Monday, December 22, 2008

Asal-Mula Tari Patuddu

0 comments
Sulawesi Barat atau disingkat Sul-Bar termasuk provinsi yang masih tergolong baru di Pulau Sulawesi, Indonesia. Provinsi yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober ini sebagian besar dihuni oleh suku Mandar (49,15%) dibanding dengan suku-bangsa lainnya seperti Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan lainnya (19,15%). Maka tidak heran jika adat dan tradisi suku Mandar lebih berkembang di daerah ini. Salah satu tradisi orang Mandar yang sangat terkenal adalah tradisi penjemputan tamu-tamu kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri.

Penyambutan tamu kehormatan tersebut sedikit berbeda dari daerah lainnya. Para tamu kehormatan tidak hanya disambut dengan pagar ayu atau pengalungan bunga, tetapi juga dengan Tari Patuddu. Zaman sekarang, tarian ini biasanya dimainkan oleh anak-anak Sekolah Dasar (SD) dengan menggunakan alat tombak dan perisai yang kemudian diiringi irama gendang. Oleh karena itu, Tari Patuddu yang memperagakan tombak dan perisai ini disebut juga tari perang. Disebut demikian karena sejarah tarian ini memang untuk menyambut balatentara Kerajaan Balanipa yang baru saja pulang dari berperang.

Menurut sebagian masyarakat setempat, Tari Patuddu ini lahir karena sering terjadi huru-hara dan peperangan antara balatentara Kerajaan Balanipa dan Kerajaan Passokorang pada masa lalu. Setiap kali pasukan perang pulang, warga kampung melakukan penyambutan dengan tarian Patuddu. Tarian ini menyiratkan makna, “Telah datang para pejuang dan pahlawan negeri,” sehingga tari Patuddu cocok dipentaskan untuk menyambut para tamu istimewa hingga saat ini.

Namun, ada versi lain yang diceritakan dalam sebuah cerita rakyat terkait dengan asal-mula tari Patuddu. Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah pegunungan di Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat), hidup seorang Anak Raja bersama hambanya. Suatu waktu, Anak Raja itu ditimpa sebuah musibah. Bunga-bunga dan buah-buahan di tamannya hilang entah ke mana dan tidak tahu siapa yang mengambilnya. Ia pun berniat untuk mencari tahu siapa pencurinya. Dapatkah Anak Raja itu mengetahui dan menangkap si pencuri? Siapa sebenarnya yang telah mencuri buah dan bunga-bunganya tersebut? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Asal-Mula Tari Patuddu berikut ini!

* * *

Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya.

Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri bunga-bunga dan buahnya tersebut.

Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.

Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja dengan kagum. Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm...aku tahu caranya. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu,” pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.

Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam.

Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang.

Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!” seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.

Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.

”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja pura-pura tidak tahu.

”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang,” jawab Bidadari Bungsu.

”Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?”

Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.

Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.

Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.

Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ”Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!”

Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.

* * *

Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah anjuran meninggalkan sifat suka mengambil barang milik orang lain. Sifat yang tercermin pada perilaku ketujuh bidadari dan Anak Raja tersebut sebaiknya dihindari. Ketujuh bidadari telah mengambil bunga-bunga dan buah-buahan milik si Anak Raja tanpa sepengetahuannya. Demikian pula si Anak Raja yang telah mengambil selendang salah seorang bidadari tanpa sepengetahuan mereka, sehingga salah seorang bidadari tidak bisa kembali ke Kahyangan. Sebaliknya, Anak Raja harus ditinggal pergi oleh istrinya, Bidadari Bungsu, ketika si Bungsu menemukan selendangnya yang telah dicuri oleh suaminya itu. Itulah akibat dari perbuatan yang tidak dianjurkan ini.

Mengambil hak milik orang lain adalah termasuk sifat tercela. Bahkan dalam ajaran sebuah agama disebutkan, mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara semena-mena, sama artinya dengan memakan harta yang haram. Ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil dan memakan harta orang lain secara tidak halal, di antaranya mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi, uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba. Kecuali yang dihalalkan adalah pengambilan dan pertukaran harta dengan jalan perniagaan dan jual-beli yang dilakukan suka sama suka antara si penjual dan si pembeli, tanpa ada penipuan di dalamnya.

Setiap agama menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa menjunjung tinggi, mengakui dan melindungi hak milik orang lain, asal harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal. Oleh karena itu, hendaknya jangan memakan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal. (SM/sas/44/11-07).

Sumber:
Isi cerita diringkas dari Wulandari. Asal-Mula Tari Patuddu. 2005. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
Anonim. “Sambut Tamu dengan Tari Patuddu”, (http://www.sulbar.com/open.php?page=Tarian, diakses tanggal 16 November 2007).
Anonim. “Sulawesi Barat”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Barat, diakses tanggal 16 November 2007).
Anonim. “Perlindungan Islam terhadap Jiwa dan Harta”, (http://www.perpustakaan-islam.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=177, diakses tanggal 20 November 2007).
Http://rejang-lebong.blogspot.com

Read full post »

Asal Mula Nama Pamboang

0 comments
Pamboang adalah nama kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Indonesia. Konon, kecamatan yang identik dengan Mandar[1] ini dulunya bernama kampung Pallayarang Tallu. Namun karena terjadi sebuah peristiwa, sehingga namanya berubah menjadi Pamboang. Peristiwa apa sebenarnya yang terjadi, sehingga nama daerah itu berubah menjadi Pamboang? Peristiwa tersebut diceritakan dalam cerita rakyat Asal Mula Nama Pamboang berikut ini.

* * *

Alkisah, di Kampung Benua, Majene, Sulawesi Barat, hiduplah tiga orang pemuda yang hendak memperluas lahan perladangan dan permukiman penduduk, serta membangun pelabuhan di pantai. Ketiga pemuda tersebut bergelar I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang. Gelar tersebut mereka sandang berdasarkan pada tugas mereka dalam mewujudkan keinginan tersebut.

Pemuda pertama bergelar I Lauase, karena dalam menjalankan tugasnya membuka hutan lebat menjadi lahan perladangan selalu menggunakan wase (kapak). Pemuda kedua bergelar I Lauwella, karena bertugas untuk membabat dan membersihkan wella (rumput) laut di pantai yang akan dijadikan sebagai wilayah perdagangan. Pemuda ketiga bergelar I Labuqang, karena bertugas untuk meratakan tanah di pantai yang berlubang akibat ulah buqang (kepiting).

Ketiga pemuda tersebut melaksanakan tugas di wilayah mereka masing-masing. I Lauase bekerja di daerah hutan untuk membuka lahan perladangan, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang bekerja di daerah pantai. I Lauwella membersihkan rumput laut, sedangkan I Labuqang meratakan tanah yang berlubang di pantai. Ketiga pemuda tersebut bekerja dengan penuh semangat di wilayah kerja masing-masing.

Menjelang sore hari, ketiga pemuda itu kembali ke kampung untuk beristirahat. Sebelum tidur, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing setelah melalui hari pertama.

“Hari ini saya sudah merobohkan puluhan pohon besar,” cerita I Lauase.

“Kalian bagaimana?” tanya I Lauase kepada I Lauwella dan I Labuqang.

“Saya sudah banyak membersihkan rumput laut di pantai,” jawab I Lauwella.

“Saya juga sudah meratakan puluhan lubang kepiting,” sahut I Labuqang.

“Kalau begitu, saya perkirakan dalam waktu seminggu kita sudah dapat menyelesaikan tugas kita masing-masing,” kata I Lauase.

“Benar! Kita harus bekerja lebih keras lagi,” sahut I Lauwella.

Ternyata benar perkiraan mereka, setelah seminggu bekerja keras, semua pekerjaan mereka telah selesai. Kemudian ketiga pemuda tersebut menjadi penguasa di wilayah yang mereka buka. I Lauase menanami ladangnya dengan berbagai jenis tanaman palawija, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang yang wilayah kekuasaannya berada di daerah pantai bekerja sama membangun sebuah pelabuhan untuk dijadikan sebagai sarana perdagangan.

Semakin hari semakin banyak penduduk yang ikut berladang bersama dengan I Lauase. Demikian pula di pelabuhan, aktivitas perdagangan pun semakin ramai. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menggabungkan ketiga wilayah mereka menjadi satu.

“Tapi, apa nama yang cocok untuk wilayah ini?” tanya I Labuqang.

Mendengar pertanyaan itu, I Lauase dan I Lauwella terdiam. Keduanya juga masih bingung untuk memberikan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Setelah beberapa saat berpikir, I Lauase kemudian mengajukan usulan.

“Bagaimana kalau tempat ini kita namakan Pallayarang Tallu?”

“Pallayarang Tallu? Apa masksudnya?” tanya I Lauwella penasaran.

“Pallayarang artinya tiang layar, sedangkan Tallu artinya tiga. Jadi, Pallayarang Tallu berarti Tiga Tiang Layar,” jelas I Lauase.

“Waaah, nama yang bagus. Saya setuju dengan usulan I Lauase. Kalau kamu bagaimana?” tanya I Labuqang kepada I Lauwella.

“Saya juga setuju dengan nama itu,” jawab I Lauwella.

Akhirnya ketiga pemuda itu menemukan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Selanjutnya, mereka selalu bekerja sama mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah mereka.

Pada suatu hari, sekitar 7.000 orang pengungsi yang dipimpin oleh Puatta Di Karena tiba di daerah Adolang yang berbatasan dengan daerah kekuasaan I Lauase. Ribuan pengungsi tersebut berasal dari Kerajaan Passokkorang yang hancur akibat diserang oleh pasukan musuh. Setelah beberapa lama berada di daerah itu, Puatta Di Karena ingin mengajak negeri Pallayarang Tallu untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga, yaitu persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar.

Suatu hari, Puatta Di Karena didampingi oleh beberapa pengawalnya pergi ke Negeri Pallayarang Tallu untuk menemui I Lauase. Setiba di rumah Lauase, ia pun mengutarakan maksud kedatangannya.

”Anak Muda! Maksud kedatangan kami adalah ingin mengajak Anda untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Apakah Anda bersedia?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.

”Maaf, Tuan! Saya tidak dapat memutuskan sendiri masalah ini. Saya harus bermusyawarah dengan kedua saudara saya, I Lauwella dan I Labuqang,” jawab I Lauase.

”Baiklah, kalau begitu! Saya akan menunggu keputusan dari kalian. Tapi, kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Puatta Di Karena.

”Tuan boleh kembali ke mari besok pagi,” jawab I Lauase.

Setelah Puatta Di Karena mohon diri, I Lauase segera mengundang I Lauwella dan I Labuqang. Di rumah I Lauase, ketiga pemuda itu bermusyawarah. Dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk tidak bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga.

Keesokan harinya, Puatta Di Karena pergi lagi ke rumah I Lauase. Kedatangannya disambut oleh ketiga pemuda tersebut.

”Bagaimana keputusan kalian?” tanya Puatta Di Karena penasaran.

”Maafkan kami, Tuan! Kami telah sepakat belum bersedia menerima tawaran, Tuan!” jawab I Lauase.

”Kenapa?” tanya Puatta Di Karena.

”Negeri kami belum makmur. Rakyat kami masih banyak yang hidup susah,” tambah I Lauwella.

”Bagaimana jika aku membayar tambo[2] kepada kalian?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.

Mendengar tawaran itu, ketiga orang pemuda tersebut terdiam. Mereka berpikir, menerima atau menolak tawaran itu. Setelah berunding sejenak, akhirnya mereka memutuskan untuk menerima tawaran itu.

”Baiklah! Kami menerima tawaran Tuan! Kapan tambo itu akan Tuan berikan kepada kami?” tanya I Lauase.

”Kami akan mengantarkan tambo itu minggu depan,” janji Puatta Di Karena.

Akhirnya, Pallayarang Tallu pun bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Ketiga pemuda itu sangat senang, karena mereka akan mendapat tambo untuk digunakan membangun wilayah dan membantu rakyat mereka. Namun, setelah seminggu mereka bergabung, Puatta Di Karena tidak memberikan tambo yang telah dijanjikannya.

Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, Puatta Di Karena tidak kunjung datang mengantarkan tambo. Akhirnya, tambo pun menjadi pembicaraan masyarakat Pallayarang Tallu. Oleh karena setiap hari diucapkan, lama-kelamaan kata tambo berubah menjadi Tamboang, lalu menjadi Pamboang. Berdasarkan kata inilah masyarakat setempat mengganti nama Pallayarang Tallu menjadi Pamboang. Hingga kini, kata Pamboang dipakai untuk menyebut nama sebuah kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Nama Pamboang dari Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat dan tekun dalam bekerja.

Pertama, sifat suka bermusyawarah tercermin pada perilaku ketiga pemuda dalam cerita di atas. Setiap menghadapi suatu pekerjaan atau masalah, mereka senantiasa bermusyawarah untuk mufakat. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah merupakan salah satu sandaran dalam adat Melayu. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati, menjunjung tinggi, dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:

tegak adat karena mufakat,
tegak tuah karena musyawarah

Kedua, rajin dan tekun bekerja. Sifat ini juga tercermin pada keuletan ketiga pemuda tersebut. Dari cerita di atas dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan, kita harus tekun dalam bekerja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera

(SM/sas/73/05-08)

Sumber :
I
si cerita diadaptasi dari Anonim, ”Cerita Rakyat Mandar Kabupaten Mamuju” (http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=16619&jenis=Etnik, diakses tanggal 15 Mei 2006).
Anonim. “Pamboang: Majene,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Pamboang,_Majene, diakses tanggal 15 Mei 2006).
Anonim. “Suku Mandar,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Mandar, diakses tanggal 15 Mei 2008).
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.


_______________________



[1] Mandar adalah suku asli di Sulawesi Barat.

[2] Tambo artinya upah
Read full post »

Panglima To Dilaling

0 comments
To Dilaling adalah seorang raja yang pernah memerintah di daerah Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Ia adalah putra Raja Balanipa yang selamat dari ancaman pembunuhan ayahnya. Raja Balanipa terkenal memiliki tabiat yang aneh, yaitu tidak mau mempunyai anak laki-laki. Setiap kali permaisurinya melahirkan seorang anak laki-laki, ia langsung membunuhnya. Mengapa Raja Balanipa tidak mau mempunyai anak laki-laki? Lalu, bagaimana To Dilaling dapat selamat dari ancaman pembunuhan ayahnya hingga ia dapat menjadi raja? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Panglima To Dilaling berikut ini.

* * *

Alkisah, di sebuah bukit yang bernama Napo di daerah Tammajarra, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Balanipa yang dipimpin oleh Raja Balanipa. Sudah tiga puluh tahun sang Raja berkuasa, namun tidak mau turun dari tahtanya. Ia ingin berkuasa sepanjang masa. Untuk itu, ia senantiasa menjaga kesehatan badannya dengan cara berolahraga secara teratur, berburu, minum jamu dan obat ramuan tabib terkenal agar tetap awet muda dan panjang umur.

Raja Balanipa memiliki empat orang anak, dua putra dan dua putri. Akan tetapi, kedua putranya sudah dibunuhnya, karena ia tidak mau mewariskan tahtanya kepada mereka. Sementara sang Permaisuri selalu merasa cemas jika sedang mengandung. Jangan-jangan anak yang dikandungnya itu seorang bayi laki-laki. Ia sudah tidak kuat lagi melihat anaknya dibunuh oleh suaminya sendiri. Ia pun selalu berdoa kepada Tuhan, agar anak yang dikandungnya kelak adalah bayi perempuan.

Pada suatu waktu, sang Permaisuri sedang hamil besar. Ketika itu, Raja Balanipa hendak pergi berburu di daerah Mosso. Sebelum berangkat, sang Raja berpesan kepada panglima perangnya yang bernama Puang Mosso.

”Puang Mosso! Tolong jaga Permaisuriku yang sedang hamil besar itu! Jika aku belum kembali dan ia melahirkan anak laki-laki, maka bunuhlah anak itu!” titah Raja Balanipa.

”Baik, Baginda! Segala perintah Baginda pasti hamba laksanakan,” jawab Puang Mosso sambil memberi hormat.

Setelah itu, berangkatlah Raja Balanipa ke Mosso. Keesokan harinya, sang Permaisuri pun melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Namun anehnya, lidah bayi itu berwarna hitam dan berbulu.

Mengetahui permaisuri melahirkan, anjing pengawal raja segera menjilati kain bekas persalinan, sehingga meninggalkan darah di moncongnya. Kemudian anjing itu segera mencari sang Raja yang sedang berburu di daerah Mosso. Setelah menemukan tuannya, anjing itu terus menggonggong untuk memperlihatkan darah di moncongnya. Sang Raja yang mengerti jika permaisurinya telah melahirkan segera kembali ke istana.

Sementara itu, Puang Mosso sedang dilanda kebingungan setelah mengetahui sang Permaisuri melahirkan bayi laki-laki. Ia merasa kasihan dan tidak tega membunuh bayi itu. Sesaat ia berpikir keras untuk mencari cara agar sang Raja tidak murka dan bayi laki-laki itu tetap hidup.

”Mmm, aku tahu caranya. Aku akan menyembelih seekor kambing dan aku kuburkan, lalu membuatkan nisan di atas kuburannya, sehingga sang Raja akan mengira bahwa isi kuburan itu adalah putranya,” pikir Puang Mosso lalu segera melaksanakan niatnya itu.

Oleh karena khawatir rahasianya diketahui sang Raja, Puang Mosso menitipkan bayi itu kepada keluarganya yang tinggal di sebuah kampung yang berada jauh dari istana.

Keesokan harinya, Raja Balanipa kembali dari berburu dan langsung menemui Puang Mosso.

”Bagaimana keadaan Permaisuri? Apakah ia sudah melahirkan?” tanya sang Raja.

”Ampun, Baginda! Sehari setelah Baginda berangkat, Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki. Sesuai dengan pesan Baginda, hamba sudah menyembelih dan menguburkan bayi itu,” jelas Puang Mosso.

“Di mana kamu kuburkan?” tanya sang Raja.

”Ampun, Baginda! Hamba menguburnya di samping kuburan putra Baginda yang lainnya,” jawab Puang Mosso.

Raja Balanipa belum yakin jika belum melihat langsung kuburan itu. Ia pun segera ke tempat perkuburan keluarga istana, dan tampaklah sebuah kuburan kecil yang masih baru. Sang Raja pun percaya bahwa bayi laki-lakinya sudah mati. Ia pun kembali menjalankan tugasnya sebagai raja dengan perasaan tenang, karena pewaris tahtanya sudah tidak ada lagi.

Waktu terus berjalan. Putra raja yang tinggal di sebuah kampung sudah besar. Dia sudah lancar berbicara dan mengenal orang-orang di sekelilingnya. Ia juga sangat akrab dengan Puang Mosso, karena hampir setiap minggu Puang Mosso membesuknya secara diam-diam. Oleh karena khawatir rahasianya diketahui oleh sang Raja, Puang Mosso menitipkan anak itu kepada seorang pedagang yang akan berlayar menuju Pulau Salemo[1] yang berada jauh dari bukit Napo.

Di Pulau Salemo, putra raja itu tumbuh menjadi anak yang sehat. Ia diasuh dan dididik oleh keluarga pedagang yang membawanya ke tempat itu. Ia sangat tekun bekerja dan mahir memanjat pohon kelapa.

Pada suatu hari, ketika ia sedang memanjat pohon kelapa, tiba-tiba seekor burung rajawali raksasa menyambarnya, lalu membawanya terbang ke tempat yang jauh. Ketika sampai di daerah Gowa,[2] anak itu terlepas dari cengkeraman rajawali raksasa sehingga terjatuh di tengah sawah dan ditemukan oleh seorang petani. Si petani pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Gowa, Tumaparissi Kalonna.

”Ampun, Baginda! Hamba menemukan seorang anak laki-laki berbaju merah di tengah sawah yang terlepas dari cengkeraman seekor burung rajawali raksasa.”

”Di mana anak itu sekarang?” tanya Raja Gowa.

”Ada di rumah hamba, Baginda!” jawab petani itu.

“Pak Tani! Bawa anak itu kemari, aku ingin melihatnya!” titah Raja Gowa.

Mendengar perintah sang Raja, petani itu segera menjemput anak itu di rumahnya. Beberapa lama kemudian, petani itu sudah kembali ke istana bersama dengan anak itu. Ketika sang Raja melihat dan mengamati anak itu, ia langsung tertarik melihat tubuh anak itu.

“Waaah, kekar sekali tubuh anak ini! Jika anak ini aku rawat dan didik dengan baik, kelak ia akan menjadi pemuda yang gagah perkasa,” pikir Raja Gowa.

“Hei, anak kecil! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Raja Gowa.

Putra Raja Balanipa itu menceritakan asal-usulnya hingga ia dapat sampai di tempat itu. Sang Raja menjadi terharu mendengar cerita anak itu. Akhirnya, Raja Gowa merawat dan mendidiknya hingga menjadi pemuda gagah perkasa dan sakti. Kemudian ia mengangkatnya menjadi panglima perang (tobarani) Kerajaan Gowa. Sejak putra Raja Balanipa itu menjadi panglima perang, pasukan Kerajaan Gowa selalu menang dalam peperangan. Panglima perang Kerajaan Gowa itu pun terkenal hingga ke berbagai negeri. Raja Gowa kemudian memberinya gelar I Manyambungi.

Sementara itu, di Kerajaan Balanipa, kondisi keamanan sedang kacau-balau. Rupanya Raja Balanipa yang merupakan ayah kandung Panglima I Manyambungi telah wafat dan digantikan oleh Raja Lego yang terkenal sakti. Raja tersebut sangat kejam dan bengis. Ia suka menganiaya rakyat, baik yang berada di wilayah kekuasaannya maupun yang berada di negeri sekitarnya, yaitu negeri Samsundu, Mosso dan Todang-Todang.[3] Hal itu membuat raja-raja negeri bawahannya menjadi resah dan benci kepadanya. Untuk mengatasi hal itu, mereka pun mengadakan musyawarah untuk mencari cara menyingkirkan Raja Lego.

”Bagaimana caranya menyingkirkan Raja Lego yang kejam itu?” tanya salah seorang raja.

”Saya mendengar kabar bahwa Kerajaan Gowa memiliki seorang panglima perang yang sakti bernama I Manyambungi. Barangkali kita dapat meminta bantuannya untuk melawan Raja Lego,” jawab seorang raja yang lain.

Para raja negeri bawahan itu pun bersepakat untuk mengundang Panglima I Manyambungi. Maka diutuslah beberapa perwakilan dari kerajaan-kerajaan bawahan ke Kerajaan Gowa. Sesampainya di Gowa, mereka pun segera menemui panglima sakti itu dan mengutarakan maksud kedatangan mereka.

”Maaf, Tuan! Kami adalah utusan dari kerajaan-kerajaan kecil di daerah Polewali Mandar. Maksud kedatangan kami adalah ingin meminta bantuan Tuan untuk melawan Raja Lego,” lapor seorang utusan.

”Siapa Raja Lego itu?” tanya I Manyambungi.

”Dia adalah penguasa Kerajaan Balanipa yang menggantikan Raja Balanipa. Ia sangat kejam, suka menganiaya rakyat kami yang tidak berdosa,” jelas salah seorang utusan.

I Manyambungi sangat terkejut saat mendengar jawaban itu. Ia jadi teringat dengan ayah dan keluarganya yang pernah diceritakan oleh Puang Mosso kepadanya semasa ia masih kecil.

”Bagaimana dengan Raja Balanipa dan keluarga istana lainnya?” tanya I Manyambungi penasaran.

”Raja Balanipa dan permaisurinya telah wafat. Sementara beberapa keluarga istana lainnya sedang mengungsi ke daerah Mosso.” jelas utusan itu.

”Bagaimana dengan Panglima Puang Mosso? Apakah ia masih hidup?” tanya I Manyambungi.

”Iya, Tuan! Dia masih hidup. Bahkan dialah yang telah menyelamatkan sebagian keluarga istana. Bagaimana Tuan dapat mengenal Puang Mosso?” tanya salah seorang utusan heran.

Panglima I Manyambungi pun menceritakan perihal asal-usulnya. Para utusan dari Mandar itu pun terkejut dan segera memberi hormat.

”Ampun, Tuan! Sungguh kami tidak mengetahui jika Tuan adalah putra Raja Balanipa,” kata utusan serentak.

”Baiklah! Aku akan memenuhi permintaan kalian, tapi dengan syarat Puang Mosso yang harus datang sendiri menjemputku,” pesan Panglima I Manyambungi.

”Baik, Tuan! Kami akan menyampaikan berita ini kepada Puang Mosso” jawab para utusan seraya berpamitan kembali ke Mandar.

Sesampai di Mandar, mereka segera menemui Puang Mosso. Mendengar laporan para utusan itu, Puang Mosso menjadi cemas. Oleh karena penasaran, Puang Mosso berlayar sendiri ke Gowa dengan hati berdebar-debar. Dalam perjalanan, ia selalu bertanya-tanya dalam hati.

”Siapa sebenarnya I Manyambungi itu. Kenapa harus aku yang menjemputnya? Jangan-jangan dia adalah putra Raja Balanipa yang pernah aku titipkan kepada seorang pedagang?”

Sesampainya di Gowa, Puang Mosso segera menghadap Panglima I Manyambungi. Saat berada di hadapan panglima yang sakti itu, hati Puang Mosso semakin berdebar kencang. Lain halnya dengan I Manyambungi yang selalu tersenyum sambil menatap Puang Mosso dengan mata berkaca-kaca. Puang Mosso bukanlah sosok yang asing di mata I Manyambungi.

”Benarkah Anda Puang Mosso?” tanya I Manyambungi.

”Benar, Tuan!” jawab Puang Mosso.

”Maafkan hamba Tuan! Maukah Tuan menjulurkan lidah sebentar?” Puang Mosso balik bertanya kepada I Manyambungi dengan perasaan ragu-ragu.

Ketika melihat lidah I Manyambungi berwarna hitam dan berbulu, maka semakin yakinlah Puang Mosso jika panglima itu adalah putra Raja Balanipa. Tanpa berpikir panjang, Puang Mosso segera memeluknya dengan erat sambil berkata:

”Benar, engkaulah putra Raja Balanipa.”

I Manyambungi pun membalas pelukan Puang Mosso sambil meneteskan air mata, lalu berkata:

”Iya, Puang Mosso! Terima kasih karena engkau telah menyelamatkan nyawaku dan merawatku semasa aku masih kecil.”

”Sudahlah, Tuan! Kita harus segera ke daerah Mandar untuk menyelamatkan warga yang tidak berdosa dan merebut kembali Kerajaan Napo dari tangan Raja Lego yang bengis dan kejam itu,” ujar Puang Mosso.

”Baik, Puang Mosso! Kita berangkat saat tengah malam agar tidak ketahuan oleh Raja Gowa. Jika mengetahui hal ini, beliau pasti akan melarangku pergi,” kata I Manyambungi.

Pada saat tengah malam, Puang Masso dan Panglima I Manyambungi beserta beberapa pengikutnya meninggalkan istana Kerajaan Gowa. Setelah beberapa hari berlayar, kapal mereka pun merapat di pelabuhan Tangnga-tangnga. Semua peralatan perang mereka turunkan dari kapal dan kemudian membawanya ke bukit Napo. Sejak itu, Panglima I Manyambungi dikenal dengan nama Panglima To Dilaling.[4]

Sementara itu, Raja Lego semakin kejam terhadap rakyat yang lemah. Segala keinginannya harus segera dipenuhi. Jika ia menginginkan harta atau pun gadis untuk dikawini, tidak seorang pun yang dapat menghalanginya. Akibatnya, seluruh warga menjadi resah dan semakin benci kepadanya. Maka, pada saat Panglima To Dilaling mengajak para warga untuk memerangi Raja Lego, mereka menyambutnya dengan senang hati dan penuh semangat.

Pada waktu yang telah ditentukan, Panglima To Dilaling beserta seluruh warga menyerbu istana Raja Lego. Pertempuran sengit pun tidak didapat dihindari lagi. Pada mulanya, pasukan Raja Lego dapat mengadakan perlawanan. Namun, karena jumlah mereka lebih sedikit daripada pasukan Panglima To Dilaling, akhirnya mereka pun menyerah.

Sementara itu, Raja Lego yang dihadapi langsung oleh Panglima To Dilaling masih mampu melakukan perlawanan. Keduanya saling mengadu kesaktian. Tidak berapa lama kemudian, Raja Lego akhirnya kalah juga dan mati di ujung badik Panglima To Dilaling. Seluruh warga menyambut kemenangan itu dengan gembira. Akhirnya, Panglima To Dilaling dinobatkan menjadi raja di bukit Napo. Selama masa pemerintahan Panglima To Dilaling, negeri Napo dan sekitarnya menjadi aman, makmur dan sentosa. Hingga kini, makam Panglima To Dilaling dapat disaksikan di bawah sebuah pohon beringin yang rindang yang berada di atas bukit Napo, Polewali Mandar.

* * *

Demikian cerita Panglima To Dilaling dari daerah Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat suka lupa diri sendiri dan sifat sombong atau angkuh.

Pertama, sifat suka lupa diri. Sifat lupa diri yang dimaksud di sini adalah bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, semua makhluk pasti akan mati. Sifat ini tercermin pada sifat dan perilaku Raja Balanipa yang ingin berkuasa sepanjang masa. Ia merasa bahwa dirinya akan hidup selama-lamanya, sehingga tidak mau mewariskan tahtanya kepada putranya.

Kedua, sifat sombong atau angkuh yang tercermin pada perilaku Raja Lego. Dengan kekuasaan dan kesaktiannya, ia suka menindas rakyat yang lemah. Pelajaran yang dapat dipetik dari sifat dan perilaku Raja Lego ini adalah bahwa hendaknya kita tidak bersikap menyombongkan diri dengan kekuasaan dan kekuatan yang kita miliki, karena suatu saat kekuasaan dan kekuatan itu pasti akan binasa juga. Dikatakan alam tunjuk ajar Melayu:

kalau hidup melagakkan kuasa,

alamat hidup menanggung siksa

bila hidup melagakkan pangkat,

lambat laun ditimpa laknat

(SM/sas/81/05-08)

Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Muthalib, H. Abdul. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan. Jakarta: Grasindo.
Kantor Kominfo dan Kearsipan Polewali Mandar. “Sekilas tentang To Dilaling”, (www.polewalimandarkab.go.id/index.php?page=72, diakses pada tanggal 20 Juni 2008).
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
Effendy, Tenas. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru, Bappeda Tingkat I Riau.
Cerita Rakyat di Sulawesi Selatan. Jakarta: Grasindo.
http://melayuonline.com


[1] Pulau Salemo terletak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan.

[2] Gowa adalah nama sebuah kabupaten yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan.

[3] Negeri Napo bersama negeri Samsundu, Mosso dan Todang-Todang merupakan persekutuan “Empat Negeri Besar”, atau dalam bahasa Mandar disebut dengan istilah “Appe Banua Kaiyyang.”

[4] To Dilaling diambil dari bahasa Mandar yang terdiri dari dua kata, to dan dilaling. Kata to berarti orang, sedangkan dilaling berarti hijrah. Jadi, To Dilaling berarti orang yang hijrah dari Gowa (Sulawesi Selatan) ke Napo (Sulawesi Barat), atau orang yang diangkut bersama dengan perlengkapannya.
Read full post »

I Karake`lette`

0 comments
I Karake‘lette‘ adalah seorang laki-laki cacat yang hidup di zaman kerajaan Balanipa Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Walaupun cacat, ia menjadi penentu kemenangan Kerajaan Balanipa dalam perang melawan Kerajaan Gowa, dengan menaklukkan Raja Gowa. Bagaimana I Karake‘lette‘ yang berkaki cacat itu berhasil menaklukkan Raja Gowa? Kisah selanjutnya dapat Anda ikuti dalam cerita I Karake‘lette‘ berikut ini.

* * *

Alkisah, di daerah Mandar Sulawesi Barat, terdapat sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Balanipa. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Rakyatnya hidup damai, sejahtera, aman, dan sentosa.

Pada suatu hari, kedamaian mereka terusik oleh sebuah kabar buruk bahwa pasukan Kerajaan Gowa dengan dipimpin oleh rajanya akan datang menyerang negeri mereka. Mendengar kabar tersebut, Raja Balanipa segera bermusyawarah dengan para ponggawa dan pembesar kerajaan untuk menyusun strategi dalam menghadapi serangan musuh.

“Saya kira kalian sudah mendengar kabar buruk ini. Apakah kalian sudah siap menghadapi mereka?” tanya Raja kepada para peserta sidang.

“Ampun Baginda! Hamba mendengar Kerajaan Gowa akan mengerahkan seluruh pasukannya untuk menyerang kita. Mereka juga mempunyai seorang panglima perang yang sangat tangguh dan pemberani. Sementara pasukan yang kita miliki jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pasukan musuh,” jelas salah seorang ponggawa kerajaan kepada Raja.

“Benar Baginda! Kita harus menambah jumlah prajurit untuk mengimbangi serangan musuh,” tambah salah seorang pembesar kerajaan.

Mendengar keterangan itu, Raja Balanipa terdiam sejenak. Ia berpikir keras bagaimana caranya untuk mengatasi masalah tersebut. Para ponggawa dan pembesar kerajaan pun menundukkan kepala. Suasana sidang pun menjadi hening. Beberapa saat kemudian, sang Raja menemukan sebuah cara.

“Mmm... kalau begitu, bagaimana kalau kita mengadakan sayembara?” usul sang Raja.

“Ampun Baginda! Sayembara apa yang Baginda maksud?” tanya salah seorang pembesar kerajaan lainnya bingung.

“Sayembara tobarani (yaitu sayembara para jawara dan pemberani) untuk kita angkat sebagai prajurit kerajaan. Apakah kalian setuju?” tanya sang Raja.

“Setuju Baginda!” sahut para ponggawa dan pembesar kerajaan serentak.

Setelah itu, para ponggawa dan pembesar kerajaan segera menyebar ke seluruh penjuru kota, pelosok-pelosok desa, dan bahkan ke perkampungan-perkampungan untuk menyebarkan pengumuman tentang sayembara tersebut. Dalam waktu sehari, kabar tentang pelaksanaan sayembara itu pun tersebar ke seluruh masyarakat Kerajaan Balanipana.

Pada hari yang sudah ditentukan, ratusan tobarani yang datang dari berbagai penjuru berkumpul di halaman istana untuk mengikuti sayembara tersebut. Mereka datang dengan membawa senjata pusaka masing-masing. Ada yang membawa golok, parang, badik, keris, tombak, dan jenis senjata lainnya.

Pelaksanaan sayembara tobarani tersebut benar-benar menjadi pusat perhatian seluruh rakyat Kerajaan Balanipa. Orang-orang yang memadati halaman istana bukan hanya peserta sayembara, tetapi juga masyarakat biasa yang ingin menyaksikan sayembara tersebut.

Tidak berapa lama kemudian, Raja Balanipa tampak berdiri di hadapan para peserta sayembara.

“Wahai rakyatku sekalian! Sebagaimana yang telah kalian ketahui, kerajaan kita akan diserang oleh pasukan Kerajaan Gowa. Mereka ingin menghancurkan dan merebut tanah kelahiran kita. Untuk itulah saya mengundang kalian di tempat ini untuk saya pilih menjadi prajurit guna menghalau serangan mereka,” kata sang Raja.

“Barang siapa yang mampu menghalau dan menangkap pemimpin pasukan musuh, akan mendapatkan hadiah sebidang tanah sesuai dengan permintaannya,” janji sang Raja memberi semangat kepada rakyatnya.

“Setuju....!!!” seru para tobarani dengan penuh semangat.

Setelah menyampaikan pidatonya, sang Raja pun segera membuka sayembara tobarani tersebut. Satu per satu peserta sayembara memasuki arena untuk memeragakan keahlian bela diri dan kesaktian mereka. Sorak-sorai penonton pun bergemuruh memberi semangat kepada para calon prajurit yang akan membela tanah kelahiran mereka. Setelah sayembara digelar, terpilihlah puluhan peserta yang bergabung dengan prajurit lainnya untuk menghalau serangan musuh.

Suasana di dalam ibukota Kerajaan Balanipa tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ada yang sibuk mempersiapkan bekal makanan, ada juga yang sibuk mempersiapkan perlengkapan perang kerajaan seperti pedang, tombak, panah, jambia (sangkur), dan lain-lain. Senjata-senjata tersebut kemudian akan diangkut oleh beberapa bendi atau gerobak kuda maupun sapi menuju ke dermaga teluk Mandar yang terletak cukup jauh dari kota kerajaan. Pasukan Kerajaan Balanipa akan menghalau pasukan musuh sebelum menyerang kota kerajaan.

Sebelum berangkat ke medan perang, seluruh pasukan tanah Mandar Balanipa berkumpul di halaman istana untuk mendapatkan arahan dari Raja Balanipa.

“Wahai prajuritku! Tanah Mandar Balanipa adalah tanah kelahiran kita. Kita harus berjuang untuk mempertahankan tanah air kita tercinta ini dari serangan musuh,” ujar Raja Balanipa.

“Hidup Raja Balanipa... !!! Hidup Tanah Mandar... !!! teriak para prajurit serentak dengan penuh semangat.

Setelah itu, berangkatlah seluruh pasukan Tanah Mandar Balanipa menuju ke teluk Mandar untuk menghadang pasukan musuh yang akan berlabuh di dermaga.

Sementara itu, dari kejauhan di tengah lautan biru tampak sejumlah kapal perang yang cukup besar berbendara Kerajaan Gowa sedang bergerak dari arah selatan menuju dermaga Teluk Mandar. Rupanya, pasukan Kerajaan Gowa benar-benar akan menyerang dan membumihanguskan Kerajaan Balanipa untuk menguasai Tanah Mandar.

Tidak berapa lama kemudian, seluruh kapal perang tersebut berlabuh di dermaga Teluk Mandar. Namun, sebelum menyerbu kota Kerajaan, mereka sudah dihadang oleh pasukan Kerajaan Balinipa yang baru saja tiba di dermaga itu. Akhirnya, pertempuran sengit antara kedua pasukan pun tidak dapat dihindari lagi.

Dalam pertempuran tersebut tampak Raja Gowa memimpin pasukannya dengan penuh semangat. Demikian pula panglima perang Kerajaan Balanipa tampak memberi semangat kepada pasukannya agar terus melakukan perlawanan. Namun karena pasukan Kerajaan Gowa lebih banyak dan tangguh, pasukan Kerajaan Balanipa akhirnya kewalahan menangkis serangan musuh. Melihat keadaan itu, panglima perang Kerajaan Balanipa segera memerintahkan pasukannya untuk mundur kembali ke kota raja. Sedangkan pasukan Kerajaan Gowa kembali ke kapalnya untuk mempersiapkan strategi baru, kemudian kembali menyerang kota raja Balanipa.

Sementara itu, Raja Balanipa menjadi panik setelah mendapat laporan bahwa prajuritnya banyak yang gugur di medan perang. Para tobarani (pemberani)nya sudah tewas dalam peperangan tersebut. Dengan kondisi demikian, tidak mungkin mereka mampu melawan musuh. Akan tetapi, jika tidak melakukan perlawanan, berarti kalah, serta siap untuk menyerahkan Kerajaan Balanipa kepada pihak musuh. Hal itu berarti bunuh diri. Bagi orang Mandar, lebih baik mati membela tanah air daripada mati bunuh diri.

Dalam keadaan panik, sang Raja segera memerintahkan para prajuritnya yang masih tersisa untuk kembali mencari tobarani ke pelosok-pelosok desa dan perkampungan yang siap melawan musuh. Namun setelah mencari ke mana-mana, mereka tidak menemukan seorang pun yang mau menjadi prajurit. Kecuali ada seorang laki-laki setengah baya, itu pun ia seorang cacat kakinya yang tidak dapat berjalan.

Tanpa dipanggil dan diperintah, orang cacat itu datang menghadap kepada Raja Balanipa ke istana dengan cara merangkak.

“Hei, kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu kemari?” tanya Raja Balanipa.

“Nama saya Kaco‘, Puang[1]! Tapi, orang di kampung lebih akrab memanggil nama hamba I Karake‘lette‘[2]. Hamba datang menghadap, karena ingin membantu Puang memenangkan peperangan ini,” jawab laki-laki cacat itu.

“Ha...ha...ha...! Apakah kamu tidak sadar dengan kondisimu itu? Jangankan berperang, berjalan pun kamu tidak mampu,” ucap Raja Balanipa dengan nada merendahkan.

“Insya Allah! Jika Puang mengizinkan, hamba sanggup mengalahkan pasukan musuh,” kata I Karake‘lette‘ dengan penuh keyakinan.

“Dengan cara apa kamu melawan musuh, I Karake‘lette‘?” tanya sang Raja penasaran.

“Dengan jeruk nipis, Puang!” jawab I Karake‘lette‘.

Mendengar jawaban I Karake‘lette‘, sang Raja semakin bingung. Ia menganggap I Karake‘lette‘ adalah orang yang aneh. Oleh karenanya, ia tidak mau bertanya lagi kepadanya, karena khawatir mendapat jawaban yang akan membuatnya semakin bingung. Akhirnya, dengan perasan ragu, sang Raja mengizinkannya pergi ke medan perang.

“Jika kamu berhasil memenangkan peperangan ini, apa permintaanmu?”

“Ampun, Puang! Hamba tidak ingin meminta sesuatu apa pun kepada Puang sebelum berhasil mengusir musuh dari tanah Mandar Balanipa ini,” jawab I Karake‘lette‘.

Setelah berpamitan kepada sang Raja, I Karake‘lette‘ meninggalkan istana menuju dermaga Teluk Mandar untuk mencari Raja Gowa. Ia berangkat tanpa dilengkapi dengan persenjataan perang apapun. Ia hanya berbekal dua buah jeruk nipis dan makanan untuk selama di perjalanan.

Setelah berjalan selama tujuh hari tujuh malam I Karake‘lette‘ pun tiba di dermaga Teluk Mandar. Bagi orang normal, perjalanan dari kota kerajaan menuju dermaga hanya ditempuh selama satu hari. Sesampainya di dermaga, ia melihat di dalam sebuah kapal perang ada keramaian dan terdengar suara musik. Rupanya, Raja Gowa dan pasukannya sedang berpesta ria merayakan kemenangan mereka.

Tanpa berpikir panjang, dengan pelan I Karake‘lette‘ menaiki kapal perang itu, kemudian menyelinap ke tengah-tengah keramaian pesta, dan tiba-tiba ia sudah berada di hadapan Raja Gowa yang sedang duduk di singgasananya.

“Hei, siapa kamu! Beraninya kamu mengganggu pestaku!” bentak Raja Gowa.

Mendengar bentakan itu, suasana pesta yang semula gegap gempita, berubah menjadi tegang. Seluruh prajurit segera menghunus senjata masing-masing untuk bersiap jika orang aneh itu secara tiba-tiba menyerang raja mereka. Salah seorang prajurit tiba-tiba maju ingin menyeret dan mengusirnya dari kapal, karena dianggap sudah tidak berlaku sopan terhadap raja mereka.

“Tunggu dulu, prajurit! Jangan usir orang aneh itu!” cegah sang Raja.

Semua yang hadir dalam pesta itu terdiam sambil memandangi I Karake‘lette‘ dengan wajah geram.

“Hei, orang cacat! Siapa kamu ini?” sang Raja kembali bertanya.

“Saya adalah utusan dari Kerajaan Mandar Balanipa datang untuk menantang Karaeng[3]! Tapi dengan syarat, jika Karaeng menang, Kerajaan Mandar Balanipa dan seluruh isinya akan menjadi milik Karaeng. Tapi, jika Karaeng kalah, Karaeng harus meninggalkan tanah Mandar Balanipa ini dan jangan pernah kembali lagi!” jelas I Karake‘lette‘ dengan suara lantang.

Mendengar penjelasan itu, wajah Raja Gowa tiba-tiba menjadi merah seakan terbakar api. Baru kali ini ada orang yang berani menantangnya, apalagi hanya seorang cacat. Oleh karena tidak ingin wibawanya jatuh di hadapan prajuritnya, Raja Gowa menerima tantangan itu. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera melompat dari singgasananya dan langsung berdiri tidak jauh dari hadapan I Karake‘lette‘.

“Bersyahadatlah hei orang cacat, karena sebentar lagi kamu akan mati!” seru sang Raja sambil menghunus badiknya yang terselip di pinggang kirinya.

“Tahan dulu, Karaeng!” cegah I Karake‘lette‘.

“Saya masih ada satu permintaan lagi,” tambahnya sambil mengeluarkan dua buah jeruk nipis dari sakunya.

“Apa lagi yang kamu inginkan?” tanya Raja Gowa tidak sabar ingin menikam I Karake‘lette‘.

“Lihatlah! Di tangan saya ada dua buah jeruk nipis yang menjadi peramal nasib kita. Satu untukmu dan satu untukku,” kata I Karake‘lette‘ lalu melemparkan salah satu jeruk itu ke arah Raja Gowa.

“Untuk apa jeruk ini?” tanya Raja Gowa bingung.

“Begini Karaeng! Jeruk yang saya pegang ini saya lemparkan ke arah Karaeng. Kemudian tebaslah jeruk ini dengan sesuka hati sebelum sampai ke lantai. Apapun jadinya jeruk ini nantinya, begitulah nasib saya. Demikian pula sebaliknya, jeruk yang ada di tangan Karaeng lemparkan ke arah saya, dan saya akan berbuat seperti yang Karaeng lakukan. Apapun hasilnya, begitulah nasib Karaeng,” jelas I Karake‘lette‘ sambil tersenyum.

Kemarahan Raja Gowa pun semakin memuncak. Wajahnya semakin merah membara dan tubuhnya gemetar. Ia merasa sangat rendah di hadapan orang cacat itu. Suasana pun semakin mencekam dan penuh ketegangan. Hati para prajurit Kerajaan Gowa diselimuti perasaan khawatir. Jangan-jangan raja mereka tidak berhasil menebas jeruk nipis itu.

“Mari Karaeng kita mulai permainan ini!” seru I Karake‘lette‘.

“Baik! Aku akan menebas dan mengiris-iris jeruk nipis itu setipis kulitmu,” kata Raja Gowa dengan sombong.

Saat I Karake‘lette‘ melemparkan jeruk nipisnya ke arah Raja Gowa, pada saat itulah sang Raja langsung mengibas-ngibaskan keris saktinya ke arah jeruk itu. Namun malang nasib sang Raja, karena ia tidak berhasil menebas jeruk itu, walaupun hanya kulitnya. Dengan perasaan kesal dan malu, Raja Gowa memberikan kerisnya, lalu melemparkan jeruknya ke arah I Karake‘lette‘. Tanpa diduga, I Karake‘lette‘ mampu menebas jeruk nipis itu hingga terbelah menjadi dua dan jatuh tepat di kaki Raja Gowa.

“Lihatlah jeruk itu Karaeng! Nasib Karaeng hari ini akan seperti itu,” kata I Karake‘lette‘ dengan nada mengejek.

Raja Gowa bertambah marah melihat perlakuan I Karake‘lette‘ terhadap dirinya. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera merampas keris dari tangan salah seorang prajuritnya lalu menikamkannya ke tubuh I Karake‘lette‘. Namun dengan gesit dan lincah, I Karake‘lette‘ mampu mengelak dari serangan sang Raja. Pada saat itu pula, ia langsung berbalik menyerang dengan mengibaskan keris yang dipegangnya ke arah Raja Gowa. Nasib Raja Gowa benar-benar seperti yang diramalkan sebelumnya, tubuhnya terbelah menjadi dua bagian seperti jeruk nipis. Akhirnya, Raja Gowa jatuh tersungkur di lantai dan tewas terkena senjatanya sendiri.

Para prajurit hanya tercengang menyaksikan peristiwa itu. Tak seorang pun di antara mereka yang berani maju. Bahkan, ada yang langsung melarikan diri dan melompat ke laut. Sementara I Karake‘lette‘ segera meninggalkan kapal itu dan kembali ke kota raja Balanipa. Sesampainya di depan pintu gerbang kota raja, ia disambut meriah oleh seluruh masyarakat kota Balanipa. Raja Balanipa pun segera menyambut dan langsung memeluknya.

“Maafkan aku I Karake‘lette‘, karena telah meremehkanmu,” kata Raja Balanipa terharu.

“Sekarang, katakan apa permintaanmu?” tanyanya.

“Hanya ada satu permintaan Hamba, Puang!” jawab I Karake‘lette‘.

“Apakah itu I Karake‘lette‘, katakanlah!” desak Raja Balanipa.

“Hamba mohon ditandu naik ke puncak bukit itu. Hamba ingin berucap rasa syukur kepada Tuhan atas kemenangan ini,” kata I Karake‘lette‘ sambil menunjuk ke arah bukit itu yang terletak di sebelah barat kota raja.

Raja Balanipa pun memenuhi permintaan itu. Sesampainya di atas bukit, I Karake‘lette‘ langsung berteriak sekeras-kerasnya sebagai rasa syukur atas kemenangannya mengalahkan pasukan Kerajaan Gowa. Pada saat itu pula, Raja Balanipa memutuskan bahwa sejauh orang mendengar suara teriakan I Karake‘lette‘, sejauh itu pulalah tanah beserta seluruh isinya menjadi milik I Karake‘lette‘ sebagai hadiah dan ucapan terima kasih dari Raja Balanipa. Selain itu, I Karake‘lette‘ juga diangkat menjadi salah seorang ponggawa kerajaan Balanipa. Akhirnya, ia pun hidup makmur dan sejahtera dalam istana.

* * *

Demikian cerita I Karake‘lette‘ dari Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat cinta tanah air dan rela berkorban demi keadilan. Kedua sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku I Karake‘lette‘ yang rela mempertaruhkan nyawanya demi membela keadilan dan mempertahankan tanah airnya dari serangan musuh. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
Apa tanda Melayu jati,
Membela negeri sampai ke mati

Apa tanda Melayu terpuji,
Membela keadilan pantang lari

(Samsuni /sas/90/08-08)

Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Basir Maras, Bustan. 2007. Carita: Kumpulan Dongen dan Cerita Rakyat Sulawesi Barat. Yogyakarta: Annorka Media.
Anonim. “Sulawesi Barat,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Barat, diakses tanggal 19 Agustus 2008).
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit Adicita.
http://melayuonline.com


[1] Puang adalah sapaan untuk para pembesar kerajaan dan orang tua di Mandar.

[2] I karake‘lette‘ artinya orang yang berkaki cacat.

[3] Karaeng adalah sebutan bagi raja atau orang ningrat di kerajaan Gowa.
Read full post »

Cengnge`

0 comments
Cengnge` adalah nama seekor burung bersuara merdu dan berbulu indah yang terdapat di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Di kalangan masyarakat Mandar, ada sebuah cerita menarik yang mengisahkan tentang seorang gadis cantik yang menjelma menjadi seekor burung Cengnge`. Mengapa gadis cantik itu menjelma menjadi burung Cengnge`? Kisah menarik ini dapat Anda ikuti dalam cerita Cengnge` berikut ini.

* * *

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, hidup sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai anak. Hampir setiap malam mereka berdoa agar dikaruniai seorang anak, namun Tuhan belum juga mengambulkan doa mereka. Meski demikian, sepasang suami-istri itu tidak pernah berputus asa untuk terus berdoa kepada Tuhan.

“Ya Tuhan! Jika Engkau berkenan mengaruniakan kami seorang anak laki-laki, hamba bersedia membuatkannya ayunan dari emas,” doa sang Suami.

Sebulan kemudian, sang Istri pun hamil. Alangkah senang dan bahagianya sang Suami mengetahui hal itu. Namun hatinya juga bingung, karena ia harus memenuhi janjinya untuk membuatkan anaknya ayunan dari emas. Padahal, kehidupannya sendiri tidak berkecukupan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk pergi merantau ke Pulau Jawa.

“Dik, Abang akan merantau ke Pulau Jawa, agar dapat membuatkan ayunan dari emas untuk anak kita,” kata sang Suami kepada istrinya.

“Baik, Bang! Jika sudah berhasil, segeralah pulang,” pinta sang Istri.

“Iya, Abang berjanji segera kembali setelah kelahiran anak kita. Abang akan membawakan anak kita ayunan dari emas,” jawab sang Suami.

Keesokan harinya, sang Suami pun bersiap-siap untuk berangkat ke Pulau Jawa dengan menumpang kapal besar yang sedang berlabuh di pelabuhan Teluk Mandar. Namun, sebelum meninggalkan rumahnya, ia berpesan kepada istrinya.

“Dik, jika Adik melahirkan anak laki-laki, tolong dirawat dengan baik. Tapi, jika anak perempuan, segeralah Adik membunuhnya,” pesan sang Suami lalu bergegas pergi tanpa memberikan alasan mengapa ia tidak menyukai anak perempuan.

Alangkah terkejutnya sang Istri mendengar permintaan suaminya. Ia baru akan menanyakan hal itu, tetapi suaminya sudah hilang dari pandangannya. Dengan perasaan sedih dan pilu, ia pun kembali masuk ke rumahnya sambil mengelus-elus perutnya. Setiap malam ia sangat sulit memejamkan matanya karena memikirkan permintaan suaminya. Sebagai seorang ibu, tentu ia tidak tega membunuh darah dagingnya sendiri.

Beberapa bulan kemudian, sang Istri melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik jelita. Hatinya gembira bercampur sedih. Ia gembira karena telah melahirkan seorang anak yang sudah lama ia idam-idamkan. Namun ia juga sedih, karena harus segera membunuh bayinya itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menitipkan bayinya kepada keluarganya yang tinggal di sebuah kampung yang letaknya cukup jauh.

Sepulang dari rumah keluarganya, sang Istri segera menyembelih seekor ayam jantan lalu menguburnya di belakang rumahnya. Ia melakukan hal itu untuk meyakinkan suaminya, bahwa ia benar-benar sudah membunuh anak perempuan mereka yang baru lahir. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, sang Istri mengoleskan darah ayam pada batu nisan kuburan itu.

Beberapa hari setelah kelahiran bayinya, sang Suami pun kembali dari perantauan. Di punggungnya tergantung beberapa tas yang berisi perlengkapan bayi laki-laki. Tangannya menjinjing seperangkat ayunan bayi dari emas.

“Dik...! Abang pulang...!” teriak sang Suami sambil mengetuk pintu rumahnya yang tertutup rapat.

Mendengar suara itu, sang Istri pun segera membuka pintu untuk menyambut kedatangan suaminya.

“Mana anak kita? Kenapa Abang tidak mendengar suara bayi?” tanya sang Suami sudah tidak sabar ingin menimang anaknya.

“Maaf, Bang! Anak kita perempuan. Sesuai dengan pesan Abang, anak kita sudah Adik bunuh dan menguburnya di belakang rumah,” jawab sang Istri.

Alangkah terkejutnya sang Suami mendengar ucapan istrinya. Tanpa disadarinya, ayunan emas di genggaman dan tas-tas di punggungnya terjatuh seketika. Seluruh badannya tiba-tiba terasa lemas. Ia sangat kecewa karena istrinya melahirkan seorang anak perempuan, sementara ia sendiri tidak menyukainya. Untuk membuktikan ucapan istrinya, ia pun segera ke belakang rumahnya untuk melihat kuburan putrinya itu. Ternyata benar, di belakang rumahnya terdapat tumpukan galian tanah berukuran kecil dan di atasnya terdapat sebuah batu nisan dengan bercak darah. Tanpa rasa curiga sedikit pun, sang Suami percaya saja bahwa isi kuburan itu adalah putrinya.

Sejak itu, sang Suami selalu tampak murung dan sedih. Ia seakan-akan tidak memiliki gairah dan semangat untuk hidup. Ia selalu gelisah, entah kapan ia akan memiliki anak laki-laki. Sementara sang Istri tetap bersikap ceria, karena ia tahu bahwa anaknya masih hidup. Meski demikian, ia tidak terlalu menampakkan keceriaannya, agar tidak menimbulkan kecurigaan pada suaminya. Setiap kali melihat suaminya duduk termenung seorang diri, ia senantiasa menghiburnya.

“Sudahlah, Bang! Ini semua kehendak Tuhan. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Lupakanlah semua kejadian ini!” bujuk sang Istri.

Setelah berkali-kali dibujuk, akhirnya sang Suami kembali bersemangat. Siang hari ia bekerja seperti biasanya, dan pada malam harinya ia terus berdoa agar kembali dikaruniai seorang anak laki-laki.

Waktu terus berjalan. Bayi perempuan yang dititipkan sang Ibu telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Kini, ia sudah mengetahui keradaan kedua orangtuanya dan berkeinginan untuk menemui mereka. Setelah mandi di sungai dan berdandan rapi, gadis itu memanggil seluruh burung peliharaannya. Ia ingin menjelmakan dirinya menjadi seekor burung agar dapat dengan mudah mencari orangtuanya. Namun, ia bingung ingin menjadi burung apa, karena ia memiliki beberapa jenis burung peliharaan.

Setelah seluruh burung peliharaannya berkumpul, ia pun menjatuhkan pilihannya pada burung Cengnge`. Ia memilih burung Cengnge` karena selain dapat terbang tinggi, juga memiliki suara merdu dan bulu yang sangat indah.

Akhirnya, gadis itu memilih menjadi burung Cengge`, sehingga ia dapat terbang dengan leluasa di udara. Setelah berhari-hari terbang ke sana kemari, akhirnya ia pun menemukan keberadaan kedua orangtuanya. Ia berputar-putar di atas bubungan atap rumah ayah dan ibunya sambil bernyanyi:

“Cengge`....Cengge`....inilah aku yang terbuang, terbuang oleh orang tuaku sendiri. Kini aku sudah mengerti siapa orang tuaku, meskipun tidak mungkin kembali kepadanya...”

Mendengar suara nyanyian itu, kedua orangtua Cengnge` yang sedang asyik beristirahat segera bangkit dan keluar dari dalam rumah. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat seekor burung Cengnge` sedang terbang berputar-putar sambil bernyanyi. Belum sempat mereka berkata apa-apa, Cengnge` berpesan kepada mereka sebelum ia pergi.

“Hai... orangtuaku, kedatangan Ananda kemari hanya ingin berpamitan. Ananda ingin pergi ke Tanah Jawa. Tak ada gunanya Ananda tinggal bersama kalian, karena kehadiran Ananda tidak dibutuhkan,” kata Cengnge` lalu terbang pergi tinggi ke udara meninggalkan kedua orangtuanya.

Akhirnya, rahasia sang Istri terbongkar juga di hadapan sang Suami. Sang Istri pun menceritakan semuanya lalu meminta maaf kepada suaminya, karena tidak berterus terang. Sang suami pun merasa menyesal karena menyuruh istrinya untuk membunuh anak perempuan mereka. Namun apa hendak dibuat, semuanya sudah terjadi. Sang Anak pun telah pergi meninggalkan mereka.

Sementara itu, Cengnge` terus terbang menuju ke Tanah Jawa. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan di udara, sampailah ia di sebuah lapangan luas. Orang Jawa menyebutnya alun-alun. Di tengah alun-alun itu terdapat beberapa batang pohon beringin yang tumbuh subur dan rindang. Cengnge` kemudian terbang rendah dan bertengger di atas salah satu pohon beringin tersebut. Di atas pohon itu, Cengnge` terbang dari satu dahan ke dahan yang lain sambil bernyanyi.

“Cengnge`....Cengnge`... Cengnge`....!!!”

Tanpa disadarinya, seorang pemuda tampan sedang memerhatikannya. Ia adalah putra Raja Jawa. Rupanya, ia sangat tertarik melihat bulu dan mendengar suara merdu Cengnge`.

“Waaah... baru kali ini aku menemukan burung sebagus itu. Suaranya merdu dan bulunya pun sangat indah,” ucap putra raja dengan takjub.

Putra Raja Jawa itu ingin sekali memiliki burung Cengnge` itu. Ia pun segera memerintahkan seorang pengawalnya untuk menangkapnya. Baru pengawal itu akan memanjat pohon beringin tempat Cengnge` bertengger, tiba-tiba Cengnge` kembali bernyanyi.

“Cengnge`... aku adalah burung Cengnge` dari Mandar. Aku adalah anak rantau yang terbuang oleh kedua orangtuaku...,” kata Cengnge` dalam lagunya.

Mendengar suara merdu Cengnge` itu, putra raja semakin penasaran ingin segera memilikinya. Ia pun memerintahkan pengawalnya agar segera memanjat pohon itu. Ketika pengawal itu mendekati dahan tempat Cengge` bertengger, Cengnge` segera terbang ke pohon beringin yang lain. Melihat gelagat burung Cengnge` itu, akhirnya putra raja memutuskan untuk memanjat pohon beringin itu dan ingin menangkap sendiri burung itu. Saat ia akan memanjat pohon beringin itu, tiba-tiba Cengnge` kembali bernyanyi dengan suara merdunya.

“Aku ini anak rantau sedang mencari anak raja yang bersedia merawatku, walaupun harus menjadi abdinya...”

Demikian kata Cengnge` dalam lagunya seraya terbang mendekat ke arah putra raja yang masih berada di bawah pohon beringin. Maka putra raja pun dapat menangkapnya dengan mudah. Akhirnya, burung Cengnge` itu dibawa pulang ke istana Raja Jawa dan dan dipelihara secara istimewa. Berbeda dengan burung peliharaan lainnya, putra raja tidak memasukkan Cengnge` ke dalam sangkar, karena Cengnge` termasuk burung yang jinak dan bersedia mengabdi kepadanya.

Sejak kehadiran Cengnge`, muncul keanehan di istana Raja Jawa. Setiap pagi, seluruh air persiapan untuk mandi pagi raja dan keluarganya selalu saja habis. Peristiwa aneh itu terus terjadi hingga berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan. Keanehan itu kemudian menimbulkan kecurigaan raja. Akhirnya, Raja Jawa melakukan penyeledikan secara diam-diam.

Pada suatu malam yang sepi, sang Raja mengintip tempat pemandiannya. Alangkah terkejutnya saat ia melihat seorang gadis cantik jelita sedang mandi.

“Siapa gadis itu? Sepertinya aku belum pernah melihatnya,” kata sang Raja dalam hati sambil terus mengamati gadis itu.

Sementara si gadis tidak menyadari jika ada sepasang mata yang sedang memerhatikannya. Ia terus saja mandi dengan sepuas-puasnya. Setelah menghabiskan seluruh air di bak mandi itu, ia pun segera mengenakan pakaian (bulu)-nya yang diletakkan di pinggir bak mandi. Beberapa saat kemudian, ia pun kembali menjelma menjadi seekor burung Cengnge`.

Akhirnya, malam itu, penyamaran Cengnge` ketahuan juga oleh sang Raja.

“Mmm... rupanya dialah yang selama ini selalu menghabiskan air di bak mandiku,” gumam sang Raja lalu menghampiri gadis itu.

“Hei...gadis cantik! Siapa sebenarnya kamu ini? Kenapa menyamar menjadi seekor burung?” tanya sang Raja kepada Cengnge`.

“Ammm... Ammmp.. Ampun, Tuan! Hamba menjelmakan diri menjadi burung Cengnge`, karena hamba adalah anak perempuan yang tidak diinginkan oleh orangtua hamba,” jawab Cengnge` gugup ketakutan.

Mendengar jawaban Cengnge` yang menyedihkan itu, sang Raja tiba-tiba merasa iba kepadanya. Akhirnya, sang Raja memutuskan untuk menikahkan Cengnge` dengan putranya yang selama ini merawatnya. Tiga hari kemudian, pesta pernikahan Cengnge` dengan putra Raja Jawa pun dilangsungkan dengan meriah. Berbagai pertunjukan seni dipentaskan. Tamu undangan pun datang dari berbagai penjuru. Mereka turut berbahagia menyaksikan sepasang pengantin yang sangat serasi sedang duduk di atas pelaminan. Putra raja seorang pemuda yang tampan, sedangkan Cengnge` seorang gadis yang cantik jelita. Sejak saat itu, Cengnge` tinggal bersama suaminya di dalam istana Raja Jawa. Mereka pun hidup bahagia dan rukun.

* * *

Demikian cerita Cengnge` dari daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sifat tidak pandai bersyukur. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Ayah Cengnge` yang tidak mau menerima pemberian Tuhan kepadanya. Dalam kehidupan orang Melayu, orang yang tidak pandai bersyukur dianggap kufur (paling tidak kufur nikmat) dan tak tahu diri. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu (Tennas Effendy, 2006: 427):
siapa yang tak mau mensyukuri nikmat,
disebutlah ia kufur nikmat

apa tanda batang kemiri
buahnya keras dibuat rempah
apa tanda yang tak tahu diri
beroleh karunia hatinya pongah

(Samsuni /sas/91/08-08)

Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Basir Maras, Bustan. 2007. Carita: Kumpulan Dongen dan Cerita Rakyat Sulawesi Barat. Yogyakarta: Annorka Media.
Anonim. “Sulawesi Barat,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Barat, diakses tanggal 19 Agustus 2008).
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit Adicita.
http://melayuonline.com
Read full post »

Asal Mula Nama Kampung Paummisang

0 comments
Paummisang adalah nama sebuah kampung yang berada di daerah Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Kata paummisang berasal dari bahasa Mandar yang berarti tumpukan ampas tebu. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat Mandar, nama paummisang ini diambil dari nama seorang kakek yang bernama Kanne[1] Paummisang. Mengapa kakek itu dipanggil Kanne Paummisang? Mengapa pula nama kakek itu diabadikan menjadi sebuah nama kampung? Jawabannya dapat Anda temukan dalam cerita Asal Mula Nama Kampung Paummisang berikut ini.

* * *

Konon, di daerah Tinambung Mandar, Sulawesi Barat, ada seorang kanne (kakek) yang hidup seorang diri di sebuah rumah sederhana yang terletak di tengah-tengah kebunnya. Meskipun tempat tinggalnya cukup jauh dari permukiman penduduk, ia sering bergaul dengan penduduk yang setiap hari melintas di kebunnya. Pekerjaan sehari-harinya adalah menanam sayur-sayuran, umbi-umbian, jagung, tebu, dan kelapa di kebunnya. Ia seorang petani kebun yang sangat rajin, ulet, dan teliti dalam merawat tanamannya, sehingga hasilnya pun cukup melimpah.

Kakek itu memiliki suatu kebiasaan aneh. Ia senang sekali minum air tebu dengan cara mengigiti batang tebu yang telah dikupas kulitnya. Kemudian ampas tebu tersebut ia kumpulkan di ruang tengah rumahnya. Begitulah yang ia lakukan setiap hari hingga ampas tebu tersebut terus menumpuk. Oleh karenanya, orang kampung memanggilnya Kanne Paummisang, yakni seorang kakek yang suka menumpuk ampas tebu di rumahnya.

Di mata penduduk sekitar, Kanne Paummisang adalah orang yang ramah, baik hati, dan dermawan. Ia senantiasa memberikan hasil perkebunannya kepada penduduk kampung yang membutuhkan. Bahkan ia sering mempersilahkan para tetangga kebunnya untuk mengambil apa aja di kebunnya tanpa perlu minta izin kepadanya terlebih dahulu. Kanne (Nenek) Golla adalah salah seorang tetangga kebunnya yang sering ia persilahkan untuk mengambil apa saja di kebunnya.

Pada suatu hari, Kanne Golla lewat di kebun Kanne Paummisang. Saat berada di tengah-tengah kebun, nenek itu tiba-tiba berhenti. Ia menoleh ke sekelilingnya sambil memerhatikan isi kebun Kanne Paummisang. Rupanya, Nenek Golla tertarik melihat hasil perkebunan Kanne Paummisang yang tumbuh subur dan hijau, terutama tanaman jagungnya. Ia ingin sekali memetik beberapa bongkol jagung itu. Namun, ia tetap merasa sungkan kepada Kanne Paummisang, meskipun sudah diizinkan sebelumnya.

Kanne Golla yang masih berdiri di tengah kebun itu tidak menyadari jika ada sepasang mata yang sedang memerhatikannya. Ia adalah Kakek Paummisang yang sedang duduk sambil menggigit batang tebu di dalam rumahnya. Setelah menghabiskan air tebunya, kakek itu segera turun dari rumahnya dengan menuruni beberapa anak tangga, dan segera menghampiri Kanne Golla. Melihat Kanne Paummisang berjalan ke arahnya, Kanne Golla segera beranjak dari tempatnya berdiri.

“Maaf, Kanne Golla! Adakah yang bisa aku bantu?” tanya Kanne Paummisang kepada Kanne Golla.

“Jika ada sesuatu yang menarik hatimu di kebunku ini, silahkan ambil sesukamu. Tidak perlu sungkan. Aku malah senang sekali jika banyak orang yang menikmatinya,” tambah Kanne Paummisang.

“Iya, sebenarnya aku sangat tertarik melihat tanaman jagungmu. Jika berkenan, bolehkah aku memetiknya dua bongkol?” tanya Kanne Golla dengan malu-malu.

“Tentu saja boleh, saudariku! Kamu boleh mengambil sesuka hatimu dan sekuat kamu membawanya,” jawab Kanne Paummisang sambil tersenyum.

“Terima kasih! Kamu memang orang yang baik hati dan dermawan,” ucap Kanne Golla.

Setelah memetik beberapa bongkol jagung, Kanne Golla pun berpamitan pulang dengan perasaan senang. Demikian pula Kanne Paummisang, ia merasa sangat senang jika hasil perkebunannya bermanfaat untuk orang banyak. Demikian seterusnya, ia senantiasa menawarkan hasil perkebunannya kepada siapa pun yang lewat di kebunnya.

Keesokan harinya, ketika Kanne Paummisang sedang asyik minum air tebu, tiba-tiba seorang penduduk kampung bernama Pak Hardi lewat di kebunnya. Ia pun segera memetik beberapa bongkol jagung lalu memberikannya kepada Hardi.

“Terima kasih, Kanne Paummisang,” ucap Hardi.

“Sama-sama, Pak Hardi!” jawab Kanne Paummisang tersenyum.

“Aku sangat senang jika hasil kebunku ini dinikmati orang banyak. Jika masih ada isi kebunku yang kamu senangi, katakan saja padaku! Aku akan memberikannya kepadamu,” tambah Kanne Paummisang menawarkan.

“Terima kasih, Kanne! Kanne memang orang yang dermawan,” ucap Hardi.

Setelah menyerahkan jagung itu kepada Pak Hardi, Kanne Paummisang kembali meminum air tebunya yang masih tersisa dan membuang ampasnya di ruang tengah rumahnya. Melihat perilaku Kanne Paummisang itu, Pak Hardi yang masih berada di kebun Paummisang langsung menggeleng-gelengkan kepala.

“Kanne Paummisang memang orang baik, tapi perilakunya aneh. Untuk apa ia menumpuk ampas tebu itu?” tanya Pak Hardi dalam hati penuh keheranan lalu pergi meninggalkan kebun Kanne Paummisang menuju ke perkampungan.

Begitulah tanggapan setiap penduduk yang melewati kebunnya. Mereka terheran-heran melihat kebiasaan aneh Kanne Paummisang menumpuk ampas tebu di ruang tengah rumahnya.

Semakin hari rumah Kanne Paummisang semakin penuh dengan tumpukan ampas tebu. Anehnya lagi, ia terkadang tertidur di atas tumpukan ampas tebu itu. Para penduduk yang sering melewati kebunnya semakin terheran-heran melihat kelakuan anehnya itu.

Walaupun demikian, semakin hari Kanne Paummisang juga semakin dermawan kepada semua penduduk. Penduduk yang paling sering ia beri hasil perkebunannya adalah Kanne Golla. Karena selain bertetangga kebun, rupanya mereka juga sudah berteman sejak kecil. Akhirnya, hubungan persahabatan mereka pun semakin akrab. Untuk membalas budi baik Kanne Paummisang, Kanne Golla pun sering membawakannya makanan, baik berupa ikan bakar, kue, gula pasir, kopi, dan lain-lain.

Pada suatu hari, Kanne Golla datang mengantarkan makanan untuk Kanne Paummisang. Setibanya di depan rumahnya, ia melihat pintu rumah itu tertutup rapat.

“Kanne Paummisang... ! Kanne Paummisang... !” teriak Kanne Golla sambil mengetuk pintu.

Berkali-kali Kanne Golla mengetuk pintu dan berteriak memanggil Kanne Paummisang, namun tidak mendapat jawaban sama sekali. Oleh karena penasaran, ia pun mencoba mendorong pintu rumah Kanne Paummisang. Rupanya, pintu itu tidak terkunci, sehingga ia dapat masuk ke dalam rumah. Alangkah terkejutnya Kanne Golla saat mendapati Kanne Paummisang sudah tidak bernyawa lagi dan terbujur kaku di atas tumpukan ampas tebunya. Akhirnya, Kanne Golla segera memanggil orang-orang kampung untuk menguburkan jenazah Kanne Paummisang di tengah-tengah kebunnya. Untuk mengenang kebaikan dan kedermawanan Kanne Paummisang, para penduduk menamakan kampung mereka “Kampung Paummisang”.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Nama Kampung Paummisang dari daerah Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang patut dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin dan tekun bekerja, dan sifat suka bertanam budi (berbudi).

Pertama, sifat rajin dan tekun bekerja. Sifat ini tercermin pada perilaku Kanne Paummisang yang sangat rajin, tekun dan ulet merawat tanamannya, sehingga hasilnya pun dapat bermanfaat untuk orang banyak. Dalam kehidupan Melayu, sifat rajin, tekun dan ulet bekerja sangatlah diutamakan. Dikatakan dalam untaian syair tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera

Kedua, sifat suka bertanam budi (berbudi). Sifat ini juga dicerminkan oleh sikap dan perilaku Kanne Paummisang yang senantiasa berbuat kebajikan kepada orang lain dengan cara mendermakan sebagian hasil perkebunannya kepada penduduk sekitar. Oleh karena kederamawannya itu, penduduk sekitar mengabadikan namanya menjadi nama kampung mereka, agar mereka dapat terus mengenangnya. Dikatakan dalam untaian syair tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda intan baiduri,
manfaatkan umurmu untuk berbudi
berbuat kebajikan sebelum mati
semoga hidupmu tiada terkeji

(Samsuni /sas/94/08-08)
Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Bustan Basir Maras. 2007. Carita: Kumpulan Dongeng dan Cerita Rakyat Sulawesi Barat. Yogyakarta: Annora Media.
Ananim. “Kecamatan Tinambung,” http://id.wikipedia.org/wiki/Tinambung,_Polewali_Mandar, diakses tanggal 25 Agustus 2008.
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
http://melayuonline.com

[1] Kanne adalah panggilan kepada orang yang sudah tua, baik untuk orang tua laki-laki (kakek) maupun orang tua perempuan (nenek).

Read full post »

Samba` Paria

0 comments
Samba` Paria adalah seorang gadis cantik jelita yang tinggal bersama adiknya di sebuah rumah panggung di tengah hutan di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Pada suatu hari, Raja Mandar bersama beberapa orang pengawalnya menculik Samba` Paria. Mengapa Raja Mandar menculiknya? Lalu bagaimana nasib Samba` Paria selanjutnya? Temukan jawabannya dalam cerita Samba` Paria berikut ini.

* * *

Alkisah, di daerah Mandar, Sulawesi Barat, hidup seorang gadis cantik jelita bersama seorang adiknya yang masih berumur sepuluh tahun. Kedua kakak beradik itu adalah yatim piatu. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Mereka tinggal di sebuah rumah panggung peninggalan orang tua mereka yang berada di tengah hutan belantara, jauh dari permukiman penduduk. Dari kejauhan, rumah mereka hampir tidak kelihatan, karena selain tertutupi pepohonan rindang di sekitarnya, juga diselubungi oleh tanaman paria (pare) yang menjalar mulai dari tiang, tangga, dinding, hingga ke atap rumahnya. Itulah sebabnya, gadis cantik itu dipanggil “Samba` Paria”, yang berarti perempuan yang rumahnya diselubungi tanaman paria.

Pada suatu hari, Samba` Paria bersama adiknya sedang asyik menyantap makanan jepa[1] di dalam rumah. Tanpa disengaja, ketika sang Adik akan memasukkan jepa ke dalam mulutnya, tiba-tiba terlepas dari tangannya dan langsung jatuh ke tanah. Mereka membiarkan jepa itu di tanah, karena kotor dan tidak layak lagi untuk dimakan.

Pada waktu yang hampir bersamaan, rombongan maraqdia (raja) dari daerah pesisir Tanah Mandar sedang berburu binatang di hutan itu. Mereka datang dengan menunggangi kuda dan membawa serta beberapa ekor anjing pemburu yang sudah terlatih. Saat berada di tengah hutan, tidak jauh dari rumah Samba` Paria, mereka melepaskan tali anjing-anjing pemburu tersebut dan membiarkannya pergi mencari mangsa. Pada saat anjing-anjing tersebut terlepas, terdengarlah suara gonggongan anjing memecah kesunyian hutan.

Tidak berapa lama kemudian, seekor anjing kesayangan sang Raja telah kembali sambil menggigit sesuatu di mulutnya.

“Pengawal! Cepat ambil benda itu dan bawa kemari!” titah sang Raja yang sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon.

“Hamba laksanakan, Tuan,” jawab seorang pengawal lalu menghampiri anjing itu.

Setelah mengambil benda itu, si pengawal segera menyerahkannya kepada sang Raja.

“Ampun, Tuan! Benda ini ternyata sepotong jepa yang masih hangat,” lapor pengawal itu sambil menyerahkan jepa itu kepada raja.

“Apa katamu? Jepa hangat? Dari mana anjing itu mendapat jepa hangat di tengah hutan belantara seperti ini?” tanya sang Raja penuh keheranan.

Sang Raja yakin bahwa orang yang membuat jepa itu pasti berada di sekitar hutan tersebut. Oleh karena penasaran, ia pun memberikan isyarat kepada anjingnya agar mengantarnya ke tempat di mana ia memperoleh jepa hangat itu. Akhirnya, anjing yang sudah mengerti maskud tuannya itu segera berlari sambil menggonggong menuju ke sebuah tempat. Sang Raja pun mengikutinya dari belakang dengan menunggangi kuda putih kesayangannya. Kemudian disusul oleh beberapa orang pengawal raja.

Tidak berapa lama, sampailah mereka di depan rumah Samba` Paria yang diselubungi tanaman pare. Sang Raja hampir tidak percaya melihat sebuah rumah di tengah hutan belantara itu. Oleh karena sudah tidak sabar ingin mengetahui penghuni rumah itu, ia pun segera menaiki beberapa anak tangga.

“Permisi... apakah ada orang di dalam?” tanya sang Raja sambil mengetuk pintu.

Beberapa saat kemudian, pintu rumah itu terbuka pelan-pelan. Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di hadapannya.

“Aduhai... cantiknya gadis ini,” ucap sang Raja dalam hati dengan takjub.

Saat itu pula, hati sang Raja tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia menaruh hati kepada gadis itu. Hati Samba` Paria pun bergetar tidak karuan. Tetapi bukan karena jatuh hati, melainkan karena ia tahu bahwa orang yang sedang berdiri di depannya adalah seorang raja. Ia mengetahui hal itu, karena melihat pakaian yang dikenakannya dipenuhi perhiasan emas yang berkilauan. Samba` Paria pun bertambah yakin ketika melihat kuda yang ditunggangi orang itu berwarna putih. Di daerah Mandar pada masa itu, kuda berwarna putih merupakan kuda yang sangat istimewa yang hanya ditunggangi oleh raja dan kalangan ningrat kerajaan.

“Silahkan masuk, Tuan!” Samba` Paria mempersilahkan sang Raja sambil memberi hormat.

”Terima kasih, gadis cantik! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu dan kamu tinggal bersama siapa di rumah ini?” tanya sang Raja.

“Ampun, Tuan! Hamba Samba` Paria. Hamba tinggal di rumah ini bersama adik hamba yang masih berumur sepuluh tahun,” jawab Samba` Paria.

“Aku adalah raja negeri ini. Aku bersama beberapa orang pengawalku sedang berburu binatang di hutan ini,” kata sang Raja memperkenalkan dirinya.

“O, iya. Aku sangat haus, bolehkah aku minta air minum?” pinta sang Raja.

Samba` Paria pun segera menyuruh adiknya untuk mengambilkan air untuk sang Raja. Setelah adiknya masuk ke dapur, ternyata persediaan air minum mereka telah habis.

`Ampun, Tuan! Kebetulan persediaan air minum hamba telah habis. Tapi, jika Tuan berkenan menunggu, hamba akan menyuruh adik hamba untuk mengambil air minum di sungai yang terletak di balik gunung,” kata Samba` Paria.

“Dengan senang hati, aku akan menunggu di sini. Apalagi ada gadis cantik menemaniku,” ucap sang Raja mulai merayu.

Saat itu, tiba-tiba muncul niat buruk sang Raja ingin menculik Samba` Paria untuk dijadikan Permaisurinya. Sebelum adik Samba` Paria berangkat ke sungai, sang Raja melubangi tempat air yang biasa digunakan Samba` Paria. Sang Raja melakukan hal itu, agar anak kecil itu berlama-lama di sungai. Sebab, tidak mungkin anak itu dapat mengisi wadah air yang berlubang.

Beberapa saat setelah adik Samba` Paria berangkat ke sungai, sang Raja pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera memerintahkan beberapa pengawalnya yang menunggu di depan rumah agar membawa gadis cantik itu ke istana.

“Ampun, Tuan! Jangan bawa hamba ke istana! Kasihan adik hamba jika ditinggal sendirian di sini,” kata Samba` Paria mengiba kepada sang Raja.

“Ah, biarkan dia sendirian di sini dimakan binatang buas,” ucap sang Raja dengan nada ketus.

“Pengawal! Bawa segera calon permaisuriku ini!” titah sang Raja.

“Baik, Tuan!” jawab para pengawal serentak dan segera melaksanakan perintah.

Samba` Paria pun mulai bingung, karena adiknya belum juga pulang dari sungai. Sang Adik pasti akan mencarinya jika para pengawal itu membawanya ke istana. Ia pun segera mencari cara agar dapat meninggalkan jejak, sehingga adiknya dapat mengetahui ke mana arah perginya.

”Ampun, Tuan! Sebelum Tuan membawa hamba, bolehkah hamba mengajukan satu permintaan?” pinta Samba` Paria.

“Apakah itu? Katakanlah!” seru sang Raja.

“Bolehkah hamba membawa beberapa lembar daun paria? Hamba sangat senang makan sayur daun paria,” ungkap Samba` Paria.

Sang Raja pun memenuhi permintaan Samba` Paria. Setelah memetik puluhan lembar daun paria, Samba` Paria pun dibawa ke istana dengan menggunakan kuda. Dalam perjalanan menuju ke istana raja, Samba` Paria merobek-merobek daun paria itu lalu membuangnya di sepanjang jalan yang dilaluinya agar adiknya dapat mengetahui jejaknya. Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, Samba` Paria bersama rombongan raja tiba di istana raja.

Sementara itu adik Samba` Paria baru saja kembali dari sungai tanpa membawa air minum sedikit pun. Sesampai di depan rumahnya, ia melihat pintu rumahnya tertutup rapat.

“Kenapa sepi begini? Apakah rombongan raja itu sudah pergi?” tanyanya dalam hati.

Dengan pelan-pelan, anak itu menaiki anak tangga rumahnya satu per satu. Setelah berada di depan pintu, ia pun berteriak memanggil kakaknya.

“Kak... ! Kak Samba`... ! Adik pulang...!”

Berkali-kali ia berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari kakaknya. Akhirnya ia pun langsung membuka pintu. Alangkah terkejutnya anak itu setelah mengetahui kakaknya tidak ada di dalam rumah. Ia kemudian mencarinya di sekitar rumah, namun tidak juga menemukan kakaknya.

“Ka.... kak..., kamu di mana?” anak itu menangis tersedu-sedu sambil duduk di depan rumahnya.

Beberapa saat kemudian, pandangan anak itu tertuju pada sobekan daun paria yang berserakan di sepanjang jalan di depan rumahnya. Akhirnya, ia pun mengerti bahwa kakaknya dibawa pergi oleh rombongan raja tersebut.

Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun mengikuti sobekan daun paria itu untuk mencari kakaknya. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, akhirnya sampailah ia di rumah raja. Sebuah rumah panggung yang sangat megah.

“Kak...! Kak Samba`...!” teriak anak itu di samping rumah raja.

Setelah berteriak berkali-kali dan tidak mendapat jawaban, akhirnya anak itu berkata:

“Jika Kakak tidak sudi menemui Adik, perlihatkanlah separuh wajah Kakak di jendela!” pintanya.

Namun, dari atas rumah itu, sang Raja justru memperlihatkan padanya wajah kucing. Sementara Samba` Paria dikurung dalam kamar agar tidak keluar menemui adiknya. beberapa saat kemudian, anak itu berkata lagi.

“Jika Adik tidak boleh melihat wajah Kakak, perlihatkanlah tangan Kakak!”

Hati anak itu hancur, karena sang Raja memperlihatkan kaki depan kucing kepadanya. Lalu ia berkata lagi.

“Jika Kakak masih menyayangi Adik, tunjukkanlah kaki Kakak!”

Benar-benar malang nasib anak itu. Sang Raja kembali memperlihatkan kaki belakang kucing kepadanya. Oleh karena mengira sang Kakak tidak sudi lagi menemuinya, akhirnya anak kecil itu berpesan.

“Baiklah, jika Kakak tidak sudi menemui Adik, Adik akan pulang ke rumah. Adik akan menanam sebatang pohon kelor di sini. Jika batang kelor ini layu berarti Adik sedang sakit keras. Dan, jika batang kelor ini mati, berarti Adik juga sudah mati,” kata anak itu lalu bergegas pergi dengan perasaan sedih dan kecewa.

Samba` Paria hanya bisa menangis mendengar semua pesan terakhir adiknya dari dalam rumah itu. Ia selalu mengkhawatirkan nasib adiknya yang tinggal sendiri di tengah hutan. Untuk mengetahui keadaan adiknya, setiap hari ia mengintip batang kelor itu melalui jendela rumah. Semakin hari batang kelor itu semakin layu. Hal itu menunjukkan bahwa adik Samba` Paria sedang sakit keras. Mengetahui kondisi itu, Samba` Paria mulai panik. Ia pun segera mencari cara agar bisa melarikan diri dari istana raja.

Pada suatu hari, saat sang Raja pergi berburu, Samba` Paria memasak nasi dan lauk sebanyak-banyaknya, karena ia berniat untuk melarikan diri. Setelah semua makanan sudah matang, ia lalu mengajak dayang-dayang istana pergi mandi di sungai yang berada tidak jauh dari istana. Ketika sedang asyik mandi, Samba` Paria sengaja membuang cincin pemberian sang Raja kepadanya ke dalam air.

“Tolong... tolong... cincinku jatuh ke dalam air!” teriak Samba` Paria.

Mendengar teriakan tuannya itu, dayang-dayang tersebut segera melompat ke dalam sungai. Mereka harus menemukan cincin itu. Jika tidak, mereka pasti akan dihukum oleh sang Raja. Pada saat dayang-dayang tersebut menyelam di dalam air, Samba` Paria segera mengenakan pakaiannya dan mengambil bungkusan makanannya, lalu menunggang kuda hendak menemui adiknya yang dikiranya sudah meninggal.

Sesampai di rumahnya, ia mendapati adiknya sedang sekarat. Dengan panik, ia pun segera membuka bungkusan makanan yang dibawanya lalu menyuapi adiknya. Meskipun dengan pelan-pelan, adiknya masih bisa mengunyah dan menelan makanan itu. Akhirnya, sang Adik pun perlahan-lahan pulih dan sudah bisa diajak berbicara. Namun hal itu belum membuat hati Samba` Paria menjadi tenang, karena Raja Mandar pasti akan menyusul dan membawanya kembali ke istana.

Samba` Paria pun segera menghaluskan biji cabe rawit, merica, dan daun kelor sebanyak-banyaknya. Setelah itu, ia mencampurnya dengan abu dapur, lalu memberinya air sehingga bentuknya seperti adonan kue.

Tidak lama kemudian, Raja Mandar benar-benar datang mencarinya. Sang Raja langsung naik ke rumah dan mengetuk pintu.

“Hei, Samba` Paria, buka pintunya! Kalau tidak, aku dobrak pintu ini!” seru sang Raja yang sudah berdiri di depan pintu dengan geram.

Samba` Paria pun segera membuka pintu rumahnya sambil membawa wadah dari tempurung kelapa yang berisi adonan cabe rawit, abu, daun kelor dan merica. Saat pintu terbuka, ia langsung menyiramkan adonan tersebut kepada kedua mata sang Raja. Raja itu pun langsung menjerit menahan rasa perih sambil mengusap-usap kedua matanya. Tanpa disadari, tiba-tiba kakinya terpeleset dan akhirnya jatuh terjungkal-jungkal ke tanah. Raja itu pun tewas seketika, karena tulang lehernya patah terpental di tangga rumah Samba` Paria. Sejak itu, Samba` Paria pun kembali hidup damai, rukun, dan tenang bersama adiknya.

* * *

Demikian cerita Samba` Paria dari daerah Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu: keutamaan sifat saling menyayangi dan akibat buruk dari sifat kasar langgar (kurang ajar).

Pertama, keutamaan sifat saling menyayangi. Sifat ini tercermin pada perilaku Samba` Paria dan adiknya. Mereka senantiasa saling menyayangi dan menjaga antara satu dengan yang lain. Hal ini tampak pada usaha Samba` Paria yang mencari-cari agar bisa melarikan dari istana raja untuk menemui adiknya yang sedang sakit keras. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa kekuatan kasih dan sayang dapat menimbulkan ide-ide yang dapat menyelamatkan seseorang dari kezaliman orang lain. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat kasih sayang ini sangat diutamakan, karena dapat membina kerukunan dan menghindari perselisihan antar sesama. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
berbuah kayu di tengah padang
daunnya rimbun tempat berteduh
bertuah Melayu berkasih sayang
hidup rukun sengketa menjauh

Kedua, akibat buruk sifat kasar langgar (kurang ajar). Sifat ini tercermin pada perilaku Raja Mandar yang telah menculik dan memaksa Samba` Paria untuk dijadikan permaisurinya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
binasa diri kasar langgar,
binasa badan kurang ajar

(Samsuni /sas/95/08-08)

Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Basir Maras, Bustan. 2007. Carita: Kumpulan Dongen dan Cerita Rakyat Sulawesi Barat. Yogyakarta: Annorka Media.
Anonim. “Sulawesi Barat,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Barat, diakses tanggal 19 Agustus 2008).
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit Adicita.


[1] Jepa adalah salah satu makanan khas orang Mandar yang terbuat dari sagu atau singkong.
http://melayuonline.com
Read full post »

Hawadiyah

0 comments
Hawadiyah adalah seorang gadis miskin dan yatim yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat. Pada suatu waktu, seorang Mara`dia (Raja) Jawa datang meminangnya dan mengajaknya untuk melangsungkan pernikahan di Pulau Jawa. Namun, niat baik Mara`dia Jawa itu dihalang-halangi oleh seorang gadis bernama Bekkandari. Mengapa Bekkandari menghalang-halangi pernikahan Hawadiyah dengan Mara`dia Jawa? Lalu, apa yang dilakukan Bekkandari untuk menghalangi pernikahan mereka? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Hawadiyah berikut ini.

* * *

Konon, pada zaman dahulu kala, ada dua orang gadis yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar. Gadis yang pertama bernama Bekkandari, sedangkan gadis yang kedua bernama Hawadiyah. Kedua gadis tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok, terutama dari segi banyaknya harta. Bekkandari berasal dari keluarga yang sangat kaya. Ayahnya memiliki perkebunan kelapa yang luas dan usaha pembuatan minyak goreng. Sementara Hawadiyah seorang gadis yatim yang berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk reyot di ujung kampung. Untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari, Hawadiyah bersama ibunya membantu usaha keluarga Bekkandari.

Pada suatu hari, Bekkandari bersama ayahnya sedang panen kelapa di kebunnya. Hawadiyah dan ibunya pun turut membantu mengumpulkan buah kelapa yang baru dipetik dari pohonnya. Setelah setengah hari bekerja, mereka pun selesai mengumpulkan ratusan butir kelapa. Sebelum Hawadiyah dan ibunya pulang, ayah Bekkandari memberi mereka lima butir kelapa sebagai upah.

Sesampai di rumah, ibu Hawadiyah memarut dan memasak kelima butir kelapa tersebut untuk diambil minyaknya. Rencananya, ia akan menitipkan minyak kelapa itu kepada ayah Bekkandari untuk dijual ke Pulau Jawa.

Pada suatu hari, terdengarlah kabar bahwa ayah Bekkandari akan segera berangkat ke Pulau Jawa. Mendengar kabar itu, beramai-ramailah penduduk menitipkan minyak kelapanya kepada juragan minyak itu untuk dijual kepada Mara`dia Jawa. Tidak ketinggalan pula ibu Hawadiyah, ia menitipkan minyak kelapanya yang disimpan dalam sebuah wadah bambu. Sebelum mengantar minyak kelapanya kepada ayah Bekkandari, terlebih dahulu ia membaca sebaris mantra lalu meniupkannya ke dalam bambu, dengan harapan Mara`dia Jawa akan tertarik dan jatuh hati kepada anaknya ketika melihat dan mencium bau minyak tersebut.

Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ayah Bekkandari bersama beberapa orang pekerjanya menuju ke Pulau Jawa dengan menaiki kapal pribadinya. Sudah lima hari lima malam mereka terombang ambing di tengah laut, namun tak kunjung sampai ke tujuan. Padahal, perjalanan dari Teluk Mandar menuju Pulau Jawa biasanya hanya ditempuh selama tiga hari tiga malam. Hal itulah yang membuat juragan minyak kelapa itu menjadi panik dan bingung.

”Hei Nahkoda! Kenapa kita belum juga sampai di Pulau Jawa? Bukankah kita sudah lima hari lima malam di tengah lautan?” tanya ayah Bekkandari dengan perasaan cemas.

“Maaf, Tuan! Saya juga tidak tahu apa gerangan penyebabnya. Padahal kecepatan kapal ini berada di atas rata-rata,” jawab nahkoda kapal itu.

Mendengar jawaban itu, ayah Bekkandari terdiam sejenak. Ia bingung memikirkan penyebab keterlambatan kapalnya tiba di Pulau Jawa. Beberapa saat kemudian, ia pun teringat dengan sesuatu hal. Rupanya, ia lupa membawa minyak titipan ibu Hawadiyah.

”Mmm... jangan-jangan inilah penyebab keterlambatan perjalananku ke Pulau Jawa,” pikirnya dalam hati.

Setelah benar-benar yakin bahwa hal itulah yang menjadi penyebabnya, ia segera memerintahkan kepada nahkodanya agar memutar haluan arah kapal.

”Nahkoda! Putar haluan arah kapal ini. Kita harus kembali ke Tana Mandar,” ujar si juragan kaya itu.

”Kenapa begitu, Tuan? Bukankah sebentar lagi kita akan sampai Pulau Jawa?” tanya nahkoda kapal bingung.

”Tidak mungkin! Kita tidak mungkin sampai di Pulau Jawa sebelum mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah,” jawab juragan minyak itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Dengan diselimuti tanda tanya, si nahkoda kapal pun segera memutar balik haluan kapal menuju Teluk Mandar. Setelah menempuh perjalanan selama lima hari lima malam, akhirnya mereka pun tiba di Teluk Mandar. Ayah Bekkandari segera mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah yang tertinggal di rumahnya, lalu kembali berlayar menuju ke Pulau Jawa. Alangkah terkejutnya juragan kaya itu beserta anak buahnya, karena hanya dalam waktu dua hari dua malam, mereka sudah sampai di Pulau Jawa.

Setibanya di Pulau Jawa, ayah Bekkandari langsung membawa semua minyak kelapanya ke kediaman Mara`dia Jawa. Alangkah senang hati Mara`dia Jawa, karena ayah Bekkandari membawakannya banyak minyak kelapa untuk ia jual kembali kepada padagang dari luar negeri. Begitu pula ayah Bekkandari, ia merasa senang sekali, karena semua minyak kelapanya habis terjual. Setelah membeli segala kebutuhannya, ia bersama rombongannya segera kembali ke Tana Mandar.

Di tengah perjalanan, ayah Bekkandari kembali dikejutkan oleh kejadian aneh. Sudah empat hari empat malam mereka menempuh perjalanan, namun kapal yang mereka tumpangi belum juga sampai di Teluk Mandar.

Melihat keadaan itu, ayah Bekkandari langsung teringat pada minyak kelapa milik ibu Hawadiyah. Ia pun segera memeriksa ruangan tempat penyimpanan barang di kapalnya. Alangkah terkejut ketika ia melihat minyak kelapa itu masih ada di tempatnya. Rupanya, ia lupa menjualnya kepada Mara`dia Jawa. Akhirnya, ia pun segera memerintahkan nahkodanya untuk kembali ke Pulau Jawa. Setelah menjual minyak kelapa tersebut, hanya dalam waktu dua hari dua malam, ia bersama rombongannya sudah tiba di Tana Mandar, Sulawesi Barat.

Sementara itu, Mara`dia Jawa sedang asyik mengamati sebuah wadah bambu berisi minyak kelapa yang diberikan terakhir oleh ayah Bekkandari. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa itu setelah membuka tutup wadah minyak kelapa itu. Tiba-tiba ia melihat wajah seorang gadis cantik yang memantul dari permukaan minyak. Wajah cantik itu tidak lain adalah wajah si gadis miskin, Hawadiyah.

”Hei... bukankah gadis ini yang sering hadir dalam mimpiku?” tanya Mara`dia Jawa dalam hati.

Kali ini, Mara`adia Jawa benar-benar yakin dengan keberadaan gadis yang sering hadir di dalam mimpinya itu. Ia pun berniat untuk pergi mencarinya ke Tana Mandar. Dua minggu kemudian, ketika ayah Bekkandari datang mengantarkan minyak kelapa kepadanya, ia pun ikut serta bersama ayah Bekkandari yang akan pulang ke Tana Mandar. Selama dalam perjalanan, ia selalu berharap agar dapat menemukan gadis impiannya itu.

Setibanya di Mandar, Mara`dia Jawa tinggal di rumah keluarga Bekkandari untuk beberapa hari lamanya. Sejak pertama datang, penguasa tanah Jawa itu senantiasa mendapat jamuan istimewa dari keluarga Bekkandari. Berbagai macam makanan dan minuman khas Mandar dihidangkan. Rupanya, putri si juragan minyak yang bernama Bekkandari, diam-diam jatuh hati kepadanya. Ia seringkali mencari-cari perhatian, agar Mara`dia Jawa itu suka kepadanya. Mara`dia Jawa pun sebenarnya tahu maksud gelagat Bekkandari, akan tetapi ia merasa bahwa bukan dialah gadis yang ia inginkan.

Pada suatu pagi, ketika Mara`dia Jawa bersama ayah Bekkandari sedang duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati kopi panas dan pisang goreng hangat, tiba-tiba seorang gadis lewat di depan rumah itu. Ia pun langsung terperangah melihat gadis itu.

”Hei, siapa gadis itu? Sepertinya aku pernah melihatnya,” tanya Mara`dia Jawa kepada ayah Bekkandari.

”Maksud Tuan gadis yang baru lewat itu?” ayah Bekkandari balik bertanya.

”Iya, Pak!” jawab Mara`dia Jawa singkat.

”Gadis itu bernama Hawadiyah. Ia seorang yatim dan miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah panggung yang hampir roboh di ujung kampung ini,” jelas ayah Bekkandari.

”Mereka adalah buruh di kebun kelapaku,” tambah ayah Bekkandari dengan nada sombong.

Mara`dia Jawa hanya tersenyum mendengar penjelasan juragan minyak kelapa itu. Ketika hari menjelang siang, Mara`dia itu hendak menemui gadis itu. Saat ia berada di ujung kampung, tampaklah sebuah rumah panggung yang sudah tua. Atapnya yang terbuat dari daun rumbia sudah bocor. Dindingnya yang terbuat dari gedek pun banyak yang berlubang-lubang. Dengan perasaan ragu-ragu, ia pun mengetuk pintu rumah itu. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis cantik membuka pintu. Ia seakan-akan tidak percaya bahwa gadis yang berdiri di hadapannya sama persis dengan gadis yang selalu hadir di dalam mimpinya.

”Tidak salah lagi, inilah gadis yang sering menemuiku di dalam mimpi,” kata Mara`dia Jawa dalam hati dengan perasaan senang, karena telah menemukan gadis impiannya.

Pada saat itu pula Mara`dia Jawa pun langsung meminang Hawadiyah dan berniat untuk membawanya pulang ke Pulau Jawa. Ia berencana akan melangsungkan pesta pernikahannya di Pulau Jawa dengan penuh kemeriahan.

Mendengar kabar itu, Bekkandari menjadi iri hati dan dendam kepada Hawadiyah. Ia pun segera mencari cara untuk menggagalkan pernikahan mereka. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menemukan caranya, yakni mencelakai Hawadiyah.

”Maaf, Tuan! Bolehkah hamba ikut bersama kalian ke Pulau Jawa? Hamba ingin menyaksikan pesta pernikahan kalian,” pinta Bekkandari kepada Mara`dia Jawa.

”Dengan senang hati,” jawab Mara`dia Jawa sambil mengangguk-anggukan kepala.

Keesokan harinya, berangkatlah mereka menuju ke Pulau Jawa dengan menumpang kapal milik ayah Bekkandari. Di tengah perjalanan, Bekkandari menyuruh beberapa orang anak buah ayahnya untuk menculik Hawadiyah. Setelah menyekap gadis miskin itu di sebuah ruang tersembunyi, Bekkandari segera mengambil tadzu[1] dan menyiramkannya ke wajah Hawadiyah. Sungguh malang nasib gadis miskin itu. Wajahnya yang semula halus dan lembut tiba-tiba berubah menjadi kasar dan keras.

Setelah itu, Bekkandari melepaskan Hawadiyah untuk menemui calon suaminya. Hawadiyah pun tidak berani menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya, karena Bekkandari mengancam akan membunuhnya. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa ketika melihat wajah calon permaisurinya.

”Hei... apa yang terjadi denganmu? Kenapa wajahmu rusak begitu?” tanya Mara`dia Jawa penasaran.

”Maafkan Dinda, Kanda! Dinda terlalu ceroboh. Ketika berkeliling-keliling di kapal ini, tiba-tiba Dinda ketumpahan tadzu,” jawab Hawadiyah yang harus berbohong kepada calon suaminya.

Mendengar jawaban itu, Mara`dia Jawa tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menerima kenyataan pahit itu. Namun ketika mereka sampai di Pulau Jawa, rupanya ibu Mara`dia Jawa tidak sudi menerima Hawadiyah sebagai menantunya. Akhirnya, Hawadiyah pun diasingkan ke sebuah tempat untuk dijadikan penjaga sawah Mara`dia Jawa. Sementara, Bekkandari dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa.

Pada suatu hari, beberapa orang pengawal Mara`adia Jawa mengantarkan makanan untuk Hawadiyah. Alangkah terkejutnya para pengawal itu ketika ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk di rumah-rumah sawah.

”Hei, kamu siapa? Ke mana si gadis buruk rupa itu?” tanya salah seorang pengawal.

”Maaf, Tuan! Akulah Hawadiyah, si gadis buruk rupa itu,” jawab Hawadiyah sambil tersenyum.

Mendengar jawaban itu, para pengawal Mara`dia Jawa tersebut tersentak kaget. Mereka seakan-akan tidak percaya jika gadis yang di hadapan mereka adalah Hawadiyah.

”Bagaimana kamu bisa berubah menjadi cantik seperti itu?” seorang pengawal kembali bertanya kepada Hawadiyah.

Hawadiyah pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya, bahwa dia bisa kembali menjadi cantik setelah berkali-kali mandi di sungai atas perintah seekor burung kakaktua. Kemudian ia juga menceritakan semua peristiwa yang menyebabkan wajahnya menjadi jelek. Maka sejak itu, perilaku buruk Bekkandari terbongkar.

Setelah mendengar cerita Hawadiyah, para pengawal tersebut segera melapor kepada Mara`dia Jawa. Semula, Mara`dia Jawa tidak percaya dengan laporan para pengawalnya itu. Namun, karena penasaran, akhirnya ia pun bergegas menuju ke sawah. Sesampainya di sawah, ia tersentak kaget ketika melihat wajah Hawadiyah kembali menjadi cantik seperti semula. Ia pun langsung memeluk gadis yang dicintainya itu dengan erat.

”Maafkan Kanda, Dinda! Kanda sudah mengetahui semuanya. Ternyata selama ini Kanda dibohongi oleh Bekkandari,” ucap Mara`dia Jawa.

Akhirnya, Mara`dia Jawa mengajak Hawadiyah kembali ke istana untuk melangsungkan pernikahan mereka. Sesampai di istana, ia pun langsung mengusir Bekkandari kembali ke kampung halamannya, di Tana Mandar. Sejak itu pula, Mara`dia Jawa memutuskan hubungan dagang dengan ayah Bekkandari.

Pesta pernikahan Mara`dia Jawa dengan Hawadiyah dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan dalam acara tersebut. Undangan yang datang dari berbagai negeri turut berbahagia menyaksikan kedua mempelai. Sejak itu, Hawadiyah hidup bahagia bersama suaminya dan seluruh keluarga istana Kerajaan Jawa.

* * *

Demikian cerita Mara`dia Jawa dari daerah Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah akibat buruk dari sifat dengki dan iri hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Bekkandari yang telah menyiramkan tadzu ke wajah Hawadiyah, agar dialah yang akan dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa. Akibatnya, ia pun diusir dari istana Kerajaan Jawa setelah semua perbuatannya diketahui oleh Mara`dia Jawa. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu:
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat dengki dan iri hati dapat membutakan hati seseorang. Jika hati sudah buta, seseorang dapat melakukan penganiayaan kepada orang lain.

(Samsuni /sas/98/09-08)

Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Basir Maras, Bustan. 2007. Carita: Kumpulan Dongeng dan Cerita Rakyat Sulawesi Barat. Yogyakarta: Annorka Media.
Anonim. “Sulawesi Barat,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Barat, diakses tanggal 15 September 2008).
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit Adicita.
http://melayuonline.com
Read full post »
 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger