Saturday, March 17, 2012

Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak

0 comments
Danau Singkarak, sumatra barat
Danau Singkarak dengan luas 107,8 m2 merupakan danau terluas kedua setelah Danau Toba di Pulau Sumatra, Indonesia. Danau yang berada di ketinggian 36,5 meter dari permukaan laut ini terletak di dua kabupaten di Provinsi Sumatra Barat, yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Menurut cerita, danau yang juga merupakan hulu Sungai Batang Ombilin ini dahulu memang merupakan lautan luas. Namun karena terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa, air laut tersebut menyusut. Peristiwa Apakah yang menyebabkan air laut tersebut menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak berikut ini.

* * *

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sumatra Barat, hiduplah keluarga Pak Buyung. Ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir laut bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut. Setiap pagi mereka pergi ke hutan di Bukit Junjung Sirih untuk mencari manau, rotan, dan damar untuk dijual ke pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut menangkap ikan dengan menggunakan pancing, bubu ataupun jala.

Ketika sudah berumur sepuluh tahun, Indra sering membantu kedua orangtuanya ke hutan maupun ke laut. Betapa senang hati Pak Buyung dan istrinya mempunyai anak yang rajin seperti Indra. Namun, ada satu hal yang membuat mereka risau, karena si Indra memiliki suatu keanehan, yaitu selera makannya amatlah berlebihan. Dalam sekali makan, ia dapat menghabiskan nasi setengah bakul dengan lauk beberapa piring.

Pada suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik hasil hutan maupun hasil laut sangat sulit diperoleh. Untuk itu, keluarga Pak Buyung harus berhemat terutama menahan selera makan. Mereka harus makan apa adanya. Jika tidak ada nasi, mereka makan ubi atau pun keladi (talas). Cukup lama musim paceklik berlangsung, sehingga mereka semakin kesulitan mendapatkan makanan. Hal itu rupanya membuat mereka lebih peduli pada diri sendiri daripada terhadap anaknya. Kesulitan mendapatkan makanan itu juga membuat mereka hampir berputus asa. Mereka sering bermalas-malasan pergi mencari rotan ke hutan dan mencari ikan ke laut.

Sudah beberapa hari keluarga Pak Buyung hanya makan ubi bakar. Tentu hal itu tidak mengenyangkan perut si Indra. Suatu hari, Indra menangis minta makanan kepada kedua orangtuanya.

“Ayah, carikan saya makanan! Saya sangat lapar,” keluh Indra.

“Hei, anak malas! Kalau kamu lapar carilah sendiri makanan ke hutan atau ke laut sana!” seru ayahnya dengan nada kesal.

“Pak! Bukankah anak kita masih kecil? Tentu dia belum bisa mencari makanan sendiri,` sahut sang Ibu.

“Iya, dia memang masih anak-anak. Tapi, dia yang paling banyak makannya,” bantah sang suami.

Mendengar bantahan suaminya itu, sang Istri pun diam. Ia kemudian membujuk Indra agar berangkat sendiri ke Bukit Junjung Sirih untuk mencari hasil-hasil hutan di Bukit. Indra pun menuruti nasehat ibunya. Sebelum berangkat ke hutan, Indra terlebih dahulu memberi makan seekor ayam piaraannya yang bernama Taduang. Si Taduang adalah seekor ayam yang pandai. Setiap kali tuannya (si Indra) pulang dari hutan, ia selalu berkokok menyambut kedatangan tuannya.

Menjelang siang, Indra pulang dari hutan tanpa membawa hasil. Keesokan harinya, ayahnya memerintahkannya pergi ke laut untuk memancing ikan. Saat Indra pergi ke laut, ayah dan ibunya hanya tidur-tiduran di gubuk. Tampaknya, mereka benar-benar sudah putus asa menghadapi kesulitan hidup. Keadaan demikian berlangsung selama sebulan, sehingga Indra merasa tubuhnya sangat lelah dan berniat untuk beristirahat beberapa hari.

Pada suatu hari, sepulang dari laut mencari ikan, Indra berkata kepada ayahnya:

“Ayah! Badanku terasa sangat letih. Bolehkah saya beristirahat untuk beberapa hari?” pinta Indra.

“Apa katamu? Dasar anak malas! Kamu tidak boleh beristirahat. Besok kamu harus tetap kembali ke laut mencari ikan,” ujar sang Ayah.

Oleh karena tidak ingin membatah perintah ayahnya, keesokan harinya Indra pergi ke laut mencari ikan. Ketika Indra berangkat ke laut, secara diam-diam ibunya juga berangkat ke laut. Tapi, ia menuju ke sebuah tanjung, agak jauh dari tempat Indra mencari ikan. Sementara ayahnya pergi ke hutan.

Menjelang siang, Pak Buyung kembali dari hutan dengan membawa seikat ijuk. Sesampainya di rumah, ia melihat istrinya sedang membersihkan pensi (sejenis kerang berukuran kecil).

“Sedang apa, Bu?” tanya Pak Buyung kepada istrinya.

“Sedang membersihkan pensi, Pak! Tadi ketika hendak mencari ikan di laut, aku melihat banyak warga dari kampung tetangga sedang mencari pensi. Akhirnya aku pun ikut mencari pensi bersama mereka,” jawab istrinya.

“Bagaimana cara memasaknya? Bukankah Ibu belum pernah memasak pensi sebelumnya? ” tanya Pak Buyung.

“Tenang, Pak! Kata seorang warga dari kampung tetangga, daging pensi enak jika dimasak pangek[1],” jelas istrinya.

“Wah, kalau begitu, kita makan enak siang ini,” ucap Pak Buyung sambil mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.

Setelah membersihkan pensi itu, sang Istri pun segera membuatkan bumbu dan memasaknya. Tak lama kemudian, aroma masakan pangek pun tercium oleh Pak Buyung.

“Wah, harum sekali aromanya. Istriku memang pintar memasak,” puji Pak Buyung seraya mendekati istrinya yang sedang masak di dapur.

“Bu, apakah pangek ini cukup kita makan bertiga?” tanya Pak Buyung.

“Tentu saja cukup,” jawab istrinya.

“Apakah Ibu sudah lupa kalau si Indra makannya banyak? Pangek ini pasti tidak cukup dia makan sendiri,” kata Pak Buyung.

`Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya istrinya.

“Bagaimana kalau kita makan diam-diam, selagi si Indra masih berada di laut,” saran Pak Buyung.

“Tapi, sebentar lagi dia pulang,” kata istrinya.

“Kalau dia pulang, pasti akan ketahuan.,” ucap Pak Buyung.

“Bagaimana Bapak bisa mengetahuinya!” tanya istrinya.

“Jika si Taduang berkokok, berarti si Indra telah pulang,” jawab Pak Buyung.

Sang Istri pun mengangguk-angguk mendengar jawaban suaminya. Keduanya pun menyantap pangek itu dengan lahapnya. Namun, baru makan beberapa suap, tiba-tiba ayam peliharaan Indra berkokok. Mendengar kokok ayam itu, kedua suami-istri itu segera mencuci tangan, lalu membereskan makanan dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke gubuk, ia melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai. Kedua orangtuanya terlihat tenang, seakan-akan tidak ada sesuatu yang terjadi.

“Hei, Indra! Mana ikan yang kamu peroleh?” tanya ayahnya.

“Maaf, Ayah! Hari ini aku tidak memperoleh ikan?” jawab Indra dengan wajah kusut.

“Kenapa kamu pulang kalau belum memperoleh ikan?” tanya ayahnya.

“Maaf, Ayah! Saya sangat letih dan lapar,” jawab Indra.

“Hei, apa yang bisa kamu makan kalau tidak memperoleh ikan?” sang Ayah kembali bertanya.

“Saya sudah berusaha, Ayah. Tapi belum berhasil,” jawab Indra.

“Ayah, Ibu! Adakah sesuatu yang bisa saya makan. Sekedar pengganjal perut,” pinta Indra kepada kedua orangtuanya.

“Tidak! Hari ini tidak ada makanan untuk anak pemalas,” kata ayahnya.

“Tapi, Ayah! Saya lapar sekali,” keluh Indra sambil memegang perutnya.

“Baiklah! Kamu boleh makan, tapi kamu harus mencuci ijuk ini sampai bersih,” sahut ibunya sambil menyerahkan ijuk yang tadi dibawa suaminya dari hutan.

Indra pun segera pergi ke laut mencuci ijuk itu karena ingin mendapatkan makanan dari kedua orangtuanya. Ketika Indra berangkat ke laut, kedua orangtuanya kembali melanjutkan acara makan mereka.

“Wah, meskipun baru kali ini Ibu memasak pangek pensi, tapi rasanya lezat sekali,” sanjung Pak Buyung kepada istrinya.

Sang Istri tersenyum mendengar sanjungan suaminya. Kemudian sepasang suami istri itu makan pangek dengan lahapnya. Mereka baru berhenti makan setelah perut mereka benar-benar sudah penuh. Selesai makan, mereka kembali menyembunyikan makanan yang masih tersisa di bawah tempat tidur. Tidak beberapa lama kemudian, si Taduang terdengar berkokok, pertanda tuannya telah kembali dari laut. Ketika masuk ke dalam gubuk, Indra melihat kedua orangtuanya masih sedang duduk bersantai.

“Bagaimana? Apakah ijuk itu sudah bersih kamu cuci?” tanya ibunya.

“Sudah, Bu,” jawab Indra sambil meletakkan ijuk itu di depan ibunya.

“Hah! Kenapa masih hitam begini? Kamu harus mencucinya hingga berwarna putih,” ujar ibunya.

“Tapi, Bu! Aku sudah berusaha mencucinya berkali-kali, bahkan aku menggosoknya dengan campuran pasir, tapi masih tetap berwarna hitam,” sanggah Indra.

“Ah, alasan saja! Cuci lagi ijuk itu ke laut!” seru ayahnya.

Dengan langkah sempoyongan, Indra pun kembali ke laut. Sesampainya di laut, ia terus berusaha mencuci dan menggosok ijuk itu hingga berkali-kali, tetapi tetap saja berwarna hitam. Rupanya Indra yang masih anak-anak tidak mengetahui jika ijuk itu memang pada dasarnya berwarna hitam. Meskipun ijuk itu berkali-kali dicuci dan digosok, tentu tidak akan pernah berwarna putih.

Menjelang senja, Indra kembali ke gubuknya. Ketika masuk ke ruang tengah gubuknya, ia tidak lagi melihat kedua orangtuanya duduk-duduk. Dengan pelan-pelan, ia melangkah menuju ke ruang dapur. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua orangtuanya sedang tertidur pulas di ruang dapur. Di sekeliling mereka berserakan piring makan, bakul nasi, dan panci pangek pensi yang telah kosong. Hanya kuah dengan beberapa cuil daging pensi yang tersisa.

Alangkah sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa kedua orangtuanya telah menipu dan membohonginya. Namun, sebagai anak yang berbakti, dia tidak ingin marah kepada mereka yang telah melahirkannya. Ia pun berjalan keluar dari gubuknya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Saat berada di luar gubuk, ia langsung menangkap ayam kesayangannya, si Taduang. Kemudian ia duduk di atas batu di samping gubuknya sambil mengusab-usap bulu si Taduang.

“Taduang! Rupanya Ayah dan Ibuku telah menipuku. Untuk apalagi aku tinggal bersama mereka di sini, kalau mereka sudah tidak menyayangiku lagi,” kata Indra kepada ayamnya.

Mendengar pernyataan Indra, ayam itu pun berkokok berkali-kali, pertanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya. Si Taduang kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya. Indra pun mengerti bahwa ayam kesayangannya itu akan mengajaknya pergi meninggalkan kampung itu. Dengan cepat, Indra pun segera berpegangan pada kaki si Taduang. Beberapa saat kemudian, si Taduang terbang ke udara, sementara Indra tetap berpegangan pada kakinya. Saat tubuh Indra terangkat, batu tempat Indra duduk itu juga ikut terangkat. Anehnya, semakin tinggi mereka terbang, batu itu semakin membesar. Akhirnya, si Taduang pun sudah tidak kuat lagi membawa terbang si Indra bersama batu besar itu. Melihat hal itu, Indra pun segera menyentakkan kakinya, sehingga batu besar itu melesat menuju ke bumi dan menghantam salah satu bukit yang ada di sekitar lautan. Hantaman batu itu membentuk sebuah lubang memanjang. Dengan cepat, air laut pun mengalir ke arah lubang itu dan menembus bukit, sehingga membentuk aliran sungai.

Konon, itulah yang menjadi asal mula Sungai Batang Ombilin, yang bermuara ke daerah Riau. Semakin lama air laut itu semakin menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi Danau Singkarak yang hingga kini menjadi kebanggaan masyarakat Solok. Sementara Indra yang diterbangkan oleh ayam kesayangannya, si Taduang, hingga kini tidak diketahui keberadaannya.

* * *

Danau Singkarak dan Sungai Ombilin

Demikian cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat suka mementingkan diri sendiri. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Pak Bujang bersama istrinya yang lebih mementingkan diri mereka sendiri dan melalaikan anak mereka yang sedang kelaparan. Akibatnya, mereka pun ditinggal pergi oleh anaknya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kerja beramai,

makan sendiri



Sumber:
Ivan Adilla. Cerita Rakyat dari Solok (Sumatra Barat). Jakarta: Grasindo. 2005.
Lukisan danau singkarak : SINGKARAK ; ERNST HAECKEL — One of the prints from Ernst Haeckel’s 1905 Wanderbilder (Travel Pictures),
http://empimuslion.wordpress.com/2008/04/09/382/
Read full post »

Tuesday, February 21, 2012

Si Batek dan Si Toulu (Si kura-kura dan si biawak)

0 comments
Cerita rakyat dari Pulau Mentawai

Black-knobbed Map Turtle, kura kura unik dari Amerika Serikat

Dahulukala hiduplah dua binatang Si Toulutoulu (kura-kura) dan Si Batekbatek (biawak). Pada suatu hari mereka membuka ladang bersama untuk bertanam pisang. Setelah beberapa hari mereka bekerja, mereka merambah ladangnya. Setelah itu mereka mencari bibit pisang untuk ditanam di ladang.
Karena mereka sudah semangat lagi, pergilah mereka mencari tanaman (bibit) pisang yang mau ditanam dalam kebun yang baru mereka babat itu. Ditengah perjalanan mereka menemukan sebatang pisang yang hampir berbuah. Si Toulu dan Si Batek sepakat membagi batang pisang itu.
Karena ingin cepat menikmati hasil, Si Batekbatek memilih bagian atas batang pisang yang sudah hampir muncul buahnya. Si Toulutoulu memilih bakkat-nya (pangkal pisang). Setelah batang pisang dibagi, hari itu juga mereka pergi menanam. Setelah itu mereka pulang kembali.
Beberapa minggu lamanya, tumbuhlah pisang milik Si Toulutoulu. Batang pisang Si Batebatek tidak tumbuh, malah sudah layu. Merasa bahwa tanaman pisang yang di tanam sudah tumbuh bagus, pergilah biawak untuk melihat. Dia kaget melihat batang pisangnya sudah mati. sedangkan batang pisang kura-kura tumbuh besar dan sudah berbuah.
Si batekbatek kemudian menemui Si Toulutoulu memberitahukan bahwa tanaman sahabatnya itu sudah tumbuh dan buahnya lumayan banyak.
“Sobat bagaimana kebun kita. Pisangmu tumbuh semua, sedangkan pisang saya mati!”,  katanya
“Saya tidak tahu”, jawab kura-kura.
Keesokan hari, pagi-pagi benar biawak pergi lagi melihat kebunnya. Dia berpikir, “Siapa tahu sudah tumbuh”. Sampai di ladang Si Batekbatek kaget, ternyata batang pisangnya sudah habis membusuk. Muncullah pikiran jahatnya.
“Seandainya pisang sahabatku sikura-kura ini sudah masak, aku langsung mencurinya dan kumakan sampai habis”.
Beberapa hari waktunya, pisang kura-kura masak satu sisir, waktu itu juga biawak langsung pergi menuju kebun sikura-kura. Dipanjatnya batang pisang itu.
“Mampuslah kau kura-kura tanamanku kau kasih ujungnya, kini pisangmu saya habisi semua”, kata biawak.
Setelah habis, pisang di makan si biawak dan sudah kenyang. Biawak pulang, besoknya lagi biawak pergi dan masih pagi-pagi benar sudah menuju kebun kura-kura. Untuk kedua kalinya biawak menemukan pisang hampir satu tandan yang masak. Semuanya di habisi. Menjelang sore biawak pulang dan bergembira karena kenyang dan puas makan pisang yang masak.
Satu hari jaraknya kura-kura pergi melihat kebunnya sudah termakan. Kura-kura pergi dari ladang sambil memikirkan buah pisangnya.  Di jalan dia bertemu Si Batekbatek.
“Sobat kamu tahu siapa yang memakan pisangku di ladang?”.
“Saya tidak tahu, dan saya tidak melihat mereka”, jawab biawak gelisah.
Tak banyak bicara, kura-kura  pulang dan langsung mengambil tali dan hari itu juga di buatnya tali penangkap (sesere). Rencana kura-kura membuat tali itu, supaya siapa yang mengambil dan memakan pisangnya tertangkap dan ketahuan.
Maka tibalah hari yang baru. Kura-kura pagi-pagi benar sudah pergi melihat pisangnya. ditengah kebun biawak sudah tertangkap di sesere. Biawak menangis dan berkata,”Apa-apaan ini! Ini kerja siapa!”
Setelah kura-kura mendengar bahwa ada suara, pergi lah kura-kura melihat biawak yang suka mencuri terus-terusan tertangkap. Kura-kura tertawak terbahak-bahak.
“ha.. ha.. ha…rupanya kamu yang sering makan pisang saya. Ha.. ha ha.. saat saya katakan siapa makan pisang saya, kamu berkata,” saya tidak tahu!”.
“Sobat lepaskan aku! Tolong aku! Aku takkan  makan lagi pisangmu ini, Saya janji”.
Kemudian kura-kura melepaskan jerat yang membelit si biawak. kemudian biawak itu turun. Sambil mereka berjalan, kura-kura menceriterakan semuanya pada sahabatnya.

Sumber:
http://aldest.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
http://serbater.blogspot.com/2011/02/kura-kura-terunik-dan-eksotik.html 
Read full post »

Nyanyian Burung Hantu

0 comments
Cerita Rakyat dari Kepulauan Mentawai

Mentawai Scops Owl, dalam bahasa latin di sebut Otus mentawi, dikenal dengan nama burung hantu mentawai adalah burung hantu endemik dari Pulau Mentawai

Di hutan Bat Kokok, pemukiman pertama orang-orang Katurei, Hiduplah dua ekor burung di pohon beringin. Salah satu Si Kemut, burung hantu, yang satu lagi bernama Si Turugou’gou’, burung ruak-ruak.
Kedua burung ini biasa bertengger di dahan pohon Beringin yang bernama Si Sokut. Kedua burung ini mempunyai perbedaan baik bentuk badan maupun cara dan waktunya mencari makan. Si Turugou’gou’ ‘ mencari makan di siang hari, tetapi Si Kemut mencari makan malam hari.
Pada suatu sore, ketika Si Turugou’gou baru pulang mencari makan, dilihatnya  Si Kemut sedang tidur dengan nyenyak. Sambil memanggut-manggut Si Turugou’gou’ bernyanyi mengejek
Si Kemut...Kemut si mata cekung
Ada orang pura-pura menari
Ada orang tidur siang bolong
Kalau malam keluyuran
Dasar memang burung hantu
Si Turugou’gou’ cepat-cepat terbang ke pohon lain setelah mengejek Si Kemut. Si Kemut kesal dengan ejekan itu. Dilemparnya ranting pohon ke arah Si Turugou’gou’, tetapi tidak kena. Si Kemut bertambah kesal. Walau begitu dia tidak mengejar Si Tutugou’gou’. Setelah menggeser sedikit tempat bertenggernya, Si Kemut melanjutkan tidur di sore itu.
Kini malam telah tiba. Si Turugou’gou’ sudah tidur dan Si Kemut pergi mencari makan. Memang demikianlah hidup burung hantu. Mereka tidur siang hari dan mencari makan di malam hari. Di waktu malam lah burung hantu biasanya berburu tikus dan binatang malam lainnya.
Saat fajar hampir merekah dan suara monyet di hutan sudah berbunyi, Si Kemut pulang. Dilihatnya Si Turugou’gou’ sedang tidur lelap. Si Kemut berpikir, inilah kesempatan untuk balas dendam. Maka dia pun bernyanyi.
Turugou’gou’ si ruak
Si betis kurus ada orang dia lari
Si Ruak-ruak sok pandai menari
Kakinya kotor sekali
Ejekan Kemut membangunkan si Turugou’gou’. Dia marah sekali pada Si Kemut. Sambil mengantuk Si Turugou’gou’ menyanyikan lagu ejekan Si Kemut. Si Kemut pun membalas menyanyikan ejekan. Mereka terus saling mengejek, hingga burung-burung lain yang tinggal di dahan dan ranting Si Sokut menjadi terganggu.
Akhirnya Si Kemut dan Si Turugou’gou’ bertengkar. Mereka ribut sekali. Burung-burung yang tinggal di pohon lain juga terganggu. Melihat kedua burung bertengkar sambil menuding dan menepuk dada, Si Sokut yang tadinya diam kini angkat bicara.
“Jangan bertengkar wahai sahabat-sahabatku. Jangan membeda-bedakan apalagi menghina kawan”, Si Sokut menasehati Si Kemut dan Si Turugou’gou’.
Mendengar Nasehat Si Sokut kedua burung yang hampir berkelahi kini berhenti dan saling minta maaf. Maka kedua burung itu, Si Kemut dan Si Turugo’gou’ kembali hidup tentram dan damai bersama Si Sokut, si pohon beringin. Walaupun berlainan jalan hidupnya.           
Dongeng ini biasa dibawakan oleh orang tua untuk mengantar tidur anak-anaknya. Konon menurut cerita orang tua dulu, burung hantu dan ruak-ruak pandai menari.  Nenek moyang orang mentawai meniru gerakannya. Turuk biasanya menirukan gerakan-gerakan hewan. Itulah yang dinamakan uliat. Makanya dalam gerakan turuk ada Uliat Kemut dan Uliat Turugou’gou’.


Sumber : 
http://aldest.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
Read full post »

Asal Mula Jerat

0 comments
Cerita rakyat dari Kepulauan Mentawai

Pada suatu hari seorang pemuda berburu di hutan. Hari itu dia sudah berjalan jauh, tetapi tidak seekor pun buruan yang didapatnya.

Sampai di suatu tempat, dia melihat seekor rusa. Diambilnya anak panah dan dibidikkan ke rusa itu. Anak panah dilepas dari busur dan melesat mengenai tubuh rusa. Tetapi rusa itu tidak mati, malah lari menjauh.

Pemuda tersebut mengejar dengan mengikuti jejak rusa tersebut. Sampai jauh dia mengikuti jejak rusa, tetapi rusa tersebut tidak ketemu. Karena kelelahan, si pemuda istirahat di pangkal batang enau.

”Hai sobat, apa yang kau cari?” terdengar sebuah suara.

Si pemuda mencari sumber suara itu. Dilihatnya di sekeliling hanya hutan dan belukar. Suara itu terdengar lagi. Si Pemuda kaget, ternyata suara itu berasal dari pohon enau tempat dia beristirahat. Dia pun menjawab pertanyaan pohon enau.

”Saya sedang mengikuti jejak rusa yang saya panah”, jawab si pemuda.

“Hai sobat, tak usah lah kamu cari. Rusa itu tidak mati. Ambillah ijukku, lalu kamu cuci. Jalinlah dan gunakanlah sebagai jerat penangkap rusa”, Kata pohon enau.

”Bagaimana caranya?” tanya si pemuda

”Aku akan tunjukkan cara membuat jerat serta pantangnya,” kata pohon enau

Pemuda itu melakukan apa yang diajarkan pohon enau. Berjam-jam lamanya dia menjalin ijuk dari pohon enau yang telah dibersihkannya. Setelah jerat itu selesai, si pemuda memasangnya di tempat yang biasa dilalui rusa. Si pemuda kembali lagi ke rumahnya dan menunggu rusa terperangkap dalam jerat yang baru dipasangnya.

Beberapa hari kemudian seekor rusa melintas ditempat si pemuda memasang jerat. Rusa heran melihat mahluk aneh yang belum pernah dilihatnya di daerah tersebut. Walau setiap saat dia melintasi daerah itu.

“Hai sobat, sedang apa sobat disini?,” kata rusa kepada jerat,

”Saya tinggal disini, sobat”, jawab jerat

Rusa tidak suka ada mahluk aneh di sekitar tempat dia mencari makan dan bermain. Diusirnya jerat tersebut. Tetapi jerat tidak mau pergi. Rusa marah dan mengancam jerat.

” kalau begitu ayo berkelahi. Siapa yang kalah harus meninggalkan daerah ini”, tantang rusa.

”Sekali lagi maaf kawan, saya tidak kuat berkelahi, sedangkan kamu mampu melewati beberapa bukit, lembah, rawa dan sungai sedangkan saya hanya disini saja coba lihat punggung saya ini sedang sakit”, jawab jerat.

”Jangan banyak alasan, ayo kita berkelahi,” desak rusa.

”Kalau begitu ulurkan tanganmu,” ujar jerat dengan lembut.

Lalu rusa memberikan tangannya dan jerat langsung menangkap tangan rusa tersebut dan menjepitnya erat erat.

”Lepaskan tanganku…..! lepaskan tanganku….!”, teriak rusa

”Kawanku rusa, walaupun punggungku sakit, kamu tidak akan ku lepas. Kalau bilou sudah berbunyi, berarti ibu saya sudah bangun untuk mempersiapkan ransum bapak saya. Kalau burung sri gunting gunung berkicau, bertanda bapak saya akan datang”, ujar jerat pada rusa.

Rusa sadar dia sudah terperangkap. Tapi tidak ada guna menyesalinya. Dia tidak bisa lepas dari ikatan kuat jerat yang dipasang si pemuda. Kini rusa hanya bisa pasrah menunggu si pemuda, yang di sebut “Bapak” oleh jerat.

Satu malam sudah berlalu dan fajar pun merekah di langit. Rusa masih terikat oleh jerat. Tidak lama kemudian terdengar suara bilou bersahutan. Para perempuan di kampung sudah sibuk memasak dan menyiapkan bekal suami dan anak lelaki mereka yang berangkat ke ladang atau ke hutan.

Beberapa lama kemudian rusa mendengar kicauan burung sri gunting gunung. Dia tahu bahwa si pemasang jerat sudah berada di hutan. Sesampai si pemuda di tempat dia memasang jerat, hatinya bersorak melihat seekor rusa sudah terperangkap. Dia berjanji akan mematuhi segala pantangan memasang jerat seperti yang sudah diajarkan pohon enau.
Ini adalah kisah tentang bagaimana terjadinya jerat, mentawai beserta pantangnya. Dalam cerita ini mengandung makna bahwa manusia (masyarakat) mentawai begitu dekat dengan alam, ada hubungan baik dan saling menghormati antar sesama makhluk hidup dengan menjaga keutuhan ekosistem. 


Sumber :
http://aldest.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
Read full post »

Friday, February 6, 2009

Asal Usul Danau Maninjau

0 comments

Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!

* * * * *

Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.

Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.

Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.

Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.

Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.

“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”

“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”

“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”

“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.

Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.

“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”

“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”

Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.

Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.

Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.

“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.

“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.

Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.

“Aduh, sakit...! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.

Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.

Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.

“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.

“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.

“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.

“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.

“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.

“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.

Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.

“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.

“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.

“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.

“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.

“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.

“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.

“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.

“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.

“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.

Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.

“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.

“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”

“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.

Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.

“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.

“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.

Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.

“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.

“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.

Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.

“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.

“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.

Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.

“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.

Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.

“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.

“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.

“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.

“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.

Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.

Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.

“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.

Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.

“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”

Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.

* * *

Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.

Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat


Sumber:
Ivan Adillah. Cerita Rakyat Dari Agam (Sumatra Barat). Jakarta: Grasindo. 2004.
photo danau maninjau : http://empimuslion.wordpress.com/2008/07/07/9-keajabain-alam-minangkabau/
Read full post »

Saturday, December 20, 2008

Kaba Anggun Nan Tongga

0 comments

Di jorong Kampung Dalam, Pariaman hiduplah seorang pemuda bernama Anggun Nan Tongga, yang juga dipanggil Magek Jabang dan bergelar Magek Durahman. Ibunya Ganto Sani wafat tak lama setelah melahirkan Nan Tongga, sedangkan ayahnya pergi bertarak ke Gunung Ledang.Ia diasuh saudara perempuan ibunya yang bernama Suto Suri. Sejak kecil Nan Tongga sudah dijodohkan dengan Putri Gondan Gondoriah, anak mamaknya. Anggun Nan Tongga tumbuh menjadi pemuda tampan dan cerdas. Ia mahir berkuda, silat, dan pandai mengaji Quran serta dalam ilmu agamanya.

Pada suatu hari terdengar kabar bahwa di Sungai Garinggiang Nangkodoh Baha membuka gelanggang untuk mencari suami bagi adiknya, Intan Korong. Nan Tongga minta izin pada Mandeh Suto Suri untuk ikut serta. Pada awalnya Mandeh Suto Suri tidak setuju, karena Nan Tongga sudah bertunangan dengan Gondan Gondoriah. namun akhirnya ia mengalah.

Di gelanggang Nan Tongga berhasil mengalahkan Nangkodo Baha pada tiap permainan: menyabung ayam, menembak maupun catur. Berang dan malu karena kekalahannya Nangkodoh Baha mengejek Nan Tongga karena membiarkan ketiga mamaknya ditawan bajak laut di pulau Binuang Sati. Mendengar kabar ini Nan Tongga pulang dengan hati sedih.

Nan Tongga bertekad untuk merantau mencari mamak-mamaknya: Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo dan Katik Intan. Sebelum pergi ia minta izin pada Mandeh Suto Suri dan tunangannya Puti Gondan Gondoriah. Gondoriah meminta Nan Tongga membawakannya benda-benda dan hewan-hewan langka sebanyak 120 buah. Beberapa di antaranya adalah seekor burung nuri yang bisa berbicara, beruk yang pandai bermain kecapi, kain cindai yang ‘tak basah oleh air, berjambul suto kuning, dikembang selebar alam, dilipat sebesar kuku, disimpan dalam telur burung’.

Nan Tongga berangkat berlayar dengan kapal bernama Dandang Panjang, ditemani pembantu setianya Bujang Salamat. Nakhodanya bernama Malin Cik Ameh. Setelah berlayar beberapa lama akhirnya mereka sampai di pulau Binuang Sati. Nan Tongga menyuruh kapal berlabuh di sana. Utusan Palimo Bajau, raja Pulau Binuang Sati, datang untuk mengusir Nan Tongga, namun ia menolak. Dalam pertempuran yang pecah kemudian Bujang Salamat berhasil membunuh Palimo Bajau. Pulau Binuang Sati pun takluk.

Nan Tongga menemukan salah seorang mamaknya, Nangkodoh Rajo, dikurung dalam kandang babi. Nangkodoh Rajo menceritakan bahwa kedua mamak Nan Tongga lainnya, Katik Intan dan Makhudum Sati berhasil meloloskan diri ketika pertempuran di laut dengan lanun anak buah Palimo Bajau. Ia juga memberitahukan bahwa burung nuri yang pandai berbicara ada di Kuala Koto Tanau.

Kemudian Nan Tongga menyuruh Malin Cik Ameh pulang ke Pariaman menggunakan kapal rampasan dari Binuang Sati, dan memberi pesan ke kampung halaman bahwa Nangkodoh Rajo sudah dibebaskan. Ia sendiri berlayar dengan Dandang Panjang bersama Bujang Salamat ke Koto Tanau. Namun ketika bertemu Gondan Gondoriah ia terpesona pada kecantikan tunangan Nan Tongga itu. Ia lalu bercerita bahwa Nan Tongga ditawan oleh Palimo Bajau. Ia juga berkata Nan Tongga berpesan Malin Cik Ameh dijadikan pemimpin di kampungnya. Malin Cok Ameh lalu dirajakan di sana. Ia mengirim utusan untuk meminang Gondan Gondoriah namun ditolak dengan alasan masih berduka atas tertangkapnya Nan Tongga.

Sementara itu di Koto Tanau Anggun Nan Tongga menemukan pamannya yang lain menjadi raja di sana. Putri pamannya Puti Andami Sutan memiliki seekor burung nuri yang pandai berbicara. Nan Tongga lalu mencoba meminta burung tersebut. Dengan halus Andami Sutan mengisyaratkan Nan Tongga hanya dapat mendapatkan burung nuri ajaib tersebut dengan mengawini dirinya. Tak dapat menemukan cara lain Nan Tongga pun menikahi putri tersebut.

Burung nuri ajaib itu kemudian lepas dari sangkarnya dan terbang ke Tiku Pariaman. Di sana ia menemui Puti Gondan Gondoriah yang gundah mendengar tunangannya menikah dengan Andami Sutan.

Nan Tongga tidak dapat menahan rindunya pada kampung halaman dan tunangannya. Ia meninggalkan istrinya Andami Sutan yang sedamg hamil. Ketika Gondan Gondoriah mendengar kabar bahwa Anggun Nan Tongga sudah pulang ia lari ke Gunung Ledang. Anggun Nan Tongga kemudian mengejar dan membujuknya untuk pulang. Gondoriah akhirnya luluh hatinya dan kembali bersama Nan Tongga.

Ketika hendak menikah Nan Tongga dan Gondan Gondoriah bersama Bujang Selamat pergi mencari Tuanku Haji Mudo untuk meminta restu. Namun Tuanku Haji Mudo berkata bahwa Nan Tongga dan Gondan Gondoriah adalah saudara sepersusuan, karena Nan Tongga pernah menyusu pada ibu Gondan Gondoriah. Menurut hukum Islam berarti Nan Tongga dan Gondan Gondoriah tidak boleh menikah di dunia ini dan hanya dapat berjodoh di akhirat.

Karena belum juga pulang orang tua Nan Tongga dan Gondan Gondoriah mengirim orang untuk mencari Nan Tongga dan Gondan Gondoriah. Mereka menemukan Bujang Selamat sendiri yang berkata bahwa Nan Tongga, Gondan Gondoriah, dan Tuanku Haji Mudo sudah naik ke langit

Sumber : http://bramazz.wordpress.com/2007/11/26/kaba-anggun-nan-tongga/

Read full post »

Friday, December 19, 2008

Si Malin Kundang

0 comments
Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.


Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nalayan. Ibunya suah tua ia hanya bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya unuk mengabobati Malin dengan mendatangkan tabib.

Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.

Ketika sudah dewasa, Malin berpamitan kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada saat itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis.

“Bu, ini kesempatan yang baik bagi saya,” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita sehingga kita akan menjadi kaya raya.”

Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.

Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar. Ia mengadahkan kedua tangannya ke aas sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.

Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa Malin bahwa sekarang malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.

“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih MANDE RUBAYAH tiap malam.

Namun hingga berbulan – bulan semenjak ia menerima kabar malin belum juga datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.

Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat – tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.

Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda mudi berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.

Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si Malin Kundang.

Belum lagi tetua desa sempat menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia langsung memeluk malin erat – erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.

“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira.

“Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”

Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang – camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya kemana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”

lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?”

Mendengar kata – kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”

Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”

Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, Ya Tuhan ...!”

Tidak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal malin kundang. Disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.

Ketika mathari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Demikianlah sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. “Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuun... Buuuuu ... !” konon itulah suara si Malin Kundang.

Orang yang durhaka kepada orang tuanya terutama kepada ibunya, orang tersebut tidak akan bisa masuk surga kecuali setelah mendapat pengampunan dari ibunya.


Read full post »
 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger