Tuesday, November 29, 2011

Cendrawasih

0 comments
Burung Cendrawasih

Di daerah Fak-fak tepatnya, pegunungan Bumberi hiduplah seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama anjing itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam.

Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah. Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan kenyang.

Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh di perutnya. Perut anjing itu mulai membesar. Perempuan tua itu memastikan bahwa, ternyata sahabatnya (anjing betina) itu bunting.Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu, si perempuan tua itu segera memungut buah pandan untuk dimakannya, lalu mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh sahabatnya. Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu memelihara mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki diberi nama: Kweiya.

Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, dia mulai membuka hutan dan membuat kebun untuk menanam makanan dan sayuran. Alat yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah sebuah pahat (bentuk kapak batu). Karenannya, Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap harinya. Ibunya ikut membantu dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Setiap kali, hutan lebat itu dihiasi dengan kepulan asap tebal yang membumbung tinggi. Keduanya tidak menyadari bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan mengadakan kepulan asap itu.
Konon ada seorang pria tua yang sedang mengail di tengah laut terpaku melihat suatu tiang asap yang mengepul tinggi ke langit seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Dia tertegun memikirkan bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Karena perasaan ingin tahu mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun segera menyiapkan diri dengan bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat. Pria itu berangkat bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama. Perjalanannya ternyata cukup memakan waktu. Setelah seminggu berjalan kaki, akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.

Setibannya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah seorang pria tampan membanting tulang menebang pohon di bawah terik panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak batu berbentuk pahat. Melihat itu, ia menghampiri lalu memberi salam: “weing weinggiha pohi” (artinya selamat siang) sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang pohon-pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohonpun berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang beristerahat di pondoknya menjadi heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia menebang pohon itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.

Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang itu. Kemudian ia menjawab bahwa kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat singkat. Ibunya yang belum sempat melihat pria itu percaya bahwa apa yang diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar. Dan karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria tadi untuk ikut makan ke rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya sehingga dapat diterima sebagai teman hidupnya.

Dalam perjalanan menuju rumah Kweiya memotong sejumlah tebu yang lengkap dengan daunnya untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di dekat rumah, Kweiya meletakkan, “bungkusan tebu” itu di luar rumah. Sewaktu ada dalam rumah Kweiya berbuat seolah-olah haus dan memohon kepada ibunya untuk mengambilkan sebatang tebu untuk di makannya sebagai penawar dahaga. Ibunya memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi ketika ibunya membuka bungkusaan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat seorang pria yang berada di dalam bungkusan itu. Serta-merta ibunya menjerik ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya dengan cara itu. Harapan agar ibunya mau menerima pria tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka nanti. Sang ibu serta merta menerima baik pikiran anaknya itu dan sejak itu mereka bertiga tinggal bersama-sama.

Setelah beberapa waktu lahirlah beberapa anak di tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua orang tua itu menganggap Kweiya sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir kemudian dianggap sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan selanjutnya dari hari ke hari hubungan persaudaraan antara mereka semakin memburuk karena adik-adik tiri dari Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.

Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari ikan, kedua adiknya bersepakat mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya sehingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya menyembunyikan diri di salah satu sudut rumah sambil meminta tali dari kulit pohon “Pogak nggein” (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka pulang ditanyakan di mana Kweiya tetapi kedua adik tirinya tidak berani menceritakan di mana Kweiya berada. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak perempuan yang sempat menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya kepada kedua orang tua mereka. Mendengar cerita itu si ibu tua merasa ibah terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang. Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi: “Eek..ek, ek, ek, ek!” sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya lalu meloncat-loncak di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas salah satu dahan pohon di dekat rumah mereka.

Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu-sedu sambil bertanya-tanya apakah ada bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian untuk ibunya ada dan disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu tua itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalan itu disisipkan pada ketiaknya lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi di hutan rumah mereka. Keduanya bertengkar di atas pohon sambil berkicau dengan suara: wong, wong, wong, wong, ko,ko, ko, wo-wik!!

Dan sejak saat itulah burung cenderawasih muncul di permukaan bumi di mana terdapat perbedaan antara burung cenderawsih jantang dan betina. Burung cenderawasih yang buluhnya panjang di sebut siangga sedangkan burung cenderawasih betina disebut: hanggam tombor yang berarti perempuan atau betina. Keduanya dalam bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.

Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu meresa menyesal lalu saling menuduh siapa yang salah sehingga ditinggalkan ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi kelabu hitam, ada yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba dengan warnanya masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang menarik di bandingkan cenderawasih.

Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh mengganti warna buluh, namun mereka tidak mau. Ayah mereka khawatir buluh yang indah itu justru mendatangkan mala petaka bagi mereka. Dia berpikir suatu ketika orang akan memburuh mereka termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah merasa kecewa kerena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah buluh. Kini Ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu, menjemburkan dirinya ke dalam laut dan menjadi penguasa laut “Katdundur”.
---------------------------------------------
Sumber: Penyesuaian dari Depdiknas--Cerita Rakyat Papua, (1883;23-26)
Read full post »

Terjadinya Pohon Kelapa

0 comments


 

Pada zaman dahulu hiduplah seorang laki-laki bernama Mora dengan istrinya yang cantik bernama Taribuy. Mora dan Taribuy adalah manusia pertama yang mendiami pulau Moor. Selama bertahun-tahun mereka berdua hidup ditengah-tengah hutan pulau karang itu. Kehidupan mereka hanya bergantung pada tumbuh-tumbuhan hutan dan hasil kebun mereka seperti tunas bambu (rebung), buah dan daun genemo, serta kacang merah dan kacang hijau.
Perjalanan hidup perkawinan dua sejoli suami istri ini berlangsung aman, damai dan sejahtera bertahun-tahun lamanya. Hanya masih tersisa satu keinginan mereka berdua kepada sang pencipta, yaitu mereka ingin memperoleh anak. Sang pencipta mendengar keinginan mereka, maka pada suatu hari Taribuy merasakan suatu perubahan dalam dirinya. Pada awalnya ia masih bertanya-tanya apakah gerangan yang dia alami ini, setelah di renungkan akhirnya dia tau kalau yang dialami ini adalah jawaban dari sang pencipta akan keinginannya dan suaminya selama ini. Ia memahami bahwa didalam dirinya telah berlangsung suatu proses kehidupan, benih hasil cinta kasih antara dirinya dan suaminya selama bertahun-tahun. Ia hamil! Keadaan ini makin di rasakan ketika usia kehamilannya memasuki bulan ketiga dan keempat. Begitu Mora mengetahui bahwa istrinya sedang mengandung,betapa gembiranya dia sehingga dia mengambil keputusan untuk melakukan semua pekerjaan yang biasa mereka lakukan berdua. Sedang istrinya diharuskan tinggal di rumah menjaga keselamatannya dan juga bayi yang ada di kandungannya. Mora sangat bahagia dengan kehamilan istrinya dan dia sangat bersemangat mengolah kebun serta usaha yang lainnya.
Tak terasa tibalah waktunya istrinya Taribuay akan melahirkan. Mereka berdua mempersiapkan segala sesuatu untuk kelahiran anak mereka. Akhirnya Taribuay melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama “Reio” yang artinya “kasihan dia”.
Hanya kebahagian yang selalu ada dalam kaluarga ini. Waktu terus berlalu hingga Reio sudah berumur lima tahun. Pertumbuhannya sangat di perhatikan oleh kedua orang tuanya. Mereka begitu bangga terhadap anak laki-laki mereka satu-satunya itu. Kehadirannya sungguh menyenangkan hati mereka, menjadi penghibur dikala kepenatan datang menghantui mereka.
Sayangnya, sang pencipta berkehendak lain! Mora ayah Reio mulai jatuh sakit. Sakitnya tak terobati, walaupun telah di lakukan berbagai usaha untuk mengembalikan kesehatannya. Segala usaha mereka tidak membuahkan hasil. Akhirnya Mora meninggal dunia, meninggalkan Taribuy dan Reio.
Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir Mora memanggil istrinya dan berkata: “Bila saya meninggal, kuburlah jenazah saya di halaman rumah dan kau jaga serta bersihkan. Kalau ada tumbuhan yang tumbuh di situ, kau jaga dan rawatlah dengan baik karena tumbuhan itu dapat menjamin kehidupan kalian berdua”. Taribuy dan Reio dengan tekun melaksanakan amanah yang dibebankan oleh Mora. Hari berlalu bulan pun berganti, Reio dengan setia menjaga pusara ayahnya sambil menanti apa yang akan terjadi seperti apa yang di pesankan ayahnya sebelum meninggal.
Akhirnya pada suatu malam, tumbuhlah sebatang pohon di antara pusara ayahnya, tepatnya di bagian kepala pusara ayahnya. Pohon itu dirawat dan di pelihara dengan baik, sehingga makin hari makin besar dan akhirnya berbuah. Reio dan ibunya Taribuy yang tidak pernah melihat pohon dan buah tersebut, merasa heran melihat bentuk dan jenis buah yang dihasilkan pohon tersebut.
Sambil memegangi buah dari pohon tersebut Reio mulai mereka-reka apa yang akan dilakukan dengan buah tersebut. Akhirnya dia mulai menguliti buah itu. dia mulai menguliti kulit serabut buah yang sangat tebal dan dibalik kulit itu ternyata masih ada tempurung yang cukup keras. Setelah memecah tempurungnya maka terlihatlah isinya yang berwarna putih, yaitu daging kelapa. Dan pada buah yang masih muda dagingnya lembut dan pada buah yang sudah tua dagingnya agak keras. Walau demikian tidak terlalu jauh berbeda cita rasa antara keduanya. Maka buah yang berasal dari pohon yang tumbuh di bagian kepala pusara Mora itu mencitrakan dirinya sendiri. Sabut kelapa mencitrakan rambutnya, tempurungnya mencitrakan tulangnya, mata dan mulut dicitraka pada tiga lubang yang biasanya terdapat di bagian puncak buah, dan air yang terdapat di dalam tempurung mencitrakan darahnya. Sedangkan isi dari buah itu mencitrakan daging dari tubuh Mora, dan tombong atau bakal tunas mencitrakan jantungnya. Buah itu di beri nama dalam bahasa Moor “ Nera” yang artinya kepala Mora.
Dengan demikian bertambahlah perbendaharaan tanaman yang mereka miliki. Buah kelapa dengan dagingnya yang enak rasanya, air kelapa yang di minum menyegarkan, serta daun dan buah genemo yang di masak dengan santan kelapa terasa nikmat bila di makan. Itulah sebabnya sampai saat ini orang Moor suka sekali makan buah kelapa dan sayur daun genemo.*

Sumber :
http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/03/27/terjadinya-pohon-kelapa/
Read full post »

Asal Mula Telaga Werabur

0 comments
Desa Werabur terletak di Kec. Windesi Kabupaten Teluk Wondama Papua Barat.
 
Menurut cerita, dahulu suku Wekaburi mendiami kali sekitar Wekaburi,penduduknya bermaksud mengadakan pesta adat di kampungnya. Untuk meksud tersebut sebelumnya mereka harus menyediakan bahan perlengkapan yang dibutuhkan, antara lain membangun rumah, menyediakan makanan dan lain sebagainya.
Hari penentuan pelaksanaan pesta telah tiba maka berdatanganlah masyarakat dari suku Kandami, Wettebosy, Sakarnawari dan Torambi yang mendiami daerah Azas untuk merayakan pesta yang dimaksud.
Para pengungjung dan undangan dipersilakan mengambil tempat dalam rumah adat yang telah dipersiapkan. Dari sekian banyak orang itu, turut hadir pula nenek tua bersama cucunya yang bernama ISOSI. Sang nenek membawa pula anjing kesayangannya ke pesta tersebut. Acara pesta sudah dimulai dan berjalan dengan merih sekali. Sementara anjing sang nenek sedang tidur nyenyek di pinggir api yang disediakan untuk berdiang. Berhubung banyak orang yang menari-nari dan bersuka-sukaan, maka terinjaklah anjing kesayangannya. Anjing itu menjerit-jerit kesakitan.

Melihat peristiwa itu si nenek sangat marah, sebaba anjing kesayangannya terinjak oleh mereka. Dengan demikian ia membawa anjing itu ke dalam kamar lalu diikatkan cawat ke anjingnya. Setelah itu ia keluar sambil memeluk anjing itu serta menari-nari dalam pesta.Sang nenek tau bahwa perbuatannya itu adalah suatu pelanggaran. Karena menurut nenek moyangnya apabila penduduk berbuat demikian akan mendatangkan kilat,guntur dan hujan. Oleh sebab itu ia cepat-cepat mengambil puntung api lalu disembunyikan dalam seruas bambu,supaya tidak kelihatan oleh orang banyak. Setelah itu ia bergegas untuk keluar sambil memanggil cucunya supaya segera mengikutinya. Mereka mengikuti jalan tapak lalu mendaki gunung Ainumuwasa pada malam itu juga.

Di antara sekian banyak pemuda yang hadir dalam pesta itu ada seorang yang bernama ASYA. Sewaktu Asya melihat Isosi meninglkan ruangan maka iapun segera menyusul gadis idamannya. Ketika mereka berada di gunung Ainumuwasi, dilihatnyan keadaan cuaca alam sudah mulai memburuk. Tidak berapa lama disusul dengan kilat, guntur dan hujan di hulu kali Wekaburi yang makin lama makin hebat, sehingga terjadilah banjir dashyat.

Walaupun hujan lebat namun keadaan pesta semakin hangat dan meriah sehinggah terlupakan bahaya yang sedang mengancam. Banjirpun makin lama semakin tinggi akhirnya mencapai lantai rumah. Para pengunjung kelam kabut hendak mencari jalan untuk melupuykan diri dari bahaya tersebut. Tetapi terlambat karena banjir telah menghanyutkan rumah dan seluruh isinya ke muara.

Keesokan harinya si nenek,Isosi dan Asya turun dari gunung untuk melihat kejadian yang telah terjadi semalam itu. Setibanya di sana mereka tidak melihat rumah adat itu lagi. Orang- orangnya telah mati dan menjelma menjadi katak dan buaya. Sekarang si nenek merasa puas dengan perbuatannya.

Untuk mengisi daerah kosong itu maka atas kebijaksaan si nenek, Isosi cucunya dikawinkan dengan Asya, setelah kawin mereka membangunun sebuah rumah yang besar dan panjang dan diberi nama ANIOBIAROI. Dari perkawinan Asya dan Isosi lahir banyak anak yang kemudian saling kawin sehinggah rumah itu makin lama penuh sesak. Oleh sebab itu atas kebijakan Asya disambung rumah aniobiroi itu dan diberi nama MANUPAPAMI.

Tahun berganti tahun dan rumah manupapami yang diperkirakan dapat menampung sekian banyak orang itu, pada akhirnya penuh sesak lagi. Melihat keadaan itu maka Asya mengambil kebijaksanaan lagi untuk menyambung rumah aniobiroi kemudian diberi nama YOBARI. Walaupun rumah itu sudah dua kali disambung, namun tetap tetap, tidak dapat menampung juga semua orang yang berada di Aniobiaroi, Manupapami maupun Yobari.

Oleh sebab itu untuk ketiga kalinya Asya menyambung lagi kemudian diberi nama SONESYARI dan KETARANA. Karena rumah itu sudah berkali-kali disambung menjadi Manupapami, Yobari, Sonesyari dan Ketarana, namun tidak tertampung juga semuanya. Akhirnya bersepakatlah mereka untuk memutuskan sebagian penghuninya keluar dari rumah- rumah tersebut,kemudian pergi mencari tempat tinggal baru guna membangun rumah bagi anggota-anggotanya.

Dengan demikian dari rumah Manupapami keluarlah orang-orangnya yang kemudian menjadi WETTEBOSY. Dari rumah Yobari keluarlah orang-orang yang kemudian menjadi suku WEKABURI. Sedangkan dari rumah Sonesyari dan Keterana menjadi suku TOREMBI. Tempat baru yang didiaminya diberi nama “WERABUR” yang artinya kampung yang terletak di atas air. Jadi kata WER adalah asal dari nama NEMBIWER yang berarti air sehinggah orang-oramg Nambi memberi nama WERABUR. (*)

Sumber :
http://tabloidjubi.wordpress.com
http://www.kaskus.us/showthread.php?p=439697616
Read full post »

Sunday, February 8, 2009

Asal Mula Nama Irian

0 comments
Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Manana­­­­makrdi melawan, tak segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah darat­an yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.

Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.

“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.

“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,” katanya memohon.

“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.

“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian me­lepaskan Sampan.

Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.

Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.

Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.

Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci. Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.

Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama ke­­mudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.

“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.

“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.

“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.

Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.

Penulis: Daryatun

Sumber :
Buku 366 cerita rakyat nusantara
Read full post »

Monday, December 22, 2008

Ker Araucasam; Bertemu Jodoh

0 comments
Ker dan adik-adiknya bersyukur telah luput dari wanita berkaki sabit. Hal itu berarti perjalanan mereka masih berlanjut ke muara sungai. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sorak sorai suara wanita, mereka sedang berlomba mendayung ke arah batang kayu yang ditumpangi oleh Ker dan adik-adinya. Rupanya wanita-wanita itu mempunyai tujuan yang sama dengan rombongan janicepes sebelumnya. Mereka berusaha menyeret batang kayu itu ke tepi sungai untuk dijadikan kayu bakar.
Ker dan adik-adiknya mengintip dari lubang batang kayu, dilihatnya wanita-wanita itu mempunyai cacat yang sama dengan para jenicepes sebelumnya. Mereka sama-sama mempunyai kaki yang berbentuk sabit. Ker dan adik-adiknya mempergunakan muslihat yang sama untuk mengusir para wanita-wanita itu. mereka memperdengarkan suara lebah, wanita-wanita itu segera menyingkir.
Ker dan adik-adiknya selamat untuk kedua kalinya. Mereka masih sempat menikmati pelayaran ke suatu tempat yang meereka belum ketahui. Beberapa hari kemudian mereka pun mencapai muara sungai.mereka begitu mengagumi keindahan pantai, mereka mengagumi lautan yang luas, mereka terpasona oleh ombak yang bergulung-gulung dan pecah di atas pasir.
“Perahu’ mereka telah tiba di muara sungai yang tenang, air tidak mengalir lagi, muara sungai itu sangat lebar. Mereka belum dapat memutuskan ke tempat mana mereka akan turun. Mereka tetap tinggal diatas perahu itu selama beberapa hari. Mereka menikmati keindahan pagi dan senja di muara sungai itu. tak terasa matahari mulai menyengat kulit. Mereka berusaha agar batang kayu yang mereka tumpangi dapat menepi. Mereka ingin mencari makanan pengisi perut yang mulai terasa lapar. Batang kayu itu berhasil di bawa ke tepi sungai. Ker dan adik-adiknya lalu berlompatan ke darat. Kemudian mereka menuju pantai, mereka mencari kepiting dan bia(kerang dan siput) untuk dimakan. Mereka menemukan kepiting dan bia yang banyak di pantai.
Sesudah makan mereka beristirahat sambil melonjorkan badan masing-masing. Rupanya selama beberapa hari mengarungi sungai meereka hanya duduk saja di atas batang kayu yang mereka tumpangi. Mereka beristirahat sambil menikmati hembusan angin laut.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh riuh sekelompok wanita. Ker dan adik-adiknya menoleh kearah datangnya suara itu. terlihat beberapa orang wanita sedang mengayuh lepah-lepah ke arah batang kayu mereka. Mereka mengintip tingkah laku wanita-wanita itu. perbuatan Ker dan adik-adiknya tidak diketahiu oleh para wanita itu.
Para wanita muda itu dalam bahasa Asmat disebut tarcepes. Mereka mendayung terus ke arah batang kayu itu kemudian menariknya. Mereka gembira sekali karena kayu itu ternyata baik sekali untuk dijadikan kayu bakar. Ranting-rantingnya mulai dipotong, lalu cabang-cabang yang agak besar. Ayunan kapak dan parang para wanita itu membuat semua batang kayu bergetar. Tapi Ker dan adik-adiknya tidak merasa gentar. Kemudian ia mengintip dari dari lubang kayu, lalu menggamit adik-adiknya untuk turut mengintip wanita-wanita itu.
Para wanita yang datang itu tidak seperti para wanita yang mereka jumpai sebelumnya. Mereka tidak mempunyai cacat di tubuhnya dan sangat cantik sehingga menarik hati Ker dan adik-adiknya. Setelah memotong ranting kayu para wanita itu beristirahat untuk makan. Setelah makan tercepes yang paling tua menyuruh adik-adiknya peregi ke dusun sagu. Mereka disuruh mencari ulat sebagai lauk untuk makan sore nanti. Setelah adik-adiknya masuk ke dusun sagu tinggallah tercepes yang sulung
Sendirian. Setelah beristirahat ia mulai membelah kayu bakar. Dengan rajinnya ia membelah dan mengerat-erat batang kayu itu. tiada beberapa lama, ia telah sampai pada lubang kayu untuk mengerat pada bagian itu.
Ketika akan mengayunkan kapanya tercepes sulung itu terkejut, dari dalam lubang kayu itu muncul kepala manusia, hampir saja kapaknya mengenai kepala itu. dengan terkejut ia memperhatikan kepala manusia yang telah muncul seluruhnya itu. lalu bertanya. “ siapa gerangan ini hai manusia? Rupamu sangat begitu aneh.”
Kebetulan kepala yang dilihat tercepes itu adalah kepala Ker. Dengan senyum Ker menjawab pertanyaan tercepes itu. “ saya adalah tamu saudara, lebih baik kamu memperkenalkan diri lebih dulu, sebelum saya memperkenalkan diri.”
Lalu si wanita tercepes itu memperkenalkan dirinya. ‘ saya adalah Tar, saya mempunyai beberapa orang adik. Mereka sedang mencari ulat sagu ke dusun sagu sana. Kami membelah kayu untuk dijadikan kayu bakar.”Ker pun mulai tau kalau wanita-wanita itu adalah kakak beradik.
Oh kalau begitu kamu tidakm sendirian. Berapa jumlah adik-adikmu? tanya Ker, seakan-akan tidak tau. “ kami semua ada enam orang, saya yang paling tua, adik-adik saya bernama Tarop, Bini, Moti, Naku, dan Babot.” Jelas Tar si tercepes sulung. Nama kalian bagus-bagus sama dengan wajah kalian. Kata Ker sambil tersenyum penuh arti.
Ketika Tar melihat Ker memandanginya terus menerus ia berkata. “ jangan melihat saya seperti itu, sekarang katakana siapa namamu dan cepat keluar dari tempat itu. adik-adik Ker yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka saling berdesakan. Mereka ingin melihat wajah Tar lebih jelas. Kerena tingkah laku mereka demikian maka Ker terdorong keluar. Beberapa wajah mereka terlihat oleh Tar. Alangkah terkejutnya dia ketika dia tau bahwa Ker tidak sendirian. Melihat Tar agak bingung Ker berusaha menenangkannya dengan berkata.
“Sekarang kamu tau kalau saya tidak sendirian, nama saya Ker dan itu adalah adik-adik ku.” Wajah Tar kembali berubah jadi cerah ketika ia tau bahwa adik Ker semuanya laki-laki. Kemudian ia memohon agar Ker dan adik-adiknya keluar dari lubang kayu ia akan kembali melanjutkan membelah batang kayu itu. alangkah girangnya hati Tar. Ia akan mengajak Ker dan adik-adik nya kerumahnya. Ia akan membuat kejutan pada adik-adiknya , demikian juga pada orang-orang sekampungnya. Sepanjang sejarah di kampung mereka belum pernah ada laki-laki perjaka menjadi suami seorang gadis.
Maka Ker dan adik-adiknya yang juga telah tertarik pada Tar dan adik-adiknya pergi bersama ke kampung Tar. Rupanya seorang adik Ker tertinggal karena tertidur. Mereka hanya berjumlah lima orang. Setibanya di rumah Tar menyembunyikan ke lima laki-laki itu di dalam gulungan tikar masing-masing adiknya. Ia membagi kelima laki-laki itu. sesuai dengan umur yang berurutan.
Hari telah petang ketikan adik-adik Tar tiba di rumah. Mereka telah kembali dari hutan sagu dengan membawa ulat sagu yang telah di kumpulkan. Juga masing-masing dari mereka membawa seikat kayu yang ditinggalkan Tar di tempat membelah kayu tadi. Setiba di rumah mereka sangat lelah. Setelah meletakkan bebannya yang terdiri dari sebungkus ulat sagu dan seikat kayu di pinggir perapian, mereka lalu pergi ketempat masing-masing untuk beristirahat. Ketika tikar mereka di buka untuk digelar, maka para tercepes itu terperanjat. Dari dalam gulungan tikar itu muncul laki-laki, mula-mula para tercepes itu ketakutan dan bingung, tapi setelah mendapat penjelasan dari Tar, maka mereka sangat gembira. Kecuali adik yang bungsu, ia merasa kecewa dan iri hati. Tercepes bungsu itu menangis terisak-isak ia sangat merasa terhina dalam keluarga itu. padahal kenyataannya dialah yang paling cantik.
Semalam suntuk tercepes bungsu yang bernama Babot itu tidak dapat memejamkan mata. Ia berharap agar malam itu cepat bertukar siang, ia ingin pergi cepat dari rumah itu. keesokan hari ketika matahari mulai turun menerangi bumi, ia telah bangun, ia bersiap-siap mengambil kapaknya lalu pergi mencari kesibukan untuk menghilangkan rasa kecewa dan kesedihannya. Kayu bakar belum terangkut semua. batang kayu pun belum terbelah seluruhnya. Bobot lalu ke tepi sungai ia pun tiba di batang kayu itu.
Kemudian ia mulai membelah batang kayu itu. suara kapaknya menggema di pagi buta. Bunyi kapak serta getaran kayu yang dibelah Babot telah membangunkan seorang adik Ker yang tertidur di situ sejak kemarin. Ketika Beiribit membuka matanya ia tidaka melihat siapapun, mula-mula ia berfikir bahwa kakak-kakaknya akan menganiayanya.
Beberapa saat ia berusaha menerka keman gerangan kakak-kakaknya pergi. Perlahan-lahan ia bangkit, lalu mengintip dari lubang batang kayu. Ia melihat seorang perempuna sedang memotong dan membelah batang kayu. Lalu ia memberanikan diri keluar dari lubang batang kayu itu dan bertanya dengan sopan nya pada Babot.
“ hai, perempuan mengapa sepagi ini kau membelah kayu?suara kapak mu telah membangunkan aku dari tidur ku.
Beberapa saat Babot terkejut. Ia heran melihat Beirbit yang berdiri di hadapnnya. Ia berfikir, dari mana gerangan orang ini datang? Tanpa disadarinya lelaki itu telah berdiri dihadapannya. Melihat Babot agak terkejut dan bingung, Beirbit kemudian berkata lagi. “Mari saya tolong membelah kayu itu.”
Setelah mendengar Beirbit berkata demikian, barulah Babot merasa tenang. Ia sangat gembira Beirbit adalah seorang lelaki yang sejak kemarin didambakannya. Tercepes bungsu itu mulai tersenyum, ia lalu menceritakan tentang kakak-kakaknya yang sangat beruntung. Mereka mendapat teman hidup dan akan tinggal terus menjadi suami istri. Kemudian ia memohon agar Beirbit mau mengikuti dia pulang ke rumah. Lalu pemuda itu membantunya membawa pulang kayu bakar.
Setibanya mereka di rumah kakak-kakak Babot dan kakak-kakak Beirbit sangat tercengang. Mereka melihat keduanya datang beriringan, mereka kagum melihat pasangan muda-mudi yang serasi itu. Babot lebih cantik dari kakak-kakaknya begitu pula dengan Beirbit yang lebih tanpan dari kakak-kakak nya. Akhirnya Ker dan saudara-saudaranya dapat hidup bersama. Mereka memperistrikan wanita-wanita yang juga bersaudara, mereka hidup bahagia selama bertahun-tahun dan memperoleh keturunan dari hasil perkawinanan itu. (Bersambung)

Sumber :
http://tabloidjubi.wordpress.com
Read full post »

Ker Araucasam Atakham

0 comments
ALKISAH, dahulu di daerah Asmat hiduplah tujuh orang bersaudara yang telah yatim piatu. Ayah dan ibu mereka telah lama meninggal karena suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Anak tertua dari tujuh bersaudara itu bernama Ker. Menyusul di belakangnya, adiknya yang bernama Okhrobit, kemudian Ovorirat. Anak yang keempat, kelima, dan keenam semuanya mempunyai sebuah nama, yaitu (Beribit Ua,Beribit Enga,Beribit Uco). Dan yang paling bungsu adalah seorang anak perempuan, bernama Taraot.
Ketujuh orang bersaudara ini sepeninggalan orang tuanya diasuh oleh neneknya, bernama Yamsyaot. Nenek Yamsyaot terkenal sangat keras dalam mendidik mereka. Mereka tinggal di suatu tempat yang terpencil, jauh dari kampung-kampung lainnya. Nenek Yamsyaot membuat sebuah rumah yang hangat bagi cucunya. Rumah itu terbuat dari tiang-tiang kayu dan ijuk sebagai tembok dan atapnya. Rumah tradisional ini terkenal di seluruh Irian Jaya dengan nama honay.
Pada suatu hari Ker araucasam atakham ( dalam bahasa Asmat, artinya Ker dan adik-adiknya) turun kesungai untuk mencari ikan. Mereka mempergunakan panah kecil untuk mendapatkan ikan-ikan. Ikan yang banyak terdapat disungai itu adalah ikan vet dan bupit. Tetapi ikan-ikan itu pandai menghindar. Mereka bersembunyi di tepi sungai pada balik batu-batuan di balik batang-batang kayu. Begitu asyiknya Ker dan adik-adiknya memburu ikan-ikan, tak disadarinya anak panahnya mengenai ekor dari seekor ikan gabus yang sangat besar. Rupanya iakan yang akan di bidiknya itu bersembunyi di balik ikan gabus besar yang mungkin dikiranya batang kayu. Anak panah yang dilepaskan Ker mengenai pangkal ekor ikan gabus itu. ikan tersebut menggelepar-gelepar kesakitan.
Keenam saudara itu terkejut dan heran, mereka tidak menyengka akan menemukan ikan gabus sebesar itu. setelah diselidiki ternyata ikan gabus itu diikat dengan seutas tali rotan dibagian kepalanya. Baru teringatlah olah mereka kalau ikan itu adala ikan yang dipelihara olah nenek Yamsyaot rupanya ikan itu sudah lama sekali dipelihara sehingga ikan itu sangat besar dan dapat dimakan oleh satu keluarga besar.
Ker merasa sangat menyesal telah melukai ikan itu. nenek sudah dengan susah payah memelihara ikan gabus itu.sekarang karena ulahnya ikan itu hampir mati. Disamping menyesal dia juga takut kalau-kalau perbuatannya diketahui oleh nenek Yamsyaot. Pasti Ker dan adik-adiknya akan dihukum, dikutuk bahkan dibunuh. Oleh karena itu timbullah niat dalam hatinya untuk membunuh ikan gabus itu. ia akan menghabisi ikan itu tanpa sepengetahuan nenek Yamsyaot. Tetapi sebelum menjalankan niatnya, terlebih daluhu ia bermusyawara dengan adik-adiknya. Pada mulanya adik-adiknya tidak setuju dengan niat kakaknya itu. beberapa hari kemudian, diadakan lagi perundingan. Akhirnya mereka sepakat untuk mebunuh ikan gabus yang besar dan gemuk itu.
Dalam mengadakan musyawara, mereka tidak mengikut sertakan si bungsu Taraot. Taraot sangat dikasihi oleh nenek Yamsyaot. Ia adalah anak perempuan satu-satunya dari ketujuh saudara itu. setelah semua rencana ditetapkan, maka mereka menunggu saatnya nenek Yamsyaot pergi menokok sagu. Tempat itu jauh, biasanya nenek Yamsyaot pergi untuk beberapa hari lamanya.
Sekarang saat yang dinantika telah tiba, pagi sekali nenek Yamsyaot telah berangkat ia berpesan kepada cucunya.
“Ker, engkau anak yang tertua dalam keluarga ini. Nenek berharap engkau dapat menjaga adik-adikmu, dan bertanggung jawab atas segala sesuatu sepeninggalan nenek. Tinggallah kalian baik-baik dirumah, makanlah sagu yang sudah nenek sediakan di dapur.”
Demikian pesan nenek Yamsyaot kepada Ker dan adik-adiknya. Kemudian nenek itu berbalik kepada Taraot, dan menyampaikan pesan pada gadis kecil itu.
“Taraot cucuku, tinggallah bersama kakak-kakakmu dan patuhilah apa yang dikatakan oleh Ker. Tetapi bila engkau tidak diperhatikan dan tinggal sendiri, ikutlah nenek ketempat menokok sagu. Nenek akan memberi tanda (petunjuk jalan) ketempat itu. setelah berkata demikian berangkatlah nenek Yamsyaot.
Sepeninggalan nenek itu Ker dan adik-adiknya bersiap untuk menjalankan rencana mereka. Mereka lalu turun kesungai, mereka membunuh ikan gabus milik nenek Yamsyaot. Ikan itu kemudian dipotong-potong dan diaduk dengan sagu. Setelah dibungkus dengan daun sagu (daun rumbia) lalu dibakar. Pekerjaan itu dilakukan tanpa sepengetahuan Taraot. Bahkan setelah makanan itu masak, Taraot tak diberi sedikit pun. Mereka khawatir Taraot akan menenyakan dari mana asal makanan itu. kalau Taraot mengetahui, pasati ia akan memberitahukannya pada nenek Yamsyaot. Tentu saja mereka akan dihukum.
Taraot ternyata mengetahui juga segala apa yang dilakukan oleh kakak-kakaknya. Tanpa sepengetahuan mereka Taraot telah mengintip pekerjaan mereka. Taraot mendengar pembicaraan-pembicaraan mereka sejak beberapa hari sebelumnya. Ia baru keluar dari persembunyiannya setelah kakak-kakaknya menghabiskan makanan itu, ia berpura-pura lapar sekali. Ia meminta makanan dari kakak-kakaknya. Tetapi makanan itu sudah habis dimakan. Tak ada sisa sedikpun untuk diberikan pada Taraot. Taraot mulai merajuk dan mengatakan, ia akan melaporkan perbutan mereka pada nenek Yamsyaot.
“Kakak-kakak telah memakan makanan yang lezat, akan tetapi tak sedikpun disimpankan untukku. Biarlah aku akan menyusul nenek”.
Mendengar kata Taraot, maka Ker berkata” pergilah menyusul nenek.memang hanya engkaulah yang dikasihinya. Kami akan pergi dari tempat ini dan engkaulah yang akan mendapatkan seluruh warisannya.
Setelah berkata demikian, Ker dan adik-adiknya bersiap-siap untuk melarikan diri sejauh-jauhnya. Mereka berusaha lari sejauh-jauhnya sebelum Taraot menemui nenek Yamsyaot. Taraot pasti mengadukan perbuatan mereka. Tinggallah Taraot sendiri. Ia merasa dongkol dan marah. Ia pun segera menembus hutan-hutan sagu untuk menemui neneknya. Tak lupa ia memungut dan mengumpulkan tulang-tulang ikan yang di buang kakak-kakaknya. Semua itu akan diserahkan pada nenek Yamsyaot sebagai bukti perbuatan mereka.
Taraot akhirnya sampai didusun sagu tempat nenek Yamsyaot menokok sagu. Dari jauh ia telah memanggil-manggil nama neneknya.
Nenek,nenek! Kau dimana? Ini cucumu Taraot!”beberapa kali ia memenggil demikian. Akhirnya terdengar juga oleh neneknya. Nenek Yamsyaot sangat senang mendengar suara cucunya. Kemudian ia menjawab dengan penuh kegirangan.
“Mari cucu ku sayang! Kenapa engkau datang sendirian mana, kakak-kakak mu?mengapa tidak seorang pun yang mengantarkanmu kesini?” maka berkatalah Taraot dengan sedih bercampur marah.
“Ah…. Nenek. Kakak-kakak itu tidak lagi sayang kepada saya, Mo. Mereka sudah benci kepada saya. Ketika saya lapar mereka tidak memberikan saya makanan. Bahkan semua makanan dihabiskan oleh mereka. Itulah sebabnya saya menyusul nenek ke sini.”
Setelah mendengar pengaduan Taraot, nenek Yamsyaot meraihnya agar dekat. Kemudian nenek itu menghibur cucunya.
“Sudahlah Taraot, jangan merajuk juga. Nanati kita makan bersama-sama disini. Nenek sudah menyediakan sagu bakar. Juga ada udang yang enak dari kali kecil itu. anak laki-laki selamanya tak dapat diharapkan. Padahal nenek telah mengatakan agar mereka sentiasa melindungimu. Ternyata mereka berbuat sebaliknya. Ayo mari kita makan.”
Kemudian mereka makan dengan lahapnya, Taraot sangat lapar. Sehingga ia makan banyak sekali.
Setelah selesai makan, dalam waktu beberapa saat kemudian kantuk mulai menyerang Taraot. Ia tertunduk di bawah pohon dan kepalanmya terangguk-angguk. Melihat cucunya terkantu-kantuk demikian nenek Yamsyaot merasa kasihan. Ia lalu mengangkat cucunya itu. memangkunya sambil membelai-belai kepalanya. Alangkah terkejutnya nenek Yamsyaot tak kala suatu benda menusuk telapak tangannya. Setelah diteliti ternyata sepotong tulang ikan. Rupanya Taraot meletakkan tulang ikan gabus sisa makanan kakak-kakaknya itu di rambutnya. Nenek membangunkan Taraot dan bertanya.
“Mengapa engkau tidak minta tolong kepada kakak-kakak mu untuk mencari kutu di kepalamu ini? Coba liat banyak sekali tulang iakan di kepalamu, dari mana tulang-tulang iakan ini?”
“Nenek! tadi saya sudah katakana, mereka tidak peduli lagi dengan saya tulang-tulang ikan itu adalah bekas makan mereka yang dilemparkan kekepala saya.”
Demikian jawab Taraot kepada neneknya. Kemudian dengan manja lagi ia menyusupkan kepalanya ke bahu neneknya. Tetapi nenek Yamsyaot mendorong tubuh Taraot kedepan, lalu menanyakan apa sebabnya. Nenek Yamsyaot mulai merasa curiga ketiaka memperlihatkan tulang-tulang ikan itu. nalurinya mengatakan bahwa itu adalah tulang seekor iakan gabus yang sangat besar.
Taraot lalu menceritakan bahwa kakak-kakaknya telah menangkap seekor ikan gabus yang sangat besar. Menurut dugaanya iakan itu adalah ikan yang dipelihara nenek Yamsyaot. Ikan itu telah dipotong-potong lalu dibakar, mereka telah menghabiskan ikan itu. beserta sagunya. Mereka tidak memberi sedikitpun kepadanya. Mendengar hal itu nenek Yamsyaot menjadi berang, ia lalu bertanya lagi.
“apakah ikan itu yang terikat disungai dengan seutas rotan?”
“benarlah nek. Saya lihat mereka menariknya dengan rotan.”
Mendengar perkataan itu nenek Yamsyaot semakin marah. Disaat itu juga ia menuduh cucunya itu bersekongkol dengan keenam kakak-kakaknya. Ia datang kesitu hanya untuk mengelabui nenek Yamsyaot.
Amarah nenek itu tak tertahankan lagi. Taraot diangkatnya tinggi-tinggi lalau dilemparkannya keatas pucuk pohon sagu. Taraot tersangkut disana. Kemudian nenek yang bengis itu menyuruh cucunya mengeluarkan suara: khar,khar,khar.
Sejak saat itu Taraot berubah jadi seekor katak, itulah cerita asala mula adanya katak dibumi Asmat hingga saat ini.*

Sumber :
http://tabloidjubi.wordpress.com
Read full post »

Gadis Yomngga Dengan Ular Naga

0 comments
http://tabloidjubi.files.wordpress.com/2008/03/yomga.jpg

Dahulu di daerah pesisir pantai Biak Timur terletak beberapa perkampungan. Dari sekian itu terdapat dua buah kampung yang letaknya berdekatan, yaitu kampung Saba dan Warwe. Pada kedua kampung dimaksud berdiam pula beberapa keret dan salah satu diantaranya adalah keret YOMNGGA. Di keret ini hiduplah seorang nenek bersama-sama tiga orang cucunya, yakni seorang perempuan dan dua orang laki-laki.
Adapun ketiga bersaudara ini dibesarkan oleh neneknya, karena sewaktu masih kecil ayah bundanya telah lama meninggal dunia. Wajarlah bagi si nenek dalam menjamin kelangsungan hidup cucunya dengan penuh pengorbanan dan kasih sayangnya.
Dalam menyambung hidupnya sehari-hari si nenek berladang. Ternyata nenek sudah mengerjakan sebuah ladang dan ditanami pula dengan berbagai tanaman. Setiap pergi dan pulang selalu melalui jalan Serbiser, yakni sebuah jalan dari kampung yang menuju ladangnya. Walaupun jaraknya jauh, namun bagi si nenek tidak menjadi penghalang, karena sudah biasa menempuh jarak itu.
Konon di sekitar jalan Serbiser ada penghuninya yang selalu mengawasi setiap insan yang lalu lalang disitu. Termasuk juga si nenek dengan cucunya Yomnnga yang sudah menjadi seorang gadis. Penghuni itu adalah seekor ular Naga yang rupanya telah lama jatuh cinta terhadap Yomngga. Namun bagaimana caranya supaya dapat memilki gadis itu baginya belum ada peme-cahan.
Pada suatu hari pergilah si nenek bersama Yomngga hendak mencari nafkah di ladangnya. Mereka melalui jalan Serbiser dan tanpa di ketahui bahwa ada yang sedang mengamati keper-giannya. Setelah keduanya berlalu sang Naga tak dapat menahan dirinya lagi ketika melihat gadis Yomngga. Baginya sekarang, timbul berbagai pertanyaan dalam benaknya.
“Bagaimana caranya agar aku dapat memiliki gadis itu ? Dengan jalan apa supaya aku dapat mengikuti jejaknya ke rumah untuk bertindak sebelum terlambat.” tanyanya dalam hati.
“Sekarang juga aku mencari tempat yang baik dan aman untuk mewujudkannya,” katanya.
Iapun segera mencari dan membelitkan tubuhnya pada sebatang pohon yang berada di pinggir jalan, dekat dengan sebuah tanjakan, kemudian menunggu. Sepanjang hari ia menunggu, akhirnya matahari pun condong ke barat tanda hari sudah sore.
Dijalan Serbiser kini menjadi sunyi, segenap margasatwa di sekelilingnya berdiam diri, sebab di rasanya sebentar lagi ada sesuatu keanehan yang akan terjadi di tempat itu.
Sementara itu si nenek dengan cucunya sedang dalam perjalanan pulang. Makin lama makin mendekat ke tempat naga itu, dan sejurus kemudian tibalah mereka pada tanjakan tesebut tadi. Karena tanjakan ini agak sulit untuk di turuni maka si nenek lebih dahulu, sedangkan si gadis menunggu serta mengamati neneknya yang turun.
Inilah saat yang terbaik bagi si ular naga untuk mewujudkan niatnya. Dalam kesempatan ini ular naga menjulurkan tubuhnya serta melingkarkan tubuhnya ke dalam noken si gadis. Karena perhatiannya tertuju pada neneknya, maka sedikitpun tidak merasakan apa yang sedang terjadi atas dirinya.
Kini giliran si gadis Yomngga untuk menuruti tempat tersebut dan setelah berada di bawah segera menyusuli neneknya. Sejurus kemudian tibalah mereka di tempat mandi yang berada di pinggir jalan. Karena sudah mendekati kampung, mereka berhenti untuk melepaskan lelah sambil mandi. Setelah mandi keduanya berkemas lagi hendak melanjutkan perjalanannya. Saat itulah si nenek melihat ular besar di noken cucunya. Mereka ketakutan lalu lari meninggalkan nokennya. Sementara itu terdengarlah suara ular memanggilnya dari belakang. Karena mereka berdua sudah lelah maka berhentilah mereka serta bertanya siapa gerangan sebenarnya ular itu? Keduanya menjadi heran, sebab ular itu memanggilnya seperti manusia.
Oleh sebab itu mereka kembali untuk mengetahui apa yang sebenarnya di inginkan oleh ular itu.
“Hai, perempuan janganlah takut kepadaku, tetapi bawalah aku kerumahmu dan sembunyikan aku dalam kamarmu , “ kata ular naga .
Ketika mendengar kata – kata itu keduanya saling berpandangan, akhirnya bersepakat untuk membawanya. Sekarang mereka berani untuk membawa nokennya bersama ular itu lalu pergi. Setiba di rumah ular disembunyikan di dalam kamar gadis itu. Setiap malam mutiarannya bersinar – sinar menerangi kamar si gadis. Melihat keadaan itu takutlah kedua saudaranya. Mereka tidak berani pula menanyakan hal itu baik kepada saudaranya maupun si nenek .
Kini mereka hidup bersama naga dengan penuh rahasia. Hanyalah gadis Yomngga yang mengetahui segalanya. Pada malam hari menjelmalah naga menjadi manusia dan menemani gadis itu di tempat tidurnya. Keinginannya untuk mengawini gadis Yomngga itupun tercapailah.
Hari dan bulan berganti maka hamillah gadis Yomngga. Kedua saudaranya mengetahui pula keadaan adiknya lalu menanyakannya.
“Siapakah yang melakukan perbuatan itu,“ tanyanya .
“Dari sekian banyak pemuda yang di kampung ini, tak ada seorang yang melakukannya . Hanya satu , yakni dengan ular naga yang selama ini ada dalam kamarku ,“ jawabnya .
Mendengar jawaban saudaranya, mereka belum yakin, oleh sebab itu diajak adiknya untuk melihat dimanakah ular naga yang berada di kamarnya. Pintu kamarpun dibukakan dan terkejutlah keduanya demi melihat naga itu dikamar saudaranya . Kemarahannyapun menjadi – jadi, karena hal itu telah berlangsunglama tanpa diketahuinya. Mereka segera meninggalkan saudaranya dengan perasaan jijik. Dibalik itu kedunya sudah sepakat hendak membunuh ular, sebelum hal yang memalukan itu di ketahui oleh orang kampung.
Pada suatu hari keluarlah mereka hendak mencari ikan di laut. Mereka menyelam mengitari batu – batu karang disekitar kampungnya. Betapapun tekunnya mencari ikan, namun sial baginya karena seekorpun tidak diperoleh.
Dengan hati kesal mereka pulang dan setibanya di rumah naga itu bertanya :
“ Bagaimana hasilmu hari ini?“
“Tak ada seekorpun! Kami tak sanggup menyelam kedasar laut, karena tidak ada alat yang dapat kami gunakan untuk menangkap ikan,“ jawabnya .
“kalau demikian kamu harus menyiapkan akar tuba , sebab dengan akar tuba ini kita dapat mencari ikan – ikan dalam karang,“ kata naga itu.
Mendengar usul itu keduanya bergembira sekali . Lalu pergilah mereka ke hutan untuk mencari akar tuba yang di maksudkan oleh naga. Tak lama kemudian merekapun keluar dari hutan dengan membawa empat ikat akar tuba dan setibanya dirumah di serahkannya pada naga itu.
Keesokan harinya, keluarlah naga bersama kedua bersaudara itu hendak mencari ikan dengan mepergunakan akar tuba yang di bawanya . Ketika mereka tiba di suatu tempat yang di duga banyak ikannya , yaitu di sebuah batu yang bernama Inggow. Di sini mereka berlabuh lalu mempergunakan akar tuba untuk meracuni ikan – ikan yang berada di bawah batu. Sesaat kemudian matilah ikan – ikan itu, maka bergembiralah kedua bersaudara itu, sambil memunguti ikan – ikan yang tak berdaya lagi.
Untuk mengikat perahu , ular naga menggunakan ekornya sebagai pengikatnya. Naga terus meracuni ikan , tanpa mengetahui apa yang akan terjadi atas dirinya . sedang asyik – asyiknya mengumpulkan ikan, maka bersepakatlah keduanya untuk melakukan niat jahat mereka itu.
Oleh sebab itu mereka naik keperahu, kemudian si kakak mengambil parangnya , lalu memotong ular naga menjadi delapan potong. Seketika itu matilah naga itu dan masing – masing potongan diberi nama sebagai berikut:
1.Karu Sram ( batu orang muda )
2.Sawaki
3.Kaduki (sejenis tumbuhan di hutan yang melekat pada pohon)
4.Karbui
5.Ifenker (sepenggal bete )
6.Women simbrir (budah budar )
7.Amawi (penoko sagu )
8.Mansasio (terbelah )
Mengetahui kejadian itu marahlah si nenek dan Yomngga, lalu mengasingkan diri ke dalam hutan. Dari sana mereka kembali lagi ke kampung hendak menguburkan bangkai – bangkai naga itu. Setiba di pantai dikumpulkannya potongan – potongan bangkai naga , lalu di aturnya berderatan , melintang dari barat ke timur, di antara kampung Saba dan Warwe. Pada saat itu juga berubalah tubuh naga itu menjadi batu karang yang hingga kini menjadi pulau – pulau kecil di sekitar kedua kampung tersebut.
Setelah peristiwa pembunuhan maka genaplah waktunya bagi Yomngga untuk melahirkan. Ia kemudian melahirkan sepuluh ekor anak ular.
Karena janda muda ini sudah menjanda beberapa tahun , maka datanglah seorang laki – laki hendak meminangnya. Lelaki itu berasal dari keret Faindan.
Perkawinan yang di anggap bahagia itu tidak berjalan begitu lama. Penyebabnya ialah bila lelaki itu hendak bergaul dengan istrinya ia selalu keracunan dan akhirnya meninggal dunia. Kematian ini menimbulkan pembunuhan antara pihak lelaki dengan pihak istrinya. Setelah dicari penyebab kematian maka si neneklah yang mengobatinya dengan daun – daunnan, maka keluarlah anak ular itu. Anak ular itu adalah salah satu dari sepuluh anak ular yang telah di lahirkan .
Dengan adanya peristiwa ini , rahasia perkawinan naga dengan gadis Yomngga terbongkarlah dan tersebar luas serta menjadi buah bibir penduduk kampung. Keret Yomngga merasa malu, lalu bermufakat untuk meninggalkan kampungnya. Mereka mengarungi laut dengan perahunya ke arah barat lalu mendiami daerah Sorong dan Raja Ampat, dekat sebuah sungai kecil yang di beri nama sungai Yomngga. (*)

Sumber :
http://tabloidjubi.wordpress.com/
Read full post »

Manusia Menjelma Menjadi Hewan

0 comments
Pada zaman dahulu di pulau Yapen dan pulau-pulau di sekelilingnya tidak dihuni oleh seorangpun. Dari mana asal dan datangnya penduduk yang ada pada dewasa ini, dikatakan bahwa dulunya mereka bertempat tinggal di gunung Tonater di daerah Waropen. Pada waktu itu mereka hanya memiliki satu bahasa.
Pada suatu hari penduduk gunung Tonater ini berniat untuk membuat sebuah menara yang tingginya dapat mencapai bulan. Adapun maksud pembuatan menara ini adalah supaya mereka boleh naik ke bulan, untuk menemui para bidadari yang berada di bulan. Menara tersebut dibuat dengan bambu dan di beri bertangga. Dari hari ke hari mereka sibuk mengerjakannya agar rencana mereka terwujud.
Pada suatu hari sementara mereka sibuk memasang rangka, tiba-tiba menara itu goyah lalu rubuh bersama orang-orangnya yang menyebabkan kematian dan bahasa persatuan merekapun hilang. Orang-orang yang meninggal kemudian menjelma menjadi hewan. Ada yang menjadi kasuari, ular, babi, burung-burung dan ada pula yang menjadi ikan seperti : ikan paus, hiu dan sebagainya.
Hewan-hewan ini kemudian mengadakan musyawarah dan telah bermufakat untuk meninggalkan gunung Tonater, karena tempat ini membawa aib bagi mereka. Oleh sebab itu mereka akan menyebar dan mendiami pulau Papua. Ada yang mengungsi ke ujung Timur Papua, ada pula yang ke Barat, ke Utara maupun ke Selatan. Selain di tanah besar ada juga yang menyebar ke pulau-pulaul, seperti : Pulau Yapen, Pulau Biak, Pulau-pulau Moor, Raja Ampat dan lain sebagainya.
Keesokan hari sebelum fajar menyingsing, sebuah perahu sudah siap tertambat dimuara kali Demba. Hewan-hewan yang yang hendak ikut semuanya telah siap diperahu. Saat itu mereka mereka merasa bahagia, karena yang dicita-citakan telah tercapai.
Kini tibalah waktunya untuk bertolak, maka perahupun dilepas kemudian meluncur dipermukaan air meninggalkan muara kali Demba, menuju selat Saireri yang tenang dan kebiru-biruan. Keadaan cuaca di selat Saireri pada pagi itu sangat cerah. Perahupun terasa makin lama semakin laju, seperti menggunakan motor tempel layaknya. Sebentar-sebentar terlihat oleh mereka, sebuah titik yang makin lama makin membesar dan berbentuk sebuah hulu perang. Itulah barisan gunung di pulau Yapen yang membentang dari ujung timur ke sebelah Barat. Karena si Kasuari senang lalu ia berdiri untuk meyakinkan penglihatannya, namun ia tidak menyadari keadaan, sehingga kakinya yang runcing telah menembus dasar perahu.
Akibat perahu berlubang air laut masuk dan hampir-hampir saja mereka tenggelam. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan air, ternyata usaha mereka inipun tidak menolong juga. Terpaksa Tikus tanah berusaha menutupi lubang perahu dengan moncongnya yang besar dan lebar. Dengan cara ini mereka tertolong, namun sewaktu-waktu moncongnya kemasukan air terpaksa dikeluarkannya untuk bernapas sebentar.
Demikianlah dilakukannya berulang-ulang sehingga mereka tiba dipantai pulau Yapen. Tempat pendaratan mereka ialah pasir putih Arareni di Randawaya.
Setiba didaratan, mereka menghembuskan napasnya dengan berlapang dada serta berterimakasih kepada sang pencipta, karena telah tiba dengan selamat.
Saat itu juga Kasuari meninggalkan teman-temannya lalu menghilang ke dalam hutan. Ditelitinya keadaan hutan, apakah dapat menjamin ketentraman hidup mereka atau tidak. Sudah beberapa hari ia meninggalkan teman-temannya,tetapi belum muncul juga.
Pada suatu hari Kasuari kembali lagi dengan membawa berita yang sangat menyenangkan bagi kawan-kawannya. Sejak itu mereka berpisah satu sama lain dan menyebar ke seluruh pelosok pulau Yapen dan mendiaminya hingga hari ini.
Selain itu karena mereka berasal dari keturunan hewan, maka bagi keluarga yang bersangkutan pantang memakan daging jenis hewan tersebut. Dalam hal ini misalkan fam Karubaba pantang untuk memakan daging anjing, sedangkan fam Mansai pantang makan daging kasuari.
Akibat keruntuhan menara kebulan, menimbulkan penyebaran penduduk sehingga menyebabkan penggunaan bahasa didaerah Yapen Waropen banyak ragamnya. (*)

Sumber :
http://tabloidjubi.wordpress.com
Read full post »

Tepaisaka dan Kilipase

0 comments
Adalah seekor anjing dan seekor kanguru yang masing-masing bernama Tepaisaka dan Kilipase. Kedudukan keduanya masing-masing menjabat sebagai kepala kampung. Tepaisaka dengan rakyatnya berkediaman dipulau Obariyo dan Kensio, sedangkan Kilipase bersama rakyatnya bertempat tinggal di bukit-bukit Ibahele, di tempat yang bernama Koteluyo dan Wauheheye Elu.
Setiap petang hari Tepaisaka berenang ke pantai Ibahele. Ia bermaksud akan menonton tarian adat dari rakyat kanguru yang dikepalai oleh Kilipase. Waktu pertunjukan sudah tepat maka pemimpin tarian memanggil rombongan penari masuk ke tempat tarian. Nama tempat tarian itu “ Emaho Wahuyau” ( bahasa daerah Sentani).
Seluruh tubuh penari-penari itu dihiasi dengan bermacam-macam bulu burung seperti: Cenderawasih, Mambruk, Kakaktua, Kumkum dan bunga-bunga serta beraneka daun-daunan. Kilipase sendiri menggunakan seekor burung Cendrawasih yang utuh di atas kepalanya termasuk juga nokennya.
Ketika rombongan penari tiba didepan Tepaisaka, Kilipase melompat-lompat sambil menarik tali busur dengan anak panahnya, lalu diarahkan ke muka Tepaisaka kemudian melepaskan tali busur dan berkata: “Hai Tepaisaka, anjing-anjing biasanya hanya bermimpi-mimpi saja. Tidak pernah mengadakan sesuatu pesta, tidak berperang, pendeknya tidak punya acara. Selain hanya tinggal mengharapkan sisa-sisa makanan dari masyarakt umum!” begitulah perlakuan Kilipase terhadap Tepaisaka berulang-ulang kali, bila ia datang untuk menonton.
Pada suatu hari Tepaisaka pergi menonton lagi namun ia diperlakukan seperti biasanya. Ketika mendengar kata-kata penghinaan itu Tepaisaka menangis, lalu kembali ke kampungnya dipulau Obariyo dan Kensiyo. Sesampai dirumah ia berbaring sambil merenungkan kembali kata-kata Kilipase yang angkuh itu. Sudah menjadi kebiasaan kalau ada pesta adat, maka berdatanganlah penonton baik penghulu maupun rakyat biasa, tetapi mengapa saya saja yang diejek?
Teringat pada ejekan itu, ia mengambil keputusan untuk membunuh Kilipase. Oleh sebab itu keesokan harinya, ia menyuruh memasak daging babi dan papeda dalam beberapa sempe. Kemudian ia mengundang semua anjing yang berada di pulau itu. Setelah para undangan tiba lalu di persilahkannya untuk makan bersama-sama. Tetapi anjing-anjing itu tidak mau makan sebelum Tepaisaka menyatakan isi hatinya kepada mereka.
Tepaisaka mengatakan bahwa hal itu merupakan kebiasaan bagi seorang pemimpin, untuk memberi makan kepada masyarakatnya demi persatuan dan kesatuan mereka. Namun demikian anjing-anjing itu tetap pada pendiriannya.
Karena diminta berkali-kali, akhirnya Tepaisaka menyampaikan isi hatinya. Mendengar kisah Tapaisaka, sekejap saja anjing-anjing tersebut menghabiskan makanan tadi.
Keesokan hari mereka berangkat ke pantai Ibahele. Tepaisaka mengingatkan anjing-anjing itu supaya Kilipase diserahkan kepadanya bila mana ia ditangkap.
Setiba di sana anjing-anjing itu bersiap-siap pada tempatnya yang sudah ditentukan. Tiada beberapa lama kepala tarian memanggil para penari untuk memasuki tempat tarian. Acara tarian adat segera di buka dengan resmi oleh Kilipase.
Kepala tarian melagukan sebuah lagu, lalu disambut para penari dan diiringi bersama dengan tarian yang dibawakan. Ketika rombongan penari itu tiba didepan Tepaisaka maka Kilipase berbuat seperti yang dilakukan dulu terhadap Tepaisaka. Pada saat Kilipase hendak berkata-kata lagi, kesempatan ini dipergunakan Tepaisaka untuk menerkamnya. Ketika itu juga dari segala penjuru, anjing-anjing yang sejak tadi bersembunyi menyerbu dan membunuh kanguru-kanguru itu.
Dari sejak tadi Kilipase dan Tepaisaka bergumul mati-matian. Kilipase berusaha malarikan diri ke pantai Ibahele, tetapi Tepaisaka tetap mengejarnya. Kilipase terus berlari dan berenang ke seberang danau. Oleh karena Tepaisaka tidak bisa berenang lalu ia meraung-raung sekuat-kuatnya, seolah-olah hendak meminta pertolongan kepada siapa saja untuk membunuh kanguru itu.
Mendengar salakan tadi muncullah seekor buaya yang bernama BAROKELEU ke tepi pantai dimana Tepaisaka berdiri. ”Mengapa kau meraung sekuat itu?” tanya buaya. Tepaisaka menceritakan peristiwa yang telah terjadi, sambil menunjuk ke arah kanguru yang sedang berenang di danau itu. Tepaisaka meminta agar diantarkan ke seberang danau.
“Aku dapat menolongmu, tetapi kau harus berjanji dulu, jika berhasil membunuh kanguru itu jangan lupa bagian ku.” kata buaya. Tepaisaka pun berjanji akan berbagi dengan si buaya bila kanguru dibunuh. Dengan demikian Tepaisaka dibolehkan naik ke punggungnya, kemudian meluncur di permukaan air hendak menyeberangkan anjing ke sebelah danau.
Setiba diseberang anjing melompat ke darat lalu mengejar kanguru. Karena daerah itu berawa-rawa, kanguru mengalami kesulitan. Tepaisaka terus mengejar dan membunuh Kilipase yang sudah kepayahan. Oleh karena ganas dan rakusnya, daging Kilipase dimakannya hingga habis.
Setelah kenyang barulah ia teringat perjanjiannya dengan buaya itu. Terpaksa ia mencari akal untuk memperdayakan buaya itu. Digigitnya akar pohon dadap yang sudah lapuk karena akar ini hampir menyerupai daging kanguru.
Setiba dipantai ia menyalak lagi, lalu buaya pun segera datang. Ia tahu, pasti anjing mengantarkan daging kanguru untuknya. Karena sudah lapar buaya meminta bagiannya segera diserahkan untuk di makan. Namun Tepaisaka menjawab bahwa penyerahan daging kanguru akan dilakukan setelah sampai diseberang.
Walaupun sudah lapar buaya masih bersedia juga mengantarkan Teipasakan ke seberang. Setiba di daratan buaya itu disuruh membuka mulutnya lalu dilemparkan akar busuk tadi ke dalam mulutnya. Karena yang digigit terasa keras, maka buaya memukul anjing dengan ekornya Teipasaka sempat melompat, namun sebagian perutnya kena pukulan. Buaya bersumpah bahwa turun-temurunnya tetap bermusuhan dengan anjing karena Tepaisaka telah menipunya. Tepaisaka kembali menemui rakyatnya di bukit Ibahele. Kedatangannya disambut dengan sorak-sorai atas kemenangan yang sudah dicapai. Seterusnya mereka kembali ke pulau Obario dan Kensio, lalu mengadakan pesta secara besar-besarkan atas kemenangannya.*

Sumber :
http://tabloidjubi.wordpress.com/2007/09/03/tepaisaka-dan-kilipase/
Read full post »

Tifa dan Terompet Bambu

0 comments
Dahulu daerah Merauke memiliki sebuah tifa dan terompet bambu. Kelebihan kedua benda tadi adalah bila sekali saja orang menyentuh dengan kaki, tifa dan bambu itu berbunyi denga sendirinya. Tetapi bila orang memegangnya, tifa dan bambu berhenti berbunyi.
Konon ada suatu keluarga mempunyai seorang anak yang bernama Beorpit. Apabila terdengar bunyi tifa dan terompet bambu itu Beorpit bergembira sekali. Oleh sebab itu pada suatu hari ia mengajak ayahnya untuk pergi dan mencari alat yang dibunyikan itu. Tetapi sang ayah menolak permintaan anaknya. Karena permintaannya ditolak, Beorpit menangis terus menerus setiap hari. Lama kelamaan tangisnya reda, namun karena dorongan keinginannya maka timbullah suatu rencana dibenaknya.
Setelah menjadi besar, Beorpit meminta lagi kepada ayahnya agar membuat sebuah perahu baginya. Kali ini ayahnya bersedia lalu mengerjakan sebuah perahu. Beberapa hari lamanya ayahnya tekun dalam menyelesaikan perahu itu.
Sehari sesudah perahu dikerjakan iapun berangkatlah. Seorangpun tak ada yang mengikutinya, karena tidak diketahui kemana ia hendak pergi dan apa maksudnya bepergian. Mereka merasa khawatir dan takut, kalau ia mendapat bahaya diperjalanan. Baik orang tua, sanak saudara bahkan seluruh penduduk kampung turut menangis atas kepergiannya. Namun ia berpegang teguh pada pendiriannya dan tetap berangkat dengan hati yang tenang. Dia mengayuh perahunya menuju muara kali. Dari muara kali kemudian Beorpit menyeberangi laut dan akhirnya tibalah ia di Merauke.
Setiba di Merauke hari sudah gelap. Malam itu semua penduduk kampung sedang asyik menyanyi dan menari di JE (rumah adat). Karena asyiknya, mereka tidak menyadari, bahwa ada orang dari tempat lain sedang mengintai.
Dalam suasana ramai itu tanpa diketahui, Beorpit menyusup masuk kedalam JE dan ikut menari disudut kiri. Karena sudah kecapaian, merekapun tertidur didalam JE. Sementara itu Beorpit juga mencari tempat yang aman serta berdekatan dengan tifa dan bambu ajaib.
Sementara pura-pura tidur ia membaca mantranya, sehingga mempengaruhi orang-orang yang tertidur itu tidak dapat bergerak. Dalam kesempatan itu ia membunuh semua orang yang tertidur didalam JE. Sesudah itu Beorpit mengambil kepala orang-orang tadi beserta tifa dan bambu ajaib, lalu segera meninggalkan rumah itu. Kemudian ia kembali lagi dengan perahu kekampungnya sendiri.
Setiba di kampung, penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Sebagai tanda penghormatan, ia dipikul orang kampung dari perahu dan dielu-elukan, mulai dari perahu sampai ke JE, tifa dan bambu ajaibpun dibawa serta.
Setiba di JE mereka masuk dan mengelilingi Beorpit. Karena melihat banyak orang berkerumun dan mendesaknya untuk mendengar kedua benda ajaib itu, maka iapun segera menyentuh tifa dan bambu ajaib dengan kedua kakinya. Detik itu juga kedua benda tadi berbunyilah serentak dengan nyaringnya. Orang yang mendengarnya tidak dapat menahan diri lagi, lalu merekapun ikut menyanyi dan menari dengan asyiknya.
Bagaimana dengan suasana orang-orang di Merauke, setelah Beorpit meninggalkan mereka?
Menurut kebiasaan, setiap pagi ibu-ibu membawa makanan kepada suami-suaminya yang bermalam di JE. Ketika memasuki JE mereka melihat bahwa semua orang-orang yang berada di JE sudah mati. Suatu hal yang sangat mengejutkan mereka ialah bahwa orang-orang itu tidak berkepala lagi. Kejadian ini tersiar keseluruh kampung sehingga menyebabkan sebagian penduduk menjadi takut, sedangkan yang lain menangisi saudara-saudara mereka yang sudah dipotong kepalanya. Keadaan alam disekitarnya turut berubah menjadi gelap.
Sementara itu terdengarlah dari jauh bunyi tifa dan bambu ajaib di daerah Emari. Mendengar bunyi itu penduduk kampung menangis tersedu-sedu. Perasaan sedih menimbulkan kemarahan penduduk, karena mereka kehilangan saudara-saudaranya beserta dengan kedua benda ajaib itu. Rupanya diantara penduduk ada seorang yang memberanikan diri dan bermaksud untuk membalas dendam. Konon orang itu juga bernama Beorpit. Ia segera berangkat ketempat, dimana terdengar bunyi tifa dan bambu ajaib itu. Beberapa hari lamanya ia mengarungi laut dan sungai, akhirnya tibalah pada tempat tujuannya. Ketika mendekati kampung Emari hari sudah gelap. Keadaan disekitar kampung sepi, karena semua penduduk kampung sedang asyik menyanyi dan menari di JE. Karena lelah mereka tertidur dengan nyenyaknya.
Sesudah mengamati keadaan maka Beorpit Merauke mulai melaksanakan rencana pembalasannya, sama seperti apa yang tela dilakukan Beorpit dari Asmat.
Selesai melaksanakan niatnya, ia kembali ke Merauke dengan membawa kedua benda ajaib itu.
Keesokan hari sebagian orang yang berada dirumah-rumah terkejut, karena mendengar berita bahwa orang-orang yang bermalam di JE sudah dibunuh. Kejadian ini menimbulkan kesedihan pula bagi seluruh warga kampung. Ketika itu juga keadaan di sekitar kampungpun tiba-tiba menjadi gelap.
Sementara itu di Merauke terdengar pula, bunyi tifa dan bambu seperti sedia kala. Karena peristiwa yang dialami ini menyebabkan kematian saudara-saudaranya maka Beorpit Asmat berniat lagi untuk mengadakan pembalasan. Oleh sebab itu ia pergi lagi ke Merauke dan setibanya disana melakukan lagi hal yang sama seperti pertama kali. Ternyata ia berhasil dalam melaksanakan niatnya. Sesudah ia kemabli kekampung Emari, Semua orang bergembira atas keberhasilannya.
Kini kedua benda ajaib itu berada ditangan mereka. Menurut firasatnya pasti ada pembalasan lagi untuk merebut kedua benda tersebut. Oleh sebab itu untuk memepertahankan kedua benda ajaib itu, orang-orang Asmat mengatur siasat. Ketika hari telah malam, mereka membagi tugas untuk menjaga keamanan. Ada yang menjaga di tepi sungai, ada pula yang dibawah kolong JE dan yang lainnya manjaga ditangga masuk.
Memang dugaan mereka tepat. Ternyata Beorpit dari Merauke yang dating hendak mengadakan pembalasan lagi. Tetapi nasibnya sangat malang, karena ia ditangkap kemudian dipancung kepalanya di dalam JE.
Orang-orang Merauke lama menunggu utusannya, namun ia tak kunjung kembali. Karena terlalu lama menunggu mereka mengirim seorang lagi, namun nasibnya juga malang seperti Beorpit.
Akibat peristiwa ini orang-orang Asmat mengungsi ke kali Ayip. Karena mnurut menurut mereka tempat lama tidak menjamin keamanan hidupnya. Setelah berada di tempat baru mereka tinggal dalam keadaan aman dan tentram. Tifa dan bambu ajaibpun dibawa serta dan telah menjadi milik pusakanya.*
Sumber :
http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/01/09/tifa-dan-terompet-bambu/

Read full post »

Asal Mula Pulau Mambor

0 comments
Pulau Mambor tarmasuk salah satu pulau dari beberapa gugusan pulau di sebelah timur kota Nabire di Kabupaten Paniai. Di pulau ini terletak salah satu pegunungan dan slah satu puncaknya yang tertinggi adalah gunung Momurkotei.
Dahulu di gunung tersebut berdiamlah sepasang suami istri, berasal dari keturunan Mambri. Suami istri tersebut masing-masing bernama Mumu dan Waisei. Keduanya hidup rukun dan damai serta dikaruniai dua anak laki-laki.
Wonggora adalah nama kakaknya sedangkan adiknya bernama Nonambo. Keduanya diasuh hingga dewasa lalu dikawinkan. Dari perkawinan mereka lahirlah cucu-cucu Mumu dan Waisei.
Wonggora memperoleh seorang anak yang dinamai Tarahijori. Adiknya Nonambo memperoleh dua orang anak, yaitu seorang anak laki-laki yang bernama Dauma dan adiknya seorang anak perempuan. Mereka diasuh dan tumbuh menjadi dewasa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bermain dan bergaul seperti biasa, namun akhirnya Dauma dan Tarahijori memadu cinta. Hubungan antara keduanya semakin mendalam sehingga saling mengikat satu janji untuk sehidup semati. Keinginan mereka ini disampaikan kepada orang tua masing-masing.
Pada suatu hari Dauma bersama ayahnya berkunjung ke rumah Wonggora. Maksud kedatangannya hendak meminang Tarahijori agar dijodohkan dengan Dauma. Namun apa daya karena pinangannya ditolak oleh Wonggora. Bagi Dauna hal ini adalah suatu pukulan yang tidak habis dipikirkan olehnya. Sebab itu dari pada tidak memiliki kekasih lebih baik bunuh diri. Ia mencari akal bagimana cara membunuh kekasihnya dengan cara yang tidak mencurigakan. Oleh sebab itu ia mempelajari kebiasaan-kebiasaan Tarahijori yang setiap hari pergi membuang air besar di bawah pohon. Di tempat inilah Dauma melaksanakan niatnya dengan memasang sembilu di akar-akar pohon untuk mencelakakan kekasihnya.
Pada hari berikutnya Tarahijori hendak pergi membuang air besar seperti biasanya dilakukan. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara jeritan di bawah pohon besar meminta pertolongan. Ternyata sembilu yang dipasang oleh Dauma kena kekasihnya dan banyak mengeluarkan darah.
Akibat sembilu yang dipasang maka meninggallah Tarahijori seketika itu juga. Kematian Tarahijori meninggalkan luka yang mendalam bagi keluarga Wonggora.
Akibat musibah ini, Wonggora menyatakan perang saudara terhadap adiknya, sebab musibah ini dilakukan oleh Dauma, karena lamarannya ditolak.
Nonambo pun menanyakan hal itu kepada anaknya dan ternyata Dauma mengakui perbuatannya. Sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap perbuatan anaknya, maka tantangan Wonggora diterima.
Oleh sebab itu masing- masing mencari pengikutnya, lalu pecahlah perang sengit antar keluarga pihak Wonggora dengan Nonambo. Sementara perkelahian sedang berlangsung, tiba-tiba ada serangan masuk dari kampung lain di kampungnya. Akhirnya demi keselamatan dan kesatuan penduduknya, kedua bersaudara itu bersatu kembali untuk melawan musuh. Setelah mengusir lawannya, maka perang antara keduanya pun berhenti dengan sendirinya.
Untuk memulihkan persaudaraannya kembali, mereka bermaksud mengadakan pesta perdamaiaan. Berita pesta perdamaiaan itu tersiar keseluruh pelosok kampung di pulau itu. Terutama para pemudanya sangat tertarik lalu berdatangan hendak menyaksikan perayaan pesta tersebut. Saat pesta dilangsungkan, hadir pula seorang pemuda tampan yang membawa tifa di tangannya.
Pemuda tadi benar- benar terpesona oleh pandangan seorang gadis yang ikut melayani para tamu dengan makanan dan minuman. Gadis tersebut adalah anak dari Nonamba, dari pandang memandang akhirnya mereka berkenalan.
Mambarua, demikian nama pemuda itu putra raja kerajaan dasar laut. Ia menjelaskan bahwa sebelum naik takhta menggantingkan orang tuanya diharuskan mempersunting seorang gadis sebagai calon istrinya.
“Apakah anda tidak akan kecewa, bila mendapat gadis kampung seperti aku ini? Bukankah banyak wanita cantik di kalangan bangsawan?” tanya gadis itu.
“Betul adinda, tapi diantara mereka tidak ada seorang pun yang menarik perhatianku,” kata Mambarua.
Akhirnya gadis itu yakin terhadap Mambarua, lalu berpesan agar segera meminang melalui orang tuanya.
Malam berikutnya Mambarua berkunjung ke rumah orang tua gadis itu. Maksud kedatangannya hendak meminang anak gadis Nonambo. Setelah menungkapkan asal-usul dan keinginan hatinya, maka orang tua si gadis merestui kehendak kedua remaja itu. Namun Nonamba mengajukan suatu persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mengadakan upacara pernikahan, yaitu pembayaran mas kawin berupa:
-sebuah dusun sagu
-sebuah jembatan penghubung pulau dan daratan
-serumpun bambu
-sebuah tifa dan
-sebuah gelang paseda

Mambarau berjanji bahwa mas kawi tersebut akan di penuhi setelah perkawinan mereka.
Untuk mengukuhkan kedua remaja yang baru berkenalan sebagai suami istri yang sah, maka dilakukan lah upacara pernikahan secara adat,. Pernikahan ini dimeriahkan oleh penduduk semalam suntuk.
Keesokan harinya Mambarua meminta diri mendahului rombongan yang akan mengantar istrinya, untuk mempersiapkan upacara penyambutan dan pelantikan di istana. Sebelum pergi ia berpesan pada istrinya supaya segera menyusul dan menunggu dipantai. Bila istrinya melihat tiga buah gelombang besar, itulah tanda bahwa Mambarua sudah siap menjemput rombongan.
Benar juga, ketika rombongan istrinya dengan ketiga perahu menunggu di pantai, terlihatlah tiga buah gelombang besar yang beriringan ke pantai. Permaisuri bersama orang tuanya berada di perahu depan. Ketiga gelombang itu sampai di tempat perahu- perahu tersebut, maka terjadilah keajaiban dimana perahu-perahunya langsung terbawa ke dasar lautan.
Rasanya seakan- akan mereka tidak memasuki lautan, tetapi memasuki sebuah wilayah yang luas dan menyenangkan. Mereka di sambut oleh sepasukan pengawal istana yang berderet di sebelah kiri-kanan jalan masuk.
Setiba di istana, Mambarua menyambut calon istrinya lalu membawa masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan berdandan. Sedangkan rombongan diterima oleh para pelayan di ruang upacara.
Saat yang dinantikan oleh para tamu sudah tepat dan sang raja memasuki ruang upacara. Upacara segera dimulai dengan acara pertama perkenalan permaisuri beserta rombongannya kepada para tamu. Berikutnya adalah upacara penobatan Mambarua sebagai raja yang dilaksanakan dengan penuh hikmat. Upacara perkenalan dan penobatan raja muda diakhiri dengan makan bersama di istana.
Setelah tiga hari para pengantar permaisuri diperkenankan meninggalkan istana sedangkan permaisuri tetap tinggal di kerajaan lautan.
Pada suatu hari Mambarua memberitahukan niatnya pada sang istri, bahwa ia hendak membayar mas kawi pada orang tuanya di kampung. Sesudah sepakat berangkatlah keduanya bersama beberapa prajurit dan setiba di kampung raja muda menyerahkan mas kawin berupa :
-Sebuah tifa kebesaran yang disebut BIRINEBISEI
-Empat buah mata air yang masing- masing bernama SERU, BATAIBORO, KAKURU, dan BABINGGATU.
-Sebuah jembatan yang bernama BABISIR
-Serumpun bambu yang bernama WAHAMU, dan
-Sebuah gelang poseda.

Hari berikutnya raja muda bersama istrinya meninggalkan kampung mertuanya lalu kembali ke dasar laut. Sedangkan penduduk kampung yang ditinggalkan berpestapora sehubungan dengan penerimaan mas kawin yang baru saja diselesaikan. Namun di tengah-tengah puncak keramaian pesta itu, tiba- tiba ada musuh yang menyerang. Akibat penyerangan itu banyak penduduk yang melarikan diri jauh dari kampung.
Pada saat bersamaan Mambarua merasa gelisah. Rasanya ada sesuatu firasat jelek. Firasat tersebut menimbulkan rasa curiganya dan ingin tahu akan keadaan di daratan.
Oleh sebab itu Mambarua bermaksud melihat-lihat keadaan di kampung mertuanya. Istrinya menyetujui keinginan suaminya serta berpesan agar berhati-hati dalam perjalanan.
Saat itu juga Mambarua berangkat dengan para pengawalnya dan setibanya di sana ternyata firasatnya benar sebab ada laporan dari penduduk, bahwa baru saja ada perampokan di kampungnya dan musuh telah melarikan diri ke arah barat.
Setelah memperoleh petunjuk, sang raja perintahkan para prajuritnya melakukan pengejaran dan ternyata mereka berhasil menguasai musuhnya serta membawa kembali barang- barang yang dirampas tadi. Namun masih ada satu benda yang paling berharga, yang tidak dapat di bawa olehnya, yaitu tifa kebesaran karena sempat di bawa kabur oleh musuhnya.
Karena RAO yang menyerang kampung mertuanya maka pulau yang digunakan untuk beristirahat, di balik oleh raja muda itu dengan gelombang dashyat. Akibatnya hingga kita tempat itu tidak ditumbuhi apa-apa hanya berkarang dan disebut : ROF KAREY.
Dari pertempuran ini sebagian dari pihak Rao dapat menyelamatkan diri ke daerah Wandamen dengan membawa tifa kebesaran, sedangkan pulau yang di mana mertua Mambarua bertempat tinggal dinamakan pulau MAMBOR.*

Sumber : http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/02/06/asal-mula-pulau-mambor/
Read full post »

Sunday, December 21, 2008

Kasuari dan Dara Mahkota

0 comments
Dahulu kala burung kasuari tidak seperti yang kita kenal saat ini. Dia memiliki sayap yang lebar dan kuat sehingga ia bisa mencari makan di atas pohon yang tinggi tapi juga bisa dengan mudah mencari makan di atas tanah. Kelebihannya ini membuat Kasuari menjadi burung yang sombong. Dia sering berbuat curang saat berebut makanan dan tidak peduli jika teman-temannya yang lain kelaparan gara-gara dia. Sayapnya yang lebar biasa dia gunakan untuk menyembunyikan buah-buahan ranum di atas pohon, sehingga burung-burung lainnya tidak bisa melihatnya. Atau dengan sengaja dia menjatuhkan buah-buahan ranum itu ke tanah sehingga Cuma ia sendiri yang bisa menikmatinya. “Biar saja!” pikirnya, “Salah sendiri kenapa mereka punya sayap yang pendek dan badan yang kecil. Siapa cepat dia yang dapat.” 

Tentu saja kesombongannya tidak disukai burung-burung lainnya. Mereka menganggap Kasuari sudah keterlaluan dan keangkuhannya harus segera dihentikan. Akhirnya para burung berkumpul untuk membahas masalah ini. Setelah berbagai cara diajukan akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan perlombaan terbang. Namun ternyata sulit menemukan lawan yang sebanding dengan Kasuari. Tiba-tiba burung Dara Mahkota mengajukan diri untuk bertanding terbang dengan Kasuari. Meskipun banyak yang meragukan kemampuannya karena Dara Mahkota hanyalah burung kecil, tapi Dara Mahkota meyakinkan mereka bahwa dia mampu. 

Mereka lalu mengirimkan tantangan tersebut kepada Kasuari. Kasuari yang sangat yakin dengan kemampuannya langsung menyanggupi tantangan tersebut tanpa repot-repot bertanya siapa lawannya. 
“Pertandingannya akan diadakan minggu depan dan akan disaksikan semua warga burung!” kata burung pipit. “Yang bisa terbang paling jauh dan lama yang menang.” 
“Ya ampun…kalo begitu pasti aku yang menang. Di hutan ini tidak ada yang memiliki sayap selebar dan sekuat punyaku. Jadi pasti aku yang menang,” kata Kasuari pongah. “Tapi baiklah aku terima tantangannya, lumayan buat olahrga!” 
Burung pipit sebal mendengar jawaban Kasuari, tapi dia tahan emosinya. “Tapi ada ketentuannya. Sebelum bertanding, peserta boleh saling mematahkan sayap lawannya,” kata pipit. Kasuari pun menyetujuinya tanpa ragu-ragu. 

Seminggu kemudian, warga burung berkumpul untuk meyaksikan pertandingan terbang tersebut. Meski tidak terlalu yakin, mereka semua berharap Dara Mahkota akan memenangkan pertandingan tersebut. Diam-diam Dara Mahkota menyisipkan sebilah ranting di balik sayapnya. Kasuari yang baru mengetahui lawannya tertawa terbahak-bahak, “ini lawanku?” katanya sambil tertawa, “mimpi kali kamu ye…? Hei…burung kecil, sayapmu pendek mana bisa menang melawanku!”. Burng-burung kecil lainnya sebal menyaksikan tingkah Kasuari sementara Dara Mahkota hanya tersenyum menanggapinya. 

Kini mereka siap bertanding. Kasuari maju untuk mematahkan sayap Dara Mahkota. KREK! Terdengar bunyi sayap patah. Dara Mahkota pura-pura menjerit kesakitan. Padahal sebenarnya bunyi tadi berasal dari ranting kering di bawah sayap Dara Mahkota yang patah. Kini giliran Dara Mahkota yang akan mematahkan sayap Kasuari. Dengan sekuat tenaga dia menekuk sayap Kasuari hingga terdengar bunyi KREKK yang keras. Kasuari menjerit kesakitan. Sayap Kasuari yang patah tergantung lemas. Tapi Kasuari yang sombong tetap yakin dirinya akan menang. 

Sekarang mereka sudah siap untuk bertanding. Ketika aba-aba dibunyikan, Dara Mahkota dengan ringan melesat ke udara. Sayapnya mengepak dengan mudah membawa tubuhnya yang mungil terbang ke angkasa. Kasuari terkejut dan heran karena tadi dia mengira sayap Dara Mahkota telah patah. Dengan panik dia mencoba mengepakan sayapnya dan mencoba mengangkat tubuhnya ke atas. Tapi bukannya terbang tinggi, tubuhnya malah meluncur ke bawah dan jatuh berdebum di tanah. Semua burung bersorak senang sementara Kasuari terkulai lemas. Dengan perasaan malu dia meninggalkan tempat itu. Sejak saat itu Kasuari tidak pernah bisa terbang. Sayapnya yang dulu lebar dan kuat kini memendek karena sudah patah. Kini meski dia disebut burung namun dia hanya bisa berjalan dan mencari makan di tanah seperti binatang lain yang tidak memiliki sayap.
Sumber :
http://www.freewebs.com/dongengperi/Tales/Dong%20Bocah/kasuari_dara.html

Read full post »

Saturday, December 20, 2008

Asal Mula Kerang di Nimboran

0 comments
Cerita dari Kayu Injau, Teluk Nubai-Irian Jaya.


Di desa Congwei dekat Skou, Utara daerah Jayapura, pada waktu dulu hidup suatu mahluk bernama Wei. Oleh penduduk setempat Wei disebut pula dengan nama Tangi, yaitu seekor ular besar yang pandai berbicara seperti manusia.
Konon Wei bukanlah ular biasa, sebab meskipun pada siang hari ia berujud ular besar, tetapi paa waktu malam ia menjelma sebagai manusia biasa, bahkan ia makan dan minum seperti orang kebanyakan.
Semula ia datang dari langit, turun ke bumi lewat pohon Ganemu, sejenis pohon yang buahnya enak dimakan, kemduian bertempat tinggal di gua di dekat pohon tersebut. Letaknya menghadap ke laut, membelakangi bukit, supaya mudah mencari ikan, tetapi terlindung dari angin dingin.
Ketika ia turun dari langit itu, dibawanya bibit tanaman untuk dikembang-biakkan di bumi. Antara lain kelapa, pisang dan biji sagu. Selain itu ia pun membawa biji pohon ajaib namanya Rawa Tawa Pisoya. Pohon ajaib buahnya berujud kerang berharga, nilainya sama dengan uang.
Wei menanam pojon Rawa tawa Pisoya di tempat yang tersembunyi, di dalam gua tempat tinggalnya. Di atas pohon dibuatnya semacam pagar dan ditutupnya dengan tikar. Dengan demikian buahnyasukar diambil orang atau dimakan binatang hutan dan tidak tersebar di tempat lain.
Pada suatu hari Wei kembali pulang dari berburu. Ia mengenakan pakaian ular. Ketika sedang merayap di bawah pohon Ganemau dilihatnya beberapa buah yang masih muda berserakan.
Aneh pikirnya. Pasti ada orang yang mengambil buah itu. Sebab hari itu tiak ada angin besar melanda pantai. Ia pun melihat ke atas dan tampak dua orang perempuan berada di cabang, memilih buah yang masak dan makan sepuas-puasnya, yng masih muda mereka lemparkan ke bawah.
Wei tiak berkehenak untuk mengusiknya. ia tahu, mereka akan turun sendiri jika telah kenyang. Ia berhenti dan memperhatikan perempuan-perempuan tersebut. Agaknya mereka kakak dan adik.
Tiba-tiba salah seorang melihat ke bawah. Lalu katanya, "Hei, lihatlah kak! Di bawah ada yang menunggu. Siapakah gerangan yang di bawah pohon? Nenek kah, pak lik, ipar atau kah kakak? aku Lermoin dan Yarmoin dari Danau Sentani."
"Ular itu tidak bermaksud jahat"kata perempuan yang muda. "Ia mengajak kita ke tempat tinggalnya. Mari kita ikuti."
Kedua orang perempuan itu pun mengikuti ular dari belakang. Mereka melewati pintu gua dan masuk ke kediaman Wei. Kiranya di dalam cukup lebar dan teratur sangat rapi. Seperti keadaan rumah biasa, ada tempat untuk makan, untuk tidur dan untuk masak.
Wei berumah tangga seperti manusia. Ia makan makanannya setelah dipanggang atau dimasak dan menggunakan piring. Perlengkapan masaknya teratur baik. Seorang nenek tua tinggal bersama dia di alam gua. Tahulah perempuan-perempuan itu, bahwa yang diikuti bukan ular biasa. Mereka senang bertempat di sana untuk sementara waktu. yang muda menunjukkan sikap yang ramah dan baik. Si ular senang. Lain halnya dengan yang tua, ia selalu bersikap acuh tak acuh.
Pada waktu petang Lermon berjalan seorang diri ke luar gua. Wei belum kemali dari laut. Secara kebetulan dijumpainya kulit ular besar yang biasa dipakai oleh Wei, tersembunyi di balik semak-semak. ia tahu pasti, pakaian ular itu milik Wei. Ia mengambil kulit itu lalu menyembunyikannya ke tempat lain, tnpa setahu saudaranya.
Sejak kejadian itu Wei kembali berujud manusia biasa. Ia menjadi pendiam. Tamunya diajak meninggalkan gua dan membangun rumh dekat pohon Ganemu. Kegemarannya berubah. Tiap-tiap hari Wei sibuk mengumpulkan berbagai macam serangga. Ia pelihara serangga itu baik-baik di rumah karaweri, bangunan yang khusus untuk tempat menenangkan hatinya. Juga dikumpulkannya berbagai jenis kepala burung. Kadang-kadang ia sehari penuh berada di rumah karaweri, tidak menghiraukan tamunya.
Diduga Wei akan membuat sesuatu yang ajaib. Pada suatu hari Wei pergi mencari ikan di laut. Sebelum berangkat ia berpesan kepada nenek tua "Hari ini saya akan kembali agak terlambat. Jagalah kedua perempuan itu. Larang dia pergi kemana-mana dan jangan biarkan mereka mendekati rumah karaweri. Jika mereka ingin makan sirih, nenek berikan dulu kapur sirih nenek."
Sudah lama tamu perempuan yang tua ingin mengetahui pekerjaan Wei di dalam rumah karawei. Dimintanya adiknya agar menolong nenek di dapur. ia akan pergi ke luar sebentar mengambil sayuran di kebun, katanya. Demikianlah ia diam-diam mendekati rumah larangan itu.
Keadaan di dalam rumah karaweri sanat menakjubkan. Ia menyaksikan taman serangga beraneka warna. Kupu-kupu yang bentuk sayapnya berlain-lainan. Capung-capung besar-besar. Macam-macam serangga yang kulitnya warna-warni. Semuanya berada di dalam kurungan dan teratur sangat rapi. Perempuan itu tidak dapat mengenalkan rasa ingin tahunya.
Ia memegang pintu kurungan, ingin memegang kupu-kupu yang bersayap tiga warna. Dibukanya pintu itu dan ... beterbanganlah serangga di dalamnya. Ia menjadi bingung dan ketakutan karena tak sempat menutup pintu kembali. Keluar ia dari rumah karaweri sambil berteria-teriak.
Nenek dan adik perempuannya segera datang menolong tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Berpuluh-puluh serangga terbang keluar. Banyak di antaranya yang mati, bangkainya berserakan. Tak ada yang dapat dikerjakan oleh perempuan-perempuan itu, yang tua menangis menyesali perbuatannya, menunggu Wei kembali.
Peristiwa pelanggaran seiji (larangan) itu segera diketahui oleh pemiliknya. Perahunya sebentar saja penuh dengan bangkai serangga.
"Ah pasti perempuan itu telah masuk ke rumah larangan," pikirnya.
"Pekerjaanku selama ini sa-sia belaka."
Ia mengangkat joran kailnya. Ikan-ikan yang tertangkap dibuangnya. Berkayuh ia pulang dengan perasaan cemas dan langsung menuju rumah karaweri. Hatinya terasa bagai disayat-sayat ketika melihat piaraannya banyak yang mati sebelum waktunya. Usahanya hancur dan sia-sia. Dengan menitikkan airmata dikumpulkannya bankai serangga yang terserak, ditanamnya di samping rumah. Sebagian dibungkusnya dan dibawanya masuk ke rumah.
Sejak itu ia tidak kerasan lagi tinggal di rumah. Tanah terasa panas diinjaknya. ia memutuskan untuk pindah ke Barat. Pohon ajaib dicabut, diambilnya beberapa buah biji yang telah tua. berkata ia sebelum pergi "Tinggalah kalian menjaga rumah ini. Aku akan pergi ke Teluk Nubai. Kelak jika anak cucu kita mendapat kesulitan , anjurkan mereka pergi ke sana. Biar persahabatan selalu terjalin. Kita bangun Teluk Nubai bersama-sama."
Demikianlah Wei pergi seorang diri menuju ke pantai. ia mengenakan pakaia kulit ikan jenis hiu lalu terjun ke laut, berenang menuju ke Teluk Nubai ....................
Pada waktu itu nenek moyang keluarga Sibi dan Chai masih bertempat tinggal di pulau Kayu Injau. Konon mereka dahulunya pun turun dari langit, selanjutnya bermukim di bagian timur serta barat pulau Kayu Injau. Dua bersaudara yang tua bernama Sibi dan yang muda bernama Sademboro.
Yang tua mempunyai kegemaran berburu. ia biasa pergi ke hutan sampai berhari-hari, diikuti oleh anjingnya yang setia. ia jarang berada di rumah. yang muda, Sademboro mempunyai kegemaran lain. ia gemar tinggal di pantai an memelihara ikan. Peraian di antara Tanjung Bechai Sibi Sechomo danPangasechu dahulu adalah tempat memelihara ikan.
Hingga kini penduduk setempat banyak yang percaya bahwa sejak dulu daerah ini banyak sekali ikannya. Sademboro tiap waktu jika memanggil ikan piaraannya, penuhlah permukaan laut dengan ikan Tocha.
Wei berenang terus mencari tempat tinggal yang baru. ia melewati Hol-Thaikang Nafri dan tabati. Akhirnya ia memasuki perairan Teluk Nubai dekat pulau Kayu Injau. ia sangat lelah akibat terlalu lama berada di dalam air. Berulang-ulang apabila ia melepas lelah sebentar di atas air, orang-orang selalu memanahnya. Mereka tertarik kepada siripnya yang berkilau-kila dan mengira dia ikan jenis hiu yang besar.
Wei tiak kuat lagi melanjutkan berenang. Apalagi beberapa anak panah telah melukai tubuhnya, bahkan masih aa yang tertancap di punggungnya. Ia menyembulkan kepala di atas air.
Ketika itu Sademboro berada di atas perahu, mengawasi ikan-ikannya. Kepala ikan Wei segera dilihatnya. Maka diambilnya anak panah, siap dilepas... Untunglah Wei melihat juga. ia masih sempat berteriak "Jangan aku kau panah. Aku bukan ikan biasa..." Sademboro tidak jadi memanah. ia berkayuh mendekati ikan yang bicara itu, Wei melanjutkan bicara:"Tolonglah mencabut anak panah yang menancap di tubuhku ini".
Keduanya naik ke arat. Wei ditolong pelan-pela. Setelah itu Wei melepas tutup kepala ikannya. Tampak wajah laki-laki yang tampan. Sademboro membantu menabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Luka-lukanya diparami dengan ramuan akar-akar kayu yang dilumat dengan daun-daunan. Kekuatannyapun pulih. Atas pertolongan itu Wei berterimakasih, katanya "Ipar, ada padaku biji sagu. Kekuatanku kini telah pulih atas pertolonganmu. Aku sangat berterimakasih dan berhutang budi padamu. Aku akan membalas kebaikanmu. Untukmu dan anak cucumu kubuatkan sebidang kebun sagu di daerah ini."
Maka disebarlah biji sagu di tepi sungai Nubai.
"Kebun ini kusebut Yachmani, peliharalah sebaik-baiknya,"katanya lagi.
"Lagipula, guna mengenangkan persaudaraan kita seterusnya, maka kepada anak cucumu kelak aku ijinkan mengukir gambarku baik paa badan perahu maupun pada ujung kayu pendayung(hingga kini keluarga Sademboro mengukir badan perahu dan ujung pendayung dengan gambar ikan Chai, ikan yang tidak boleh dimakan oleh keluarga tersebut)
"Mereka kemudian hari kuperkenankan juga menyimpan barang-barang perhiasan di dalam tas anyaman seperti yang saya pakai sekarang, sochri-ai"
"Apabila anak cucumu kelak melahirkan anak, maka berilah nama Chai, apabila bayi yang dilahirkan itu laki-laki dan jika perempuan namailah Rechoi. Adalagi permintaanku, sebutlah babi jantan dengan Nao dan yang betina Biae (Nao diberikan juga sebagai nama ombak laki-laki, ombak laut dari angin barat, sedang ombak yang dibawa angin timur-ombak musim hujan, disebut Biae yang berarti ombak betina).
Segala pesan Wei diperhatikan dan ia berjanji akan melaksanakannya. Weipun mengenakan pakaian ikan kembali, bersiap-siap untuk terjun. Sademboro cepat-cepat berkata "Tunggu dulu, jangan terjun dulu. Aku mempunyai saran". Wei tidak jadi terjun ia mendengarkan Sademboro.
"Kukira kamu lebih baik tinggal di sini saja. Di sebelah barat Pulau Kayu Injau terdapat celah batu, sangat aman untuk berlindung. Aku khawatir orang-orang di Nubai akan membunuhmu."
"Akan kita lihat keadaannya," Jawab Wei. Bersama-sama mereka pergi ke barat. Benar juga di sana terdapat celah batu seperti yang diceritakan Sademboro. Wei pun seger terjun menuju celah itu. Tetapi celah itu kecil, tiak dapat memuat tubuh Wei. Sejak itu tempat itu disebut Sarbache Kechaiji.
Dari atas permukaan air Wei berkata "Aku terpaksa minta diri Sademboro. Terimakasih atas pertolonganmu, lebih-lebih atas usahamu mencarikan tempat bagiku, meskipun terlalu sempit. itu membawa kebaikan bagi kita, sebab Skou tempat asalku letaknya tak terlalu jauh dari sini, pasti keluargaku akan tahu jika aku menetap di tempat ini. Kita sudah mempererat persaudaraan. Pemberianku telah kau balas dengan memberikan sesuatu padaku, maka ijinkan aku berangkat..."
"Jangan... jangan pergi Wei. Tinggalah di sini aku akan melindungimu ... Apa jawabku jika keluargamu datang kemari?"
"Aku tahu kebaikanmu Sademboro. Jika kemudian hari anak cucumu berlebih memperoleh hasil sagu atau ikan, janganlah melupakan pada keluarga saya di Skou. Kuminta juga kepadamu agar sejak sekarang kamu dan anak cucumu tidak makan ikan Chai, udang bakau, ikanputra ware, ikan chrui, ikan cumeja serta kerang jenis timsane. Aku berdoa kamu an keluargamu dijauhkan dari segala penyakit."
"Jika waktunya datang anak cucumu meninggal, maka ruh-ruh keluargamu akan kami tunggu di bukit Surbarai di dekat Taria. Olehkarenanya mandikan dulu mayatnya dengan air sungai Nubai agar mereka dapat berkumpul di bukit bersama-sama. Dan ingatlah, sewaktu angin bertiup dari arah barat lewat sungai Nubai menuju kampung, itulah tandanya bahwa ada seseorang dari keluargamu yang kami pangil ke Tarfia."
Banyak sekali pesan Wei, Sademboro mencatatnya alam hati. Wei minta diri, menuju barat.
Pada keadaan itu penduduk menyebutnya Wei Tahaiti artinya Chai di laut.
Ikan hiu Chai berenang ke Wachaiba, ia diterima oleh keluarga Toto. Wei tiak ditolong naik ke darat karena ia tidak singgah lama. Seperti di Nubai, Wei juga membuatkan kebun sagu bagi keluarga Toto.
Wei berpesan "Saya tidak menetap, tujuan saya adalah Tarfia. Pesanku bagi anak-cucumua, jika memotong pohon sagu jangan dipotong habis semuanya. Tinggalkan satu-dua batang dan beralihlah memotong sagu ke tempat lain. Dengan demikian kamu an anak cucumu tidak kekurangan makan."
Setelah selesai Wei meneruskan perjalanan yang terakhir. Sore hari ia mendekati kampung Tarfi. Penduduk seempat belum naik ke rumah, mereka masih banyak yang berada di atas air mencari ikan. Wei menunggu dari jauh. Hari mulai gelap, perlahan-lahan ia mendekati kampung. Dilihatnya seorang laki-laki tua duduk sendiri di dekat tangga. Ia menganggukkan kepala mengajak berkenalan.
"Pak tua. aku datang untuk mintya pertolongan," kata Wei. Laki-laki tua itu terkejut, lalu memperhatikan mahluk di depannya. Lembing telah siap di tangannya.
"Bunuhlah aku dengan lembingmu. Bagikan dagingku kepada semua penduduk kampung. Hanya aa satu permintaanku, janganlah makan perut besarku. Tanamlah di kebun belakang rumahmu. Kelak di sana akan tumbuh pohon ajaib."
Pak tua masih ragu-ragu.
"Bunuhlah segera diriku. Lembingmu jangan kau pegang saja, kamu dan keluargamu tidak akan mendapat alangan suatu apa."
Pendeknya permintaan Wei dipenuhi. Ditusuknya ikan hiu itu sekuat-kuatnya sampai mati. Kemudian ia berteriak minta bantuan. Orang datang bersamai-ramai mengangkat ikan hiu itu. Dagingnya dibagi-bagi, tiak ada yang tidak kebagian dan perut besarnya ditanam di kebun sesuai permintaan Wei. Selang beberapa waktu tumbuhlah pohon ajaib di kebun Tarfia. Buahnya mengeluarkan bau busuk seperti bau bangkai. Kampung itu seakan penuh dengan bangkai ikan laut, baunya membuat pusing kepala. Orang-orang tua berkumpul membicarakan kejadian itu. Semua setuju agar pohon warisan ikan hiu itu dipindahkan ke tampat yang jauh. Tidak ada gunanya memelihara pohon ajaib jika seluruh penduduk menjadi sakitkepalanya.
Demikianlah pekerjaan memindahkan pohon dilaksanakan oleh orang-orang tua yang telah banyak pengalaman. Mereka mengunakan ilmu warisan nenek moyang. Maka terlemparlah batang pohon ajaib jauh-jauh oleh angin besar dan jauhd dari daerah Nimboran. Buah-buah yang berbau busuk pecah berhamburan isinya, berupa kerang kerang kauri, alat pembayar berhaga pada waktu itu. Itulah konon asal mulanya mengapa di daerah Nimboran di pedalaman terdapat banyak peninggalan kerang laut, sedang di daerah pantai jarang ditemukan.



(Disajikan kembali oleh Suyadi Pratomo, PN Balai Pustaka 1978)
http://legendanusantara.blogdrive.com/
Read full post »
 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger