Monday, December 22, 2008

Puteri Junjung Buih

0 comments

Tersebutlah kisah sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan. Kerajaan itu diperintah oleh dua bersaudara. Raja yang lebih tua bernama Patmaraga, atau diberi julukan Raja Tua. Adiknya si Raja muda bernama Sukmaraga. Kedua raja tersebut belum mempunyai putera ataupun puteri.

Namun diantara keduanya, Sukmaraga yang berkeinginan besar untuk mempunyai putera. Setiap malam ia dan permaisurinya memohon kepada para dewa agar dikarunia sepasang putera kembar. Keinginan tersebut rupanya akan dikabulkan oleh para dewa. Ia mendapat petunjuk untuk pergi bertapa ke sebuah pulau di dekat kota Banjarmasin. Di dalam pertapaannya, ia mendapat wangsit agar meminta istrinya menyantap bunga Kastuba. Sukmaraga pun mengikuti perintah itu. Benar seperti petunjuk para dewa, beberapa bulan kemudian permaisurinya hamil. Ia melahirkan sepasang bayi kembar yang sangat elok wajahnya.

Mendengar hal tersebut, timbul keinginan Raja Tua untuk mempunyai putera pula. Kemudian ia pun memohon kepada para dewa agar dikarunia putera. Raja Tua bermimpi disuruh dewa bertapa di Candi Agung, yang terletak di luar kota Amuntai. Raja Tua pun mengikuti petunjuk itu. Ketika selesai menjalankan pertapaan, dalam perjalanan pulang ia menemukan sorang bayi perempuan sedang terapung-apung di sebuah sungai. Bayi tersebut terapung-apung diatas segumpalan buih. Oleh karena itu, bayi yang sangat elok itu kelak bergelar Puteri Junjung Buih.

Raja Tua lalu memerintahkan pengetua istana, Datuk Pujung, untuk mengambil bayi tersebut. Namun alangkah terkejutnya rombongan kerajaan tersebut, karena bayi itu sudah dapat berbicara. Sebelum diangkat dari buih-buih itu, bayi tersebut meminta untuk ditenunkan selembar kain dan sehelai selimut yang harus diselesaikan dalam waktu setengah hari. Ia juga meminta untuk dijemput dengan empat puluh orang wanita cantik.

Raja Tuapun lalu menyayembarakan permintaan bayi tersebut. Ia berjanji untuk mengangkat orang yang dapat memenuhi permintaan bayi tersebut menjadi pengasuh dari puteri ini. Sayembara itu akhirnya dimenangkan oleh seorang wanita bernama Ratu Kuripan. Selain pandai menenun, iapun memiliki kekuatan gaib. Bukan hanya ia dapat memenuhi persyaratan waktu yang singkat itu, Ratu Kuripan pun menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat mengagumkan. Kain dan selimut yang ditenunnnya sangatlah indah. Seperti yang dijanjikan, kemudian Raja Tua mengangkat Ratu Kuripan menjadi pengasuh si puteri Junjung Buih. Ia ikut berperanan besar dalam hampir setiap keputusan penting menyangkut sang puteri.

Read full post »

Hikayat Sa-Ijaan dan Ikan Todak

0 comments

Singkat cerita, pada zaman dahulu, ada seorang Datu sakti mandraguna sedang bertapa di tengah laut. Namanya, Datu Mabrur. Ia bertapa di antara Selat Laut dan Selat Makassar. Maksud pertapaannya itu adalah memohon kepada Sang Pencipta agar diberi sebuah pulau. Jika dikabulkan, pulau itu akan menjadi tempat bermukim bagi anak-cucu dan keturunannya, kelak.

Di malam hari, ada kalanya tubuh Datu Mabrur seakan membeku. Cuaca dingin, angin, hujan, embun dan kabut menyelmuti tubuhnya. Siang hari, terik matahari membakar tubuhnya yang kurus kering dan hanya dibungkus sehelai kain. Ia tidak pernah makan, keuali meminum air hujan dan embun yang turun.

Di hari terakhir pertapaannya, ketika laut tenang, seekor ikan besar tiba-tiba muncul dari permukaan laut dan terbang menyerangnya.Tanpa beringsut dari tempat duduk maupun membuka mata, Datu Mabrur menepis serangan mendadak itu. Akhirnya, ikan itu terpelanting dan jatuh kembali ke air. Demikian berulang-ulang. Sementara, di sekeliling karang ribuan ikan mengepung, memperlihatkan gigi mereka yang panjang dan tajam. Seakan prajurit ikan yang siap tempur.

Pada serangan terakhir, ikan itu terpelanting jatuh persis saat Datu Mabrur membuka matanya.
“Hai, ikan! Apa maksudmu mengganggu samadiku? Ikan apa kamu?
“Aku ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat lautan bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi, engkau memang sakti, Datu Mabrur. Aku Takluk..,” katanya, megap-megap. Matanya berkedip-kedip menahan sakit. Tubuhnya terjepit di sela karang yang tajam.
“Jadi itu rakyatmu?” Datu Mabrur menunjuk ribuan ikan yang mengepung karang.
“Ya, Datu. Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat. Kalau aku kalah, kami akan menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”

Demikianlah. Di hari terakhir pertapaannya, Datu Mabrur belum diberi tanda-tanda bahwa permohonannya akan dikabulkan. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya birunya laut, keluasan samudera dan cakrawala. Datu Mabrur kemudian menolong raja ikan Todak. Menyembuhkan lukanya. Saat Datu Mabrur ditawari istana bawah laut yang terbuat dari emas dan permata, dilayani ikan duyun dan gurita, Datu Mabrur menolaknya. Kepada raja ikan Todak, ia sampaikan maksud pertapaannya itu. Betapa terkejutnya Datu Mabrur ketika raja ikan Todak justru menyanggupi keinginannya itu.
“Aku takkan berdusta. Ini sumpah raja!”
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Datu Mabrur mengangkat raja ikan Todak itu dan mengembalikannya ke laut.
“Sa-ijaan!” seru raja ikan.
“Sa-ijaan!” sahut Datu Mabrur.
Sebelum tengah malam, sebelum batas waktu pertapaannya berakhir, Datu Mabrur dikejutkan oleh suara gemuruh yang datang dari dasar laut. Di bawah permukaan air, ternyata jutaan ikan dari berbagai jenis mendorong dan memunculkan daratan baru itu dari dasar laut. Sambil mendorong, mereka serempak berteriak, “Sa-ijaan! “Sa-ijaan! “Sa-ijaan..!”
Datu Mabrur tercengang di karang pertapaannya. Raja ikan Todak telah memenuhi sumpahnya. Datu Mabrur senang dan gembira. Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Sang Pencipta, ia menamakannya Pulau Halimun.
Alkisah, Pulau Halimun kemudian disebut Pulau Laut. Sebab, ia timbul dari dasar laut dan dikelilingi laut. Sebagai hikmahnya, kata sa-ijaan dan ikan todak dijadikan slogan dan lambang Pemerintah Kabupaten Kotabaru, Kalimatantan Selatan.

Kisah ini diambil dari buku yang baru Hikayat Sa-Ijaan dan Ikan Todak (cerita Rakyat dari Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan).

Read full post »

Saturday, December 20, 2008

Asal Mula Gunung Batu Banawa

0 comments

(Legenda Rakyat Kalimantan Selatan)

Konon pada jaman dahulu kala, di Desa Pagat, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bernama Diang Ingsung dengan seorang anaknya yang bernama Raden Penganten. Kehidupan mereka berdua diliputi dengan rasa kasih sayang, karena keluarga itu hanya terdiri dari dua orang sehingga tidak ada anggota keluarga lain tempat membagi kecintaannya.

Kehidupan mereka sangat sederhana. Mereka hanya hidup dari alam sekitarnya, tanaman hanya terbatas pada halaman rumahnya, demikian pula perburuannya terbatas pada binatang-binatang yang ada di sekitar desa mereka.

Karena itulah maka pada uatu hari Raden Penganten berminat untuk pergi merantau, mencari pengalaman dan kehidupan baru di negeri orang. Demikian keras kehendak Raden Penganten, sehingga walaupun ia dihalang-halangi dan dilarang ibunya, ia tetap juga pada kemauannya.

Akhirnya, si ibu hanya tinggal berpesan kepada anak satu-satunya yang ia kasihi, agar anaknya membelikan sekedar oleh-oleh apabila anaknya kembali dari perantauan. Maka, berangkatlah Raden Penganten ke sebuah negeri yang jauh dari desanya. Di sana ia dapat memperoleh rezeki yang banyak, karena selalu jujur dalam setiap perbuatannya. Di sana ia dapat pula menabungkan uangnya hingga dapat membeli barang-barang yang berharga untuk dapat dibawa kembali kelak. Di perantauan, Raden Penganten dapat pula menikah dengan seorang putri dari negri tersebut yang cantik paras mukanya.

Demikianlah maka Raden Penganten dapat tinggal di perantauannya, untuk beberapa tahun lamanya. Pada suatuketika timbullah niat Raden Penganten untuk kembali ke negerinya dan menjumpai ibunya yang telah lama ia tinggalkan.

Dibelinya sebuah kapal, lalu dipenuhi dengan barang-barang. Pada saat yang telah ditentukan, berangkatlah ia bersama istrinya menuju kampung halaman di mana ibunya tinggal. Berita kedatangannya itu terdengar pula oleh ibunya. Ibunya yang sekarang telah tua, dengan sangat tergesa-gesa datang ke pelabuhan untuk menjemput anaknya yang tercinta.

Namun ketika sampai di pelabuhan, betapa kecewanya hati Diang Ingsung, jangankan mendapat oleh-oleh yang dipesannya dulu, mengakui dirinya sebagai ibu yang telah melahirkannya pun, Raden Penganten tidak mau. Rupanya, di depan istrinya yang cantik jelita, ia merasa malu mengakui Diang Ingsung yang telah tua renta dan berpenampilan sangat bersahaja itu sebagai ibunya.

Betapa besar rasa kecewa dan sakit hati Diang Ingsung. Tapi ia masih berusaha menginsafkan anaknya yang durhaka itu, tapi Raden Penganten tetap membantah dan tetap tidak mau mengakui ibunya itu. Ia malahan membelokkan kapalnya mengarah ke tujuan lain meninggalkan pelabuhan dan Diang Ingsung yang hancur hatinya karena perbuatan anaknya yang durhaka.

Dengan hati yang penuh diliputi rasa kecewa dan putus asa, Diang Ingsung lalu memohon kepada yang Maha Kuasa agar anaknya mendapat balasan yang setimpal dengan kedurhakaan terhadap dirinya.

Seketika itu juga datanglah badai dan topan menghempaskan kapal Raden Penganten hingga pecah menjadi dua. Tentu saja seluruh isi kapal itu termasuk anaknya yang durhaka tenggelam dan binasa. Adapun bekas pecahan kapal itu kemudian berunah menjadi gunung batu yang kemudian dinamakan Gunung Batu Banawa.

Pesan Moral:

Perbuatan durhaka terhadap orang tua sangat dimurkai oleh Tuhan. Seorang anak seharusnya berbakti, mengasihi dan menyayangi orangtua yang telah melahirkan, mengasuh dan membesarkannya


Sumber : http://dongeng.us

Read full post »

Friday, December 19, 2008

Duniamu

0 comments
Dahulu kala ada sebuah keluarga nelayan mempunyai seorang anak laki-laki. Bila mereka pergi bekerja, anaknya tinggal di rumah untuk menjaga rumah.

Pada suatu hari suami-isti nelayan itu memasuki alat penangkap ikan mereka yang berupa tangguk besar. Sial, seekor pun tidak ada yang masuk. Meskipun demikian mereka tidak putus asa. Tangguk tetap dimasukkan dan diangkat berulang-ulang tanpa mengenal lelah. Akhirnya, ketekunan meeka berhasil juga. Pada waktu mereka mengangkat tanggukmereka untuk kesekian kalinya, ternyata di dalamnya terdapat sebutir telur yang sangat besar. Karena ngeri benda ajaib itu, telur itu segera mereka masukkan kembali ke dalam air. Anehnya, setiap kali mereka mengangkat tangguknya, setiap kali ada pula telur itu dan setiap kali segera mereka masukkan kembali ke dalam air. Keadaan ini berulang terus, walaupun telah mereka pindahkan tangguk mereka ke tempat lain. Rupanya telur itu berkeras hati untuk tetap bersama mereka. Akhirnya, karena putus asa telur itu pun dibawa pulang.
Justify Full
Sesampainya di rumah, anak kesayangan mereka sedang tidur pulas. Karena tidak mendapatkan ikan, maka telur itu pun direbusnya. Setelah matang, telur itu mereka makan sebagai lauk teman nasi.

Begitu perut mereka kenyang, timbullah suatu keajaiban. Kedua suami istri itu perlahan-lahan berganti rupa menjadi dua ekor naga yang besar. Keajaiban ini tidak menimpa putra mereka karena ia belum sempat memakan telur itu.

Setelah terjaga dari tidurnya, anak itu pun menjadi ketakutan sewaktu melihat keadaan orang tuanya. Ia pun menangis karena sedih. Melihat itu, kedua naga itu segera menjilati pipi putra merekayang sangat mereka kasihi itu. Setelah anaknya tenang, ayahnya menasehati, agar tidak mekan telur di atas dulang. Telur itu adalah telur naga putih yang hidup di sungai tempat mereka sering mencari ikan dan siapa saja yang memakan telur itu akan menjadi naga seperti mereka. Setelah meninggalkan pesan itu, kedua naga itu pun terjun ke dalam sungai untuk bertempur dengan naga putih yang telah mengubah wujud mereka.

Dua pesan lainnya mereka berikan juga pada putranya. Apabila timbul darah mereh pada sungai, itu berarti mereka kalah. Namun, bila timbul darah putih, itu berarti naga putihlah yang kalah. Tanda hasil pergulatan itu akan terlihat apabila hujan turun rintik-rintik pada hari panas dan timbul pelangi di antara langit dan bumi.

Setelah orang tuanya masuk ke dalam sungai, anak itu duduk termenung. Ia terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan hidup seperti itu. Setiap hari ia memandangi air sungai. Berharap agar kedua orang tuanya muncul lagi. Hingga pada suatu hari hujan turun rintik-rintik, di langit ada pelangi berwarna-warni, pada saat itulah air sungai mentembulkan warna putih seperti susu. Anak itu yakin sekarang kalau kedua orang tuanya telah memenangkanpertempuran denga si naga putih.

Namun, ayah dan ibunya tk pernah kembali ke rumah lagi. Anak itu menunggu di tepi sungai dan terus menunggu hingga akhir hayatnya ia memang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang tuanya.

Tempat kejadian cerita ini sekarang disebut Lok Si Naga atau Lok Lua artinya Sungai Naga.

Sumber:
http://ortipulang.blogspot.com/2008/09/cerita-rakyat-kalimantan-selatan.html

Read full post »

Gunung Batu Bangkai

0 comments
(Diceritakan kembali : Pahmi Rohliansyah)


Loksado adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia. Di daerah ini terdapat sebuah gunung yang memiliki nama yang cukup unik, yaitu Gunung Batu Bangkai. Masyarakat setempat menamakannya demikian, karena di gunung tersebut ada sebuah batu yang mirip dengan bangkai manusia. Konon, kehadiran batu bangkai tersebut berasal dari sebuah cerita legenda yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Banjar Hulu di Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Cerita legenda ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Andung Kuswara yang durhaka kepada umanya. Karena kedurhakaannya, Tuhan menghukum si Andung menjadi batu.

Konon pada zaman dahulu, di suatu tempat di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Andung Kuswara. Ia seorang anak yang baik dan pintar mengobati orang sakit. Ilmu pengobatan yang ia miliki diperoleh dari abahnya yang sudah lama meninggal. Andung dan umanya hidup rukun dan saling menyayangi. Setiap hari mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Andung mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk dijual, sedangkan umanya mencari buah-buahan dan daun-daunan muda untuk sayur.

Legenda Batu BangkaiSuatu hari, Andung pergi ke hutan seorang diri. Karena keasyikan bekerja, tak terasa waktu telah beranjak senja, maka ia pun bergegas pulang. Di tengah perjalanan, ia mendengar jeritan seseorang meminta tolong. Andung segera berlari menuju arah suara itu. Ternyata, didapatinya seorang kakek yang kakinya terjepit pohon. Andung segera menolong dan mengobati lukanya. “Terima kasih banyak, anakku!” kata orang tua itu. Dia kemudian mengambil sesuatu dari lehernya. “Hanya benda ini yang dapat kai berikan sebagai tanda terima kasih. Mudah-mudahan kalung ini membawa keberun­tungan bagimu,” ucap kakek itu seraya mengulurkan sebuah kalung kepada Andung. Setelah mengobati kakek itu, Andung bergegas pulang ke rumahnya.

Sesampai di rumah, Andung menceritakan kejadian tadi kepada umanya. Usai bercerita, Andung menyerahkan kalung pemberian kakek itu sambil berkata, “Uma, tolong simpan kalung ini baik-baik”. Umanya menerima dan memerhatikan benda itu dengan saksama. “Sepertinya ini bukan kalung sembarangan, Nak. Lihatlah, sungguh indah!” kata Uma Andung dengan takjub. Setelah itu, Uma Andung menyimpan kalung tersebut di bawah tempat tidurnya.

Kehidupan terus berjalan. Pada suatu hari, Andung terlihat termenung seorang diri. “Ya Tuhan, apakah kehidupanku akan seperti ini selamanya? Aku ingin hari depanku lebih baik daripada hari ini. Tapi…bagaimana caranya?” kata Andung dalam hati. Sejenak ia berpikir mencari jalan keluar. Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran Andung untuk pergi merantau. “Hmm…lebih baik aku merantau saja. Dengan begitu aku dapat mengamalkan ilmu pengobatan yang telah aku peroleh dari abah dulu. Siapa tahu dengan merantau akan mengubah hidupku,” gumam Andung dengan semangat. Namun, apa yang ada dalam pikirannya tidak langsung ia utarakan kepada umanya. Rasa ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. Jika ia pergi merantau, tinggallah umanya sendiri. Tetapi, jika ia hanya mencari kayu bakar dan bambu setiap hari, lalu kapan kehidupannya bisa berubah. Pikiran-pikiran itulah yang ada dalam benaknya.

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Andung benar-benar sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Keraguannya untuk meninggalkan umanya pun lenyap. Dorongan hati Andung untuk merantau sudah tak terbendung lagi. Suatu hari, ia pun mengutarakan maksud hatinya kepada umanya. “Uma, Andung ingin mengubah nasib kita. Andung memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Oleh karena itu, Andung mohon izin dan doa restu, Uma,” kata Andung dengan hati-hati memohon pengertian umanya. “Anakku, sebenarnya Uma sudah bersyukur dengan keadaan kita saat ini. Tetapi, jika keinginan hatimu sudah tak terbendung lagi, dengan berat hati Uma akan melepas kepergianmu,” sahut Uma Andung memberikan izin.

Setelah mendapat restu dari umanya, Andung segera berkemas dengan bekal seadanya. Andung membawa masing-masing sehelai kain, baju dan celana. Memang hanya itu yang ia miliki. Ketika Andung hendak meninggalkan gubuk reotnya, Uma berpesan kepadanya. “Andung ..., ingatlah Uma! Ingat kampung halaman dan tanah leluhur kita. Jangan pernah melupakan Tuhan Yang Mahakuasa. Walau berat, Uma tak bisa melarangmu pergi. Jika takdir menghendaki, kita tentu akan berkumpul kembali,” kata sang Uma dengan sedihnya.

Mendengar nasihat umanya, Andung tak kuasa menahan air matanya. “Andung, bawalah kalungmu ini. Siapa tahu kelak kamu memerlukannya,” ujar Uma Andung melanjutkan. Setelah menerima kalung itu, Andung kemudian berpamitan kepada umanya. Andung mencium tangan umanya, lalu umanya membalasnya dengan pelukan erat. Sesaat, suasana haru pun meliputi hati keduanya. Ketika Uma memeluk Andung, beberapa tetes air mata menyucur dari kelopak matanya, jatuh di atas pundak Andung. “Maafkan Andung, Uma! Andung berjanji akan segera kembali jika sudah berhasil,” kata Andung memberi harapan kepada umanya. “Iya Nak. Cepatlah kembali kalau sudah berhasil! Hanya kamulah satu-satunya milik Uma di dunia ini,” jawab Uma penuh harapan. Beberapa saat kemudian, Uma berucap kepada Andung. “Segeralah berangkat Andung, agar kamu tak kemalaman di tengah hutan.”

Andung mencium tangan umanya untuk terakhir kalinya, lalu pamit. Andung berangkat diiringi lambaian tangan Uma yang sangat dikasihinya. “Selamat jalan, anakku. Jangan lupa cepat kembali,” teriak Uma dengan suara serak. “Tentu, Uma!” sahut Andung sambil berjalan menoleh ke arah umanya. “Jaga diri baik-baik, Uma! Selamat tinggal! Uma baru beranjak dari tempatnya setelah Andung yang sangat disayanginya hilang di balik pepohonan hutan. Sejak itu, tinggallah Uma Andung sendirian di tengah hutan belantara.

Berbulan-bulan sudah Andung meninggalkan umanya. Andung terus berjalan. Banyak kampung dan negeri telah dilewati. Berbagai pengalaman didapat. Ia juga telah mengobati setiap orang yang memerlukan bantuannya.

Suatu siang yang terik, tibalah Andung di Kerajaan Basiang yang tampak sunyi. Saat menyusuri jalan desa, Andung bertemu dengan seorang petani yang kulitnya penuh dengan koreng dan bisul. Andung kemudian mengobati petani itu. Dari orang tersebut Andung mengetahui jika Negeri Basiang sedang tertimpa malapetaka berupa wabah penyakit kulit. Karena berhutang budi kepada Andung, orang itu mengajak Andung tinggal di rumahnya. Setiap hari, penduduk yang terjangkit penyakit berdatangan ke rumah orang tua itu untuk berobat kepada Andung. Seluruh penduduk yang telah diobati oleh Andung sembuh dari penyakitnya. Berita perihal kepandaian Andung dalam mengobati pun menyebar ke seluruh negeri.

Suatu hari, berita kepandaian Andung mengobati penyakit tersebut akhirnya sampai ke telinga Raja Basiang. Sang Raja pun mengutus hulubalang menjemput Andung untuk mengobati putrinya. Beberapa lama kemudian, hulubalang tersebut sudah kembali ke istana bersama Andung. Andung yang miskin dan kampungan itu sangat takjub melihat keindahan bangunan istana. Ia berjalan sambil mengamati setiap sudut istana yang dihiasi ratna mutu manikan. Tak disadari, ternyata sang Raja sudah ada di hadapannya. Andung pun segera memberi salam dan hormat kepadanya. “Salam sejahtera, Tuanku,” sapa Andung kepada Baginda.

Sang Raja menyambut Andung dengan penuh harapan. Dia kemudian menyampaikan maksudnya kepada Andung. “Hai anak muda! Ketahuilah, putriku sudah dua minggu tergolek tak berdaya. Semua tabib di negeri ini sudah saya kerahkan untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya. Apakah kamu bersedia menyembuhkan putriku?” tanya sang Raja. “Hamba hanya seorang pengembara miskin. Pengetahuan obat-obatan yang hamba miliki pun sedikit. Jika nantinya hamba gagal menyembuhkan Tuan Putri, hamba mohon ampun Paduka,” kata Andung merendah.

Andung pun dipersilakan masuk ke kamar Putri. Putri tergolek kaku di atas pembaringannya. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tertutup rapat. Walupun pucat pasi, wajah sang Putri tetap memancarkan sinar kecantikannya. “Aduhai, cantik sangat sang Putri,” ucap Andung menaruh hati kepada sang Putri. Sesaat kemudian, Andung pun mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk membangunkan sang Putri. Namun, sang Putri tetap tak bergerak. Andung mulai panik. Tiba-tiba, hati Andung tergerak untuk mengambil kalung pemberian kakek yang ditolongnya dulu. Andung meminta kepada pegawai istana agar disiapkan air dalam mangkuk. Setelah air tersedia, lalu Andung segera merendam kalungnya beberapa saat. Kemudian air rendaman diambil dan dibacakan doa, lalu ia percikkan beberapa kali ke mulut sang Putri. Tak berapa kemudian, sang Putri pun terbangun. Matanya yang kuyu perlahan-lahan terbuka. Wajahnya segar kembali. Akhirnya, Putri dapat bangkit dan duduk di pembaringan.

Semua penghuni istana turut bergembira dan merayakan kesembuhan sang Putri. Paduka Raja sangat berterima kasih atas kesembuhan putri satu-satunya yang sangat ia cintai Atas jasanya tersebut, Andung kemudian dinikahkan dengan sang Putri. Pesta perkawinan dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Semua rakyat bersuka ria merayakannya. Putri tampak berbahagia menerima Andung sebagai suaminya. Demikian pula Andung yang sejak pandangan pertama sudah jatuh cinta pada sang Putri. Mereka berdua melalui hari-hari dengan hidup bahagia.

Minggu dan bulan terus berganti. Istri Andung pun hamil. Dalam kondisi hamil muda sang Putri mengidam buah kasturi yang hanya tumbuh di Pulau Kalimantan. Karena cintanya kepada sang Putri begitu besar, Andung pun mengajak beberapa hulubalang dan prajurit untuk ikut bersamanya mencari buah kasturi ke Pulau Kalimantan.

Setibanya di Pulau Kalimantan, Andung berangkat ke daerah Loksado untuk mencari sebatang pohon kasturi yang dikabarkan sedang berbuah di sana. Alangkah terkejutnya Andung, karena pohon kasturi itu berada tepat di depan rumahnya dulu. Andung segera mengajak hulubalang dan para prajuritnya kembali. Rupanya ia tidak mau bertemu dengan umanya.

Mendengar keributan di luar rumahnya, seorang nenek tua renta berjalan terseok-seok menuju ke arah rombongan tersebut. “Andung..., Andung Anakku...!” suara nenek tua yang serak memanggil Andung. Dengan terbungkuk-bungkuk nenek itu mengejar rombongan Andung.

Andung menoleh. Ia tersentak kaget melihat sang Uma yang dulu ditinggalkannya sudah tua renta. Karena malu mengakui sebagai umanya, Andung membentak, “Hai nenek tua! Aku adalah raja keturunan bangsawan. Aku tidak kenal dengan nenek renta dan dekil sepertimu! ujar Andung kemudian memalingkan muka dan pergi.

Legenda Batu BangkaiHancur luluh hati sang Uma dibentak dan dicaci maki oleh putra kandungnya sendiri. Nenek tua yang malang itu pun berdoa, “Ya, Tuhan Yang Mahakuasa, tunjukkanlah kekuasaan dan keadilan-Mu,” tua renta itu berucap pelan dengan bibir bergetar. Belum kering air liur tua renta itu berdoa, halilintar sambar-menyambar membelah bumi. Kilat sambung-menyambung. Langit mendadak gelap gulita. Badai bertiup menghempas keras. Tak lama kemudian, hujan lebat tumpah dari langit. Andung berteriak dengan keras, “Maafkan aku, Uma...!” Tapi siksa Tuhan tak dapat dicabut lagi. Tiba-tiba Andung berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia.

Sejak itu, penduduk di sekitarnnya menamai gunung tempat peristiwa itu terjadi dengan sebutan Gunung Batu Bangkai, karena batu yang mirip bangkai manusia itu berada di atas gunung. Gunung Batu Bangkai ini dapat dijumpai di Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. (SM/sas/8/7-07).

Lanting : rakit kecil.
Uma : ibu
Kai : kakek
Abah : ayah

Sumber:

http://www.sumbercerita.com

Read full post »

Semangka Emas

0 comments
(CERITA RAKYAT MELAYU SAMBAS)

P ada zaman dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada orang-orang miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak rakus dengan uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin.

Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak.

Muzakir langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam peti tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannnya ia memberi sedekah, melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan.

Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin dengan senang hati. Mereka dijamunya makan dan diberi uang karena ia merasa iba melihat orang miskin dan melarat. Lama kelamaan uang Dermawan habis dan ia tidak sanggup lagi membiayai rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus bekerja. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Tetapi ia sudah merasa senang dengan hidupnya yang demikian. Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. Muzakir telah membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak menghiraukan tingkah laku abangnya.

Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan "Kasihan," kata Dermawan. "Sayapmu patah, ya?" lanjut Dermawan seolah-olah ia berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalau diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. "Biar kucoba mengobatimu," katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan.

Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.

Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan buah semangka dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka umumnya. Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu. Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua belah tangannya. Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak. "Terima kasih! Terima kasih!" seru Dermawan. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.

Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang kisahnya.

Mengetahui hal tersebut, MUzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak ditemukan. MUzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira.

Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya.

(diolah dari Cerita Rakyat dari Kalimantan Barat 2, Syahzaman, PT.Grasindo, 1995)

Read full post »
 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger