Tuesday, February 28, 2012

Kutukan Raja Pulau Mintin

0 comments
Pada zaman dahulu, terdapatlah sebuah kerajaan di Pulau Mintin daerah Kahayan Hilir, Kalimantan Tengah. Kerajaan itu sangat terkenal akan kearifan rajanya. Akibatnya, kerajaan itu menjadi wilayah yang tenteram dan makmur.




Pada suatu hari, permaisuri dari raja tersebut meninggal dunia. Sejak saat itu raja menjadi murung dan nampak selalu sedih. Keadaan ini membuatnya tidak dapat lagi memerintah dengan baik. Pada saat yang sama, keadaan kesehatan raja inipun makin makin menurun. Guna menanggulangi situasi itu, raja berniat untuk pergi berlayar guna menghibur hatinya.

Untuk melanjutkan pemerintahan maka raja itu menyerahkan tahtanya pada kedua anak kembarnya yang bernama Naga dan Buaya. Mereka pun menyanggupi keinginan sang raja. Sejak sepeninggal sang raja, kedua putranya tersebut memerintah kerajaan. Namun sayangnya muncul persoalan mendasar baru.
Kedua putra raja tersebut memiliki watak yang berbeda. Naga mempunyai watak negatif seperti senang berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan buaya memiliki watak positif seperti pemurah, ramah tamah, tidak boros dan suka menolong.

Melihat tingkah laku si Naga yang selalu menghambur-hamburkan harta kerajaan, maka si Buayapun marah. Karena tidak bisa dinasehati maka si Buaya memarahi si Naga. Tetapi rupaya naga ini tidak mau mendengar. Pertengkaran itu berlanjut dan berkembang menjadi perkelahian. Prajurit kerajaan menjadi terbagi dua, sebahagian memihak kepada Naga dan sebagian memihak pada Buaya. Perkelahian makin dahsyat sehingga memakan banyak korban.



Dalam pelayarannya, Sang raja mempunyai firasat buruk. Maka ia pun mengubah haluan kapalnya untuk kembali ke kerajaanya. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa putera kembarnya telah saling berperang. Dengan berang ia pun berkata,”kalian telah menyia-nyiakan kepercayaanku. Dengan peperangan ini kalian sudah menyengsarakan rakyat. Untuk itu terimalah hukumanku. Buaya jadilah engkau buaya yang sebenarnya dan hidup di air. Karena kesalahanmu yang sedikit, maka engkau akan menetap di daerah ini. Tugasmu adalah menjaga Pulau Mintin. Sedangkan engkau naga jadilah engkau naga yang sebenarnya. Karena kesalahanmu yang besar engkau akan tinggal di sepanjang Sungai Kapuas. Tugasmu adalah menjaga agar Sungai Kapuas tidak ditumbuhi Cendawan Bantilung.”

Setelah mengucapkan kutukan itu, tiba-tiba langit gelap dan petir menggelegar. Dalam sekejap kedua putranya telah berubah wujud. Satu menjadi buaya. Yang lainnya menjadi naga.

(Diadaptasi secara bebas dari Lambertus Elbaar, “Kutukan Raja Pulau Mintin,”Sumber: www.seasite.niu.edu)


Sumber :
http://legendakita.wordpress.com/2008/04/03/kutukan-raja-pulau-mintin/
http://dongengceritarakyat.blogspot.com/2011/06/kutukan-raja-pulau-mintin.html
Read full post »

Monday, December 22, 2008

Asal Mula Danau Malawen

0 comments

Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, danau yang di tepiannya terdapat beragam jenis anggrek ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai jenis ikan. Namun karena terjadi peristiwa yang mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah yang menyebabkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.

* * *

Alkisah, di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian tersebut dapat menjadi kenyataan. 

Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami istri pergi beristirahat. Malam itu, sang Istri bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua. 

“Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk bertapa,” ujar lelaki tua dalam mimpinya itu.

Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya, sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.

“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri.

“Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab sang Suami.

‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya.

“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab suaminya.

Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa. 

Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran mereka.

Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka. 

“Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan!” ujar kakek itu.

Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap usaha mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.

Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa seluruh badannya tidak enak.

“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan perutku mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh.

“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri.

“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu, karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.

“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.

Sejak saat itu, sang Istri selalu ingin makan buah-buahan yang kecut dan makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.

“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami.

Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.

“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami.

Waktu terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap sembilan bulan, pada suatu malam sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang. 

Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan ke mana pun pergi. 

wahai anak dengarlah petuah,

kini dirimu lah besar panjang

umpama burung lah dapat terbang

umpama kayu sudah berbatang

umpama ulat lah mengenal daun

umpama serai sudah berumpun

 

banyak amat belum kau dapat

banyak penganyar belum kau dengar

banyak petunjuk belum kau sauk

banyak kaji belum terisi

 

maka sebelum engkau melangkah

terimalah petuah dengan amanah

supaya tidak tersalah langkah

supaya tidak terlanjur lidah

 

pakai olehmu adat merantau

di mana bumi dipijak,

di sana langit dijunjung

di mana air disauk

di sana ranting dipatah

di mana badan berlabuh,

di sana adat dipatuh

apalah adat orang menumpang:

berkata jangan sebarang-barang

berbuat jangan main belakang

adat istiadat lembaga dituang

dalam bergaul tenggang menenggang

Selain itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit. 

Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan. Namun, harapan kedua orangtuanya agar ia menjadi anak yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang Banaung semakin hari semakin buruk. Semua petuah dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan. 

Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan. 

“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan.

“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.

“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawan. Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.

Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan di pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya. 

Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa tersebut sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas kursi di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan. 

“Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub.

Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah. 

“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.

Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orangtuanya perihal kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan. 

Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-masing. 

Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu. 

Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan. 

“Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya Kumbang Banaung.

Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.

“Ma... maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.

“Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang Banaung.

Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan pun menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan. 

“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang kaya,” ujar sang Ayah.

“Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita,” sahut ibunya. 

“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.

“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!” perintah ayahnya.

Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari. 

“Intan, bagaimana kalau kita kawin lari saja,” bujuk Kumbang Banaung.

“Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.

Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.

“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata salah seorang warga.

“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.

Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan Intan pun segera berlari ke arah sungai. 

“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga.

Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang. 

“Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa pasti akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah.

Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghatam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian, sungai itu pun menjelma menjadi danau. Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni abadi Danau Malawen. 

* * *

Demikian cerita Asal Mula Danau Malawen dari daerah Kalimantan Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat orangtua. Sifat ini tercermin pada perilaku Kumbang Banaung dan Intan yang tidak mau mendengar dan menuruti nasehat kedua orangtua mereka. Akibatnya, Tuhan pun murka dan menghukum mereka menjadi dua ekor buaya putih. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat merupakan sifat tercela. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kalau sifat keras kepala,

di situlah tempat beroleh bala

 

kalau bapa ibu engkau sanggah,

Tuhan murka, orang pun menyunggah

(Samsuni /sas/115/12-08)

Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Nani Setiawati. 2003. Cerita Rakyat dari Kalimantan Tengah 2. Jakarta: Grasindo.
Anonim. “Kalimantan Tengah”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah, diakses tanggal 9 Desember 2008.
Tenas Effendy. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru: Bapedda Tingkat I Riau.
--------. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.

Http://melayuonline.com

Read full post »

Saturday, December 20, 2008

Asal mula garam Sepang

0 comments

Alkisah pada zaman dahulu kala, di Desa Sepang (sekarang Kecamatan Sepang), Kalimantan Tengah, hiduplah seorang janda yang bernama Emas. Ia hidup bersama dengan putrinya yang bernama Tumbai. Tumbai adalah gadis yang cantik nan rupawan. Ia juga baik hati dan sangat ramah kepada setiap orang. Setiap pemuda yang melihatnya berkeinginan untuk menjadi pendamping hidupnya. Oleh karena itu, banyak pemuda yang datang untuk meminangnya. Namun, Tumbai selalu menolak setiap pinangan yang datang kepadanya. Ibunya sangat gelisah melihat sikap Tumbai. Meskipun ibunya sudah berusaha membujuk Tumbai agar menerima salah satu pinangan, Tumbai tetap saja menolak.

Tumbai sangat mengerti kerisauan ibunya. Akan tetapi, apa yang pernah ia ucapkan tidak mungkin ditariknya kembali. Tumbai sudah bertekad keras mengajukan syarat kepada setiap pemuda yang meminangnya. Syarat itu sangat berat dan terasa mustahil untuk diwujudkan, yaitu mengubah sumber air tawar Sepang menjadi asin seperti air laut. Ibunya tidak habis pikir, bagaimana mungkin hal itu diwujudkan? Oleh karena itu, ia meminta kepada Tumbai agar syarat itu dihilangkan. “Anakku, sebaiknya kamu pikirkan lagi syarat-syaratmu itu,” kata ibunya. “Mana ada yang bisa memenuhi permintaanmu itu?” tambah ibunya mendesak. “Tidak, Ibu. Saya sudah memikirkannya siang dan malam. Begitulah petunjuk yang saya peroleh melalui mimpi. Pasti ada yang dapat memenuhi permintaan saya. Siapapun pemuda itu, dialah yang akan menjadi suami saya,” tegas Tumbai kepada ibunya.

Melihat keteguhan hati anaknya, ibu Tumbai tidak pernah menyinggung hal itu lagi. Akan tetapi hatinya tetap menyimpan kecemasan yang luar biasa. Ia khawatir anaknya tidak memperoleh jodoh, karena tidak ada pemuda yang sanggup memenuhi persyaratannya. Meskipun demikian, ibunya tidak pernah putus asa. Setiap malam ia selalu berdoa kepada Tuhan agar keinginan anaknya itu segera terkabul. “Ya Tuhan! Kabulkanlah keinginan putriku, semoga ada pemuda yang mampu memenuhi persyaratannya!” doa ibu Tumbai.

Rupanya doa ibu Tumbai dikabulkan oleh Tuhan. Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda tampan dari daerah hilir Sungai Barito menemui Tumbai dan ibunya. Kedatangannya disambut dengan baik oleh Tumbai dan ibunya. Pemuda tampan itu kemudian mengutarakan maksud kedatangannya yaitu untuk meminang Tumbai. “Maaf, Ibu. Saya datang ke sini bermaksud untuk meminang putri ibu,” kata pemuda itu. “Wahai Tuan yang budiman, anakku tidak meminta maskawin yang mahal, tetapi ia hanya mengajukan syarat yang harus dipenuhi sebagai maskawinnya. Apakah Tuan sudah pernah mendengarnya?” tanya ibu Tumbai. “Sudah, Ibu. Bukankah putri Ibu menginginkan sumber air Sepang yang tawar itu menjadi air asin seperti air laut?” tanya pemuda itu dengan ramah. “Betul Tuan! Memang itulah yang diinginkan oleh putri saya. Apakah Tuan bersedia memenuhi syarat itu?” tanya ibu Tumbai. Pertanyaan itu membuat pemuda itu merasa tertantang. Ia pun segera menyanggupi persyaratan Tumbai. “Baiklah! Saya akan mencobanya, Ibu. Mohon doa restu Ibu agar saya dapat memenuhi permintaan putri Ibu,” kata pemuda tampan itu dengan rendah hati.

Ibu Tumbai pun mengizinkan pemuda yang terlihat baik itu untuk mencoba memenuhi persyaratan yang diajukan anaknya. “Semoga dia dapat memenuhi permintaan anakku,” kata ibu Tumbai dalam hati saat mengantar pemuda tampan itu keluar dari rumahnya. Orang-orang yang ada di kampung itu menganggapnya sebagai orang gila. Menurut mereka, mustahil ia mampu mengubah sumber air tawar di sungai menjadi sumber air asin seperti air laut. Pemuda tampan itu tidak peduli terhadap omongan orang-orang tersebut. Dengan kesaktian yang dimilikinya, ia bertekad untuk memenuhi persyaratan gadis cantik itu.

Pemuda tampan itu pun berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Ia duduk bersila di atas lempengan batu di sekitar sumber air tawar Sepang itu. Setelah ia berhari-hari berdoa, atas kekuasaan Tuhan, sumber air tawar di Sepang tiba-tiba berubah menjadi sumber air asin, seperti air laut. Semua orang yang tadinya meragukan kemampuan pemuda itu datang untuk membuktikannya. Setelah mereka mencicipi air tawar di Sepang itu, ternyata memang rasanya telah berubah menjadi asin. Kini, mereka mengakui kehebatan pemuda tampan itu yang mampu mengubah sumber air tawar di Sepang menjadi sumber air asin, seperti air laut.

Dengan demikian, terpenuhilah syarat yang telah diajukan Tumbai. Pinangan pemuda tampan itu pun diterima. Sesuai janji Tumbai, pemuda itu dibebaskan dari pembayaran maskawin. Ibu Tumbai sangat senang sekali. Kerisauannya terhadap anaknya tidak mendapat jodoh, telah hilang. Ia sangat bangga terhadap calon menantunya yang tampan itu. Kemudian, ibu Tumbai pun mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menggelar pesta pernikahan anaknya. Tidak ketinggalan pula, para tetangga Tumbai ikut sibuk membantunya.

Akhirnya, Tumbai dan suaminya hidup bahagia dan sejahtera. Mereka hidup dengan mengusahakan sumber air asin menjadi garam. Mereka menjadi kaya-raya. Penduduk di sekitarnya juga melakukan usaha yang sama, sehingga mereka pun turut menjadi kaya-raya. Seluruh penduduk Sepang menjadi makmur dan berkecukupan.

Hingga kini, masyarakat Kahayan Hulu menganggap cerita di atas benar-benar pernah terjadi, karena air di Sungai Kahayan itu sebagian memang ada yang terasa asin.

* * *

Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan. Salah satu nilai moral yang terkandung di dalamnya yaitu sifat baik hati. Sifat ini tercermin pada sifat Tumbai yang yang ramah terhadap pemuda yang datang meminangnya. Sifat baik hati ini memang sudah menjadi fitrah manusia yang dibawa sejak lahir. Yang termasuk dalam sifat baik hati di antaranya adalah sopan santun, pemaaf, pemurah, ramah, kasih-sayang, simpati dan tenggang rasa. Adapun kekuatan sifat baik hati (the power of Kindness) adalah semua orang akan merasa senang kepada siapa pun yang memiliki sifat-sifat tersebut, seperti yang dialami oleh Tumbai dalam cerita di atas. Selain kecantikannya, ia juga disenangi oleh banyak orang, karena sifatnya yang baik hati.

Sumber : http://penulis.bloggaul.com/nasboi_69/read/83186/asal-mula-garam-sepang
Read full post »
 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger