Sunday, February 19, 2012

Ncuhi Mawo

0 comments
Ada sebuah ncuhi bernama Ncuhi Mawo, letaknya berdekatan dengan Ncuhi Jia. Ncuhi adalah nama daerah pemerintahan yang amat luas dan kepala pemerintahannya dipanggil menurut nama daerah yang diperintahnya. Kedua daerah ncuhi tersebut masuk daerah kekuasaan Sangaji Mbojo di Bima, Pulau Sumbawa.

Ncuhi Mawo amat disegani dan ditakuti oleh ncuhi-ncuhi lain. Ia seorang ncuhi yang terkenal peberani, kebal, lagi sakti. Itulah sebabnya ia menjadi angkuh dan sombong serta suka merendahkan orang lain.

Menurut adat, setiap tahun semua ncuhi yang ada di bawah kekuasaan pemerintahan Baginda berkewajiban ke istana dan menyerahkan upeti kepada Sangaji. Akan tetapi dalam tahun ini Ncuhi Mawo tidak mau menghadap. Bahkan ia menghasut rekannya ncuhi-ncuhi yang lain supaya tidak menghadap ke istana. Ia pernah berkata, “Martabatku sama saja dengan martabat Sangaji.” Ncuhi-ncuhi yang lain hanya diam saja saat mendengarnya. Namun tak ada seorang pun yang terpengaruh.

Tentang pembangkangan Ncuhi Mawo, Baginda Sangaji telah mengetahuinya. Maka dipanggilnya semua ncuhi bawahannya untuk mengadakan sidang khusus.

“Sampai akhir tahun ini Ncuhi Mawo tidak datang memenuhi kewajibannya. Barangkali Anda ada yang mengetahui keadaaan Ncuhi Mawo yang sebenarnya? Harap Anda semua memberi kesaksian,”demikianlah Baginda Sangaji memulai sidang.

“Tuanku Baginda yang mulia, menurut pernyataannya sendiri yang kami dengar, ia memang sengaja tidak datang menghadap. Bahkan dia pernah mengatakan kedudukannya sama dengan Baginda. Kami yakin ia tidak mengalami kesulitan. Ia bahkan pernah menghasut agar kami mengikuti jejaknya” Demikian kesaksian Ncuhi yang pernah diajak bicara Ncuhi Mawo.

Baginda tak menyangka sejauh itu perbuatan Ncuhi Mawo. Beliau berterimakasih kepada ncuhi-ncuhi yang lain atas kesaksiannya. Kemudian Baginda memutuskan bahwa jika Ncuhi Mawo tidak mau mengubah sikapnya, ia harus dijatuhi hukuman.

Sangaji kemudian mengirim beberapa orang utusan untuk menyampaikan keputusan tersebut kepada Ncuhi Mawo, namun ia tetap menentang. Akhirnya Baginda memutuskan Ncuhi Mawo dijatuhi hukuman mati. Untuk melaksanakan hukuman bagi Ncuhi Mawo, ditugaskan Ncuhi Jia, adik kandung Ncuhi Mawo. Tugas yang amat berat, namun Ncuhi Jia bersedia menerimanya.

Ncuhi Jia kemudian memeras otak mencari cara agar pelaksanaan hukuman itu tidak tampak keji dan mengerikan. Ia mendapat ide lalu menghadap Baginda Sangaji diam-diam memohon agar dia diberi dua pekerja istana yang terpercaya untuk membantunya. Tentu Baginda menyanggupi.

Dalam melaksanakan tugasnya, Ncuhi Jia bersiasat pertama-tama ia akan menyerahkan dua orang pekerja istana tersebut menyamar sebagai hamba Ncuhi Mawo agar bisa menjadi mata-mata. Tugasnya adalah mencari tahu di bagian tubuh mana letak rahasia kesaktian dan kekebalannya, juga apa sebab-sebabnya.

Kemudian Ncuhi Jia membawa mereka pada Ncuhi Mawo. Dijelaskannya bahwa 2 hamba ini jujur, rajin, dan setia, hadiah dari Baginda bahwa murkanya telah tiada. Permasalahan dijelaskan begitu halus dan piawai. Sehingga Ncuhi Mawo sangat gembira dan tidak curiga.

Setelah sekian lama kedua orang itu menjadi hamba yang baik di rumah Ncuhi Mawo, mereka kini tak diragukan lagi kesetiaannya. Pada suatu ketika saat kedua hamba menemani tuannya, dengan hati-hati dan sopan, hamba itu mengajukan pertanyaan,

“Tuan yang gagah perkasa, segenap rakyat di negeri ini telah mengakui kesaktian dan kehebatan Tuanku yang tiada tandingnya. Tuan tidak mempan oleh senjata. Oleh karena itu, jika sekiranya tidak merupakan kesalahan dan tidak pula merupakan hal yang tidak wajar, hamba yang hina ini sangat ingin mengetahui ilmu istimewa apakah yang kiranya Tuan miliki?”

Ncuhi Mawo menjawab dengan tersenyum seraya membusungkan dada, “Sesungguhnya aku tidak memiliki ilmu apapun, tetapi karena golok pusaka yang kupakai ini. Siapa saja yang memakainya takkan terkalahkan oleh musuh manapun. Tapi sebagai manusia aku pun memiliki kelemahan. Ada bagian tubuhku yang dapat dilukai senjata yaitu ibu jari kakiku.”

Sangat gembira kedua hamba mendengarnya. Dan ketika Ncuhi Jia berkunjung saat Ncuhi Mawo pergi, diceritakanlah rahasia tersebut. Ncuhi Jia memuji mereka dan memintanya tetap bekerja menjadi orang kepercayaan Ncuhi Mawo.

Ncuhi Jia kemudian mengadakan musyawarah dengan Ncuhi- Ncuhi tetangga yang memihak dirinya. Mereka bersepakat akan mengerahkan rakyat untuk bergotong-royong memperbaiki sebuah bendungan yang rusak, yaitu bendungan di So Kalate. Tempat itu terletak di antara daerah Ncuhi Jia dan Ncuhi Mawo. Setelah disepakati bersama, datanglah mereka menghadap Ncuhi Mawo untuk menyampaikan laporan. Dengan bahasa yang sopan dan menunjukkan niat baik untuk membantu. Ncuhi Mawo sangat tertarik dan ia setuju.

Keesokan harinya pada saat yang telah disepakati ramailah orang-orang berkumpul di tempat yang telah ditentukan, siap dengan alat-alat. Ncuhi Jia meminta mereka semua ke rumah Ncuhi Mawo untuk memintanya memancangkan tiang pertama sebagai tanda kehormatan. Selain itu orang-orang juga diminta meninggalkan alat-alat di sini dengan dijaga Ncuhi Jia agar Ncuhi Mawo tak berprasangka buruk.

Sementara orang-orang pergi, Ncuhi Jia menumpulkan alat-alat tersebut. Ketika rombongan kembali bersama Ncuhi Mawo, bertanyalah Ncuhi Mawo pada adiknya, “Ncuhi Jia, mengapa adinda tidak turut serta menjemput Kakanda?”

“Kakanda Tuanku, telapak kaki Adinda menginjak duri besar nan runcing. Berdiri pun tak bisa. Sudah Adinda usahakan dengan berbagai alat yang ada, namun alat sebanyak ini tumpul semua. Maka, sekiranya mungkin, izinkanlah Adinda meminjam golok Kakanda sebentar,” jawabnya dengan suara dalam sambil meringis.

Tanpa curiga Ncuhi Mawo meminjamkan goloknya. Dan ketika Ncuhi Mawo mengamati sekitar bendungan, secepat kilat Ncuhi Jia memukulkan golok itu pada ibujari kaki Ncuhi Mawo. Seketika Ncuhi yang sombong itu pun roboh. Ia mati. Orang-orang kaget. Namun orang-orang Ncuhi Mawo pun tak dapat berbuat apapun karena senjata mereka sudah dikumpulkan dan disimpan Ncuhi Jia. Sejak itu, para Ncuhi berikrar selalu setia pada Baginda.

Ncuhi Jia mengubur jenazah Ncuhi Mawo di puncak bukit dekat rumahnya. Hingga kini makam Ncuhi Mawo itu masih ada, yaitu di bagian Barat kampung Jia di Kecamatan Sape. Kata orang, batu besar rata yang ada di tempat itu merupakan tanda tempat pengumpulan senjata milik orang banyak pada waktu pembangunan bendungan dulu.
Sumber : http://2ira8.wordpress.com/2008/11/16/cerita-rakyat-dari-ntb-ncuhi-mawo/
Read full post »

Tuesday, December 23, 2008

Asal Mula Tambora

0 comments
ASAL mula nama Gunung Tambora menurut cerita turun temurun ada dua versi, yaitu: Pertama, berasal dari kata lakambore dari bahasa Bima yang berarti mau ke mana, untuk menanyakan tujuan bepergian kepada seseorang. Kedua, dari kata ta dan mbora, dari bahasa Bima, kata "ta" yang berarti mengajak, dan kata "mbora" yang berarti menghilang, sehingga arti kata Tambora secara keseluruhan yaitu mengajak menghilang.

Ini berasal dari cerita turun temurun, dahulu ada seseorang sakti yang pertama kali ke gunung tersebut (sekarang Gunung Tambora), bertapa dan tidak diketemukan lagi karena telah menghilang di gunung tersebut. Kalau istilah bahasa Jawa-nya moksa, yaitu menghilang jasadnya secara tiba-tiba dan bisa dilihat oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan dalam melihat roh halus. Kemudian orang sakti yang menghilang tersebut pernah menampakkan diri di sebuah pulau yang terletak di sebelah barat laut Pulau Sumbawa juga dapat terlihat dari puncak Gunung Tambora. Maka pulau tersebut dinamai Pulau Satonda dari kata tonda yang berarti tanda/jejak kaki. Pulau tersebut dapat dilihat dari puncak Gunung Tambora, tampak dari atas berbentuk telapak kaki kanan manusia. Pulau Satonda sangat indah dengan pemandangannya yang masih alami, di tengah-tengah pulau tersebut terdapat danau yang jernih dan dikelilingi oleh tebing-tebing dari perbukitan yang masih alami. Diduga danau di Pulau Satonda tersebut mempunyai terowongan dari gua bawah laut menyambung dengan laut. Pulau Satonda dengan ketinggian antara 0 sampai 300 mdpl merupakan taman rekreasi (recreation park) dengan wilayah seluas 1.000 Ha mempunyai ciri-cirinya yang unik.

Sekarang pulau tersebut telah menjadi kawasan yang dilindungi (strict nature reserve). Pulau Satonda sangat baik untuk menjadi tempat untuk mempelajari hutan, karena hutan di pulau tersebut hancur akibat letusan Gunung Tambora pada tahun 1815. Juga banyak ditemukan jenis-jenis ikan yang baru dan hanya ditemukan di Danau Satonda saja. Pulau tersebut menjadi habitat sejumlah besar jenis-jenis burung yang dilindungi. Kesemua keindahan alam yang menjadi satu kesatuan menciptakan suatu fenomena indah, unik.

Pesona alam di Gunung Tambora makin menambah keelokan panorama alam Indonesia. Kita semua wajib untuk mengenali dan melestarikannya. Alam Indonesia menjadi obyek penelitian yang sangat menarik oleh para ilmuwan.

Bernice De Jong Boers, ilmuwan asal Denmark dalam makalah revisinya bertajuk "Mount Tambora in 1815: “A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath" menggambarkan, Pulau Sumbawa sebelum meletusnya Gunung Tambora sebetulnya dalam keadaan cukup baik secara ekonomi. Jauh sebelumnya, di Sumbawa jauh lebih lebat hutannya. Ketika orang pertama datang, sebagian dari hutan ditebang untuk berladang.

Sekitar tahun 1400, orang- orang Jawa memperkenalkan cara bertanam padi di sawah dan mulai mengimpor kuda. Semakin lama jumlah penduduk berkembang. Orang mengandalkan hidup terutama dari beras, kacang hijau, dan kuda. Sementara dari perkebunan orang mengandalkan kopi, lada, dan kapas yang bisa tumbuh subur.

Di kawasan itu telah terdapat pula hubungan dagang. Pada masa itu Kerajaan Bima umumnya terbuka dari dunia luar. Dari segi ekonomi, perniagaan merupakan penghasilan utama dengan komoditas ekspor utama sebelum 1815 ialah beras, madu, kapas, dan kayu merah.

Setelah Tambora meletus, kesejahteraan yang terbangun itu runtuh. Saat itu terdapat enam kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Syair Kerajaan Bima menyebutkan dua kerajaan punah terkubur, yakni Pekat dan Tambora. Jauh setelah kejadian, muncul berbagai spekulasi bahwa terdapat istana kerajaan yang terpendam dengan beragam kekayaan. Apalagi dari penggalian yang dilakukan Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, AS, dan tim dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sempat ditemukan keramik-keramik yang diperkirakan bermotif Vietnam. Muncul pula dugaan hidupnya orang-orang berbahasa Mon-Khmer, bahasa yang tidak lazim dituturkan di Nusantara.

Asumsi-asumsi tersebut diragukan Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang sempat mengunjungi lokasi penggalian Sigurdsson. "Istilah kerajaan di luar Pulau Jawa tidak dapat disamakan dengan kerajaan besar di Jawa yang kaya raya. Jadi, jangan dibayangkan istana kerajaan seperti istana raja-raja di Jawa. Selain itu, temuan keramik yang mempunyai kesamaan dengan tembikar dari kawasan Indocina bukan berarti menandakan hidup populasi pendukung budaya Khmer. Tembikar itu sepertinya buatan China dan dapat saja sampai di Tambora karena adanya perdagangan," kata Bambang. Dia menyayangkan penelitian tersebut tidak melibatkan para arkeolog.

Setelah letusan, keadaan di sekitar Tambora—terutama di Bima—pun berbalik. Tanah yang tak dapat ditanami selama lima tahun membuat kelaparan dan kemelaratan berkepanjangan.

Kini, berjalan di lereng Tambora, tentu berbeda suasananya. Rumput tebal mengisi permukaan tanah, yang hampir dua abad lalu berselimut abu vulkanik. Lereng gunung itu menghijau, dengan hutan serta semak yang rimbun. Tanah telah kembali memberi berkah. Sebagian besar penduduk di lereng Tambora hidup dari pertanian dan perkebunan. Ada pula yang menjadi pemandu naik gunung.

Sumber :
http://nendhen.blog.friendster.com/2007/12/asal-mula-tambora/

Read full post »

Saturday, December 20, 2008

Legenda Putri Nyale di Selatan Lombok Tengah

0 comments

Menurut dongeng bahwa pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling di kerajaan ini dibuat ruangan - ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan untuk pertemuan raja - raja. Negeri Tonjang Beru ini diperintah oleh raja yang terkenal akan kearifan dan kebijaksanaannya Raja itu bernama raja Tonjang Beru dengan permaisurinya Dewi Seranting.

Baginda mempunyai seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang putri menginjak usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan cantik jelita. Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya laksana pauh dilayang. Rambutnya bagaikan mayang terurai. Di samping anggun dan cantik ia terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut. Itulah yang membuat sang putri menjadi kebanggaan para rakyatnya.


Semua rakyat sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana yang ingin membantu rakyatnya yang kesusahan. Berkat segala bantuan dari raja rakyat negeri Tonjang Beru menjadi hidup makmur, aman dan sentosa. Kecantikan dan keanggunan Putri Mandalika sangat tersohor dari ujung timur sampai ujung barat pulau Lombok. Kecantikan dan keanggunan sang putri terdengar oleh para pangeran - pangeran yang membagi habis bumi Sasak (Lombok). Masing - masing dari kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan kerajaan Beru. Para pangerannya pada jatuh cintar. Mereka mabuk kepayang melihat kecantikan dan keanggunan sang putri.


Mereka saling mengadu peruntungan, siapa bisa mempersunting Putri Mandalika. Apa daya dengan sepenuh perasaan halusnya, Putri Mandalika menampik. Para pangeran jadi gigit jari. Dua pangeran amat murka menerima kenyataan itu. Mereka adalah Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang. Masing - masing dari kerajaan Johor dan kerajaan Lipur. Datu Teruna mengutus Arya Bawal dan Arya Tebuik untuk melamar, dengan ancaman hancurnya kerajaan Tonjang Beru bila lamaran itu ditolaknya. Pangeran Maliawang mengirim Arya Bumbang dan Arya Tuna dengan hajat dan ancaman yang serupa.


Putri Mandalika tidak bergeming. Serta merta Datu Teruna melepaskan senggeger Utusaning Allah, sedang Maliawang meniup Senggeger Jaring Sutra. Keampuhan kedua senggeger ini tak kepalang tanggung dimata Putri Mandalika, wajah kedua pangeran itu muncul berbarengan. Tak bisa makan, tak bisa tidur, sang putri akhirnya kurus kering. Seisi negeri Tonjang Beru disaput duka.


Kenapa sang putri menolak lamaran ? Karena, selain rasa cintanya mesti bicara, ia juga merasa memikul tanggung jawab yang tidak kecil. Akan timbul bencana manakala sang putri menjatuhkan pilihannya pada salah seorang pangeran. Dalam semadi, sang putri mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20 bulan 10 ( bulan Sasak ) menjelang pagi - pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang. Mereka harus disertai oleh seluruh rakyat masing - masing. Semua para undangan diminta datang dan berkumpul di pantai Kuta. Tanpa diduga - duga enam orang para pangeran datang, dan rakyat banyak yang datang, ribuan jumlahnya. Pantai yang didatangi ini bagaikan dikerumuni semut.


Ada yang datang dua hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang putri. Anak - anak sampai kakek - kakek pun datang memenuhi undangan sang putri ditempat itu. Rupanya mereka ingin menyaksikan bagaimana sang putri akan menentukan pilihannya. Pengunjung berduyun - duyun datang dari seluruh penjuru pulau Lombok. Merekapun berkumpul dengan hati sabar menanti kehadiran sang putri.


Betul seperti janjinya. Sang putri muncul sebelum adzan berkumandang. Persis ketika langit memerah di ufuk timur, sang putri yang cantik dan anggun ini hadir dengan diusung menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Prajurit kerajaan berjalan di kiri, di kanan, dan di belakang sang putri. Sungguh pengawalan yang ketat. Semua undangan yang menunggu berhari - hari hanya bisa melongo kecantikan dan keanggunan sang putri. Sang putri datang dengan gaun yang sangat indah. Bahannya dari kain sutera yang sangat halus.


Tidak lama kemudian, sang putri melangkah, lalu berhenti di onggokan batu, membelakangi laut lepas. Disitu Putri Mandalika berdiri kemudian ia menoleh kepada seluruh undangannya. Sang putri berbicara singkat, tetapi isinya padat, mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru : ??Wahai ayahanda dan ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai. Hari ini aku telah menetapkan bahwa diriku untuk kamu semua. Aku tidak dapat memilih satu diantara pangeran. Karena ini takdir yang menghendaki agar aku menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.??


Bersamaan dan berakhirnya kata - kata tersebut para pangeran pada bingung rakyat pun ikut bingung dan bertanya - tanya memikirkan kata - kata itu. Tanpa diduga - duga sang putri mencampakkan sesuatu di atas batu dan menceburkan diri ke dalam laut yang langsung di telan gelombang disertai dengan angin kencang, kilat dan petir yang menggelegar.


Tidak ada tanda - tanda sang putri ada di tempat itu. Pada saat mereka pada kebingungan muncullah binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak yang kini disebut sebagai Nyale. Binatang itu berbentuk cacing laut. Dugaan mereka binatang itulah jelmaan dari sang putri. Lalu beramai - ramai mereka berlomba mengambil binatang itu sebanyak - banyaknya untuk dinikmati sebagai rasa cinta kasih dan pula sebagai santapan atau keperluan lainnya.

Itulah kisah Bau Nyale. Penangkapan Nyale menjadi tradisi turun - temurun di pulau Lombok. Pada saat acara Bau Nyale yang dilangsungkan pada masa sekarang ini, mereka sejak sore hari mereka yang akan menangkap Nyale berkumpul di pantai mengisi acara dengan peresean, membuat kemah dan mengisi acara malam dengan berbagai kesenian tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu). Dan tak ketinggalan pula, digelar drama kolosal Putri Mandalika di pantai Seger.

************

etiap tanggal duapuluh bulan kesepuluh dalam penanggalan Sasak atau lima hari setelah bulan purnama, menjelang fajar di pantai Seger Kabupaten Lombok Tengah selalu berlangsung acara menarik yang dikunjungi banyak orang termasuk wisatawan. Acara yang menarik itu bernama Bau Nyale. Bau dari bahasa Sasak artinya menangkap. Sedangkan Nyale, sejenis cacing laut yang hidup di lubang - lubang batu karang di bawah permukaan laut.


Penduduk setempat mempercayai Nyale memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat bagi orang yang meremehkannya.??Itulah yang berkembang selama ini,?? ujar Lalu Wirekarme yang pernah menjabat sebagai Kepala Sub Dinas Pemasaran Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah.


Tradisi menangkap Nyale (bahasa sasak Bau Nyale) dipercaya timbul akibat pengaruh keadaan alam dan pola kehidupan masyarakat tani yang mempunyai kepercayaan yang mendasar akan kebesaran Tuhan, menciptakan alam dengan segala isinya termasuk binatang sejenis Anelida yang disebut Nyale. Kemunculannya di pantai Lombok Selatan yang ditandai dengan keajaiban alam sebagai rahmat Tuhan atas makhluk ini.


Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan turun deras dimalam hari diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai dengan tiupan angin yang sangat kencang. Diperkirakan pada hari keempat setelah purnama, malam menjelang Nyale hendak keluar, hujan menjadi reda, berganti dengan hujan rintik - rintik, suasana menjadi demikian tenang, pada dini hari Nyale mulai menampakkan diri bergulung - gulung bersama ombak yang gemuruh memecah pantai, dan secepat itu pula Nyale berangsur - angsur lenyap dari permukaan laut bersamaan dengan fajar menyingsing di ufuk timur.


Dalam kegiatan ini terlihat yang paling menonjol adalah fungsi solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat yang dapat terus dipertahankan karena ikut mendukung kelangsungan budaya tradisional.


Keajaiban Nyale bagi suku Sasak Lombok telah menimbulkan dongeng tentang kejadian yang tersebar hampir keseluruh lapisan masyarakat Lombok dan sekitarnya. Dongeng ini sangat menarik dengan cerita yang sangat romantis dan berkembang melalui penuturan orang - orang tua yang kemudian tersusun dalam naskah tentang legenda Nyale.

Sumber : http://lomboknews.com/2007/10/03/legenda-putri-nyale-di-selatan-lombok-tengah/

Read full post »

Santoana

0 comments

Diceritakan kembali oleh Agung TE Syahbuddin

Pada zaman dahulu di Pulau Jawa, hiduplah seekor burung cantik bernama Merak.Bulunya mengkilat, berwarna indah. Lehernya panjang jenjang dengan kibasan ekor bagaikan kipas.

Merak yang cantik ini mendengar cerita dari teman-temannya sesama burung.
"Ada seekor burung gagah bernama Santoana. Burung ini tinggal di Pulau Sumbawa.
Hanya burung inilah yang pantas menjadi jodohmu. Kamu cantik dan Santoana
gagah…"

Hampir setiap hari Merak mendengar kata-kata ini dari teman-temanya. Akhirnya,
pada suatu hari, Merak memutuskan untuk mencari Santoana.
Di suatu pagi yang dingin, Merak pun pergi meninggalkan Pulau Jawa, yang ada
di pikirannya hanyalah Santoana yang tampan. Perjalanan Merak memakan waktu
berhari-hari. Beberapa laut dan pulau sudah dilewati.
Ketika ia bertanya pada burung di setiap pulau, jawabannya selalu sama,
"Terbanglah terus! Pulau itu berada agak jauh ke timur."
Jawaban dari para burung itu tidak membuat Merak putus asa. Ia terus terbang,
terbang… sampai akhirnya ia tiba di sebuah pulau yang sangat panjang. Bertanyalah
Merak dengan napas terengah-engah.
"Pulau apakah ini?"
"Ini adalah Pulau Panjang," jawab Camar santun.
"Masih jauhkah tanah Sumbawa?" tanya Merak lagi.
"O, pulau yang terbentang di depan kita itu adalah Pulau Sumbawa.
Mendengar jawaban Camar, Merak pun sangat gembira. Setelah mengucapkan
terima kasih, tanpa merasa lelah dia pun terbang lagi.
Pulau Sumbawa akhirnya berhasil ia pijak. Kini ia tinggal mencari Santoana.
Merak melangkah gemulai di sekitar pantai. Ekornya terkibas, leher jenjangnya
melongok ke kiri dan ke kanan.
Setelah agak lama mengitari pantai bertemulah dia dengan burung hitam besar
yang sedang mencari makan di tepi pantai. Orang Sumbawa menyebutnya
Bongarasang.
Merak mendekat dan menceritakan maksud kedatangannya ke Pulau Sumbawa.
Ia juga bertanya tentang Santoana. Bongarasang sangat terpesona melihat Merak yang
cantik. Timbullah akal liciknya. Bongarasang pura-pura diam dan tertunduk malu.
"Kenapa diam?" tanya Merak tak sabar.
"Aku diam dan malu karena akulah yang kau cari," kata Bongarasang berbohong.
Merak lemas mendengar perkataan Bongarasang.
"Indah kabar daripada rupa," keluhnya kecewa, sebab Bongarasang tidak setampan
yang ia bayangkan.
Akan tetapi, karena sudah niatnya untuk menikah dengan Santoana, akhirnya
Merak menikah dengan Bongarasang yang dianggapnya Santoana.
Waktu pun berlalu. Akhirnya pasangan itu mempunyai anak. Merak dan
Bongarasang berencana mengadakan pesta besar. Bongarasang juga ingin mem-
perkenalkan istrinya yang cantik kepada semua undangan.
Hari pesta pun tiba. Semua undangan berdatangan. Burung tua ketua adat
juga datang. Merak dan anaknya sudah berdandan di tengah ruangan. Semua
tamu memuji kecantikan ibu muda yang berasal dari Pulau Jawa itu. Bongarasang
tersenyum bangga.

Ketika acara gunting bulu untuk keselamatan bayi burung akan dimulai, berkatalah
ketua adat,
"Tunggu sebentar, Santoana belum datang."
Mendengar kata ketua adat itu, seketika wajah Merak berubah merah. Ia sangat
marah kepada suaminya yang telah berbohong. Bongarasang tertunduk takut
Merak menunggu dengan dada berdebar. Seperti apakah gerangan Santoana?
Dari kejauhan, Santoana datang dengan gagahnya. Bulunya indah mengkilat
tertimpa sinar mentari. Suaranya terdengar nyaring. Pinggulnya melenggok dengan
ekor berwarna hijau tua. Berjuntai tertiup angin. Bulu-bulu halus dengan perpaduan
warna yang sangat indah, membungkus badan dan lehernya.
Tiba-tiba Merak terbang meninggalkan keramaian pesta. Hatinya sakit tak terkira
menyangka kalau selama ini dia sudah dibohongi. Sambil menitikkan air mata, ia
melantunkan lagu sedih daerah Sumbawa.
Kulempat let biru do,
Ku buya sanak parana
Kudapat taruna kokoh
(Kulewati beberapa pulau dan samudra, untuk mendapat jodoh yang sepadan,
namun bertemu dengan lelaki pembohong)
Akhirnya Merak meninggalkan Pulau Sumbawa dengan perasaan malu dan
kecewa. Anaknya ikut malu dan bersembunyi di dalam tanah. Sampai sekarang anak
burung itu tetap bersarang di dalam tanah. Namanya Bartong. Santoana kemudian
dikenal dengan nama Ayam hutan.
Menurut cerita, itulah sebabnya burung Merak tidak ada di Pulau Sumbawa sampai
sekarang.


(Cerita rakyat Sumbawa - Nusa Tenggara Barat)
Sumber: Bobo, 14 September 2006

Read full post »

Kisah Sandal Kulit Kerbau

0 comments
Di bumi Lombok, dahulu kala hiduplah seorang Raja. Baginda Raja memiliki sepasang lelampak (sandal) dari lendong kao (kulit kerbau). Sandal kanan berasal dari kulit kerbau jantan dan sandal kiri berasal dari kulit kerbau betina.

Kedua sandal itu merupakan suami istri. Sang suami disebut Papuq mame (nenek laki-laki), sedang sang istri disebut Papuq Ki ne (nenek perempuan). Karena takdir Tuhan Yang Maha Kuasa, sepasang lelampak itu bisa bercakap-cakap, walaupun percakapan mereka hanya bisa didengar dan dimengerti oleh mereka berdua.

Pada suatu malam, Baginda Raja melepas lelampak itu dan meletakkannya di bawah tempat tidur. Jika telah dilepaskan oleh Baginda Raja, sepasang lampak itu mulai khawatir. Lebih-lebih jika sedang musim hujan, Baginda Raja selalu menggunakan lelampak itu kemanapun beliau pergi. Menurut beliau, lelampak lendong kao inilah yang dipandang paling kuat dan paling tahan terhadap air. Oleh sebab itu Baginda selalu memakainya dan sangar menyayanginya.

Setiap malam, jika lelampak itu telah dilepas dan diletakkan di bawah kolong tempat tidur, datanglah seekor tikus yang mengintipnya. Maklumlah, kulit binatang apa saja yang baru terendam air akan mengeluarkan bau yang sangat digemari oleh tikus. Hal inilah yang sangat dikhawatirkan oleh lelampak jantan.

Puqen!” demikian biasanya lelampak jantan memanggil istrinya.

Ya…!” sahut lelampak betina.

Jika begini terus keadaannya setiap malam selalu terus diintip oleh tikus yang kelaparan itu, akhirnya kita akan menjadi mangsanya. Bagaimana kalau kita memohon kepada Yang Maha Kuasa agar kita dijadikan sepasang tikus?

Jika kemauanmu begitu aku menurut saja” jawab istrinya

Kalau demikian, mari kita berdoa bersama agar Tuhan menjadikan kita sepasang tikus. Kalau kita menjadi tikus, tikus-tikus yang lain pasti tidak berani mengganggu kita. Dengan demikian semua sisa-sisa makanan yang ada di dapur istana dapat kita kuasai berdua.”

Mereka pun mulai berdoa.
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami sepasang tikus…

Atas kekuasaan Tuhan, sepasang lelampak itu berubah menjadi dua ekor tikus yang besar. Sepasang tikus itu sangat disegani oleh tikus-tikus yang lain. Apabila tikus-tikus lain mencari makan, maka dikejar-kejar oleh mereka. Begitulah kejadiannya setiap hari. Hal itu membuat Baginda Raja yang sedang tidur dengan permaisurinya sering terganggu karena gaduh yang dibuat oleh tikus-tikus itu. Baginda Raja kemudian mengutus pengawalnya untuk mencari kucing agar dapat menangkap tikus-tikus itu.

Cukup banyak kucing yang dilepas oleh pengawal di atas loteng. Sudah banyak pula tikus-tikus yang dimangsa kucing-kucing itu. Sepasang tikus besar penjelmaan lelampak itu pun mulai khawatir.

Puqen… aku khawatir sekali dengan ganasnya kucing-kucing yang dilepas untuk menangkap kita. Kita pun nanti pasti dibunuhnya. Bagaimana pendapatmu jika kita memohon kepada Tuhan agar kita dijadikan kucing saja?” kata tikus jantan kepada istrinya.

Terserah… aku hanya menurut saja” jawab istrinya.
Jika demikian mari kita berdoa bersama agar kita menjadi sepasang kucing.”

Kali ini pun Tuhan mengabulkan permohonan mereka. Sepasang tikus itu kini berubah menjadi sepasang kucing. Di atas loteng, kucing-kucing lainnya diserang. Sementara tikus-tikus sudah tidak ada yang berkeliaran lagi. Sudah tidak ada lagi yang mengganggu Baginda Raja kala beliau sedang istirahat.

Sejak saat itu, sepasang kucing jelmaan itu sering keluar masuk kamar Baginda Raja. Sepasang kucing itu kini menjadi binatang kesayangan sang permaisuri karena bulunya yang bagus dan ekornya yang panjang.

Namun ada suatu hal yang menggelisahkan sepasang kucing itu. Jika Baginda Raja pergi berburu, yang selalu dibawa serta adalah anjing berburunya. Hal itu yang membuat sepasang kucing itu merasa iri. Mereka beranggapan menjadi anjing pemburu itu lebih enak.

Mereka kemudian bersepakat memohon kepada Tuhan agar dijadikan sepasang anjing pemburu yang disegani. Permohonan itu pun dikabulkan. Kini keduanya telah berubah menjadi sepasang anjing pemburu yang sangat gagah. Telah beberapa kali mereka bersama Baginda Raja pergi berburu ke hutan Sekaroh.

Suatu ketika, mereka berhasil menangkap dua ekor kijang besar. Setelah digigitnya, sang Raja lalu melepaskan anak panahnya sehingga kijang itu jatuh tergeletak ditanah. Betapa senang hati Baginda dan berjanji akan memberi kedua anjing pemburu itu daging menjangan.

Setelah cukup lama mereka menjadi sepasang anjing pemburu, mereka pun mulai mengeluh. Kesempatan keluar kandang kini jarang diperoleh. Mereka merasa dipingit, tidak bebas seperti anjing-anjing yang lain. Anjing jantan itu mengeluh pada istrinya.

Istriku… makan dan minum kita memang terjamin, tetapi kebebasan kita seakan tergadai. Lagi pula kalau kita punya kesempatan keluar, anjing-anjing yang lain seperti iri dan memusuhi kita. Kalau berjumpa dengan manusia, ada saja yang memukul, melempar dan sebagainya. Bahkan, yang tidak senang kepada anjing kadang-kadang ingin membunuh kita…” kata anjing jantan itu.

Puqen… bagaimana kalau kita memohon untuk dijadikan Raja saja?" sambung anjing jantan. “Bukankah Baginda Raja sudah tua dan sudah terlalu lama memerintah? Oleh karena itu, sebaiknya kita memohon kepada Tuhan agar kita menjadi manusia. Setelah itu kita dirikan Kerajan baru di tempat lain yang lebih besar dan megah dari Kerajaan ini.

Seperti biasa istrinya selalu menurut saja atas rencana-rencana suaminya. Akhirnya, mereka berdoa kepada Tuhan agar dijadikan sepasang manusia. Permohonannya dikabulkan, merekapun berubah menjadi sepasang manusia suami istri.

Kemudian, di suatu tempat mereka mulai berusaha mencapai cita-citanya, yakni ingin menjadi raja besar yang menguasai seluruk Bumi Lombok. Mereka membangun sebuah istana yang mengah. Banyak orang yang menjadi pengikutnya. Keberadaan kerajaan baru itu sampai juga ke telinga Baginda Raja lama, dan terdengar desas-desus bahwa kerajaan baru itu akan menyerangnya.

Berita yang merisaukan Baginda Raja lama memang benar-benar terbukti setelah beliau memerintahkan para pengawalnya untuk menyelidiki kerajaan baru yang diperintah oleh seorang Raja yang bergelar Papuq Mame yang sedang menyiapkan penyerangan.

Baginda Raja kemudian memerintahkan untuk menyerang lebih dulu sebelum diserang oleh bala tentara, Papuq Mame. Akibat serangannya yang mendadak itu, Kerajaan Papuq Mame menjadi kacau balau, pasukannya kocar kacir, terburai melarikan diri. Untunglah Papuq Mame tidak sampai terbunuh. Ia dan istrinya bersembunyi di hutan menyelamatkan diri.

Papuq Mame menjadi sakit hati karena kekalahannya itu. Istrinya menyarankan sebaiknya mereka menyamar sebagai orang biasa dan mengabdi kepada kerajaan yang lama. Namun sang suami tak menyetujui usul itu, dan ia mendesak istrinya agar menyetujui usulnya memohon kepada Tuhan agar mereka bisa dijadikan Tuhan.

Dengan terpaksa sang istri menyetujui kekerasan hati suaminya. Keduanya kemudian menengadahkan tangan, memohon kepada Tuhan.

Ya, Tuhan… jadikanlah kami sepasang Tuhan…!” namun begitu kalimatnya selesai, seketika Papuq Mame dan istrinya berubah kembali ke asalnya yaitu sepasang sandal (Lelampak Lendong Kao).

Permintaan mereka menjadi Tuhan memang sangat keterlaluan sekali. Akibatnya mereka jadi rugi sendiri. Demikianlah dongeng yang memberikan pelajaran kepada kita bahwa orang yang tamak (serakah) akan mendapatkan kerugian akibat keserakahannya. Keberhasilan sebaiknya diperoleh dengan kerja keras bukan hanya berkhayal.

Sumber : http://www.bali-directory.com/education/folks-tale/KisahSandalKulitKerbau.asp
Read full post »

Asal Usul Lintah

0 comments
Alkisah, hiduplah sebuah keluarga dengan seorang anak lelakinya bernama I Karma. Setiap fajar menyingsing, Pan Karma (ayah I Karma) dan I Karma selalu pergi ke ladang mereka yang letaknya di tepi sebuah hutan. Sesampai di ladang, keduanya berpisah. Pan Karma langsung mengambil cangkul dan mulai mencangkul ladangnya, sedangkan I Karma meneruskan perjalanannya ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar. Setelah siang, I Karma akan kembali ke ladang untuk makan siang yang dibawa oleh Men Karma (ibu I Karma). Apabila hari telah sore, mereka pun pulang. Begitulah kegiatan keluarga itu setiap harinya.

Setelah tanaman ladang yang berupa padi ladang berumur empat bulan, maka tibalah waktu untuk mengetam. Men Karma yang selalu menghitung hari sejak padi mulai ditanam hingga telah berumur empat bulan pun bertanya kepada suaminya, “Pak, kapankah kita akan mulai mengetam?”

“Dua hari lagi,” jawab Pan Karma.

Dua hari kemudian, sebelum fajar menyingsing, Men Karma telah sibuk di dapur mempersiapkan bekal untuk bekerja di ladang. Setelah semuanya siap, berangkatlah mereka ke ladang. Sesampainya di ladang, Men Karma, Pan Karma dan I Karma mulai mengetam padi. Namun hingga hari telah senja, ternyata pekerjaan itu belum selesai. Oleh karena itu, Pan Karma bersama isteri dan anaknya memutuskan untuk bermalam di pondok yang ada di ladang itu. Tidak berapa lama kemudian, karena terlalu lelah, mereka pun telah tertidur lelap.

Saat tengah malam, ketika sedang tidur lelap, Pan Karma didatangi oleh seorang kakek. Ia dibangunkan dan disuruh duduk di depan kakek itu. Setelah itu, si kakek berkata, “Nah, Pan Karma, terimalah pemberianku ini yang berupa sebotol minyak untuk menjaga rumah. Gantungkanlah di atap rumahmu. Minyak itu dijaga oleh seorang perempuan.” Setelah mengucapkan kata-kata dan memberikan sebotol minyak, kakek itu lenyap dengan tiba-tiba.

Keesokan harinya, pekerjaan menyekam padi dilanjutkan kembali. Setelah selesai, mereka bersiap-siap untuk membawa padi itu pulang. Sebelum berangkat mereka pun beristirahat. Sambil beristirahat Pan Karma menceritakan pengalamannya semalam kepada isterinya, “Men Karma, semalam aku memperoleh anugerah dari seorang kakek berupa botol minyak untuk menjaga rumah. Kakek itu mengatakan bahwa minyak ini hendaklah dipelihara baik-baik dan digantungkan di atap rumah kita.”

“O, baik benar kakek itu. Hendaklah kita simpan minyak itu dengan baik, agar dapat diwariskan kepada anak ataupun keturunan kita selanjutnya,” kata Men Karma.

Setelah agak sore, mereka pun berangkat pulang. Dan setiba di rumah, Men Karma dan I Karma segera memasukkan padi mereka ke lumbung yang ada di samping rumang. Sedangkan Pan Karma segera masuk ke dalam rumah untuk menggantungkan minyak itu di atap rumah. Setelah menggantung minyak pemberian si kakek, ia keluar dan ikut membantu isteri dan anaknya memasukkan padi ke lumbung.

Demikianlah kehidupan mereka. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun pun berganti tahun. Suatu ketika, Pan Karma akhirnya meninggal dunia. Dan, tidak berapa lama kemudian Men Karma pun ikut meninggal dunia.

Sebelum Men Karma meninggal, ia sempat berpesan kepada anaknya, “Anakku, kukira umurku sudah tak lama lagi. Ada suatu hal yang harus ibu wasiatkan kepadamu. Bila ibu sudah tiada lagi, ingatlah pesanku ini. Ayahmu meninggalkan sebotol minyak dan digantung pada atap rumah. Simpanlah minyak itu baik-baik. Ia akan menemanimu menempati rumah ini, bila ibu sudah tiada lagi.”

“Minyak apakah itu ibu?” tanya I Karma.

“Bila nanti ibu meninggal, di sanalah saatnya kau mengetahui isi botol itu.”

Setelah memberikan penjelasan seperti itu, beberapa hari kemudian Men Karma pun meninggal dunia.

Setelah kedua orang tua I Karma meninggal dunia, I Karma semakin giat bekerja di ladang. Pagi-pagi benar ia telah berada di ladang, dan bila hari sudah mulai senja ia pun pulang. Begitulah hari demi hari dijalani oleh I Karma, sampai suatu ketika, setelah tiba di rumah, ia menjumpai hidangan yang telah siap untuk dimakan, lengkap dengan nasi dan lauk pauknya.

Melihat hidangan lezat itu, I Karma pun berpikir, “Siapakah yang mempersiapkan hidangan ini? Kelihatannya sangat istimewa. Siapakah yang mempersiapkannya? Ah, sebaiknya kumakan saja apa yang ada, bukankah ini rumahku?”

Keesokan harinya, seperti biasa, pergilah I Karma ke ladang lagi. Dan bila senja telah tiba ia pun pulang. Setelah tiba di rumah ia merasa sangat heran. Semua peralatan kotor yang ditinggalkannya telah bersih dan teratur rapi. Dan, sebelum ia sempat berpikir, telah dilihatnya pula hidangan yang lengkap tersedia untuk dimakan. Ia pun berpikir dalam hati, “Siapa yang menyediakan hidangan ini. Ah, lebih baik besok akan kuintip, agar kutahu siapa sebenarnya yang mempersiapkan hidangan ini.”

Demikianlah, keesokan harinya I Karma bersiap-siap untuk ke ladang. Tetapi setelah sampai di tengah perjalanan ia segera kembali pulang untuk mengetahui siapa sebenarnya yang mempersiapkan hidangan itu. Setelah di rumah ia mulai mengintip. Dan ia sangat terkejut ketika di dapur melihat seorang perempuan cantik sedang sibuk memasak. Kemudian I Karma perlahan-lahan mendekatinya dan tiba-tiba menangkap pinggang perempuan cantik itu.

Terasa ada sentuhan di badannya, wanita itu terkejut sambil melirik dan segera bertanya dengan suara lembut, “Siapakah yang berani memegang tubuhku?”

“Aku, I Karma.”

“Tolong lepaskan aku.”

“Aku tak mau melepaskanmu. Siapakah kau sebenarnya?”

“Aku bernama Ni Utami.”

“Apabila aku lepaskan, apakau kau akan meninggalkan aku?”

“O, tidak. Aku tak akan meninggalkan engkau. Aku selalu sedia melayanimu, karena engkau sudah memergoki aku.”

“Jadi kau bersedia menemani aku. Benarkah katamu itu? Aku sangat berterima kasih padamu.”

“Ya, benar. Aku berjanji untuk mendampingimu. Tetapi ingatlah. Bila aku sudah mendampingimu, tidakkah kau berniat memperisteriku?”

“Jika mungkin, aku memang akan mengharapkan agar engkau bersedia berumah tangga dengan aku.”

“Ya, baiklah. Aku bersedia. Tetapi ingatlah. Bila aku telah mempunyai seorang anak, berhati-hatilah menjagaku serta menjaga anakku. Demikianlah permintaanku kepadamu. Tepatilah sungguh-sungguh.”

“Baiklah. Aku akan selalu mentaati apa yang telah kau katakan itu.”

Singkat cerita, I Karma dan Ni Utami pun menikah dan beberapa tahun kemudian mereka mempunyai seorang anak.

Pada suatu hari, I Karma teringat akan wasiat ibunya mengenai botol minyak yang digantung di atap rumahnya. I Karma kemudian naik ke atap rumah dan mengambil botol tersebut. Namun isi di dalam botol itu telah tiada, sehingga I Karma bertanya kepada isterinya, “Mengapa botol minyak itu kosong? Adakah kau pergunakan isinya?”

“Tak ada. Aku tak pernah mempergunakan minyak. Tidakkah botol itu memang kosong?”

“Ah, tak apa. Mungkin memang sudah menguap karena terkena panas,” jawab I Karma.

Setelah percakapan itu I Karma menuju ke ladang untuk menanam padi. Siang harinya datanglah Ni Utami bersama bayinya ke ladang mengantarkan makan siang. Saat bertemu I Karma, sambil menggendong bayinya Ni Utami berkata, “Istirahatlah dulu. Aku mengantarkan hidangan untukmu.”

“Baiklah. Tunggulah sebentar. Aku hendak menyelesaikan pekerjaan ini,” jawab I Karma.

“Nanti disambung lagi, hari sangat terik,” kata Ni Utami.

I Karma tidak menghiraukan kata-kata isterinya, ia tetap bekerja. Beberapa saat kemudian, karena haus I Karma menyuruh isterinya mengambil air pada sebuah mata air yang letaknya agak jauh dari ladang mereka.

Mula-mula isterinya menolak, “Janganlah aku disuruh mengambil air. Hari amat panas. Aku tidak tahan kepanasan.”

“Kalau kau tak tahan mengapa datang ke mari. Lebih baik pulanglah. Bukankah kau tahu di ladang memang panas,” kata suaminya bernada marah dan mendesaknya terus untuk segera pergi mengambil air.

Karena tak tahan oleh desakan itu, akhirnya Ni Utami berangkat menuju ke mata air, sambil meninggalkan pesan, “Baiklah, aku akan pergi. Tetapi kau akan menyesal.”

Selanjutnya, Ni Utami berangkat menyusuri pematang menuju ke sebuah mata air. Jalannya sempoyongan dan tiba-tiba tersungkur jatuh ke mata air. Saat jatuh itu badannya hancur, meleleh terpencar di atas permukaan air. Ni Utama sebenarnya adalah penunggu botol minyak yang diberikan oleh si kakek misterius kepada Pan Karma sewaktu bermalam di ladang. Jadi, tubuh Ni Utami meleleh karena ia memang berasal dari minyak kelapa.

Karena telah lama ditinggalkan di ladang bersama ayahnya, anak Ni Utami merasa haus dan mulai menangis. I Karma terkejut melihat anaknya menangis. Karena tak tahan mendengar tangisan, ia pun mengambil anak tersebut serta memanggil isterinya, “Utami, Utami. Di manakah kau. Lama benar kau pergi.”

Namun, karena panggilan tersebut tidak juga dijawab oleh Ni Utami, I Karma lalu berangkat menyusul isterinya. Saat sampai di dekat mata air, tiba-tiba ia terkejut melihat minyak kelapa terpencar di atas permukaan air. Dan, teringatlah ia akan wasiat ibunya sebelum meninggal, bahwa ayahnya meninggalkan minyak di dalam botol. Ia baru sadar bahwa minyak yang dirawiskan oleh ayahnya itulah yang menjelma menjadi isterinya. I Karma merasa menyesal menyuruh isterinya mengambil air pada saat sinar matahari sedang panas menyengat.

Sementara itu, anak yang digendongnya terus saja menangis tak henti-hentinya. Segala usaha untuk membuatnya berhenti menangis tidak berhasil. I Karma tiba-tiba naik darah. Ia lupa akan dirinya. Dengan cepat dijangkaunya parang yang ada dipinggangnya, dan langsung mencincang bayi itu. Setelah itu lapanglah dada I Karma.

Beberapa bulan kemudian, karena merasa kesepian ditinggal anak dan isterinya, I Karma menikah lagi. Singkat cerita, setelah sekian lama menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Suatu hari, ketika sedang berada di kamar mereka, isterinya berkata, “Suamiku, mengapa kita tak bisa mempunyai anak. Aku sangat menginginkannya.”

“Jika demikian, marilah kita pergi memohon kepada Tuhan di tempat-tempat suci. Semoga kita berhasil memperoleh anak,” jawab I Karma.

“Baiklah, aku akan membuat canang genten (sejenis sesajen). Untuk sesajen di tempat suci. Semoga Tuhan memberkahi kita,” kata isterinya.

Setelah semuanya selesai, esok paginya berangkatlah mereka menuju ke sebuah tempat suci untuk memohon seorang anak. Sebelum sampai di tempat suci yang dituju, di tengah jalan bertemulah mereka dengan seorang bayi yang sedang menangis keras karena ingin menyusu.

“Suamiku, mengapa ada bayi menangis di selokan itu seorang diri. Lebih baik kita ambil dan kita bawa pulang. Rupanya permohonan kita telah terkabul.”

“Baiklah, ambil dan bawa pulang anak itu,” kata suaminya.

Isterinya pun lalu mengambil dan menggendongnya. Setiba di rumah, anak itu dibaringkan di kamar tidur. Isteri I Karma kemudian ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Saat menunggu makanan siap, I Karma merasa mengantuk dan ia langsung masuk ke kamar, berbaring di samping bayi yang baru ditemukannya itu. Akhirnya I Karma tertidur lelap.

Saat I Karma tertidur lelap, bayi pungutnya itu terbangun karena haus. Ia kemudian merayap mendekati puting susu I Karma. Namun, secara tiba-tiba, bayi tersebut berubah menjadi lintah sebesan bantal dan langsung menghisap darah lewat puting susu I Karma. Dan, tidak berapa lama kemudian, I Karma meninggal karena darahnya habis dihisap oleh lintah tersebut.

Itulah cerita tentang asal usul adanya lintah, yang merupakan penjelmaan seorang bayi setelah dicincang oleh ayahnya sendiri dan dilemparkan ke berbagai penjuru. Daging anak tersebut berubah menjadi lintah. Daging bayi yang terlempar ke air menjelma menjadi lintah dan yang terlempar ke daun-daun menjelma menjadi lintah darat.

Sumber:
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Read full post »

Tempiq-Empiq

0 comments
Pada zaman dahulu pada sebuah dusun di Kecamatan Pujut, tinggal sepasang suami-isteri dengan dua orang anak. Anak yang terbesar, seorang perempuan bernama Tempiq-Empiq, sedang adiknya masih kecil. Mata pencaharian keluarga ini hanya mencari kayu bakar di hutan yang letaknya tidak jauh dari pondok mereka. Setiap hari Amaq (ayah) Tempiq-Empiq pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, dan setelah kembali lalu menukarnya dengan kebutuhan pokok lainnya.

Setiap hari ketika Amaq Tempiq-Empiq akan pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, ia berpesan pada isterinya, “Inaq (ibu) Tempiq-Empiq, kalau nasi sudah masak, tinggalkan aku keraknya. Akan kumakan setelah kembali dari hutan.”

Inaq Tempiq-Empiq pernah memberitahu suaminya bahwa anak-anak mereka, terutama si Tempiq-Empiq, juga senang sekali memakan kerak. Karena itu ia menyarankan agar kerak nasi itu sebaiknya diberikan kepada anak-anak. Namun saran itu tak pernah diperhatikan oleh suaminya. Ia tetap menuntut supaya kerak itu harus disediakan untuknya sendiri.

Suatu hari ketika Amaq Tempiq-Empiq sedang asyik memakan kerak, Tempiq-Empiq datang mendekatinya sambil berkata, “Ayah, sebaiknya kerak ini dibagi saja. Untuk saya sebagian dan untuk ayah sebagian. Sejak beberapa hari yang lalu saya ingin sekali memakan kerak. Bagaimana ayah?”

Amaq Tempiq-Empiq menjawab dengan enaknya, “Tempiq-Empiq anakku, sebaiknya kau minta kepada ibumu, pasti bagianmu ditinggalkan di dapur.”

Mendengar perkataan ayahnya itu, Tempiq-Empiq langsung berlari menuju dapur. Di dapur, Tempiq-Empiq lalu menyapa ibunya yang sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk mereka sekeluarga, “Ibu, aku sudah minta kepada ayah, agar kerak yang sedang dimakannya dibagi dua. Tetapi ayah mengatakan bagianku telah ibu sediakan di dapur. Betulkah demikian?”

Ibunya lalu menjawab sambil terus bekerja, “Tempiq-Empiq, kerak itu hanya sedikit. Mana bisa dibagi berdua. Biarlah ayahmu saja yang memakan kerak itu. Kamu boleh mengambil makanan yang lain. Tetapi kalau ingin benar, mintalah pada ayahmu di luar.”

Kembali Tempiq-Empiq berlari menuju ayahnya dan berkata, “Ayah, beri aku kerak itu. Ibu tidak menyediakan untuk aku.”

“Tempiq-Empiq, sudah kukatakan, tentang kerak itu mintalah pada ibumu,” jawab ayahnya

Kembali Tempiq-Empiq masuk ke dapur dan meminta kepada ibunya. Tetapi karena memang tidak ada kerak nasi di dapur, Tempiq-Empiq disuruh kembali lagi kepada ayahnya. Demikianlah, Tempiq-Empiq terus bolak-balik menemui ibu dan ayahnya, sehingga Amaq Tempiq-Empiq menjadi berang dan memasuki dapur sambil menghardik isterinya.

“Hai perempuan celaka, hanya soal kerak nasi saja kau tak dapat mengatasinya. Bosan aku mendengar Tempiq-Empiq terus merengek kepadaku. Di mana kepalamu, hai otak udang.”

Karena tidak mendapat jawaban, Amaq Tempiq-Empiq melanjutkan dengan penuh nafsu. “Kalau terus menerus begini, tidak berarti kau tinggal di rumah ini. Sebaiknya besok pagi kaulah yang pergi ke hutan mencari kayu bakar dan aku tinggal di rumah mengurus anak-anak.”

Sambil berjalan mondar-mandir di dapur, Amaq Tempiq-Empiq melanjutkan amarahnya. “Hai perempuan dungu, pasanglah telingamu dan dengar kata-kataku. Besok pagi pergilah ke hutan. Aku tinggal di rumah. Kamu sanggup? Cepat jawab!”

Inaq Tempiq-Empiq terdiam. Ia tidak mau meladeni suaminya yang sedang dikuasai setan. Ia terdiam sambil melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Melihat gelagat isterinya yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya itu, amarah Amaq Tempiq-Empiq semakin menjadi-jadi. “Cepat jawab. Kamu sanggup atau tidak? Kalau tidak sekarang juga terima bagianmu ini.”

Selesai berkata demikian, Amaq Tempiq-Empiq langsung mengambil sepotong kayu yang kebetulan berada di dekatnya. Kayu itu kemudian dipukulkan ke tubuh isterinya. Setelah puas berbuat demikian, Amaq Tempiq-Empiq masuk ke dalam rumah. Di sana ia mengunci dirinya dan tak mau memperdulikan semua yang terjadi di sekitarnya. Sedang Inaq Tempiq-Empiq masih tertinggal di dapur sambil menahan sakit dan menahan gejolak hati. Dalam hati ia berkata:

“Oh, hanya karena kerak nasi. Ya hanya kerak nasi menyebabkan badanku demikian sengsara. Apa lagi perkara yang lebih besar. Aku sudah tak berarti, apalagi berharga dalam keluarga ini. Aku akan pergi dari sini. Selamat tinggal anak-anak, ibu akan pergi jauh, dan mungkin tak akan kembali lagi.”

Setelah itu dengan dibarengi dengan denyutan hati dan duka nestapa, serta iringan pikiran yang kusut, Inaq Tempiq-Empiq segera meninggalkan rumahnya. Ia berjalan secepat-cepatnya, ia ingin segera pergi dari rumahnya. Ia berjalan tanpa tujuan yang pasti. Ia hanya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh mata kakinya saja. Tujuannya hanya satu, mencari satu tempat yang dapat membuat hatinya tenteram kembali. Setelah berjalan beberapa lama, jarak yang ditempuh sudah jauh sekali.

Saat Tempiq-Empiq mengetahui bahwa ibunya tak berada lagi di rumah, dengan cepat disambarnya adiknya yang masih kecil itu, lalu digendongnya dan berlari secepat-cepatnya menyusul ke arah ibunya berjalan. Tempiq-Empiq berlari terus sambil berteriak memanggil ibunya.

Manakala jarak mereka sudah makin dekat, berkatalah Tempiq-Empiq, “Ibu, kembalilah, lihatlah adikku terus menangis karena haus dan lapar. Kembalilah ibu.”

Mendengar teriakan anaknya yang demikian itu, Inaq Tempiq-Empiq lalu menjawab, “Oh, anakku, tidak usah kamu hiraukan aku lagi. Relakan ibu pergi mencari ketenangan. Segala kebutuhanmu, mintalah pada ayahmu. Pulanglah hai anakku.”

Mendengar jawaban ibunya itu, Tempiq-Empiq tidak menghiraukannya dan terus saja menyusul ibunya. Ia berjalan dan berlari tanpa mengenal lelah. Adiknya terus digendongnya, kendati ia menangis dengan tidak henti-hentinya.

“Ibu, tunggu ibu, ke mana ibu akan pergi? Dengarlah teriakan anakmu ini ibu. Tidakkah ibu mendengar tangis adikku?” teriak Tempiq-Empiq.

“Anakku, ibu mendengar semua kata-katamu. Ibu tahu dan merasakan apa yang kamu rasakan. Namun apa pun yang akan terjadi, ibu tak akan kembali,” teriak ibunya.

“Tidak ibu. Ibu harus kembali bersama kami sekarang juga. Dengarlah bu, tangis adikku, dia sudah lapar dan haus,” teriak Tempiq-Empiq dari kejauhan.

Walaupun Tempiq-Empiq memanggil dengan berteriak sekeras-kerasnya, ibunya tetap berjalan dan jarak yang memisahkan mereka pun menjadi jauh lagi. Walau demikian, Tempiq-Empiq tidak berputus asa. Ia akan tetap menyusul ibunya. Ia sangat kasihan kepada adiknya, yang senantiasa menangis karena kehausan dan kelaparan.

Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya Inaq Tempiq-Empiq tiba di sebuah pantai. Pantai itu merupakan sebuah tanjung yang hanya terdiri dari batu-batu besar dan kecil. Dengan susunan yang demikian, tanjung itu kelihatan indah sekali. Pada suatu bagian dari susunan batu itu ada sebuah tempat yang menyerupai sebuah goa. Susunan batu seperti gua itu mempunyai bagian-bagian yang terdiri dari lubang-lubang yang seolah-olah merupakan sebuah serambi dan di bagian lain ada kamar tidur. Karena tidak tahu kemana lagi harus melanjutkan perjalanan, akhirnya Inaq Tempiq-Empiq beristirahat di dalam gua itu.

Keesokan harinya, Tempiq-Empiq yang selama ini tetap menggendong adiknya, akhirnya sampai juga di tempat itu. Di depan pintu gua itu mereka berjumpa dan berkumpul lagi seperti sedia kala. Anak yang masih kecil itu lalu diambil oleh ibunya dan langsung diberi minum air susunya.

Dalam keadaan menyusui anaknya itu, Inaq Temiq-Empiq berkata, “Tempiq-Empiq anakku, sebenarnya sejak ibu meninggalkan rumah, segala keperluan hidupmu sudah menjadi tanggung jawab ayahmu. Ayahmu tidak membutuhkan kehadiran ibu di rumah itu lagi. Itulah sebabnya dengan sangat terpaksa ibu meninggalkan kamu berdua, walau cinta kasihku kepadamu tidak dapat diukur dengan apa pun juga. Namun apa pun yang terjadi, terimalah dengan sepenuh hati, dan tawakal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Setelah berkata demikian Inaq Tempiq-Empiq yang sedang menyusui anaknya itu menyuruh Tempiq-Empiq mengambil tempat sirihnya di dalam gua. “Tempiq-Empiq, coba kamu ambilkan tempat sirih ibu di dalam.”

“Ah, aku tidak berani masuk gua batu itu, ibu. Aku takut. Gelap sekali di dalam,” jawab Tempiq-Empiq.

“Masuk saja, tidak ada apa-apa. Jangan takut,” kata ibunya.

“Ibu sajalah yang mengambilnya. Aku tetap tidak berani,” jawab Tempiq-Empiq.

Kemudian ibunya memberikan adiknya yang sudah puas menyusu kepada Tempiq-Empiq. Di tangan bayi itu ada sebutir telur yang sengaja dibawa oleh ibunya dari rumah. Telur itulah yang selalu dipegang oleh adiknya dan tidak pernah dilepaskan. Tempiq-Empiq menerima adiknya dari tangan ibunya, lalu dipangkunya dengan mesra sekali. Setelah itu ibunya bangkit, dan kemudian masuk ke dalam gua. Setelah Inaq Tempiq-Empiq berada di dalam, pintu gua yang terdiri dari batu itu tiba-tiba merapat. Inaq Tempiq-Empiq terperangkap di dalam gua itu.

Melihat kejadian itu, Tempiq-Empiq yang masih berada di serambi gua merangkul adiknya erat-erat dan berteriak sekeras-kerasnya, “Ibu, ke mana lagi ibu akan pergi? Bagaimana ibu akan keluar dari dalam gua batu itu? Ibu, ibu, ibu!”

Kemudian Tempiq-Empiq mendengar suatu suara, “Anakku, tidak ada gunanya kau mencari ibu lagi. Ibu telah sampai pada tempat yang ibu inginkan. Lebih baik pulanglah.”

Tidak berapa lama kemudian, Tempiq-Empiq mendengar suara lagi.

“Tempiq-Empiq anakku, bila besok atau lusa, mungkin bulan depan atau pada masa-masa selanjutnya kau dan seluruh anak cucuku berkeinginan untuk menjenguk aku di tempat ini, atau ada yang ingin memberi makan untukku, taruhlah makanan itu pada celah-celah batu ini. Aku akan sangat berterima kasih. Selain itu perhatikanlah anakku. Bila nanti aku mengeluarkan suatu suara dari tempat ini, maka itulah suatu pertanda akan datangnya musim hujan, yang membawa kemakmuran atau mungkin juga suatu tanda akan datangnya wabah penyakit bagi binatang-binatang ternak atau mungkin juga bagi manusia.”

Setelah mendengar wasiat ibunya itu akhirnya Tempiq-Empiq pun pulang ke rumah ayahnya. Perjalanan pulang itu bagi Tempiq-Empiq merupakan perjalanan yang penuh dengan tetesan air mata karena berpisah dengan ibunya melalui suatu peristiwa yang sangat menyedihkan. Setelah berjalan beberapa hari, telur yang selama ini selalu dalam genggaman adiknya, tiba-tiba menetas menjadi seekor ayam. Kehadiran anak ayam ini ternyata dapat menghibur adiknya yang selalu menangis. Dengan mengalami bermacam-macam kesulitan, akhirnya tiba juga Tempiq-Empiq bersama adiknya di rumah.

Setelah sampai di rumah, Tempiq-Empiq menjadi terkejut karena bapaknya telah kawin lagi dengan seorang janda yang bernama Inaq Teriung Riung. Janda itu telah mempunyai seorang anak.

Ketika melihat anak-anaknya pulang, ayahnya pun berkata, “Tempiq-Empiq, ke mana saja kau selama ini?”

“Aku pergi menyusul ibu,” jawab Tempiq-Empiq.

“Di mana ibumu sekarang?” tanya bapaknya.

“Ayah, kita tak mungkin lagi berjumpa dengan ibu. Ibu telah pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya,” jawab Tempiq-Empiq.

“Ayam siapakah yang kau bawa itu?” tanya ayahnya.

Lalu Tempiq-Empiq menceritakan asal-usul ayam jantan yang dibawanya.

“Coba kulihat. Bagus benar ayammu. Aku bermaksud untuk mengadu ayam ini besok pagi. Karena ayam serupa ini jarang kalah dan sulit mencari tandingannya. Lihatlah ciri-ciri ayam ini. Serawah, sekedar, sangkut, sandah samar1. Hebat bukan?”

Memang Amaq Tempiq-Empiq mempunyai kegemaran mengadu ayam. Tidak heran ketika melihat ayam yang dibawa anaknya itu, perhatiannya hanya tertuju pada si ayam. Sehingga hampir-hampir ia tak mendengar segala cerita anaknya.

Keesokan harinya Amaq Tempiq-Empiq ke gelanggang aduan ayam. Setiba di tempat itu ia segera mencari tandingan untuk ayamnya. Pada hari itu ayamnya menang dan tanpa cedera sedikit pun. Demikian juga berturut-turut beberapa hari kemudian. Betapa senang hati Amaq Tempiq-Empiq tak dapat diceritakan lagi, sehingga ia lupa memperhatikan kedua anaknya. Ia hanya asyik menghitung kemenangannya dalam perjudian. Kadang-kadang ia menanyakan apakah kedua anaknya sudah makan. Pertanyaan itu selalu dijawab dengan kata sudah oleh oleh isterinya. Dalam kenyataannya kedua anak itu selalu diabaikan. Makanan yang diterimanya tak pernah memadai. Kedua anak tersebut sangat menderita lahir batin. Itulah sebabnya sehari-harian Tempiq-Empiq dan adiknya selalu berada di luar rumah. Mereka sering bermain-main di bawah sebatang pohon ara, sambil menunggu barangkali ada buah yang jatuh.

Pada suatu hari ketika Amaq Tempiq-Empiq lewat di bawah pohon ara itu, ia mendengar nyanyian seorang anak, yang disambung dengan suara lain. Beberapa kali ia memperhatikan dengan teliti, tetapi nyanyian anak itu tetap saja berulang.

“Oh, betapa manisnya buah ara ini, sedang bagiku, nasi adalah barang yang pahit. Klek, Klek, Kuwo,” begitu bunyi nyanyiannya.

Didorong oleh keinginan yang besar untuk mengetahui siapa yang menyanyikannya Amaq Tempiq-Empiq memandang dengan cermat ke atas pohon itu. Saat ia mengamati, ia amat terkejut ketika melihat kedua anaknya berada di atas ranting pohon itu. Dan ia lebih terkejut lagi, ketika melihat dengan nyata bahwa kedua anaknya memiliki sepasang sayap. Kini jelaslah baginya, bahwa yang menyanyi tadi adalah kedua anak itu. Melihat kedua anak itu menjelma menjadi burung, Amaq Tempiq-Empiq menjadi kalap. Ia kini yakin, tidak ada orang lain yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini, selain dari isterinya sendiri. Akibat kekejaman dan perlakuan ibu tirinya itulah maka kedua anaknya itu berubah menjadi burung.

Setelah tiba di rumah, ia mengamuk sejadi-jadinya, kemudian mengusir isterinya. Tetapi karena anak dari isteri keduanya tak ada yang merawat, maka beberapa hari kemudian Inaq Teriung Riung disuruh pulang kembali. Singkat cerita, mereka kemudian hidup rukun kembali.

Namun dalam hati Amaq Tempiq-Empiq masih merasa sedih karena kehilangan isteri pertama dan anak-anaknya. Suatu saat ia ingat akan pesan isterinya yang disampaikan oleh Tempiq-Empiq. Karena itu ia berkunjung ke Tanjung Salaen, tempat isterinya lenyap ditelan gua batu sambil membawa sesajian untuk isterinya.

Sumber:
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1 Serawah = putih. Sekedas = putih pada kaki. Sangkur = tidak berekor panjang. Sadah samar = tengkuk ayam yang berbulu agak berdiri seperti bulu tengkuk (kepala) burung kakak tua.
Read full post »

Tuan Guru

0 comments
Pada suatu hari, ada seseorang yang amat sakti bernama Tuan Guru. Ia adalah seorang pengembara dan sekaligus sebagai penyebar agama. Dalam pengembaraannya itu, suatu saat ia tiba di sebuah Gili1 yang bernama Gili Terawangan. Di Gili Terawangan itu ia berjumpa dengan seorang manusia. Tuan Guru pun kemudian bertanya.

“Apakah saudara pernah mempelajari agama?”

“Belum,” demikianlah jawab orang yang ditanya.

“Kalau demikian, maukah saudara mempelajarinya? Saya sanggup menjadi guru saudara.”

“Ya, saya mau. Memang sejak lama saya berniat mempelajari agama, tetapi saya belum menemukan seorang guru. Bila tuan berkenan mengajar saya, saya pun sangat mengharapkannya.”

“Baiklah saudara akan saya berikan pelajaran tentang agama.”

Mulai saat itu Tuan Guru memberikan pelajaran agama. Ia memberikan berbagai macam ilmu. Di antara ilmu-ilmu yang diajarkan, ada yang bernama Ilmu Bunga Laut. Sedang ilmu yang lain meliputi agama dan adat istiadat. Singkat cerita, setelah berlangsung beberapa bulan, tamatlah pelajaran tersebut. Tuan Guru pun berkata.

“Nah, setelah semua pelajaran yang kuberikan kau pahami, patuhilah semua itu. Janganlah kau langgar. Karena semua pelajaran itu sangat kuyakini.”

“Baiklah Tuan Guru,” kata muridnya.

“Janganlah melalaikan kewajiban sembahyang lima waktu, sebab merupakan kewajiban umat Islam.” Demikianlah kata Tuan Guru.

“Baiklah Tuan Guru.”

“Setelah kau paham benar, kaulah yang harus menjadi guru, memberikan pelajaran agama kepada kaum kerabatmu kelak. Ibarat benih, akulah yang membibit dan kaulah bibitnya. Bibit ilmu pengetahuan namanya. Bibit itulah yang akan berguna kemudian hari. Bimbinglah kaum kerabatmu,” kata Tuan Guru.

“Baiklah Tuan Guru,” jawab murid itu.

“Nah, karena kau telah tamat, aku akan melanjutkan perjalananku. Terlarang bagiku untuk menetap pada suatu desa. Wilayah yang belum mengetahui pelajaran agama harus kukunjungi. Dan bila penduduknya mau menerima tentu mereka akan kubimbing.”

“Baiklah Tuan Guru.”

“Aku akan berangkat,” demikian kata Tuan Guru.

Kemudian mereka berjabatan tangan dan berpisah. Setelah berjalan dan tiba di tepi pantai, Tuan Guru melihat sebuah sampan.

“Tuan Guru hendak menyeberang?” kata pengayuh sampan itu.

“Ya, aku berniat ke daratan Lombok.”

“Silakan Tuan Guru, naiklah ke sampan saya.”

“Baiklah, terima kasih.”

Kemudian Tuan Guru naik ke atas sampan dan sampan itu pun segera berlayar. Setelah berlayar beberapa lama, akhirnya sampan itu mendarat di pantai Bayan. Setelah berada di Bayan dan bertemu dengan seorang penduduk, Tuan Guru pun bertanya.

“Desa apakah namanya ini?”

“Desa ini bernama Bayan,” kata orang itu.

Tanpa berbasa-basi lagi, Tuan Guru pun segera mengungkapkan niatnya, “Pernahkan saudara mempelajari agama?”

“Belum, belum pernah.”

“Kalau demikian bagaimana cara saudara melaksanakan agama selama ini?”

“Saya belum mengetahuinya. Saya disarankan oleh orang tua saya, agar mencari seorang guru agama Islam. Bila guru itu datang saya diwajibkan belajar padanya. Demikian pesan orang tua saya.”

“Kalau demikian saya bersedia membimbing saudara.”

Demikianlah, akhirnya Tuan Guru itu menyelenggarakan suatu pelajaran. Ia mengajarkan syareat Islam dan adat istiadat. Setelah berlangsung selama dua bulan, tamatlah pelajaran itu. Murid itu sudah dapat melaksanakan ibadat secara Islam. Dan ia pun dinyatakan tamat.

Sementara itu, muridnya yang berada di Gili Terawangan, merasa sangat rindu akan gurunya. Ia berkata kepada isterinya.

“Aku sangat ingin menemui Tuan Guru. Aku berniat mencarinya. Bukankah beliau telah mengajarkan kepada kita ilmu yang sangat bermanfaat, sehingga hidup kita menjadi sejahtera.”

“Kalau demikian kehendakmu, berangkatlah,” kata isterinya.

Setelah mendapat restu dari isterinya, kemudian berangkatlah ia menuju Bayan. Setiba di pantai ia berpikir dalam hati, “Tak sebuah sampan pun yang tampak, bagaimana caranya agar aku dapat menyeberang?”

Akhirnya ia teringat akan Ilmu Bunga Laut yang telah diterimanya dari Tuan Guru. Setelah itu lafal mantra diucapkan, untuk menghidupkan ilmu tersebut. Dengan seketika air laut menjadi padat dan ia pun dapat berjalan di atasnya. Setelah beberapa lama berjalan meninggalkan pantai, ia pun tiba di Desa Bayan dan berjumpa dengan Tuan Guru yang kebetulan sedang berada di tepi pantai.

“Lho, kau datang! Ada apakah?” tanya Tuan Guru.

“Saya berniat menemui Tuan Guru. Tuan Guru saya undang untuk datang di desa kami. Kami sangat merindukan Tuan Guru karena telah lama tak berjumpa. Di samping itu cobalah Tuan Guru teliti pelaksanaan pelajaran yang Tuan Guru berikan dahulu. Sudahkah benar atau belum. Itulah maksud saya mengundang Tuan Guru untuk datang ke Gili Terawangan.”

“Baiklah. Tiga hari lagi aku akan datang,” jawab Tuan Guru.

“Terima kasih Tuan Guru, kami menunggu.”

Murid itu kemudian mohon diri. Setelah tiba di tepi pantai, kembali ia mengucapkan mantra Ilmu Bunga Laut. Seperti biasa, Tuhan memberkahi keampuhan ilmunya dan laut pun menjadi padat. Ia berjalan di atasnya dengan mudah. Akhirnya tibalah ia di seberang dan berjumpa dengan isterinya.

“Berjumpakah kau dengan Tuan Guru?” tanya isterinya.

“Ya.”

“Bisakah ia memenuhi undangan kita?”

“Ya, bisa.”

“Jika demikian……..”

“Tiga hari lagi siapkanlah semua persediaan untuk Tuan Guru. Baik makanan maupun minuman. Tiga hari lagi ia akan datang” jawab suaminya.

Namun, murid itu hanya semalam berada di rumahnya, keesokan harinya pada hari Jumat, ia meninggal dunia. Seperti yang dikatakan oleh Tuan Guru ketika ia memberi pelajaran agama, bahwa setiap orang yang benar-benar taat melakukan ibadat kepada Tuhan pasti akan meninggal dunia pada hari Jumat. Demikianlah, murid ini telah meninggal pada hari Jumat. Dan, murid itu pun akhirnya dikubur pada hari itu juga.

Tiga hari kemudian tibalah waktunya bagi Tuan Guru untuk datang di Gili Terawangan seperti dijanjikan. Tepat pada hari Sabtu, berangkatlah Tuan Guru meninggalkan Bayan menuju ke tempat penyeberangan. Setibanya di pantai, tidak ada satu pun sampan yang terlihat di sana.

“Ah, muridku kemarin terpaksa berjalan di atas air karena tidak ada sampan. Aku yang mengajarinya Ilmu Bunga Laut, hingga ia berhasil. Aku mesti berhasil juga. Ya, aku masih ingat lafal mantranya.”

Saat itu, tiba-tiba datang seorang pemilik sampan dan menyapanya.

“Tuan Guru hendak menyeberang?”

“Ya.”

“Silakan naik ke sampan saya.”

“Ah, aku tak suka mempergunakan sampan. Aku dapat berjalan di atas air. Aku seorang Tuan Guru, percuma mempergunakan sampan.”

“O, ya sudah. Silakan Tuan Guru, saya mohon pamit,” kata si pemilik sampan sambil mendayung sampannya.

Setelah sampan agak jauh, Tuan Guru mulai melafalkan mantra Ilmu Bunga Lautnya. Tetapi air laut tidak menjadi padat dan masih tetap seperti biasa. Tuan Guru tetap mencoba juga berjalan di atasnya. Dan, seluruh tubuhnya masuk ke dalam air. Ia basah kuyup. Dengan cepat ia naik ke darat lagi.

“Lho, kalah aku oleh muridku. Ia berjalan di atas air, mengapa aku tidak? Malu benar aku. Bila aku mempergunakan sampan menyeberang, sungguh sangat malu karena telah kukatakan percuma memepergunakan sampan,” pikirnya dalam keadaan pakaian serba basah.

Tiba-tiba mendekat seorang pemilik sampan yang lain.

“Tuan Guru hendak menyeberang?”

“Ya,” jawabnya.

“Mengapa Tuan Guru basah kuyup?”

“Tiba-tiba tadi aku dihantam ombak besar,” kata Tuan Guru berbohong. Ia malu mengatakan ilmunya tak mempan lagi. Ia malu mengatakan dirinya tenggelam. Sambungnya lagi:

“Ah, biarlah. Nanti kujemur pakaian ini. Celaka, ombak itu tiba-tiba menghantam ke tepi, menyebabkan aku basah kuyup.”

“Ah, sial benar. Sekarang silakan naik Tuan Guru, agar kita cepat tiba di seberang.”

“Baiklah.”

Demikianlah, akhirnya Tuan Guru bersedia juga mempergunakan sampan. Di sampan Tuan Guru merasa sangat dingin. Ia kedinginan.

Setelah sampan itu telah tiba di pantai Gili Terawang. Tuan Guru naik ke darat dan menuju Desa Gili Terawang. Namun, tidak berapa lama kemudian ia telah kembali lagi ke pantai.

“Lho, mengapa Tuan Guru cepat kembali?” kata si pemilik sampan.

“Ya, karena muridku telah meninggal dan telah dikebumikan ketika aku tiba di Gili Terawang. Maksudku memang memenuhi undangannya, tetapi ia telah tiada” kata Tuan Guru, sambil melompat ke atas sampan.

Dalam perjalanan pulang itu Tuan Guru selalu gelisah. Ia bingung, harus mengatakan apa nanti apabila ditanya orang mengenai caranya menyeberang laut. Ia telah berbohong pada seorang pemilik sampan yang ada di desanya bahwa dia dapat berjalan di atas air. Ia takut kalau kebohongannya diketahui oleh warga desa, padahal selama ini ia selalu mengajarkan agar mereka selalu jujur dan jangan pernah berbohong.

Sesampai di tengah desa, orang-orang telah berkurumun. Mereka ingin mendapat penjelasan tentang kebenaran cerita mengenai kesaktian Tuan Guru yang dapat berjalan di atas air.

“Dengan apa Tuan Guru menyeberang?” tanya salah seorang dari mereka setelah Tuan Guru berada di tengah-tengah kerumunan.

“O, tentu saja aku berjalan di atas air,” kembali Tuan Guru berbohong.

Tuan Guru terpaksa berbohong lagi. Ia malu apabila berterus terang bahwa ilmunya telah hilang. Dan apabila kebohongan itu diketahui masyarakat, maka Tuan Guru khawatir mereka akan pergi dan tidak mengakuinya lagi sebagai pemimpin. Dan, sebelum kebohongannya tarungkap, Tuan Guru berniat untuk meninggalkan desa itu. Cara yang dilakukannya adalah dengan menggunakan ilmu yang dapat membuat seolah-olah dirinya meninggal. Ilmu itu akan dipakainya pada hari Jumat, sehingga ia akan dianggap sebagai orang yang selalu taat menjalankan ibadahnya.

Pada pagi hari yang telah ditentukan, yaitu malam Jumat, Tuan Guru pun mulai melafalkan mantranya. Ketika orang-orang datang untuk mendengarkan pelajaran agama di rumah Tuan Guru, mereka melihat Tuan Guru telah terbujur kaku. Mereka mengira Tuan Guru Telah meninggal dunia. Malam itu suasana menjadi sangat ramai. Semua orang datang dan berjaga semalam suntuk.

Karena lama terbaring, akhirnya Tuan Guru merasa lelah. Ia tak tahan tidur terlentang dalam waktu yang cukup lama. Ia ingin bergerak tapi tak bisa karena orang banyak berjaga-jaga. Akhirnya timbul akal bulusnya lagi. Ia teringat akan ilmu sirep2 yang dikuasainya.

Beberapa saat kemudian, Tuan Guru pun mulai melafalkan mantra ilmu sirepnya. Dan, seluruh orang yang hadir di situ merasa mengantuk dan akhirnya tertidur dengan lelap. Suasana berubah menjadi sepi. Setelah suasana demikian sepinya, Tuan Guru mulai membuka kain kafan yang menyelubunginya dan berjalan meninggalkan tempat itu. Ia berpikir, dengan menghilangnya jasadnya, masyarakat desa akan semakin percaya bahwa ia adalah orang suci dan bakal selalu dikenang di desa itu. Ia melangkah kaki menuju perbatasan desa dan beberapa jam kemudian sampai di hutan subur yang bernama Marong Meniris.

Saat berada di tengah hutan itu, Tuan Guru merasa lelah. Ia kemudian beristirahat di bawah sebuah pohon yang amat besar hingga tertidur. Saat matahari menyingsing, terbangunlah Tuan Guru secara tiba-tiba, karena mendengar ada suara langkah kaki menuju ke arahnya. Langkah kaki itu adalah milik seorang tukang kayu yang hendak menebang pohon untuk membuat membuat rumah. Tuan Guru kemudian langsung memanjat pohon agar tidak terlihat oleh si tukang kayu.

Setelah si tukang kayu menebang pohon yang letaknya berdekatan dengan pohon tempat Tuan Guru bersembunyi, ia pun beristirahat sejenak sambil mengunyah sirih. Dalam menikmati istirahat itu, ia melepaskan pandangannya ke berbagai arah. Dan saat ia memandang ke atas, tiba-tiba matanya terumbuk pada sesosok tubuh manusia.

“Lho, ada manusia di atas,” gumamnya.

Kemudian dilihatnya manusia itu tampak meniti pada batang pohon untuk menyembunyikan diri.

Saat Tuan Guru bergerak itu, si pencari kayu mengenali pakaiannya. Ia telah tahu betul bahwa baju yang tampak olehnya itu adalah kepunyaan Tuan Guru. Baju itu telah terlalu sering dilihatnya.

“Astaga, tampaknya itu Tuan Guru. Orang desa mengatakan bahwa ia sudah meninggal sebagai orang suci, karena lenyap dengan jasadnya. Tetapi yang kulihat itu pasti Tuan Guru. Mengapa ia bergantung di pohon ini. Ah, sebaiknya aku pulang, dan memberitahu kawan-kawan.” Pencari kayu itu pun segera berlari pulang untuk memberitahukan pada orang banyak.

“Lho mengapa kau cepat benar kembali,” tanya kawan-kawannya setibanya di desa.

“Aku terkejut di hutan. Kalian semua sudah mengetahui, bahwa Tuan Guru yang telah meninggal lenyap dengan jasadnya. Bukankah ulama yang sejati kalau meninggal mesti lenyap dengan jasadnya? Tetapi nyatanya Tuan Guru masih hidup. Aku melihat dia berada di hutan!”

“Baik, marilah kita lihat bersama-sama,” kata kawan-kawannya.

Setelah tiba di tempat yang dituju, semua menyaksikan memang benar bahwa Tuan Guru berada di atas pohon dan sedang berpegangan pada rantingnya. Melihat dirinya diperhatikan oleh orang banyak, Tuan Guru bergerak hendak menyembunyikan diri. Dan, secara tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi kalong.

“Lho, mana Tuan Guru? Kok tiba-tiba ada seekor kalong di pohon itu,” kata salah seorang penduduk.

“Dialah Tuan Guru. Lihat saja baju yang dipakai kalong itu. Itu baju Tuan Guru,” kata teman yang satunya lagi.

“Benar, benar, tetapi mengapa ia menjadi kalong?” tanya yang lain.

Rupanya Tuan Guru telah dihukum Tuhan menjadi kalong. Ia dihukum karena sudah terlalu banyak membohongi orang. Sejak peristiwa itu, daging kalong diharamkan oleh masyarakat setempat karena merupakan penjelmaan Tuan Guru.

Sumber:
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1 Gili adalah pulau kecil yang menjadi bagian (anak) pulau lain yang lebih besar.

2 Sirep adalah ilmu gaib yang dipergunakan untuk membuat orang agar mengantuk dan tertidur.
Read full post »

Makam Embung Puntiq

0 comments
Alkisah, pada suatu desa yang bernama Bayan, tinggallah sebuah keluarga. Sang ayah bernama Panji Bayan Ullah Petung Bayan, sedangkan anaknya bernama Panji Bayan Sangge. Suatu hari tatkala Panji Bayan Sangge masih kanak-kanak, entah karena apa, ia pergi meninggalkan desa kelahirannya untuk mengembara.

Setelah melewati berbagai lembah dan bukit, akhirnya Panji Bayan Sangge tiba di sebuah daerah yang bernama Batu Dendeng. Hutang memang harus dibayar, takdir juga harus dijalani. Singkat cerita, di Batu Dendeng Panji Bayan Sangge dijadikan anak angkat oleh sepasang suami-isteri yang tidak mempunyai anak, bernama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol. Ia dianggap dan diperlakukan seperti anak kandungnya sendiri. Ia tidak merasakan kejanggalan apapun juga. Inaq dan Amaq Bangkol dianggap sebagai orang tuanya sendiri. Mereka saling mengasihi, mencintai dan pada segi-segi tertentu saling menghormati. Hari berganti minggu, bulan demi bulan datang silih berganti, tahun demi tahun menyusul, akhirnya Panji Payan Sangge meningkat dewasa. Ia telah menjadi seorang pemuda.

Pada suatu hari ia mengemukakan niatnya kepada Inaq Bangkol untuk menggarap sebuah ladang. Setelah membuat petak ladang dan memagarinya, maka oleh Inaq Bangkol diberikan beberapa bibit tanaman seperti: jagung, berbagai jenis kacang, gandum dan lain-lain tanaman yang pantas atau cocok untuk di taman di ladang.

Demikianlah, setelah beberapa waktu bibit yang diberikan oleh Inaq Bangkol ditanam, bibit-bibit itu tumbuh dengan suburnya. Panji Bayan Sangge merasa sangat gembira. Ia semakin giat mengurus ladang.

Beberapa minggu kemudian, pemandangan pada ladang itu telah berwarna-warni oleh berbagai jenis bunga. Tampaknya tak lama lagi semua tanaman akan berbuah. Itu berarti semua pengorbanan dan jerih payah Panji Bayan Sangge tidak akan sia-sia.

Namun seperti kata pepatah, untung tak dapat diraih dan malang pun tak dapat ditolak. Pada suatu pagi yang cerah ketika Panji Bayan Sangge mendatangi ladangnya, ia menjadi terkejut bukan main. Semua bunga yang pada senja hari kemarin masih baik dan utuh, sekarang musnah semuanya. Panji Bayan Sangge segera pulang ke rumah dan menceritakan semua yang dilihat kepada ibunya.

“Ibu, tadi pagi ketika ananda ke ladang, semua bunga tanaman itu telah hilang. Kalau dikatakan itu adalah perbuatan babi atau kera, rasanya tak mungkin. Karena tak satu pun tangkainya yang patah. Karena itu ananda bermaksud untuk mengadakan pengintaian. Barangkali ada tangan-tangan jahil yang sengaja merusak tanaman kita.”

“Baik, bunda setuju dengan rencana itu. Jagalah dirimu baik-baik dan jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Bertindaklah dengan jujur dan tidak boleh berbuat kasar kepada siapapun. Segala persoalan pasti dapat diselesaikan dengan baik. Dengar dan perhatikan nasihat bunda ini.” Demikian kata-kata Inaq Bangkol kepada Panji Bayan Sangge sesaat sebelum berangkat ke ladang.

Pada malam harinya Panji Bayan Sangge mulai melakukan pengintaian. Dengan cermat ia mengawasi ladangnya. Semua sudut ladang tak lepas dari perhatiannya. Namun, sudah hampir semalam suntuk tak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Hening, sepi, tak ada sesuatu atau seseorang yang mendatangi ladangnya.

Saat menjelang fajar, ketika Panji Bayan Sangge sedang bergulat dengan hebatnya menahan kantuk, tiba-tiba dari jurusan yang tak dapat dilihatnya, sembilan orang bidadari turun dari langit dan dengan asyiknya mengisap dan merusak bunga tanaman itu. Pengisapan dan perusakan bunga terus dilakukan dari satu pohon ke pohon yang lain. Melihat tingkah bidadari itu hati Panji Bayan Sangge menjadi gemas.

“Akan kuapakan perempuan-perempuan yang merusak tanamanku ini? Bila aku biarkan pasti bunga-bunga ini akan habis. Apakah hasilku nanti? Ah, lebih baik kutangkap saja barang seorang,” pikirnya. Dengan sigap, Panji Bayan Sangge menangkap salah seorang dari bidadari itu. Sang bidadari mengadakan perlawanan sekuat tenaga. Namun apa daya, Panji Bayan Sangge memiliki tenaga yang jauh lebih besar. Melihat peristiwa yang tak diinginkan itu, bidadari yang lain menjadi ketakutan dan melarikan diri. Panji Bayan Sangge segera membawa bidadari yang tertangkap itu pulang ke rumahnya.

Setelah tiba di rumah, ia mencari dan memberitahu Inaq Bangkol, “Ibu, dialah yang merusak tanaman kita di ladang. Hukuman apakah yang akan kita berikan kepadanya?”

“Anakku, bila bidadari ini merusak tanaman kita di ladang, ibu hanya berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa, semoga ananda dijodohkan dengan dia, janganlah dihukum. Dia akan kujadikan anak dan juga menantu. Terjadinya peristiwa ini, hanyalah merupakan takdir semata. Terimalah dengan penuh tawakkal. Semoga kebahagiaan senantiasa meliputi kalian.”

Singkat cerita, Panji Bayan Sangge pun akhirnya mengawini bidadari itu. Tetapi selama berumah tangga, mereka tak pernah berbicara. Demikianlah, kehidupan mereka berlangsung beberapa lama sampai mereka memperoleh seorang anak.

Karena telah lama kawin, namun tidak pernah mendengar satu patah kata pun dari isterinya, Panji Bayan Sangge menjadi penasaran. Berbagai akal telah dicoba agar isterinya mau berbicara. Dan, sebab-sebabnya pun selalu diselidiki, mengapa ia membisu. Satu hal yang selalu menarik perhatian Panji Bayan Sangge, ialah apabila isterinya akan mengambil air ke sumur. Sebelum berangkat ia selalu masuk ke dalam rumah. Setelah itu barulah pergi ke sumur. Apa gerangan maksudnya? Ada apa di dalam rumah? Hal inilah yang ingin diketahui oleh Panji Bayan Sangge. Barangkali dengan mengetahui latar belakang peristiwa ini dia akan dapat mengetahui mengapa isterinya selalu membisu.

Pada suatu hari ketika selesai makan dan segala-galanya sudah dikembalikan ke tempatnya, ia memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh isterinya. Benar juga. Isterinya masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama, lalu keluar lagi dan pergi mengambil air ke sumur. Setelah diperkirakan isterinya sampai di sumur, yang letaknya agak jauh dari rumah itu, Panji Bayan Sangge masuk ke dalam rumah.

Setelah beberapa lama memperhatikan apa yang ada di dalam rumah, perhatian Panji Bayan Sangge tertuju kepada segulungan tikar. Ia segera membuka gulungan tikar itu. Dan apa yang didapatinya? Ia menemukan sebuah selendang yang tergulung dan sengaja disembunyikan di tempat itu. Selendang itu bernama Lempot Umbaq yang tak pernah dilepaskan oleh isterinya, kecuali pada waktu mengambil air. “Ada apa dengan selendang ini?” demikian pikirannya.

Dia yakin bahwa selendang itu sangat besar artinya bagi isterinya. “Kalau selendang ini kusembunyikan mustahil, isteriku tak akan menanyakannya. Dalam kesempatan itulah nanti aku akan berbicara dengannya.”

Maka, Lempot Umbaq itu disembunyikan di tempat lain. Setelah itu, Panji Bayan Sangge berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa saat kemudian isterinya kembali dari sumur. Panji Bayan Sangge memperhatikan terus secara diam-diam apa yang akan dilakukannya. Setelah air ditaruh pada tempatnya, isterinya segera naik ke dalam rumah. Bukan main terkejutnya bidadari itu, karena Lempot Umbaq yang tadi ditaruh di bawah gulungan tikar sudah tak ada lagi di tempatnya. Ia tertegun dan berpikir sejenak. Kemudian, ia mencari ke setiap sudut di dalam rumah itu. Namun yang dicari tidak ditemukan.

Ia lalu keluar rumah. Dengan liar serta pandangan tajam ia terus mencari. Air matanya sudah tak dapat ditahan lagi. Ia mencari sambil menangis. Melihat itu, Panji Bayan Sangge mendekat sambil menegur isterinya, “Apa yang sedang kau cari isteriku? Bolahkah aku mengetahuinya? Barangkali aku dapat membantumu.”

Isterinya diam. Tak ada jawaban. Sikapnya tetap seperti sedia kala. Namun Panji Bayan Sangge tak berputus asa. Ia bertanya lagi, “Cobalah katakan apa yang sedang kau cari isteriku! Mungkin aku dapat menolongmu. Atau mungkin tak percaya pada diriku?”

Kali ini pun isterinya masih tetap membisu seribu bahasa. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, hanya air mata yang terus mengalir. Panji Bayan Sangge bertanya lagi, “Telah beberapa kali kukatakan padamu. Katakanlah dengan sebenarnya, apakah yang sedang kau cari. Aku bersedia membantumu untuk menemukan kembali.”

Pada saat itulah isterinya menjawab dengan singkat. Dia hanya mengatakan “Lempot Umbaq”. Setelah berkata demikian, ia seketika menghilang tanpa bekas. Semua berlangsung dalam hitungan detik. Tak ada yang mengetahui ke mana perginya.

Kejadian itu membuat Panji Bayan Sangge menjadi bingung. Ia bingung memikirkan nasib isterinya yang tiba-tiba menghilang. Demikian pula nasib bayi yang ditinggalkan. Tidak terpikir olehnya ke mana harus disusukan. Dan, ke mana pula ia harus mencari dan meminta bantuan. Ia menunggu hingga tujuh hari, tetapi isterinya tidak muncul juga. Akhirnya ia berkata dalam hati, “Ah, bila aku hanya berpangku tangan, tak mungkin isteriku kembali. Dan anakku pasti akan mati. Lebih baik aku mencari upaya, supaya isteriku dapat kubawa kembali.”

Setelah berpikir lama, akhirnya Panji Bayan Sangge memutuskan untuk meninggalkan rumah dan mencari isterinya. Kepada Inaq Bangkol, ia berkata, “Ibu, sekarang ananda akan menyerahkan anakku ini kepada ibu. Ananda akan mencari upaya, agar isteriku dapat kubawa kembali. Entah ke mana ananda belum tahu dengan pasti. Mungkin berhasil, mungkin pula tidak. Ananda pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Tetapi kelak bila anak ini dewasa, sedangkan ananda tak kembali, beritahukanlah siapa orang tuanya yang sebenarnya. Oleh karena itu doa restu ibu sangat ananda harapkan.”

Mendengar keinginan anak angkatnya itu, Inaq bangkol sangat terkejut dan bersedih hati. Ia sayang kepada anaknya, terlebih-lebih cucu angkatnya yang masih bayi itu. Namun, untuk menghalangi maksud Panji Bayan Sangge rasanya tidak mungkin lagi. Dengan perasaan berat ia melepaskannya sambil memanjatkan doa ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga anaknya tetap dalam lindungan dan maksud perjalanannya dapat tercapai.

Setelah ditinggalkan, Inaq Bangkol merasa sedih. Selain itu, ia pun bingung tak tahu harus berbuat apa untuk menyusui cucunya. Ketika Inaq Bangkol sedang kebingungan itu, tiba-tiba ia mendengar suatu suara. “Hai, Inaq Bangkol, bila kamu ingin melihat cucumu itu selamat dan dapat menyusu pada dirimu sendiri, aku akan memberi petunjuk yang harus kau patuhi. Ambil dan gosokkan sekujur tubuhmu dengan daun ini. Sesudah itu peras dan minumlah airnya.”

Mendengar suara itu Inaq Bangkol segera mengambil daun yang tiba-tiba jatuh di hadapannya dan melaksanakan petunjuk dari suara gaib yang telah didengarnya. Dan, Air susu segera memancar dari kedua payudaranya. Akhirnya, sang cucu sudah dapat minum air susu kembali.

Sementara itu, Panji Bayan Sangge yang sedang dalam usaha mencari isterinya, telah lama berjalan dan terus berjalan tanpa suatu arah yang pasti sampai akhirnya ia berada di tengah-tengah hutan. Di hutan itu Panji Bayan Sangge kemudian duduk bersila untuk bersemedi. Setelah beberapa lama bersemedi, tiba-tiba ia mendengar suara gaib. “Hai, Panji Bayan Sangge, kalau kamu akan mencari isterimu kamu harus mempersiapkan syaratnya. Kamu harus mendapatkan merang yang berasal dari ketan hitam. Merang ini harus kamu bakar di atas sebuah batu. Sewaktu asapnya mengepul ke udara, lompatilah merang itu. Maka kamu akan menjumpai isterimu. Tetapi jangan kau bingung bila berhadapan dengan banyak perempuan yang rupanya sangat mirip dengan isterimu. Oleh karena itu, kamu kuberikan seekor lalat emas yang ditaruh di dalam sebuah kota emas pula. Kalau kesulitan dalam menentukan yang mana isterimu, lepaskanlah lalat ini. Di mana lalat ini hinggap dan tidak berpindah lagi, itulah isterimu.”

Setelah suara itu hilang, ia sadar kembali dan pikirannya dapat dipulihkan. Ketika itu ia pun segera mencari dan menyiapkan merang ketan hitam yang diperlukan sebagai syarat untuk bertemu dengan isterinya. Dengan tidak membuang waktu lagi, ia pun menaiki sebuah batu besar dan dibakarnyalah merang ketan hitam itu. Saat asap merang mulai mengepul ke udara, ia pun melompat. Dan, ketika berada di tengah-tengah asap, seketika itu juga ia membumbung tinggi ke udara, menuju suatu tempat yang tak dapat dijangkau oleh manusia. Bersamaan dengan habisnya asap merang itu tibalah ia pada suatu tempat yang ajaib sekali. Di hadapannya berdiri sebuah istana yang megah, dikelilingi tembok yang kokoh. Tatkala ia berada di dekatnya tiba-tiba pintu gerbang istana itu terbuka sendiri.

Panji Bayan Sangge kemudian memasuki gerbang istana itu. Sebelum memasuki bangunan istana, ia harus melewati halaman yang sangat luas. Saat berjalan di halaman itu, ia melihat seorang laki-laki paruh baya sedang duduk di Berugaq Sekapat. Laki-laki itu menegur, “Hai, orang muda, dari mana asalmu. Apa pula maksud kedatanganmu ke mari? Siapa yang membawamu, hingga berada di tempat ini?”

Dengan hormatnya Panji Bayan Sangge menjawab, “Maaf paman, kedatanganku kemari memang sengaja, untuk menyusul isteriku.”

Dengan terkejut, laki-laki itu bertanya, “Menyusul isterimu? Mana mungkin. Tak seorang pun dari anak-anakku pernah kawin. Jangankan kawin, keluar istana ini pun tak pernah. Berkatalah yang sebenarnya, jangan mengada-ada. Siapa yang memberi petunjuk, siapa yang mengatakan padamu dan di mana pula kamu pernah menjumpai anakku? Cobalah ceritakan kepadaku!”

Panji Bayan Sangge tetap menjawab dengan sikap yang pasti, “Dalam petunjuk sudah jelas, bahwa isteriku berada di tempat ini. Tak mungkin berada di tempat lain. Saya yakin benar bahwa isteriku pasti berada di tempat ini.”

Orang tua itu berkata, “Sekarang aku akan keluarkan semua anak-anakku. Cobalah engkau tunjukkan nanti, yang manakah kau anggap sebagai isterimu. Tetapi harus diingat, apabila nanti kau tak dapat menunjukkan dengan tepat kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu.”

“Saya sanggup,” kata Panji Bayan Sangge.

Maka lelaki tua itu pun mengeluarkan anak-anaknya yang berjumlah sembilan orang. Mereka didudukkan berderet, berhadapan dengan Panji Bayan Sangge. Agak bingung juga Panji Bayan Sangge melihat mereka yang semuanya sebaya dan mempunyai wajah yang hampir sama pula. Namun akhirnya ia dapat menguasai diri. Ia ingat akan kotak serta lalat emas yang terdapat di dalam sakunya. Dengan diam-diam kotak itu dibukanya. Lalat emas itu pun keluar lalu terbang di antara semua wanita yang berderet itu dan akhirnya hinggap di dada salah seorang di antara mereka. Sesudah lalat itu diam dan tidak berpindah lagi, maka Panji Bayan Sangge telah mengetahui yang mana isterinya. Dengan penuh kepastian Panji Bayan Sangge menunjuk salah seorang di antara kesembilan bidadari itu.

Laki-laki tua itu kemudian bertanya, “Dari mana kau dapat mengetahui bahwa dia itu adalah isterimu?”

Panji Bayan Sangge pun memberikan keterangan tentang kegunaan lalat yang dibawanya. Lalu katanya, “Lalat itu hinggap di dada isteri saya. Karena mencium bau amis yang keluar dari susunya, karena dia telah melahirkan seorang putera yang kini sedang diasuh oleh ibu saya.”

“Di mana kau memperoleh lalat itu?” tanya orang tua itu selanjutnya.

“Lalat itu diberikan oleh sebuah suara gaib ketika saya sedang bersemedi dalam mencari upaya untuk menemukan kembali isteri saya ini.”

“Nah, bila demikian halnya baiklah. Aku percaya sekarang. Tak ada hal lagi yang aku ragukan. Pertemuan kalian ini rupanya memang sudah menjadi suratan takdir. Tuhan telah menjodohkan kalian. Sekarang apa sebab kamu ditinggalkan oleh isterimu? Pernahkah kalian dahulu berbicara sewaktu kalian berkeluarga?”

“Tak sekali jua pun,” jawab Panji Bayan Sangge.

Jawaban ini makin menambah keyakinan orang tua itu, bahwa anak muda yang ada di hadapannya itu memang benar menantunya. Lalu orang tua itu memberikan keterangan selanjutnya. “Begini anakku, isterimu selalu membisu, disebabkan karena isterimu mengetahui bahwa dia belum memenuhi persyaratan. Persyaratan itu belum pernah dilakukan. Sekarang di tempat ini akan kita penuhi persyaratan itu. Adapun syarat itu ialah apa yang sering disebut dengan nama Umbaq Lempot. Syarat inilah yang dahulu dibutuhkan oleh isterimu. Di sinilah sekarang kita buat untukmu. Dan, inilah yang harus dilakukan oleh keturunanmu kelak. Cara membuatnya ialah dengan motif Ragi Saja (nama motif kain tenun Sasak). Jadi nama lengkap syarat itu adalah Umbaq Lempot Ragi Saja. Nah inilah kebutuhan utama untuk memenuhi hidup di dunia.”

Beberapa hari setelah Umbaq Lempot Ragi Saja selesai dibuat, Panji Bayan Sangge dan isterinya pun turun ke bumi. Mereka tiba di tempat yang sama ketika Panji Bayan Sangge membakar merang ketan hitam. Dari tempat itu, mereka kemudian pulang ke rumah orang tua angkat Panji Bayan Sangge untuk berkumpul lagi dengan putera mereka yang sudah lama ditinggalkan.

Setelah Panji Bayan Sangge bersama dengan isterinya kembali ke rumah, puteranya yang diberi nama Mas Panji Pengendeng pun sudah agak besar. Karena ibunya adalah seorang bidadari, maka Mas Panji Pengendeng tidak hanya tampan, melainkan juga mempunyai kekuatan-kekuatan tertentu yang membuatnya sakti mandraguna.

Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, setelah Mas Panji Pengendeng itu menjadi dewasa, ia meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk membuat dan menempati desa baru, yaitu Desa Selong Semoyong. Sebelum putera tunggalnya itu pergi, kedua orang tuanya memberitahukan syarat-syarat agar dapat hidup di dunia dengan aman dan sentosa, yaitu dengan membuat Umbaq Lempot. Selain itu, ada lagi syarat lain yang harus dilaksanakan, yaitu harus mendirikan sebuah Barugaq Sekepat. Pada Barugaq Sekepat inilah akan hadir para leluhur tatkala ada kegiatan-kegiatan atau upacara sedang dilakukan.

Setelah Mas Panji Pengendeng telah lama menetap di Desa Selong Semoyong dan telah beranak-pinak, terjadilah peperangan di Kerajaan Kelungkung di Pulau Bali. Sebelumnya Raja Klungkung pernah mendapat berita bahwa di bumi Selaparang terdapat seorang ksatria perkasa. Yang dimaksud tidak lain adalah Mas Panji Pengendeng sendiri. Maka dibuatlah surat oleh Raja Klungkung, meminta Mas Panji Pengendeng bersedia membantunya untuk menghadapi musuh.

Ketika undangan dibaca oleh Mas Panji Pengendeng, ia merasa malu jika tidak memenuhi undangan Raja Klungkung itu. Akhirnya undangan itu pun diterima dengan baik dan disanggupi bahwa ia akan pergi dan membatu Raja Klungkung. Keberangkatannya ke Kerajaan Klungkung itu tidak hanya membawa pasukan tentara atau laskar biasa, tetapi disertai juga oleh bala samar sebanyak empat puluh empat.

Setelah tiba di Klungkung dan disambut langsung oleh Raja, maka tanpa membuang waktu lagi ia minta ditunjukkan lokasi peperangan dan langsung maju berperang. Di tengah-tengah peperangan yang sedang berkecamuk, nasib malang menimpa Mas Panji Pengendeng yang terkenal sakti mandra guna serta sukar dicari tandingannya itu. Ia terjatuh akibat kakinya tersandung oleh dodotnya sendiri yang bermotif Benang Dua Ragi Poleng (nama motif kain tenun Sasak). Karena malu, ia kemudian memerintahkan para bala samarnya untuk menggotongnya keluar dari medang perang dan langsung kembali ke Lombok tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Raja Klungkung.

Namun, saat sampai di tanah Lombok ia tidak pulang ke Selong Semoyong, tetapi menuju Gawah Toaq. Setelah tiga hari berada di Gawah Toaq, ia pun memerintahkan bala samarnya agar pergi ke Selong Semoyong untuk memberitahukan keluarganya.

Setelah berita itu tiba di Selong Semoyong, keluarganya sangat terkejut dan panik. Mereka lalu mempersiapkan semua kebutuhan, dan segera berangkat menuju Gawah Toaq. Saat seluruh keluarga telah berada di Gawah Toaq, mereka meminta agar Mas Panji Pengendeng bersedia dibawa pulang ke Selong Semoyong. Dan, kemauan keluarga ini dipenuhi Mas Panji Pengendeng. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan Gawah Toaq menuju Selong Semoyong.

Tatkala rombongan tiba di daerah Embung Puntiq, kondisi Mas Panji Pengendeng kelihatan makin parah. Mas Panji Pengendeng berkata, “Sebaiknya kita beristirahat di sini. Aku sudah terlalu payah dan mungkin tak dapat sampai ke Selong Semoyong. Oleh karena itu mendekatlah kemari semua anak-anakku dan yang lainnya. Dengarkan baik-baik. Seandainya nanti aku meninggal dunia di tempat ini, kuminta janganlah jenazahku dimakamkan ataupun dibakar. Agar kelak bila ada anak cucuku ingin menziarahiku, mereka terbebas dari perasaan enggan. Biarlah agar semua orang dapat berkunjung ke tempat ini. Bila mereka datang menziarahiku, hendaklah mereka berkeliling sekurang-kurangnya satu kali. Boleh juga dilakukan tiga, lima, tujuh ataupun sembilan kali. Maksudnya supaya anak cucuku yang bergama Islam kelak dapat meniatkan diri belajar tawaf di Mekkah. Juga aku pesankan pada kalian agar mengunjungi sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. Yaitu menjelang musim penghujan, ketika bibit padi sudah mulai disiapkan. Dan kedua, sewaktu menanam padi telah selesai. Melalui tempat inilah kalian memohon kepada Yang Maha Kuasa agar selalu diberikan rahmat-Nya. Dan, janganlah membawa alat-alat pecah belah. Tempat ini adalah hutan. Kalau kalian terjatuh akan menimbulkan kerugian. Cukuplah dengan membawa takilan saja. Lauk pauknya janganlah mewah. Yang penting kalian tetap datang ke tempat ini pada waktu yang telah kusebutkan tadi. Satu hal lagi yang terlarang bagimu kemari adalah mamakai kain sebangsa Ragi Poleng, karena penderitaanku ini akibat tersandung dodot Benang Dua Ragi Poleng dalam peperangan di Klungkung.”

Selesai mengucapkan wasiat itu, Mas Panji Pengendeng meminta disiapkan tempat tidur. Ia ingin beristirahat karena merasa lukanya bertambah parah. Setelah tenda dan tempat tidurnya siap, Mas Panji Pengendeng dipapah dan dibaringkan di situ. Beberapa saat kemudian, para pengiring mengira bahwa Mas Panji Pengendeng sedang tidur dengan pulasnya. Mereka tidak menyadari bahwa junjungannya itu telah tiada. Mas Panji Pengendeng telah meninggalkan dunia yang fana ini dan segera menghadap Tuhan.

Pagi harinya, setelah tahu bahwa Mas Panji Pengendeng telah wafat, seluruh rombongan menjadi panik. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap jenazah Mas Panji Pengendeng. Akan dibawa kembali ke Selong Semoyang, tak mungkin karena wasiat sudah digariskan lain. Sampai siang hari mereka bingung tak tentu apa yang harus dilakukannya. Tetapi tatkala akan menjenguk jenazah, ternyata jenazah itu tidak ada di tempatnya. Hilang entah ke mana, yang tinggal hanyalah tempat tidurnya saja. Kain penutup jenazah juga tidak ada lagi. Peristiwa ini cocok benar dengan wasit yang telah diberikan. Jenazahnya jangan dikuburkan atau dibakar. Rupanya peristiwa inilah yang dimaksudkan. Maka, oleh masyarakat Selong Semoyang pada tempat di mana Mas Panji Pengendeng meninggal dunia dan akhirnya menghilang dibuat sebuah makam. Dan, makam itu hingga saat ini terkenal dengan nama Makam Embung Puntiq.

Sumber:
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat

Read full post »
 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger