut. Pendiri sekaligus raja pertama kerajaan ini bernama Ratu Agung, yaitu seorang pangeran yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Konon, ia merupakan penjelmaan dewa dari Gunung Bungkuk yang bertugas mengatur kehidupan di bumi. Ratu Agung memerintah negeri itu dengan arif dan bijaksana. Walaupun rakyat yang diperintahnya adalah bangsa Rejang Sawah yang memiliki perawakan tinggi, tegap, dan besar, ia tetap sebagai raja yang disegani oleh seluruh rakyatnya.
Ratu Agung mempunyai enam orang putra dan seorang putri. Keenam putra tersebut adalah Kelamba Api atau Raden Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Tajuk Rompong, Rindang Papan, Anak Dalam, dan yang paling bungsu adalah seorang putri bernama Putri Gading Cempaka. Menurut cerita, kerajaan ini menjadi terkenal hingga ke berbagai negeri bukan saja karena kepemimpinan Ratu Agung, tetapi juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Meskipun usianya baru beranjak remaja, keelokan paras sang Putri sudah terlihat sangat jelas, anggun dan mempesona bagai bidadari. Sudah banyak pangeran yang datang meminangnya, namun semuanya ditolak oleh Ratu Agung karena sang Putri masih belum cukup umur.

Seiring berjalannya waktu, Putri Gading Cempaka pun tumbuh menjadi gadis dewasa. Demikian pula Ratu Agung yang kian menua usianya. Suatu hari, penguasa Kerajaan Sungai Serut itu sakit keras. Ia mendapat firasat bahwa ajalnya tidak lama lagi tiba. Maka, sang Raja pun mengumpulkan ketujuh putra-putrinya untuk menyampaikan wasiat kepada mereka.

“Wahai, anak-anakku. Ayahanda takkan lama lagi hidup di dunia ini. Maka sebelum itu, Ayahanda akan menitipkan dua wasiat kepada kalian,” kata sang Ayah dengan suara lirih.

Mendengar perkataan itu, wajah ketujuh anak raja itu mendadak lesu, terutama Putri Gading Cempaka. Ia tak bisa menahan perasaan sedihnya mendengar ucapan sang Ayah. Perlahan-lahan air matanya pun berderai membasahi pipinya yang kemerah-merahan.

“Ayah jangan berkata begitu. Kami tidak ingin kehilangan Ayah,” isak Putri Gading Cempaka seraya merangkul ayahandanya. 

“Sudahlah, Putriku. Semua ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ajal kita semua ada di tangan-Nya. Kita tidak kuasa menahan jika ajal itu datang,” ujar Raja Ratu Agung menengkan hati putrinya. Raja yang arif dan bijaksana itu kemudian menyampaikan wasiatnya.
“Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketenteraman di negeri ini, Aku mewasiatkan tahta Kerajaan Sungai Serut ini kepada putraku Anak Dalam. Aku berharap agar kalian semua tetap bersatu baik dalam suka maupun duka,“ ujar Ratu Agung kepada putra-putrinya seraya melanjutkan wasiatnya yang kedua, “Sekiranya negeri Sungai Serut ditimpa musibah besar dan tidak bisa lagi dipertahankan, menyingkirlah kalian ke Gunung Bungkuk. Kelak di sana akan datang seorang raja yang berjodoh dengan anak gadisku tercinta, Putri Gading Cempaka.”

Wasiat tentang tahta Kerajaan Sungai Serut itu pun diterima oleh Anak Dalam tanpa ada ada rasa iri hati dari kelima saudara tuanya. Bahkan, mereka sangat mendukung dipilihnya Anak Dalam sebagai pewaris tahta. Selang beberapa hari kemudian, Raja Ratu Agung pun menghembuskan nafas terakhirnya. Seluruh negeri pun berduka-cita. Putri Gading Cempaka seolah tidak rela melepas kepergian ayahanda yang amat dicintainya itu. Namun, sang Putri pun hanya bisa pasrah dan berdoa agar ayahandanya mendapat ketenangan di alam kubur.
Anak Dalam kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Namun, nama kerajaan itu kini bernama Kerajaan Bangkahulu. Seperti ayahnya, Raja Anak Dalam adalah pemimpin yang arif sehingga ia dan keenam saudaranya senantiasa hidup rukun dan damai. Dalam waktu singkat, kemasyhurannya pun tersebar ke berbagai negeri. Selain itu, kecantikan Putri Gading Campaka semakin membuat negeri kian dikenal. Sudah banyak bangsawan maupun pangeran yang datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima. 

Suatu hari, datanglah seorang putra mahkota dari Kerajaan Aceh bernama Pangeran Raja Muda Aceh hendak meminang sang Putri. Pangeran itu datang bersama segenap hulubalangnya dengan menggunakan kapal layar. Setiba di pelabuhan Bangkahulu, sang Pangeran mengutus beberapa penasehatnya ke istana untuk menyampaikan pinangannya kepada Raja Anak Dalam.

“Ampun, Baginda. Hamba adalah utusan Pangeran Raja Muda Aceh dari Kerajaan Aceh. Saat ini beliau menunggu di atas kapal yang sedang bersandar di dermaga,” kata salah seorang utusan seraya memberi hormat.

“Apa yang bisa saya bantu untuk Pangeran kalian?” tanya Raja Anak Dalam.
“Sebenarnya kedatangan hamba ke mari untuk menyampaikan pinangan tuan kami kepada Putri Gading Cempaka,” jawab utusan itu.
Raja Anak dalam tidak mau mengambil keputusan sendiri. Ia mengajak semua saudaranya untuk membicarakan masalah tersebut. Sementara itu, para utusan diminta untuk menunggu sejenak. Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali menemui para utusan untuk menyampaikan hasil mufakat yang telah mereka putuskan.

“Maafkan kami, wahai utusan. Pinangan Tuan kalian belum dapat kami kabulkan,” kata Raja Anak Dalam.
Serentak para utusan itu terkejut. Dengan perasaan kecewa, mereka segera kembali ke dermaga untuk melapor kepada Raja Muda Aceh. Betapa murkanya Pangeran dari Tanah Rencong itu saat mendengar laporan tersebut.

“Apa?! Mereka menolak pinanganku?!” kata Raja Muda Aceh geram.
Merasa dikecewakan, Raja Muda Aceh menjadi marah dan menantang Raja Anak Dalam untuk berperang. Perang besar tak terhindarkan dan berlangsung hingga berhari-hari dengan banyak korban jiwa yang berjatuhan. Perang terus berkecamuk. Mayat-mayat yang sudah berhari-hari bergelimpangan tanpa terurus mulai membusuk. Raja Anak Dalam dan seluruh pasukannya tidak tahan lagi menahan bau busuk tersebut. Saat itulah, sang Raja teringat pada wasiat ayahandanya.
“Wahai saudara-saudaraku! Sesuai dengan pesan ayahanda bahwa jika negeri ini sudah tidak aman lagi, kita disarankan untuk menyingkir ke Gunung Bungkuk,” kata Raja Anak Dalam.

Akhirnya, Raja Anak Dalam serta keenam saudaranya segera menarik diri menuju Gunung Bungkuk. Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh bersama pasukannya yang masih hidup kembali ke Tanah Rencong tanpa membawa hasil.

Sepeninggal para pemimpinnya, Kerajaan Bangkahulu menjadi kacau. Mendengar kabar tersebut, datanglah empat pasirah (bangsawan) Lebong Balik Bukit untuk menjadi raja di sana. Namun, setelah berhasil menguasai negeri tersebut, mereka malah saling bertikai karena memperebutkan wilayah kekuasaan.
Menurut cerita, pertikaian keempat pasirah tersebut didamaikan oleh Maharaja Sakti. Ia adalah utusan Kerajaan Pagaruyung, kerajaan di Minangkabau yang diperintah oleh Seri Maharaja Diraja, untuk berkelana. Akhirnya, keempat pasirah tersebut segera menghadap Sultan Pagaruyung untuk memohon agar Maharaja Sakti yang adil dan bijaksana itu diangkat menjadi raja di Bangkahulu. Permohonan mereka dikambulkan. Upacara penobatan Maharaja Sakti pun dilaksanakan di balairung Kerajaan Pagaruyung.

Setelah itu, Baginda Maharaja Sakti berangkat menuju ke Bangkahulu dengan diiringi oleh ratusan pengawal dan juga oleh keempat pasirah. Setiba di sana, upacara penobatan sebagai raja di negeri itu pun telah disiapkan. Namun, ketika upacara itu akan dimulai, tiba-tiba langit menjadi gelap, lalu turunlah hujan yang sangat deras disertai angin kencang. Atas kesepakatan bersama, upacara itu akhirnya ditunda sambil menunggu cuaca kembali cerah. Namun, hingga malam hari, hujan dan badai tak kunjung berhenti.

Malam itu, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari sedang menari-nari di tengah hujan badai. Ajaibnya, tak sedikit pun tubuh bidadari itu basah terkena air hujan. Bidadari itu kemudian menuju ke Gunung Bungkuk. Keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti menceritakan perihal mimpinya kepada keempat pasirah yang kemudian meminta seorang peramal untuk menafsirkan mimpi tersebut.

“Ampun, Baginda. Ternyata, bidadari cantik yang ada di dalam mimpi Baginda adalah Putri Gading Cempaka, putri penguasa wilayah ini di masa lalu. Kini, ia tinggal di Gunung Bungkuk bersama keenam saudaranya. Jika Baginda bisa membawanya ke sini, Baginda akan mendirikan negeri ini tegak kembali dengan selamat. Menurut ramalan hamba, Putri Gading Cempaka kelak akan menurunkan raja-raja di negeri ini,” ungkap peramal itu.
Mendengar keterangan tersebut, sang Baginda pun berhasrat meminang sang Putri. Ia lalu mengutus keempat pasirah dan beberapa pengawalnya untuk menjemput Putri Gading Cempaka di Gunung Bungkuk. Setiba di sana, mereka menghadap Raja Anak Dalam dan semua saudaranya.

“Ampun, Baginda! Kami adalah utusan dari Tuanku Baginda Maharaja Sakti. Atas titah beliau, hamba diminta untuk menjemput Tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian. Baginda Maharaja Sakti bermaksud mengangkat Tuanku Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri di Negeri Bangkahulu,” ungkap para utusan itu.

Raja Anak Dalam bersama saudara-saudaranya pun menerima pinangan Maharaja Sakti sesuai dengan wasiat ayah mereka. Akhirnya, pesta pernikahan Putri Gading Cempaka dengan Maharaja Sakti pun dilangsungkan di Bangkahulu. Pesta berlangsung meriah karena bersamaan dengan upacara penobatan Maharaja Sakti menjadi raja di Negeri Bangkahulu.

Setelah menikah, dibangunlah istana baru yang megah sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena letak istana itu berada di Kuala Sungai Lemau, maka kerajaan itu pun berganti nama menjadi Kerajaan Sungai Lemau. Baginda Maharaja Sakti memimpin kerajaan itu dengan arif dan bijaksana. Ia dan permaisurinya pun hidup bahagia. Begitulah kisah Putri Gading Cempaka yang telah menurunkan raja-raja Kerajaan Sungai Lemau.

Demikian ceria Putri Gading Cempaka dari Bengkulu. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah anak yang taat kepada nasehat orangtua seperti Putri Gading Cempaka dan saudara-saudaranya pada akhirnya mendapat kebahagiaan.

Sumber :
http://dongengceritarakyat.blogspot.com/2011/10/putri-gading-cempaka.html
Read full post »

Batu Berdaun

0 comments
 
Batu berdaun yang dimaksud dalam cerita ini adalah sebuah batu besar berbentuk daun yang terletak di atas sebuah bukit di Maluku. Menurut cerita, batu tersebut memiliki mulut yang bisa terbuka dan mengatup kembali serta dapat menelan siapa saja. Suatu ketika, batu berdaun itu menelan seorang nenek. Apa yang terjadi selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Batu Berdaun berikut ini.
Alkisah, di daerah pesisir Maluku, hiduplah seorang nenek dengan dua orang cucunya yang masih kecil. Cucu yang pertama berumur 11 tahun, sedangkan yang bungsu masih berumur 5 tahun. Kedua anak itu yatim piatu karena orangtua mereka telah meninggal dunia ketika mencari ikan di laut. Kini, kedua anak itu berada dalam asuhan sang nenek.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, nenek bekerja mengumpulkan hasil hutan dan mencari ikan di pantai. Hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka makan. Untunglah para tetangga sering berbaik hati memberikan makanan kepada sang nenek untuk dimakan bersama kedua cucunya.
Suatu hari, air laut terlihat surut, ombaknya pun tampak tenang. Kondisi seperti ini biasanya menjadi pertanda bahwa banyak kepiting yang terdampar di sekitar pantai. Si nenek pun mengajak kedua cucunya ke pantai untuk menangkap kepiting.
“Cucuku, mari kita ke pantai mencari kepiting,” ajak si nenek.
Alangkah senangnya hati kedua anak itu, terutama si bungsu. Ia berlari-lari dan melompat kegirangan.   
“Horeee... horeee... !” riang si bungsu.
Setiba di pantai, mereka pun mulai memasang beberapa bubu (alat untuk menangkap kepiting) di sejumlah tempat. Selang beberapa lama kemudian, sebuah bubu yang dipasang nenek memperoleh seekor kepiting besar yang terperangkap di dalamnya. Si nenek pun menyuruh kedua cucunya untuk pulang terlebih dahulu.
“Cucuku, kalian pulanglah dulu. Bawa dan rebuslah kepiting besar itu untuk makan siang kita nanti,” ujar si nenek, “Capitannya sisakan untuk nenek.”
“Baik, Nek,” jawab cucu yang pertama.
Kedua anak itu pun kembali ke rumah dengan perasaan gembira. Hari itu, mereka akan menikmati makanan lezat. Setiba di rumah, kepiting besar hasil tangkapan mereka tadi segera direbus. Setelah masak, kepiting itu mereka makan bersama ubi rebus. Mereka makan dengan lahap sekali. Sesuai perintah sang nenek, kedua anak itu menyisakan capit kepiting.
Usai makan, kedua anak itu pergi bermain hingga hari menjelang siang. Saat mereka pulang ke rumah, nenek mereka ternyata belum juga kembali dari pantai. Sementara itu, si bungsu yang baru sampai di rumah tiba-tiba merasa lapar lagi.
“Kak, aku lapar. Aku mau makan lagi,” rengek si bungsu kepada kakaknya.
“Bukankah tadi kamu sudah makan? Kenapa minta makan lagi?” tanya kakaknya.
“Aku lapar lagi. Aku mau makan capit kepiting,” si bungsu kembali merengek.
“Jangan, capit kepiting itu untuk nenek,” cegah si kakak.
Meskipun sang kakak sudah berkali-kali menasehatinya, si bungsu tetap saja merengek. Karena iba, sang kakak terpaksa mengambil sepotong capit kepiting itu. Si bungsu akhirnya berhenti merengek. Namun, setelah makan, ia kembali meminta capit kepiting yang satunya. Si kakak pun memberikannya.
Tak berapa lama kemudian, nenek mereka kembali dari pantai. Wajah si nenek yang sudah keriput itu tampak pucat. Kelihatannya ia sangat lapar. Cepat-cepatlah ia masuk ke dapur ingin menyantap capit kepiting bersama ubi rebus. Betapa terkejutnya ia saat melihat lemari makannya kosong.
“Cucuku., cucuku...!” teriaknya dengan suara serak.
“Iya, Nek,” jawab si sulung seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?”
“Mana capit kepiting yang nenek pesan tadi?” tanya si nenek.
“Ma... maaf..., Nek!” jawab si sulung dengan gugup, “Capit kepitingnya dihabiskan si Bungsu. Aku sudah berusaha menasehatinya, tapi dia terus menangis meminta capit kepiting itu.”
Betapa kecewanya hati sang nenek mendengar jawaban itu. Ia benar-benar marah karena kedua cucunya tidak menghiraukan pesannya. Tanpa berkata-kata apapun, si nenek pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan sedih, ia berjalan menuju ke sebuah bukit. Sesampai di puncak bukit itu, ia lalu mendekati sebuah batu besar yang bentuknya seperti daun. Orang-orang menyebutnya batu berdaun. Di hadapan batu itu, si nenek duduk bersimpuh sambil meneteskan air mata.
“Wahai, batu. Telanlah aku!” seru nenek itu, “Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Kedua cucuku tidak mau mendengar nasehatku lagi.”
Batu berdaun itu tidak bergerak sedikit pun. Ketika nenek mengucapkan permintaannya untuk ketiga kalinya, barulah batu itu membuka mulutnya.
Dengan sekali sedot, si nenek langsung tertarik masuk ke dalam perut batu itu. Setelah si nenek tertelan, mulut batu itu mengatup kembali. Sejak itulah, si nenek tinggal di dalam perut batu itu dan tidak pernah keluar lagi.
Sementara itu, kedua cucunya dengan gelisah mencari nenek mereka. Saat tiba di puncak bukit itu, mereka hanya mendapati kain milik nenek mereka terurai sedikit di antara batu berdaun itu.
“Nenek, jangan tinggalkan kami!” tangis si sulung.
“Maafkan aku, Nek. Aku berjanji tidak akan mengecewakan nenek lagi,” ucap si bungsu dengan sangat menyesal.
Si sulung kemudian meminta kepada batu berdaun itu agar menelan mereka.
“Wahai, batu berdaun. Telanlah kami!” seru si sulung.
Meskipun kedua anak tersebut berkali-kali memohon, batu berdaun itu tetap tidak mau membuka mulutnya, sampai akhirnya kedua anak itu tertidur di dekatnya. Keesokan harinya, keduanya terbangun dan kembali meratapi kepergian sang nenek. Pada saat itu, kebetulan ada seorang tetangga mereka yang melintas di tempat itu.
“Hai, kenapa kalian ada di sini?” tanyanya saat melihat kedua anak itu.
Si sulung pun menceritakan semua yang telah terjadi pada neneknya. Oleh karena nenek itu tidak akan kembali lagi, si tetangga pun mengajak kedua anak tersebut pulang ke rumahnya dan kemudian merawat mereka. Kedua anak itu merasa sangat menyesal atas perlakuannya terhadap nenek mereka. Namun, hal itu mereka jadikan sebagai pelajaran berharga sehingga kedua anak itu pun tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur.
* * *
Demikian cerita Batu Berdaun dari Maluku. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang tidak mau menuruti nasehat orangtua seperti kedua cucu nenek itu pada akhirnya akan mendapat balasan yang setimpal. Gara-gara tidak mau mendengar nasehat, mereka akhirnya ditinggal pergi oleh sang nenek. Pelajaran lainnya adalah bahwa sebuah kesalahan dapat menjadi sebuah pelajaran bagi kita untuk menata hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.
Sumber 
h*tp://dongengceritarakyat.blogspot.com/2011/10/batu-berdaun.html
Read full post »

Asal Mulu Burung Ntaapo-apo (Cendrawasih)

0 comments
Selama ini orang mengira burung cenderwasih hanya ada di Papua. Tapi, tahukah Anda bahwa burung jenis ini ternyata juga terdapat di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna? Masyarakat di sana menyebutnya dengan nama burung Ntaapo-apo. Menurut cerita, burung ini merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki yang bernama La Ane. Bagaimana La Ane bisa menjelma menjadi burung Ntaapo-Apo? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Burung Ntaapo-Apo berikut ini.

Dahulu, di sebuah kampung di daerah Muna, Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya bernama La Ane. Suaminya meninggal dunia saat La Ane masih bayi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda itu mengolah kebun yang luasnya tidak seberapa. Kebun itu ia tanami ubi dan jagung untuk dimakan sehari-hari. Selain kebun, sang suami juga mewariskan seekor kuda jantan.

Janda itu amat sayang kepada La Ane. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi besar. Namun, La Ane yang telah menginjak usia remaja itu tidak pernah membantu ibunya bekerja. Dari bangun hingga tidur lagi, kerjanya hanya bermain gasing bersama teman-temannya. Ia baru pulang ke rumah jika perutnya sudah lapar. Tapi, setelah kenyang, ia kembali bermain gasing.

Sang ibu mulai tidak senang melihat kelakuan anaknya yang semakin hari semakin malas. Ia sudah berkali-kali mengajaknya pergi ke kebun, namun La Ane selalu menolak.

“Buat apa bekerja setiap hari. Capek, Bu,” begitu selalu kata La Ane.

“Anakku, kita mau makan apa kalau tidak bekerja?” ujar ibunya.

“Ibu saja yang bekerja. Aku lebih senang bermain gasing bersama teman-temanku daripada ikut bekerja di kebun,” kata La Ane dengan cuek.

“Kalau begitu, makan saja itu gasingmu!” tukas ibunya dengan nada kesal.

La Ane tetap saja tidak peduli pada nasehat ibunya. Ia pergi meninggalkan rumah menuju ke rumah teman-temannya. Sang ibu yang masih kesal sedang menyiapkan makanan di meja makan. Namun, bukannya nasi dan jagung rebus yang disiapkan, melainkan gasing yang dipotong kecil-kecil lalu ditempatkan di dalam kasopa (tempat jagung dan ubi). Tali gasing itu juga dipotong-potong lalu ditaruh di dalam kaghua (tempat sayur atau ikan).

“Huh, makanlah gasing dan talinya itu, anak malas!” geram sang ibu.

Janda itu kemudian pergi ke kebun. Menjelang siang hari, La Ane pun kembali dari bermain karena lapar. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat kasopa dan kaghua di atas meja yang berisi potongan-potongan gasing dan talinya.

“Oh, Ibu. Engkau benar-benar marah kepadaku? Padahal, aku lapar sekali,” keluh La Ane.

Dengan perasaan sedih, La Ane naik ke atas loteng rumahnya. Di atas loteng itu ia duduk termenung sambil memikirkan nasibnya.

“Ibu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Lebih baik menjadi burung saja sehingga aku bisa terbang ke sana ke mari mencari makan sendiri,” ucap La Ane.

Ucapan La Ane rupanya menjadi kenyataan. Begitu ia selesai berucap, tiba-tiba sekujur tubuhnya perlahan-lahan ditumbuhi bulu berwarna-warni yang indah dan berkilauan. Selang beberapa saat kemudian, anak pemalas itu pun berubah menjadi seekor burung. Ia kemudian hinggap di atap rumahnya sambil berkicau dengan merdu.

Saat hari menjelang sore, sang Ibu kembali dari kebun. Ia pun memanggil-manggil anaknya.
“La Ane… La Ane…, kamu di mana anakku?!” teriaknya.

Sudah berkali-kali ibu itu berteriak, namun tak ada jawaban. Dengan panik, ia segera keluar dari rumah. Ketika berada di depan rumah, ia pun melihat seekor burung bertengger di atap rumah sambil bernyanyi merdu. Janda itu hampir pingsan melihat pada burung itu masih memperlihatkan tanda-tanda anaknya.

“Oh, anakku, maafkan Ibu. Turunlah, Nak!” bujuk sang Ibu.

Nasi sudah menjadi bubur. La Ane yang telah menjelma menjadi burung itu tidak mungkin lagi berubah menjadi manusia. Ia akan menjadi burung untuk selama-lamanya. Ketika ibunya berteriak memanggilnya, ia sudah tidak mendengarnya lagi. Ia terbang dan hinggap di atas pohon pinang sambil berkicau.

“Ntaapo-apo… Ntaapo-apo!” demikian kicauan burung itu.

Sang ibu tak henti-hentinya memanggil anaknya. Namun, burung itu tetap tidak mau kembali. Ia terbang menuju ke hutan belantara untuk mencari makan. Sang ibu pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyesal atas perlakuannya terhadap anak semata wayangnya itu.

Sejak peristiwa itu, burung yang suka berkicau “ntaapo-apo” itu dinamakan burung Ntaapo-apo. Hingga saat ini, burung yang mirip dengan burung cenderawasih itu masih sering terdengar kicauannya dari dalam hutan di daerah Muna, Sulawesi Tenggara.

* * *

Demikian cerita Asal Usul Burung Ntaapo-Apo dari Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah anak pemalas dan pembangkang seperti La Ane pada akhirnya akan mendapat malapetaka.

Sumber:
http://dongengceritarakyat.blogspot.com/2011/10/asal-mula-burung-ntaapo-apo.html
Read full post »

Sesentola dan Burung Garuda

0 comments
Sesentola adalah seorang lelaki muda yang mempunyai nafsu makan yang sangat besar. Oleh karena orangtuanya tidak mampu lagi menghidupinya, Sesentola pun pergi dari kampungnya. Namun, negeri yang ditujunya ternyata sedang tertimpa musibah. Penduduk negeri itu hanya tinggal satu orang, yang lainnya telah mati akibat diserang oleh garuda raksasa. Apa yang akan dilakukan selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Sesentola dan Burung Garuda berikut ini!

Dahulu, di daerah Sulawesi Tengah, hiduplah sepasang suami istri. Sudah puluhan tahun mereka menikah namun belum juga dikaruniai seorang anak. Meskipun demikian, mereka tidak pernah berputus asa. Setiap malam mereka berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai anak, walau bagaimana pun keadaannya. Hingga pada suatu ketika, sang istri pun hamil.

“Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mengabulkan doa kami. Jika anak itu telah lahir, hamba berjanji akan merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang,” ucap sang suami.

Beberapa bulan kemudian, sang istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Sesentola. Sejak dilahirkan, terlihat ada tanda-tanda keajaiban pada diri anak itu. Ia amat kuat minum susu. Terkadang, ia menangis karena merasa kurang kenyang. Sang ibu pun mulai kebingungan melihat keadaan anaknya.

“Pak, anak kita masih lapar padahal air susuku sudah habis. Apa yang harus kita lakukan?” tanya sang istri bingung.

“Sebaiknya kita beri tambahan makanan saja,” ujar suaminya.

“Tapi bukankah bisa membahayakan pencernaannya jika anak kita yang masih bayi ini diberi makanan orang dewasa?” tanya sang istri.

“Kita harus bagaimana lagi, Bu? Jika tidak diberi makanan tambahan, ia pasti akan menangis terus,” ujar sang suami.

Suami-istri itu pun memutuskan untuk memberi nasi bubur kepada anak mereka. Rupanya, sepiring nasi bubur tidak cukup mengenyangkan Sesentola. Sekali makan, Sesentola yang masih bayi itu bisa menghabiskan 2-3 piring nasi. Demikian seterusnya, semakin hari ia semakin kuat makan. Namun, di balik itu, Sesentola memiliki kekuatan luar biasa yang tidak diketahui oleh orangtuanya.

Beberapa tahun kemudian, Sesentola tumbuh menjadi remaja. Kebiasaan makan banyak pun semakin meningkat. Sekali makan ia bisa menghabiskan satu bakul nasi. Hal itulah yang membuat sang bapak mulai kesal karena merasa sudah tidak mampu lagi memberi makan anaknya.

“Bu, aku sudah tidak kuat lagi dengan keadaan ini. Anak kita semakin banyak makannya. Lama-lama kita sendiri bisa mati kelaparan,” keluh sang suami.

Sampai suatu ketika, sang ayah benar-benar sudah kuat lagi menghadapi keadaan tersebut. Ia pun berniat untuk melenyapkan nyawa anak kandungnya sendiri. Sang istri pun tidak dapat berbuat apa-apa dengan keputusan suaminya.

Suatu hari, sang ayah mengajak Sesentola untuk menjala ikan di sungai yang banyak buayanya. Sesentola pun menuruti ajakan ayahnya. Setiba di sungai, sang bapak segera melemparkan jalannya ke tengah sungai. Setelah itu, ia memerintahkan Sesentola untuk mengambil jala tersebut.

“Sesentola, cepat ambil jala itu! Pasti sudah banyak ikan yang tertangkap di dalamnya!” perintah sang bapak.

“Baik, Pak,” jawab Sesentola.

Begitu Sesentola menyelam ke dasar sungai untuk mengangkat jala itu, sang bapak cepat-cepat meninggalkannya. Ia mengira anaknya itu pasti sudah mati dimakan buaya. Sesampai di rumah, ia pun menceritakan hal itu kepada istrinya.

“Bu, Sesentola pasti sudah mati dimakan buaya. Kita tidak akan kelaparan lagi,” kata sang suami.

Baru saja sang suami berkata demikian, tiba-tiba terdengar teriakan dari depan rumah.

“Bapak, aku pulang! Lihatlah yang aku bawa ini!”

Pasangan suami-istri itu tersentak kaget.

“Pak, bukankah itu suara anak kita, Sesentalo?” tanya sang istri.

Dengan perasaan cemas, sang suami segera keluar. Betapa terkejutnya karena ia mendapati Sesentola sedang memanggul seekor buaya besar.

“Lihat, Pak! Aku berhasil menangkap seekor buaya besar,” kata Sesentola.

Sang bapak pun terdiam, tidak percaya dengan apa yang saksikannya. Untung ia cepat tersadar sehingga niat jahatnya tidak diketahui oleh Sesentola. Karena rencananya gagal, ia segera mencari cara lain untuk melenyapkan nyawa anaknya. Ia teringat pada pohon beringin besar di tepi sungai. Maka, pada keesokan harinya ia pun mengajak Sesentola untuk pergi menebang pohon beringin itu.

“Sesentola, ayo bantu Bapak menebang pohon beringin yang ada di tepi sungai itu,” ajak sang bapak.

“Baik, Pak,” jawab Sesentola.

Bapak dan anak itu pun berangkat ke tepi sungai. Sang bapak sengaja mengarahkan rebahnya pohon itu ke tempat Sesentola berdiri. Begitu pohon beringin itu roboh, tak ayal tubuh Sesentola pun tertimpa pohon.

“Aduuhhh…!” jerit Sesentola.

Setelah itu, Sesentola tidak lagi bersuara. Sang bapak pun mengira anaknya telah mati. Maka, cepat-cepatlah ia kembali ke rumahnya dan menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Namun, tiba-tiba terdengar suara Sesentola.

“Bapak, aku pulang!” teriak Sesentola di depan rumah.

Alangkah terkejutnya sang bapak saat melihat anaknya sedang memikul pohon beringin yang ditebangnya tadi. Ia semakin tidak percaya melihat kekuatan anaknya itu. Sang istri langsung meneteskan air mata. Ia merasa kasihan melihat nasib anak semata wayangnya itu atas perlakuan sang suami terhadapnya.

Sementara itu, Sesentola yang telah menyadari niat jahat sang bapak mulai kesal. Meski demikian, ia tidak ingin melawan bapaknya. Ia merasa bahwa lebih baik pergi daripada terus membebani kedua orangtuanya.

“Jika Bapak dan Ibu sudah tidak mampu lagi menghidupiku, lebih baik aku pergi saja. Aku akan mencari penghidupan sendiri,” kata Sesentola.

“Baiklah, Anakku. Bawalah benda pusaka ini,” ujar sang ibu seraya menyerahkan panah bermata tiga dan cincin pusaka.

“Ingatlah, saat kamu hendak menggunakan panah ini harus disertai menyebut bagian tubuh musuh yang hendak kamu bidik. Jika kamu menyebut mata, anak panah itu akan mengenai mata musuhmu. Kalau engkau sakit, rendamlah cincin ini ke dalam air. Kemudian teteskanlah air itu di bagian tubuhmu yang sakit, niscaya kamu akan sembuh,” jelas ibu Sesentola.

“Terima kasih, Bu. Jagalah diri kalian baik-baik,” kata Sesentola.

Usai berpamitan kepada ibu dan bapaknya, Sesentola pun pergi meninggalkan kampung halamannya. Ia berjalan tanpa tentu arah hingga akhirnya sampai di sebuah ibukota kerajaan. Namun anehnya, kota itu seperti tidak berpenghuni.

“Hai, kenapa kota ini sepi sekali? Pergi ke mana penduduknya?” gumam Sesentola dengan heran.

Setelah Sesentola mengelilingi kota itu, tampaklah sebuah rumah megah. Ia berpikir bahwa rumah itu pastilah istana raja. Dengan langkah perlahan-lahan, Sesentola memasuki istana itu. Namun, tak seorang pun yang terlihat. Hanya ada sebuah gendang rasasa di dalamnya. Karena penasaran, Sesentola pun berniat memukul gendang itu. Begitu ia hendak memukulnya, tiba-tiba ada suara wanita yang menegurnya.

“Hai, jangan kamu pukul gendang ini! Aku ada di dalamnya,” seru suara itu, “Ayo cepat sembunyi!”

Sesentola pun menuruti seruan itu. Begitu masuk ke dalam gendang itu, ia mendapati seorang gadis cantik.

“Hai, siapa kamu dan kenapa bersembunyi di sini?” tanya Sesentola heran.

“Sssstt…! Jangan keras-keras, nanti garuda itu datang menyerang lagi,” ujar perempuan itu.

“Garuda apa maksudmu?” tanya Sesentola bertanya dengan pelan.

“Namaku Lemontonda. Tinggal akulah satu-satunya yang masih hidup di negeri ini. Penduduk lainnya telah mati diserang burung garuda yang sangat ganas,” ungkap Lemontonda.

Mendengar cerita itu, Sesentola pun berniat untuk membinasakan garuda itu.

“Jangan takut, Lemontonda! Aku akan memberi pelajaran garuda itu,” ujar Sesentola.

“Jangan! Garuda itu sangat sakti. Lagipula ia tidak sendiri, dan masih ada Raja Garuda bernama Vandebulava yang lebih sakti,” kata Lemontonda.

“Tenang saja. Aku akan menghadapi mereka dengan senjata pusakaku ini,” kata Sesentola sambil menunjukkan senjatanya.

Beberapa saat kemudian, seekor garuda datang dan terbang berkeliling di atas istana. Garuda itu mengetahui keberadaan Sesentola dan gadis itu. Dengan gagah berani, Sesentola segera keluar lalu membidik mata garuda itu dengan panahnya. Begitu terlepas dari busurnya, anak panah itu melesat dengan cepat dan tepat mengenai mata garuda itu hingga tembus. Garuda itu pun jatuh dan tewas seketika.

Mengetahui kabar tersebut, Raja Garuda menjadi murka. Ia segera memerintahkan seekor garuda bernama Vandease untuk menangkap Sesentola.

“Tangkap dan bawa anak muda itu ke mari! Jika tidak mau, habisi saja dia!” seru Raja Garuda.

“Baik, Tuan!” jawab Vandease.

Vandease pun menemukan Sesentola dan memintanya untuk menyerahkan diri, namun pemuda sakti itu tidak mau. Sesentola kemudian menarik busurnya lalu membidik kening garuda itu. Anak panah pun melesat dan tepat mengenai kening garuda itu hingga tewas seketika. Melihat hal itu, Lemontonda berpesan kepada Sesentola.

“Berhati-hatilah, Sesentola! Raja Garuda itu sebentar lagi datang. Ia sangat sakti,” ujar Lemontonda.

“Baiklah, tolong siapkan segelas air untuk merendam cincin ini!” pinta Sesentola seraya menyerahkan cincinnya kepada Lemontonda, “Jika aku pingsan, tolong teteskan air ini ke mataku.”

Tak berapa lama kemudian, Vandebulava pun datang. Sesentola segera membidik leher garuda itu. Anak panahnya kemudian melesat menembus leher Raja Garuda. Karena kesaktiannya, sebelum jatuh, Raja Garuda sempat menyambar Sesentola hingga pingsan.

Melihat Sesentola pingsan, Lemontonda segera meneteskan air rendaman cincin pusaka ke mata pemuda itu. Beberapa saat kemudian, Sesentola pun siuman. Dengan tewasnya Raja Garuda, negeri itu kembali aman. Sesentola pun mengajak Lemontonda untuk menikah. Gadis itu bersedia tapi dengan satu syarat.

“Aku bersedia menikah asalkan kamu mampu menghidupkan kembali orangtuaku dan seluruh rakyat negeri ini,” pinta Lemotonda.

Sesentola pun menyanggupi syarat itu. Konon, dengan kesaktiannya, Sesentola berhasil menghidupkan kembali seluruh penduduk negeri itu. Ia pun menikah dengan Lemontonda dan diangkat menjadi raja di negeri itu. Selanjutnya, Sesentola memboyong orangtuanya ke istana. Mereka pun hidup berbahagia.

Sumber :
http://reginatheyser.blogspot.com/2011/10/cerita-rakyat-sulteng-sesentola-dan.html
Read full post »

Asal Usul Burung Moopoo

0 comments
Burung Moopoo

Minahasa yang dahulu dikenal dengan Malesung adalah salah satu nama kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Di kabupaten ini hidup beragam jenis binatang langka dan khas Minahasa. Salah satu binatang khas Minahasa adalah burung moopoo. Konon, burung moopoo ini merupakan jelmaan seorang anak laki-laki. Mengapa anak laki-laki itu menjelma menjadi burung moopoo? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita rakyat Asal Usul Burung Moopoo berikut ini.

* * *


 Alkisah, di sebuah daerah di Minahasa, Sulawesi Utara, hiduplah seorang kakek bersama dengan cucu laki-lakinya yang bernama Nondo. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di tepi hutan lebat. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, sang Kakek pergi ke hutan mencari hasil hutan dan menjualnya ke pasar. Sementara Nondo hanya bisa membantu kakeknya memasak dan membersihkan rumah, karena kakinya pincang. Kedua orang tua Nondo meninggal dunia ketika ia masih kecil. Sejak itu, Nondo diasuh oleh kakeknya hingga dewasa.

Setiap hari Nondo selalu bersedih hati. Ia ingin sekali membantu kakeknya mencari kayu bakar di hutan, namun apa daya kakinya tidak mampu berjalan jauh. Ia juga ingin sekali menyaksikan sendiri binatang-binatang yang hidup di hutan sebagaimana yang sering diceritakan oleh kakeknya setiap selesai makan malam.

Setiap kakeknya bercerita, Nondo selalu mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ia hanya bisa membayangkan seperti apakah binatang-binatang yang diceritakan kakeknya itu. Ia juga sering bermimpi bertemu dengan binatang-binatang itu. Bahkan, ia kerap menirukan bunyi burung-burung yang diceritakan kakeknya.

Pada suatu hari, seperti biasanya, sang Kakek hendak pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar.

”Kek! Bolehkah Nondo ikut ke hutan bersama Kakek?” pinta Nondo kepada kakeknya.

”Kamu di rumah saja, Cucuku” jawab sang Kakek.

”Tapi, Kek! Nondo ingin sekali melihat binatang-binatang yang sering Kakek ceritakan itu.”

”Jangan, Cucuku! Bukankah kakimu sedang sakit? Kakek khawatir dengan kesehatanmu.”

”Kek! Nondo mohon, izinkanlah Nondo pergi ke hutan bersama Kakek sekali ini saja,” bujuk Nondo sambil merengek-rengek.

Oleh karena kasihan melihat Nondo, akhirnya kakeknya pun mengizinkannya.

”Baiklah! Kamu boleh ikut bersama Kakek, tapi selesaikan dulu pekerjaan rumahmu,” ujar sang Kakek.

Dengan perasaan senang dan penuh semangat, Nondo segera membersihkan rumah dan memasak untuk makan siang sepulang dari hutan. Beberapa saat kemudian, Nondo telah menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

”Kek! Ayo kita berangkat! Pekerjaan Nondo sudah selesai,” seru Nondo.

”Ya!” jawab sang Kakek singkat dengan perasaan khawatir.

Setelah itu, berangkatlah mereka ke hutan. Sang Kakek berjalan di depan, sedangkan Nondo mengikutinya dari belakang. Ketika memasuki hutan, Nondo seringkali tertinggal oleh kakeknya, karena selain kakinya pincang, ia juga sering berhenti setiap melihat binatang. Bahkan, ia kerap bermain-main dan menirukan suara binatang yang ditemuinya. Oleh karena keasyikan bermain-main dengan binatang itu, sehingga ia semakin jauh tertinggal oleh kakeknya.

Awalnya Nondo tidak menyadari keadaan itu. Ketika hari menjelang sore, ia baru tersadar jika ia tinggal sendirian di tengah hutan. Hari pun semakin gelap, suasana hutan semakin menyeramkan dengan suara-suara binatang yang menakutkan.

”Kakek...! Kakek....! Kakek di mana...?” teriak Nondo memanggil kakeknya sambil menangis.

Beberapa kali Nondo berteriak, namun tidak ada jawaban sama sekali. Ia mencoba mencari jalan pulang ke rumah, namun semakin jauh ia berjalan semakin jauh masuk ke tengah hutan. Ia pun bertambah bingung dan tersesat di tengah hutan.

Malam semakin larut, Nondo belum juga menemukan kakeknya. Ia pun semakin takut oleh suara-suara burung yang bersahut-sahutan, seperti burung uwak, kedi-kedi, kakaktua, toin tuenden dan burung hantu. Apalagi ketika ia mendengar suara burung kuow yang keras dan menyeramkan. Ia pun menangis dan berteriak sekeras-kerasnya agar suaranya didengar oleh kakeknya. Namun, usahanya sia-sia, karena tidak mendapat jawaban sama sekali.

Sementara itu sang Kakek menjadi panik ketika menyadari cucunya sudah tidak ada lagi di belakangnya. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan cucu kesayangannya itu.

”Nondo...! Nondo...! Kamu di mana?” teriak sang Kakek.

Beberapa kali pula kakek itu berteriak, namun tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk pulang, karena mengira cucunya sudah kembali ke rumah. Namun sesampai di rumah, ia tidak menemukan cucunya. Pada pagi harinya, sang Kakek kembali ke hutan untuk mencari cucunya. Hingga sore hari, ia berkeliling di tengah hutan itu sambil berteriak-teriak memanggil cucunya, namun tidak juga menemukannya. Oleh karena merasa putus asa, akhirnya ia pun kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suara yang aneh.

`moo-poo..., moo-poo..., moo-poo….!” terdengar suara burung aneh itu.

”Suara binatang apakah itu? Sepertinya baru kali ini aku mendengarnya,” gumam Kakek Nondo.

Oleh karena penasaran, kakek itu segera mencari sumber suara aneh itu. Setelah berjalan beberapa langkah, ia pun menemukannya. Ternyata suara itu adalah suara seekor burung yang sedang hinggap di atas pohon. Kakek itu terus berjalan mendekati pohon untuk melihat burung itu lebih dekat.

”Burung apakah itu? Sudah puluhan tahun aku mencari kayu di hutan ini, tapi aku belum pernah melihat jenis burung seperti itu,” gumamnya.

Sementara burung itu terbang dari satu cabang ke cabang yang lain sambil memerhatikan sang Kakek dan mengeluarkan suara, ”moo-poo”.

Semula kakek Nondo tidak mengerti maksud suara itu. Namun setelah lama memerhatikan suara itu, ia pun mulai menyadari jika burung itu memanggilnya opoku (kakekku). Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia kembali mengamati burung itu. Setelah ia amati, rupanya kaki burung itu pincang. Tiba-tiba kakek itu menangis karena teringat cucunya. Ia yakin bahwa burung itu adalah jelmaan cucunya, Nondo. Sesuai dengan suara yang dikeluarkan, maka burung itu diberi nama moopoo. Hingga saat ini, burung moopoo dapat ditemukan di daerah Minahasa, Sulawesi Utara.

* * *

Demikian cerita Asal Usul Burung Moopoo dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Cerita di atas tergolong cerita mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keburukan sifat tidak tahu diri dan suka berperilaku sembrono atau gegabah.

Sifat tidak tahu diri yang dimaksud adalah menyadari kemampuan diri sendiri. Artinya, jika hendak mewujudkan suatu keinginan, sebaiknya terlebih dahulu mengukur kemampuan diri sendiri. Sifat ini tercermin pada sikap Nondo yang memaksakan keinginannya untuk ikut bersama kakeknya ke hutan, padahal kakinya pincang. Sementara sifat suka berperilaku sembrono atau gegabah tercermin pada perilaku sang Kakek yang tidak perhatian terhadap keadaan cucunya yang pincang, sehingga meninggalkannya seorang diri di tengah hutan.

Sumber:

Sumaraw, Anneke. Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.1998.
Read full post »

Asal Mula Danau Limboto

0 comments
Diceritakan kembali oleh: Samsuni

Danau Limboto

Danau Limboto merupakan sebuah danau yang terletak di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo Indonesia. Dulunya, danau ini bernama Bulalo lo limu o tutu, yang berarti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, keberadaan danau seluas kurang lebih 3.000 hektar ini disebabkan oleh sebuah peristiwa ajaib yang terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menyebabkan terjadinya Danau Limboto? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Limboto berikut ini!
* * *
Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung Bilohuto menunjukkan arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama kemudian, kawasan itu berubah menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang dijamah oleh manusia tersebut bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air.  
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang pemuda tampan bernama Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan menjelma menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi sampai matanya tidak berkedip sedikitpun.
“Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas batu besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya. Ketika para bidadari tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, pemuda tampan itu kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap masing-masing, mereka pun bersiap-siap terbang ke angkasa. Namun, salah seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari tertua yang bernama Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari, namun sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang bungsu.
“Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa saat kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Mbu`i Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?” tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan,” jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah berapa lama mencari, akhirnya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka mendirikan sebuah rumah sederhana dan berladang dengan menanam berbagai macam jenis tanaman yang dapat dimakan. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin itu, mereka segera meminumnya karena kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di dekat mata air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?” seru salah seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu adalah tudung,” kata seorang pelancong lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?” sahut pelancong yang lainnya dengan heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba badai dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun berlarian mencari perlindungan agar terhindar dari marabahaya. Untungnya, badai dan angin topan tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Oleh karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang ditutupi tudung itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum mengangkatnya, mereka meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah dimantrai agar badai dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain adalah mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak seorang pun yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini!” bentak pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?” tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengakuan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
“Hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan penguasa di tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, aku siap untuk menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia menerima tantangan Mbu`i Bungale. Si pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian bunyi mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar. Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
“Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru Mbu`i Bungale.
“Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara!” sergah pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika kamu pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana hambanya yang benar, permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari.... membesarlah....!!!” demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi kawasan itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun dikabulkan. Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun berteriak-teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada Tuhan agar semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula, sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air Tupalo kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika yang menyerupai telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan. Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya saat  mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama seperti yang ada di Kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk memeriksa pepohonan yang tumbuh di sekitar danau.
“Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya kepada sang Suami, Jilumoto.
Setelah beberapa saat mencari dan memeriksa, akhirnya Mbu`i Bungale menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan bahwa pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini seperti jeruk Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di Kahyangan,” kata Jilumoto.
 “Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?” ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa saat kemudian, Mbu`i Bungale baru menyadari bahwa keberadaan pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang baru saja terjadi di daerah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Limboto dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Hingga kini Danau Limboto menjadi salah satu obyek wisata menarik di Gorontalo. Para pengunjung dapat menikmati berbagai kegiatan seperti memancing, lomba berperahu, dan menikmati ikan bakar segar.  Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas dapat dilihat pada keberanian dan kegigihan Mbu`i Bungale mempertahankan hak miliknya dengan menantang keempat orang pelancong untuk memperluas mata air Tupalo. Dalam kehidupan orang Melayu, mempertahankan hak milik sendiri sangatlah dianjurkan sebagaimana dikatakan dalam tunjuk ajar berikut ini:
apa tanda melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela
(Samsuni/sas/166/09-09)
_________________
Samsuni adalah Pimpred www.ceritarakyatnusantara.com, dan redaktur sastra www.melayuonline..com  di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta.
Isi cerita diolah dari berbagai sumber:
  • http://hulondhalo.com/, diakses pada tanggal 28 September 2009.
  • www.gorontalofamily.org, diakses pada tanggal 28 September 2009.
  • Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
  • http://www.ceritarakyat.pustaka78.com/
Sumber photo :
http://tourismindonesian.com/lake-limboto-limboto-gorontalo
Read full post »
 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger