Saturday, June 23, 2012

Legenda Naga Erau dan Putri Karang Melenu

0 comments



Pada zaman dahulu kala di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamlah sepasang suami istri yakni Petinggi Hulu Dusun dan istrinya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut dan mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus keturunannya. 

Suatu hari, keadaan alam menjadi sangat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.

Pada hari yang ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah mereka tak berani karena cuaca yang sangat buruk. Akhirnya Petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.

Ketika Petinggi Hulu Dusun membelah kayu kasau, alangkah terkejutnya ia ketika melihat seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang kearahnya dengan matanya yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara. Pada saat ulat itu diambil Petinggi, keajaiban alam pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat disertai guntur dan petir selama tujuh hari tujuh malam, seketika itu juga menjadi reda. Hari kembali cerah seperti sedia kala, dan sang surya pun telah menampakkan dirinya dibalik iringan awan putih. Seluruh penduduk Hulu Dusun bersyukur dan gembira atas perubahan cuaca ini.

Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga.

Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut.

“Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda.” kata sang putri, “Meskipun ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah.”

Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia berkata dan suaranya persis seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam.

“Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap. Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, maka iringilah buih yang muncul di permukaan sungai.” 

Sang naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diiringi oleh Petinggi dan isterinya. Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di Tepian Batu, sang naga berenang ke kiri 3 kali dan ke kanan 3 kali dan akhirnya ia menyelam. 

Di saat sang naga menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi petinggi pun didayung ke tepian. Kemudian seketika keadaan menjadi tenang kembali, matahari muncul kembali dengan disertai hujan rintik-rintik. Petinggi dan isterinya menjadi heran. Mereka mengamati permukaan sungai Mahakam, mencari-cari dimana sang naga berada. 

Tiba-tiba mereka melihat permukaan sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat seorang bayi perempuan sedang terbaring didalam sebuah gong. Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air, nampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang naga dan gong tersebut. Petinggi dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang tak lain adalah Lembu Swana, dengan segera petinggi mendayung perahunya ke tepian batu. 

Tak lama kemudian, perlahan-lahan Lembu Swana dan sang naga tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dari khayangan itu. Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang. Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu dipelihara mereka, dan sesuai dengan mimpi yang ditujukan kepada mereka maka bayi itu diberi nama Puteri Karang Melenu. Bayi perempuan inilah kelak akan menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Demikianlah mitologi Kutai mengenai asal mula Naga Erau yang menghantarkan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu, ibu suri dari raja-raja Kutai Kartanegara.



Sumber :
http://mtsox.wordpress.com/2008/11/25/legenda-naga-erau-dan-putri-karang-melenu/
Read full post »

Keong Mas

0 comments

Raja Kertamarta adalah raja dari Kerajaan Daha. Raja mempunyai 2 orang putri, namanya Dewi Galuh dan Candra Kirana yang cantik dan baik. Candra kirana sudah ditunangkan oleh putra mahkota Kerajaan Kahuripan yaitu Raden Inu Kertapati yang baik dan bijaksana.
Tapi saudara kandung Candra Kirana yaitu Galuh Ajeng sangat iri pada Candra kirana, karena Galuh Ajeng menaruh hati pada Raden Inu kemudian Galuh Ajeng menemui nenek sihir untuk mengutuk candra kirana. Dia juga memfitnahnya sehingga candra kirana diusir dari Istana ketika candra kirana berjalan menyusuri pantai, nenek sihirpun muncul dan menyihirnya menjadi keong emas dan membuangnya kelaut. Tapi sihirnya akan hilang bila keong emas berjumpa dengan tunangannya.
Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut. Keong Emas dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi dilaut tetapi tak seekorpun didapat. Tapi ketika ia sampai digubuknya ia kaget karena sudah tersedia masakan yang enak-enak. Sinenek bertanya-tanya siapa yang memgirim masakan ini.

Begitu pula hari-hari berikutnya sinenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek pura-pura kelaut ia mengintip apa yang terjadi, ternyata keong emas berubah menjadi gadis cantik langsung memasak, kemudian nenek menegurnya ” siapa gerangan kamu putri yang cantik ? ” Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh saudaraku karena ia iri kepadaku ” kata keong emas, kemudian candra kirana berubah kembali menjadi keong emas. Nenek itu tertegun melihatnya.
Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang. Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak itu.

Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Tapi ternyata ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihatnya tunangannya sedang memasak. Akhirnya sihirnya pun hilang karena perjumpaan dengan Raden Inu. Tetapi pada saat itu muncul nenek pemilik gubuk itu dan putri Candra Kirana memperkenalkan Raden Inu pada nenek. Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya keistana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Galuh Ajeng pada Baginda Kertamarta.
Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Galuh Ajeng mendapat hukuman yang setimpal. Karena takut Galuh Ajeng melarikan diri kehutan, kemudian ia terperosok dan jatuh kedalam jurang. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapatipun berlangsung. Mereka memboyong nenek dadapan yang baik hati itu keistana dan mereka hidup bahagia.


Sumber :
http://cicykasih.wordpress.com/2008/07/17/keong-mas/
Read full post »

Sunday, March 18, 2012

Asal Mula Pesut Mahakam

0 comments
Cerita rakyat Kutai, Kalimantan Timur
Diceritakan kembali oleh :
Legendaris

Pesut Mahakam Orcaella brevirostris di Sungai Mahakam
Pada jaman dahulu kala di rantau Mahakam, terdapat sebuah dusun yang didiami oleh beberapa keluarga. Mata pencaharian mereka kebanyakan adalah sebagai petani maupun nelayan. Setiap tahun setelah musim panen, penduduk dusun tersebut biasanya mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian.

Ditengah masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga yang hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Mereka terdiri dari sepasang suami-istri dan dua orang putra dan putri. Kebutuhan hidup mereka tidak terlalu sukar untuk dipenuhi karena mereka memiliki kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Begitu pula segala macam kesulitan dapat diatasi dengan cara yang bijaksana, sehingga mereka hidup dengan bahagia selama bertahun-tahun.

Pada suatu ketika, sang ibu terserang oleh suatu penyakit. Walau telah diobati oleh beberapa orang tabib, namun sakit sang ibu tak kunjung sembuh pula hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sepeninggal sang ibu, kehidupan keluarga ini mulai tak terurus lagi. Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam karena kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sang ayah menjadi pendiam dan pemurung, sementara kedua anaknya selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Keadaan rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat lagi. Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan padanya. Keadaan ini berlangsung cukup lama.

Suatu hari di dusun tersebut kembali diadakan pesta adat panen. Berbagai pertunjukan dan hiburan kembali digelar. Dalam suatu pertunjukan ketangkasan, terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila ia beraksi. Mendengar berita yang demikian itu, tergugah juga hati sang ayah untuk turut menyaksikan bagaimana kehebatan pertunjukan yang begitu dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya.

Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan. Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis. Akhirnya pertunjukan pun dimulai. Berbeda dengan penonton lainnya, sang ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis. Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah tersenyum kecil. Sang gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinya maupun yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan antara si gadis dan sang ayah tadi. Kejadian ini berulang beberapa kali, dan tidak lah diperkirakan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta antara sang gadis dengan sang ayah dari dua orang anak tersebut.

Demikianlah keadaannya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari para sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan antara mereka setelah pesta adat di dusun tersebut usai. Dan berakhir pula lah kemuraman keluarga tersebut, kini mulailah mereka menyusun hidup baru. Mereka mulai mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi. Sang ayah kembali rajin berladang dengan dibantu kedua anaknya, sementara sang ibu tiri tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya hingga kehidupan mereka cerah kembali.

Dalam keadaan yang demikian, tidak lah diduga sama sekali ternyata sang ibu baru tersebut lama kelamaan memiliki sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya. Kedua anak itu baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya. Sang ayah hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, tak dapat berbuat apa-apa karena dia sangat mencintainya. Akhirnya, seluruh rumah tangga diatur dan berada ditangan sang istri muda yang serakah tersebut. Kedua orang anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa mengenal lelah dan bahkan disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar kemampuan mereka.

Pada suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat suatu rencana jahat. Ia menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan.
"Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!" perintah sang ibu, "Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!"
"Tapi, Bu..." jawab anak lelakinya, "Untuk apa kayu sebanyak itu...? Kayu yang ada saja masih cukup banyak. Nanti kalau sudah hampir habis, barulah kami mencarinya lagi..."
"Apa?! Kalian sudah berani membantah ya?! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian pemalas! Ayo, berangkat sekarang juga!!" kata si ibu tiri dengan marahnya.

Anak tirinya yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera pergi. Ia tahu bahwa ayahnya telah dipengaruhi sang ibu tiri, jadi sia-sia saja untuk membantah karena tetap akan dipersalahkan jua. Setelah membawa beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka menuju hutan. Hingga senja menjelang, kayu yang dikumpulkan belum mencukupi seperti yang diminta ibu tiri mereka. Terpaksa lah mereka harus bermalam di hutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar dapat meneruskan pekerjaan mereka esok harinya. Hampir tengah malam barulah mereka dapat terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.

Esok paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya. Menjelang tengah hari, rasa lapar pun tak tertahankan lagi, akhirnya mereka tergeletak di tanah selama beberapa saat. Dan tanpa mereka ketahui, seorang kakek tua datang menghampiri mereka.
"Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!" tanya kakek itu kepada mereka.
Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
"Kalau begitu..., pergilah kalian ke arah sana." kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, "Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!"

Sambil mengucapkan terima kasih, kedua kakak beradik tersebut bergegas menuju ke tempat yang dimaksud. Ternyata benar apa yang diucapkan kakek tadi, disana banyak terdapat beraneka macam pohon buah-buahan. Buah durian, nangka, cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak tampak berserakan di tanah. Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan kelapa gading nampak bergantungan di pohonnya. Mereka kemudian memakan buah-buahan tersebut hingga kenyang dan badan terasa segar kembali. Setelah beristirahat beberapa saat, mereka dapat kembali melanjutkan pekerjaan mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan yang diminta sang ibu tiri.

Menjelang sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya banyak itu berhasil diangsur semuanya ke rumah. Mereka kemudian menyusun kayu-kayu tersebut tanpa memperhatikan keadaan rumah. Setelah tuntas, barulah mereka naik ke rumah untuk melapor kepada sang ibu tiri, namun alangkah terkejutnya mereka ketika melihat isi rumah yang telah kosong melompong.

Ternyata ayah dan ibu tiri mereka telah pergi meninggalkan rumah itu. Seluruh harta benda didalam rumah tersebut telah habis dibawa serta, ini berarti mereka pergi dan tak akan kembali lagi ke rumah itu. Kedua kakak beradik yang malang itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan keduanya, berdatanganlah tetangga sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa kedua ayah dan ibu tiri anak-anak tersebut telah pindah secara diam-diam.

Esok harinya, kedua anak tersebut bersikeras untuk mencari orangtuanya. Mereka memberitahukan rencana tersebut kepada tetangga terdekat. Beberapa tetangga yang iba kemudian menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan kedua anak itu. Menjelang tengah hari, berangkatlah keduanya mencari ayah dan ibu tiri mereka.

Telah dua hari mereka berjalan namun orangtua mereka belum juga dijumpai, sementara perbekalan makanan sudah habis. Pada hari yang ketiga, sampailah mereka di suatu daerah yang berbukit dan tampaklah oleh mereka asap api mengepul di kejauhan. Mereka segera menuju ke arah tempat itu sekedar bertanya kepada penghuninya barangkali mengetahui atau melihat kedua orangtua mereka.

Mereka akhirnya menjumpai sebuah pondok yang sudah reot. Tampak seorang kakek tua sedang duduk-duduk didepan pondok tersebut. Kedua kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada sang kakek tua dan memberi salam.
"Dari mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh terpencil ini?" tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk kecil.
"Maaf, Tok." kata si anak lelaki, "Kami ini sedang mencari kedua urangtuha kami. Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih muda lewat disini?"
Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.
"Hmmm..., beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini." kata si kakek kemudian, "Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?"
"Tak salah lagi, Tok." kata anak lelaki itu dengan gembira, "Mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?"
"Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang, mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari di seberang sana."
"Terima kasih, Tok..." kata si anak sulung tersebut, "Tapi..., bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai?"
"Datok ni dah tuha... mana kuat lagi untuk mendayung perahu!" kata si kakek sambil terkekeh, "Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu."

Kakak beradik itu pun memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek. Mereka berjanji akan mengembalikan perahu tersebut jika telah berhasil menemukan kedua orangtua mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka lalu menaiki perahu dan mendayungnya menuju ke seberang. Keduanya lupa akan rasa lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui keberadaan orangtua mereka. Akhirnya mereka sampai di seberang dan menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya.

Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang kelihatannya baru dibangun. Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu. Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak menaiki tangga dan memanggil-manggil penghuninya, sementara si adik berjalan mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran pakaian yang ada di belakang pondok. Ia pun teringat pada baju ayahnya yang pernah dijahitnya karena sobek terkait duri, setelah didekatinya maka yakinlah ia bahwa itu memang baju ayahnya. Segera ia berlari menghampiri kakaknya sambil menunjukkan baju sang ayah yang ditemukannya di belakang. Tanpa pikir panjang lagi mereka pun memasuki pondok dan ternyata pondok tersebut memang berisi barang-barang milik ayah mereka.

Rupanya orangtua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada periuk yang diletakkan diatas api yang masih menyala. Didalam periuk tersebut ada nasi yang telah menjadi bubur. Karena lapar, si kakak akhirnya melahap nasi bubur yang masih panas tersebut sepuas-puasnya. Adiknya yang baru menyusul ke dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang dikerjakan kakaknya, segera ia menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu. Karena takut tidak kebagian, ia langsung melahap nasi bubur tersebut sekaligus dengan periuknya.

Karena bubur yang dimakan tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun menjadi naik tak terhingga. Dalam keadaan tak karuan demikian, keduanya berlari kesana kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga pohon pisang tersebut menjadi layu. Begitu mereka tiba di tepi sungai, segeralah mereka terjun ke dalamnya. Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang memang benar adalah orangtua kedua anak yang malang itu terheran-heran ketika melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok mereka menjadi layu dan hangus.

Namun mereka sangat terkejut ketika masuk kedalam pondok dan mejumpai sebuah bungkusan dan dua buah mandau kepunyaan kedua anaknya. Sang istri terus memeriksa isi pondok hingga ke dapur, dan dia tak menemukan lagi periuk yang tadi ditinggalkannya. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada suaminya. Mereka kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju sungai yang di kiri-kanannya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu dan hangus.

Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua makhluk yang bergerak kesana kemari didalam air sambil menyemburkan air dari kepalanya. Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada hubungannya dengan keluarga. Ia terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah tidak ada disampingnya. Rupanya ia menghilang secara gaib. Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa. Semenjak perkawinan mereka, sang istri memang tidak pernah mau menceritakan asal usulnya.

Tak lama berselang, penduduk desa datang berbondong-bondong ke tepi sungai untuk menyaksikan keanehan yang baru saja terjadi. Dua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Masyarakat yang berada di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan ikan-ikan kecil mati jika terkena semburannya.

Oleh masyarakat Kutai, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan Pasut atau Pesut. Sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan Bawoi.

Sumber:
http://www.sumbercerita.com/contents/cerita-anak/legenda/legenda-pesut-mahakam-cerita-rakyat-kutai.html
http://rakataonline.wordpress.com/2012/02/09/batasan-satwa-perlu-dilindungi/
Read full post »

Saturday, March 17, 2012

Ceroboh Membawa Bencana

0 comments
Dahulu kala di daerah Jambi ada sebuah negeri yang diperintah seorang raja bernama Sultan Mambang Matahari. Sultan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Tuan Muda Selat dan seorang anak perempuan bernama Putri Cermin Cina. Tuan Muda Selat adalah seorang anak muda yang tampan namun sifatnya agak ceroboh. Putri Cermin Cina berwajah cantik jelita, kulitnya putih bagaikan kulit putri Cina karena itulah ia disebut Putri Cermin Cina.

Pada suatu hari, datanglah seorang saudagar muda ke daerah itu. Saudagar itu bernama Tuan Muda Senaning. Ia dan anak buahnya merapat di pelabuhan negeri itu. Seperti para saudagar lainnya, mula-mula niat kedatangan saudagar itu memang hanya untuk berdagang. Walau demikian ia disambut dengan ramah tamah oleh Sultan Mambang Matahari.

Pada saat jamuan makan kebetulan Putri Cermin Cina bertatap muka dengan Tuan Muda Senaning. Seketika Tuan Muda Senaning jatuh cinta pada gadis jelita itu. Demikian pula halnya dengan Putri Cermin Cina, diam-diam ia juga menaruh hati kepada saudagar muda yang berwajah tampan itu.

Namun sebagai seorang gadis tidak mungkin ia mengutarakan isi hatinya lebih dahulu. Pada suatu kesempatan kedua muda mudi itu sempat bertemu. Kesempatan yang baik itu tidak disia-siakan oleh si pemuda.

“Adinda Putri ….” kata Tuan Muda Senaning. “Sejak pertama bertemu pandang denganmu, hatiku berdebar-debar. Aku yakin kaulah gadis yang akan menjadi pendamping hidupku.”

“Tuan Muda ….” sahut Putri. “Jika Tuan memang berkenan kepada saya, alangkah baiknya jika Tuan segera bertanya kepada Ayahanda. Tuan akan mengetahui apakah saya masih sendiri atau sudah ada yang punya.”

“Baiklah, memang sudah sepantasnya kalau hal itu dilakukan.” kata Tuan Muda Senaning.

Pada dasarnya Putri Cermin Cina jatuh hati pada Tuan Muda Senaning, demikian pula sebaliknya. Mereka berjanji hendak membangun rumah tangga. Tidak lama kemudian Tuan Muda Senaning datang melamar kepada Sultan Mambang Matahari.

Sejak semula Sultan Mambang Matahari menaruh simpati kepada saudagar muda yang berhasil itu. Bukan karena kekayaannya, melainkan sifat dan tingkah laku pemuda itu yang sopan tanpa dibuat-buat.

Maka dengan senang hati Sultan Mambang Matahari menerima lamaran itu. Berkata Sutan Mambang Matahari, ”Tapi mohon maaf Ananda Senaning, terpaksa pernikahan ditunda sampai tiga bulan lagi. Saya masih harus menuntaskan perniagaan yang belum selesai." Tuan Muda Senaning hendak berkata bahwa segala keperluan untuk pesta pernikahan dialah yang akan menanggung, namun niat itu diurungkan karena hal itu dapat menyinggung perasaan calon mertuanya. Padahal ia tahu pelayaran mertuanya selama tiga bulan itu tidak lain adalah untuk mencari bekal bagi pesta pernikahan anaknya.

“Baik Ayahanda …” ujar Tuan Muda Senaning. ”Hamba cukup maklum akan maksud Ayahanda.”

“Terima kasih atas pengertian Ananda …” sahut Sultan Mambang Matahari lega. Ia makin senang pada calon menantunya yang tahu adat itu, yang tidak mentang-mentang kaya lalu membuatnya kehilangan muka.

Sebelum berangkat berlayar, Sultan Mambang Matahari berpesan kepada Tuan Muda Selat agar menjaga Putri Cermin Cina dengan baik, jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setelah itu, Sutan Mambang Matahari berlayar mencari bekal untuk menikahkan putrinya.

Pada suatu hari, Tuan Muda Senaning dan Tuan Muda Selat asyik bermain gasing di halaman istana. Mereka tertawa bergelak-gelak, makin lama makin asyik sehingga orang yang mendengar ikut tertawa senang.

Hal itu menggugah hati Putri Cermin Cina yang sedang merenda di ruang tengah untuk melihat. Ia menuju ke jendela melihat keasyikan tunangan dan kakaknya bermain gasing. Kehadiran Putri Cermin Cina terlihat oleh kedua orang itu. Sambil melihat ke anjungan, Tuan Muda Senaning melepaskan tali gasingnya. Gasing itu mengenai gasing Tuan Muda Selat. Gasing Tuan Muda Selat melayang dan terpelanting tinggi.

Mereka masih tertawa-tawa melihat gasing itu. Namun tiba-tiba gasing itu bergerak kearah Putri Cermin Cina. Sontak semua terkesiap. Sebelum mereka sadar apa yang terjadi tiba-tiba, gasing itu berputar persisi diatas kening Putri Cermin Cina. “Aaaaaahhh …!” Putri Cermin Cina menjerit kesakitan.

Kening Putri Cermin Cina pun berlumuran darah. Ia jatuh ke lantai dan tidak sadarkan diri. Kedua pemuda yang sedang bermain gasing itu segera berlari ke anjungan. Benarlah, Putri Cermin Cina tergolek di atas lantai.

Semua orang menjadi panik. Mereka berusaha memberikan pertolongan sebisa-bisanya. Namun semua tindakan tidak ada manfaatnya. Putri yang cantik jelita itu akhirnya menghembuskan napas yang terakhir kali. Tuan Muda Senaning menjerit keras. Ia masih belum percaya tentang apa yang telah terjadi.

Setelah yakin tunangannya meninggal. Tuan Muda Senaning jadi putus asa. “Sungguh celaka! Semua gara-gara aku ….!” teriak parau.

Ia melihat ada dua buah tombak bersilang di dinding. Secepat kilat ditariknya tombak itu. Dengan sekuat tenaga tombak itu dilemparnya ke halaman. Pangkal tombak menancap ke tanah dan mata tombak mencuat ke atas.

Tindakan ini hanya dilakukan oleh seorang yang mengerti ilmu silat dan ilmu perang. Tuan Muda Selat yang masih memeluk adiknya tak sempat mencegah perbuatan Tuan Muda Senaning. Namun sepasang mata pemuda ini terbelalak ngeri saat berpaling kearah calon adik iparnya itu.

Ia benar-benar tak menyangka Tuan Muda Senaning akan berbuat senekat itu. Saat itu dengan gerakan yang sukar diikuti mata Tuan Muda Senaning melompat ke halaman. Tubuhnya meluncur kearah mata tombak yang mencuat ke atas mengenai mata tombak yang mencuat itu. Mata tombak menembus perutnya langsung ke belakang punggung.

“Adinda Putri aku segera menyusulmu …” Suara pemuda itu tersendat-sendat oleh nafasnya yang menjelang sekarat. ”Aku tak bisa hidup tanpa dirimu.” Usai berkata demikian Tuan Muda Senaning meninggal dunia.

Tuan Muda Selat segera berteriak keras memanggil masyarakat untuk melihat kejadian itu. “Cepat kita urus jenazah mereka berdua ini.”

Sementara kerabat istana merawat jenazah kedua insan yang saling jatuh cinta itu, hati Tuan Muda Selat kacau balau. Tak dapat dibayangkan, bagaimana marahnya di Ayahanda Sultan Mambang Matahari bila mengetahui kejadian ini. Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan ia minta agar kedua mayat orang yang disayanginya itu dikuburkan segera.

Mayat Putri Cermin Cina dimakamkan di tepi sungai sedangkan mayat Tuan Muda Senaning dibawa anak buahnya ke kapal. Kapal itu berlayar ke seberang dan mayat Tuan Muda Senaning dikuburkan disana. Tempat itu kemudian diberi nama Dusun Senaning.

Sejenak Tuan Muda Selat merasa lega. Namun tatkala ingat betapa Ayahandanya sebentar lagi akan datang maka pikirannya menjadi kacau. Bukankah ia telah diserahi Ayahandanya untuk menjaga Putri Cermin Cina agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan? Kenyataanya, adik yang sangat dikasihi oleh semua orang itu ternyata telah meninggal dunia. Dan salah satu penyebab kematian adiknya adalah dia sendiri.

“Seandainya aku tidak bermain gasing tidak mungkin akan terjadi hal seperti ini.”

“Semua ini salahku jua!” ia terus menerus mempersalahkan dirinya.

“Sekarang apa yang harus kulakukan?” gumamnya dengan penuh kebingungan. ”Apa yang harus kukatakan kepada Ayahanda.”

Setelah berpikir keras, ia kemudian mengumpulkan semua penduduk. Diajaknya mereka berunding. Tidak lama kemudian Tuan Muda Selat memutuskan untuk meninggalkan negeri karena sang ayahnya tidak mungkin akan memaafkannya. Ia pun mengajak orang-orang kampung untuk ikut serta. Ia membelokkan kapalnya kearah Pasang Senana. Kemudian, ia menghilang tidak tentu arah. Orang-orang yang ikut dengannya ditinggalkan di sebuah tempat. Tempat itu akhirnya disebut Kampung Selat.

Tidak berapa lama kemudian, Sultan Mambang Matahari merapat dengan kapalnya. Ia heran melihat kampungnya sepi. Ia naik ke istana. Istana juga lengang. Setelah dayang-dayang yang berada di istana menceritakan kejadian sebenarnya, barulah ia mengetahui apa yang telah terjadi.

Sultan Mambang Matahari merasa sedih. Kemudian dengan beberapa pengikut, ia berangkat meninggalkan kampung. Ia pergi keseberang dusun.

Beliau mendirikan kampung disana. Kampung itu terletak diantara kubur Tuan Muda Senaning dan kapal Tuan Muda Selat. Kampung itu diberi nama Dusun Tengah Lubuk Ruso.

Legenda cerita ini oleh rakyat daerah Jambi dianggap benar-benar terjadi karena ada hubungannya dengan nama-nama kampung di Kabupaten Batanghari, Jambi.


Sumber :
http://www.facebook.com/notes/kumpulan-dongeng-cerita-rakyat/ceroboh-membawa-bencana-jambi/337568683755
Read full post »

Putri Cermin Cina

0 comments
Dahulu di daerah Jambi ada sebuah negeri yang diperintah oleh seorang Raja yang bernama Sutan Mambang Matahari. Sutan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Tuan Muda Selat dan seorang anak perempuan bernama Putri cermin Cina. tuan Muda Selat adalah seorang pemuda yang berwajah tampan tapi sifatnya sedikit ceroboh. Sedangkan Putri Cermin Cina adakah seorang putrid yang cantik jelita, baik hati, dan lemah lembut.

Pada suatu hari, dating saudagar muda ke daerah itu, saudagar muda itu bernama Tuan Muda Senaning. Mula-mula tujuan Tuan Muda Senaning hanya untuk berdagang, namun saat penjamuan makan Tuan Muda Senaning bertamu dengan Putri Cermin Cina. seketika itu Tuan Muda Senaning jatuh hati pada Putri Cermin Cina. Demikian pula, diam-diam Putri Cermin Cina juga menaruh hati pada Tuan Muda Senaning. Putri Cermin Cina menyarankan untuk Tuan Muda Senaning dating kepada ayahandanya Sutan Mambang Matahari untuk melamarnya.

Tidak lama kemudian tuan Muda Senaning datang mengahadap Sutan Mambang Matahari untuk melamar Putri Cermin Cina. Sutan Mambang Matahari dengan senang hati menerima lamaran Tuan Muda Senaning karena memang Tuan Muda Senaning mempunyai perangai yang baik dan sopan. Tapi Sutan Mambang Matahari terpaksa menunda pernikahan Tuan Muda Senaning dengan Putri Cermin Cina selama tiga bulan karena Sutan harus berlayar untuk mencari bekal pesta pernikahan putrinya. Sebelum berangkat berlayar, Sutan Mambang Matahari berpesan pada Tuan Muda Selat untuk menjaga adiknya dengan baik.
Pada suatu hari, selepas keberangkatan Sutan Mambang Matahari, TuanMuda Senaning dan Tuan Muda Selat asyik bermain gasing di halaman istana. Mereka tertawa tergelak-gelak makin lama makin asyik sehingga orang yang memdengarpun turut tertawa senang. Hal itu mebuat Putri Cermin Cina penasaran dan ingin melihat keasyikan kakaknya dan calon suaminya, ia melihat dari jendela. Kehadiran Putri Cermin Cina terlihat oleh dua orang itu, sambil menoleh kearah jendela, Tuan Muda Senaning melepas tali gasingnya. Gasing Tuan Muda Senaning mengenai gasing Tuan Muda Selat. Karena berbenturan keras sama keras, gasing Tuan Muda Selat melayang dan terpelanting tinggi.

Gasing itu terpelanting kearah Putri Cermin Cina yang melihat dari jendela. Gasing itu berputar diatas kening Putri Cermin Cina. Putri Cermin Cina menjerit kesakitan. Kening Putri Cermin Cina berlumuran darah, ia jatuh ke lantai tak sadarkan diri. semua orang panik dan berusaha menolong Putri Cermin Cina. Namun takdir berkata lain, Putri yang cantik jelita itu akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir.
Tuan Muda Senaning sangat merasa bersalah atas kematian Putri Cermin Cina, dia menjadi putus asa dan gelap mata. Dia melihat dua tombak bersilang di dinding, dengan cepat tombak itu di tarik dan di tancapkan ke tanah dengan posisi mata tombak mencuat ke atas. Kemudian Tuan Muda Senaning melompat kearah mata tombak dan seketika itu mata tombak menembus perutnya hingga punggungnya. Tuan Muda Senaning meninggal untuk menyusul Putri Cermin Cina.

Semua warga membantu mengurus dua jenazah orang yang saling jatuh cinta itu. Tuan MudaSelat begitu kalut dan bingung. Ayahandanya pasti marah besar apabila mengethui keadin itu. kedua jenazah itu akhirnya dikuburkan. Jenazah putri Cermin Cina dikubur di tepi sungi, Sedangkan jenazah Tuan Muda Senaning dibawa anak buahnya ke kapal, dan kapal itu berlayar ke seberang. Jenazah Tuan Muda Senaning dikuburkan di tempat itu diberi nama dusun Senaning.

Tuan Muda Selat juga merasa bersalah atas kematian adik tercintanya, dia terus menyalahkan dirinya karena gasingnya, Putri Cermin Cina meninggal dunia. Akhirnya Tuan Muda Selat pergi meninggalkan negerinya bersama orang-orang kampung. Orang-orang yang ikut dengannya ditinggal di suatu tempat dan tempat itu di sebut Kampung Selat. Namun Tuan Muda Selat pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas.
Tidak lama kemudian Sutan Mambang Matahari tiba di kampungnya. Sutan bingung karena kampungnya begitu sepi, dia menuju istanan namun hanya tersisa beberapa orang yang menjaga istana beberapa orang yang menjaga istana. Setelah Sutan tahu tentang kejadian sebenarnya, Sutan Mambang Matahari merasa sedih, kemudian ia beserta pengikutnya pergi meninggalkan kampungnya, mereka pergi ke dusun seberang dan mendirikan kampung disana. Kampung itu terletak diantara kubur Tuan Muda Senaning, dan kapal Tuan Muda Selat. Kampung itu bernama Dusun Tengah Lubuk Ruso.

Legenda cerita ini oleh rakyat Jambi dianggap benar-benar terjadi karena ada hubungannya dengan nama-nama kampung di Kabupaten Batanghari, Jambi.

Tema dari cerita rakyat diatas adalah kehidupan muda-mudi yang saling mencintai hingga akhir hayat mereka. Tokoh yang terdapat pada cerita rakyat ini adalah Putri Cermin Cina, Tuan Muda Senaning, Tuan Muda Selat, Sutan Mambang Matahari, pengikut Tuan muda Senaning, dan orang-orang kampung. Putri Cermin Cina mempunyai watak baik hati dan lemah lembut, tuan Muda Senaning Berwatak sopan dan baik, Tuan Muda Selat berwatak agak ceroboh dan hormat pada ornag tuanya, Sutan Mambang Matahari berwatak bijaksana, baik hati dan sangat menyayangi kedua anaknya, sedangkan pengikut Tuan Muda Senaning berwatak setia pada Tuannya dan orang kampung berwatak setia menemani Tuannya, membantu sabisa mungkin. Cerita rakyat yang berjudul Putri Cermin Cina ini menggunakan alur maju karena disepanjang cerita dari awal hingga akhir berjalan secara urut dan teratur. Dan juga menggunakan alur tertutup karena akhir cerita telah diketahui bahwa Putri Cermin Cina meninggal dunia kemudian Tuan Muda Senaning juga ikut bunuh diri karena tidak bisa hidup tanpa Putri Cermin Cina, Tuan Muda Selat pergi meninggalkan kampungnya, dan Sutan Mambang Matahari juga pergi meninggalkan kampungnya karena merasa sedih atas kematian Putrinya dan atas semua yang telah terjadi.

Setting/latar cerita yang terdapat dalam cerita rakyat ini adalah setting waktu disaat Tuan Muda Senaning tiba di kampung Putri Cermin Cina, saat jamuan makan, saat Tuan Muda Senaning melamar Putri Cermin Cina, saat bermain gasing. Sedangkan setting tempatnya adalah di negeri yang yang di pimpin Sutan Mambang Matahari, di halaman istana, di kapal pelayaran, di tepi sungai tempat makam Putri Cermin Cina, Kampung Selat, Dusun Senaning, Dusun Tengah Lubuk Ruso. Setting suansana yang terdapat dalam cerita rakyat ini adalah suasana gembira dan bahagia saat lamaran Tuan Muda Senaning diterima oleh Sutan Mambang Matahari, saat Tuan Muda Senaning dan Tuan Muda Selat bermain gasing bersama, suasana sedih dan haru saat kematian Putri Cermin Cina dan Tuan Muda Senaning. Sudut pandang yang digunakan adalah pencerita serba hadir karena di dalam cerita menggunakan kata ganti “ia atau dia” dan juga dengan menyebutkan nama tokohnya. dalam cerita ini terdapat beberapa majas, yaitu majas metafora dalam kata-kata “ jatuh hati, menaruh hati, dan gelap mata” juga ada majas personifikasi dalam kata “ takdir berkata lain”. Amanat yang terkandung dalam cerita rakyat ini adalah apabila melakukan sesuatu jangan ceroboh karena sedikit kecerobohan akan dapat menimbulkan akibat yang fatal, saat mendapat musibah harus di terima dengan ikhlas karena itu kehendak Yang Kuasa, jangan menghadapi sesuatu dengan gelap mata, semua harus dipikiran dengan matang dan pikiran yang tenang, dan juga jangan melepas tanggung jawab yang telah di bebankan pada kita.

Itulah sinopsis cerita rakyat yang berjudul “Putri Cermin Cina, cerita rakyat dari Jambi” dan analisis cerita rakyat yang mengupas unsure-unsur intrinsic yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut. Setiap cerita pasti mengandung amanat yang akan disampaikan pada pembaca, dan semoga amanat yang terkandung dalam cerita rakyat ini dapat bermanfaat bagi kehidupan kita selanjutnya.

Sumber :
http://utink.blogdetik.com/
http://sayaindonesia.com/viewtopic.php?f=765&t=890&sid=681e6b8eca389fbb453b1796ac17f6bc
Read full post »

Datuk Kerungkung Bebulu

0 comments
Cerita rakyat dari Kabupaten Tebo, Jambi

Cerita Datuk Kerungkung Bebulu erat kaitannya dengan legenda terjadinya Bukit Siguntang. Datuk ini bernama lengkap Datuk Baju Merah Kerungkung Bebulu. Gelar baju merah karena setiap kali berperang bajunya selalu memerah oleh percikan darah lawan-lawannya. Disebut kerungkung bebulu, karena ketika dilahirkan kerungkungnya ditumbuhi bulu.

Awal kisah bermula dari Sang Raja Negeri Selado Sumai yang kehilangan pedang pusaka warisan leluhur bernama Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan. Entah di mana rimbanya dan tidak mengetahui siapa yang mencurinya, diperintahkanlah Datuk Kerungkung Bebulu yang sakti tiada tanding di kerajaan Salado Sumai untuk mencari pedang tersebut.

Perintah dijalankan, tanpa takut dan gentar. Seorang diri menjelajahi rimba dan kembah gunung. Di suatu goa batu yang kelam dan dingin, Datuk Kerungkung Bebulu merayap menyusup di kegelapan goa. Sampai di ujung goa di atas sebuah batu papak duduk sesosok orang tua yang komat kamit membaca rapalan. Dari lubang di atas sang pertapa menyorot cahaya matahari bak lampu fokus dan sinartersebut menerpa sebilah pedang pusaka kerajaan yang hilang dan kini sudah dipangkuan Datuk Panglimo Tahan Akik asal Ranah Pagaruyung.
Singkat cerita terjadilah perebutan yang dahsyat, saling tendang, saling hempas menghempas. Tujuh hari berturut-turut perkelahian berlangsung tanpa ada tanda-tanda kalah atau menang dari kedua belah pihak. Setiap malam mendatang sampai terbit matahari mereka seolah sepakat digunakan beristirahat memulihkan kekuatan untuk melanjutkan pertarungan. Masa istirahat digunakan keduanya mencari dedaun dan apa saja yang dapat dimakannya setelah itu keduanya sama-sama beritirahat terlelap dalam kegelapan dinding goa.
Hari ketujuh medan lag beralih ke luar goa. Maka bertumbangan pohon terlibas baku hantam. Rata tanah tercukur babatan dan injakan kaki dua manusia yang berlaga mati-matian. Pada suatu kesempatan sekelebat mata Datuk Karungkung Bebulu berhasil menangkap kaki Datuk Panglimo Tahan Takik dan menghempaskannya. Bedegam bunyinya, bergetar bumi bak gempa dan terlepaslah pedang Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan dari pegangan dan mental melayang ke udara. Kesempatan yang berharga itu dimanfaatkan dan melayanglah Datuk Karungkung Bebulu menangkap pedang pusaka kerajaan Selado Sumai. Kemudian melesat meninggalkan medan laga. Tak hayal Datuk Panglimo Tahan Takik melesat pula. Saling berkejar-kejaran menampilkan ilmu lari cpat dan kelihatan kelit berkelit disela semak dan pepohonan. Binatang rimba berserabutan ketakutan. Tujuh lurah tujuh pematang telah mereka lalui. Di suatu ceruk sempit mereka terhenti, karena dihadapannya ternganga mulut seekor ular raksasa siap menelan apapun.
Entah siapa yang memulai, didapat kesepakatan siapa yang sanggup membunuh ular itu, dialah yang berhak atas pedang Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan.

Kesempatan pertama dilakukan oleh Panglimo Tahan Takik. Dengan sebilah keris panjang ditikamnya sekuat tenaga tubuh ular raksasa itu. Berdencing memekakan telinga. Keris itu bengkok dan patah karena beradu dengan kulit ular yang keras itu. Sang ular tak bergeming dan tak cidera sedikitpun. Tangan Panglimo Tahan Takik membengkak. Sendi-sendi pergelangan, siku dan bahunya terasa nyeri. Terangsang oleh gelak tawa Datuk Kerungkng Bebulu dengan hawa marah meledak-ledak Panglimo Tahan Takik menghunus keris pendek dari pinggangnya dan melesat kembali menghantam badan ular besar yang mengerikan itu. Berkali-kali terlihat percikan api disela keplan debu yang berterbangan. Akhirnya Panglimo Tahan Takik luruh bersimbah keringat. Tak jauh dihadapannya ular raksasa siap melahap sambil melilitkan lidah merah bercabangnya. Dengan langkah tegap penuh keyakinan Datu Kerungkung Bebulu berjalan sampai dihadapan ular raksasa. Mata merahnya mendelik seram menatao sang datuk yang berani mati berdiri beberapa depa di depan juluran lidahnya.

Sambil menghunus pedang pusaka kerajaan yang berhasil direbutnya dari Panglimo Tahan Takik, Datuk Kerungkung Bebulu menjulangkannya di atas kepala sambil melapal mantra-mantra sakti. Bersamaan dengan gelegar yang membahana dan kilat putih kebiruan keluar dari ujung senjata pusaka milik kerajaan Selado Sumai, melesat bayangan ke arah sang ular meliuk dan melilit tubuh raksasa yang tak sempat mengelak atau bergerak. Sebuah raungan menggeledek dan Datuk Karungkung Bebulu melihat ke arah ular yang berdebam bak gunung runtuh, tubuh ular raksasa menghantam bumi. Tubuhnya terkupas terpotong tiga. Bagian kepala menuju ke arah Panglimo Tahan Takik dan bagian ekornya seperti bernyawa meliuk ke arah Datuk Karungkung Bebulu.
Dengan sisa tenaga yang ada serta berselaput hawa marah dan kecewa yang amat sangat. Bagian kepala ular raksasa ditendang melambung ke udara dan lenyap dari pemandangan. Konon bagian kepala itu jatuh di Ngarai Si Anok dan mental kembali teronggok dua yang kemudian menjadi gunung Merapi dan Singgalang. Bagian ekornya yang melesat, ditangkap dan dibaling-balingkan kemudian dilemparkan jauh ke angkasa dan jatuh ke negeri Palembang mejelma menjadi Bukit Siguntang-guntang. Sedangkan bagian perutnya yang tertinggal di tempat itu dibiarkan dan akhirnya menjelma menjadi Bukit Siguntang. Kata-kata guntang dalam bahasa Sansekerta berarti terlindung atau pelampung pada pancing. Bisa juga kemungkinan guntang mengalami perubahan lafal dari kata buntang = bangkai, yakni bangkai/buntangnya ular raksasa. Berkat tekad dan kegigihan Datuk Karungkung Bebulu maka terlindunglah negeri Selado Sumai dari penjarahan Panglimo Tahan Takik dan amukan ular besar. Tak pelak lagi lingkungan Bukit Seguntang merupakan wilayah yang ideal bagi wisata paranormal karena menyimpan misteri magis.

Mitos tentang tokoh Datuk Kerungkung Bebulu ini merupakan salah satu cerita rakyat Jambi yang ada di daerah Kabupaten Tebo. Tokoh Datuk Karungkung Bebulu dipercaya masyarakat karena di daerah tersebut terdapat makam Datuk Kerungkung Bebulu. Dari tokoh mitos inilah kemudian muncul legenda tentang Bukit Siguntang. Oleh Junaidi T. Noor, mitos ini kemudian dituliskan dalam sebuah buku Geografi Pariwisata Kabupaten Bungo Tebo (1999) yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Bungo Tebo (pada waktu itu Bungo Tebo masih dalam satu kabupaten. Pada tahun 2000, otonomi daerah menyebabkan kabupaten itu terpisah menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten Bungo dan kabupaten Tebo.


sumber :
http://yayasanlangit.blogspot.com/2008/04/mitos-mitos-daerah-jambi.html
http://sayaindonesia.com/viewtopic.php?f=765&t=892&sid=681e6b8eca389fbb453b1796ac17f6bc
Read full post »

Dideng Dang Ayu (Dendangan lagu Putri Dayang Ayu)

0 comments
Dahulu kala ada seorang raja bergelar Pasak Kancing. Ia dikarunia dua orang anak, seorang putra dan seorang putri. Oleh duka kematian permaisuri, keadaan kerajaan menjadi kacau balau tak terurus, termasuklah dua putra raja bak yatim piatu. Masa remajanya terlunta karena sang ayah tak tentu rimbanya. Pembesar dan orang-orang istana sudah tak peduli pada raja dan anaknya. Bisa jadi karena tampuk kekuasaan sudah lengser dan lengsernya bukan atas garis keturunan, maka putus pulalah ikatan kekuasaan. Atau oleh tindakan kop tak berdarah terjadi perpindahan penguasa.

Sang putra raja tiada tahan menanggung beban tinggal di istana. Pamitlah ia dengan adinda putri untuk merantau menguak nasib menisik rezeki ke negeri orang. Tak ada kata yang dapat manampung kepiluan sang adik mengiringi kepergian kakak tercinta. Terban bumi terpijak, teserpih harapan untuk mendayung derita berdua.


Sebelum berpisah, kakak beradik membuat janji bila keduanya mempunyai keturunan, maka keduanya akan membuhul sebuah perkawinan.

Sang kakak merantau ke negeri Pusat Jala dan kemudian menjadi raja di sana. Dari perkawinannya lahirlah seorang putra yang diberi nama Dang Bujang.

Sementara adik perempuannya yang tinggal di Pasak Kancing memperoleh seorang anak perempuan bernama Putri Dayang Ayu.

Garis kehidupan kedua anak manusia itu jauh berbeda. Dang Bujang hidup sebagai anak raja, sedangkan Putri Dayang Ayu bak bumi dengan langit, bak siang dengan malam. Putri Dayang Ayu hidup dalam kemiskinan, tapi mempunyai kecantikan bak bidadari dari khayangan.

Menginjak dewasa, Dang Bujang dinobatkan sebagai putra mahkota. Acara penobatan sangat meriah. Sebuah pesta besar digelar. Semua pangeran dan putri-putri dalam negeri dan negeri-negeri sekitar kerajaan Pusat Jala ikut memeriahkan pesta penobatan itu.

Raja Pusat Jalo teringat akan janjinya, maka diundanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya. Maksud hati sang raja akan mengumumkan pertunangan Dang Bujang dengan Putri Dayang Ayu.


Tanpa iringan kebesaran dan pakaian gemerlapan datanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya. Malangnya sang nasib, hulubalang penjaga menahan di gerbang, dikiranya pengemis menadah sedekah. Baju compang camping akan menurunkan derajat pesta penobatan, pikir sang hulubalang. 

Peristiwa di pintu gerbang menarik perhatian. Hampir seluruh peserta pesta keluar. Mereka terlena dan terkagum akan pancaran kecantikan Putri Dayang Ayu karena berbungkus baju lusuh dan compang camping. Dang Bujang yang sedang menari dengan seorang putri pilihannya sepi sendiri di tengah arena. Tak pelak lagi Dang Bujang merasa dihinakan. Tanpa tahu siapa yang datang dari anjungan istana Dang Bujang mengusir Putri Dayang Ayu dan ibunya dengan kata-kata yang terlalu menusuk hati.

Merasa dihinakan tiada tara, dengan hati teramat kecewa dan keperihan yang dalam, pulanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya kembali ke Pasak Kancing.
Demonilah ado meh di tanjung
Karinak menjadi laro kain
Demonilah ado meh di kandang
Sanaklah menjadi orang lain
Arolah kain buekkan dinding
Buekkan dinding balai melintang
Uranglah lain kau tunjukkan runding
Lah nan sanak kau biakkan hilang


Dengan hati lara dan putus asa Putri Dayang Ayu melangkah lunglai.
Bahuma talang penyanit
Dapatlah padi di tangkai lebat
Manolah tanggo jalan ke langit
Duduk di bumi salahlah sukat


Betapa murkanya sang Raja Pusat Jalo mendengar perlakuan Dang Bujang terhadap Putri Dayang Ayu dan ibunya, "Kejar mereka dan kau tak kuizinkan kembali ke istana ini tanpa membawa Putri Dayang Ayu." Demikianlah titah sang raja pada putra mahkota, Dang Bujang.

Dalam perjalanan keputus-asaannya, Putri Dayang Ayu tidak kembali ke Pasak Kancing karena ibunya wafat di perjalanan. Jadilah ia merambah hutan rimba seorang diri berteman satwa yang ikut mengiringi. Seekor punai menyarankan agar putri pergi ke Bukit Sekedu. Ia pun dinasehati oleh dua ekor kera untuk menemui Dewa Tua.

Pada penguasa Bukit Sekedu, Nenek Rabiyah Sang Dewa Tua, tertumpahkanlah segala keperihan duka lara sang putri. Tercengang nenek Rabiyah menyimak kepedihan dan keputus-asaan Putri Dayang Ayu.
Ngan mendaki Bukit Sekedu
Ngan menurun dipasi merang
Ngan menangih bertudung baju
Mengenang badanlah bejalan surang
Serailah seompun di tengah laman
Anaklah punai menganjur kaki
Tinggallah dusun tinggallah laman
Tinggal sereto tepian mandi


Berbagai nasehat pertimbangan sang Dewa Tua tak bisa lagi menyurutkan kehendak Putri Dayang Ayu untuk menyatu dengan alam. Alam masih ramah menerimanya. Atas bimbingan dan petunjuk nenek Rabiyah, Putri Dayang Ayu menuju telago larangan. Bergabunglah ia dengan delapan putri yang sedang mandi gembira ria, berkecimpung menyimbah riak telaga yang membiru. Selendang pemberian nenek Rabiyah melekat erat di tubuh putri Dayang Ayu, ketika tubuh semampai putri terlelap di air telaga, diiringi pernik-pernik warna pelangi.

Sementara itu, dengan berbagai rintangan onak dan duri, lembah dan bukit banyak dituruni dan didaki, sampailah Dang Bujang ke puncak Bukit Sekedu. Sesuai pesan bunda Putri Dayang Ayu dan isyarat satwa di rimba, bersualah Dang Bujang dengan nenek Rabiyah. Nenek Rabiyah cukup waskita, akan maksud pengembaraan Dang Bujang, maka disuruhnya Dang Bujang ke telaga larangan agar dapat bersua dengan putri adik sepupunya.


Gemercik air terjun di hulu telaga larangan telah menyembunyikan kehadiran Dang Bujang di sana. Dang Bujang bingung mendapati sembilan putri sedang asyik mandi. Selain sama cantiknya, Dang Bujang sendiri tidak tahu yang mana Putri Dayang Ayu, adik sepupu yang sedang dicarinya.

Sampai kesembilan bidadari menghilang bersama senja dan sinar pelangi di angkasa, Dang Bujang hanya terpana dan terpaku dalam rasa yang tak menentu. Kembali nenek Rabiyah ditemuinya. Pesan sang nenek, putri yang terakhir turun ke telaga, dialah Putri Dayang Ayu.

Keesokan harinya, dengan berbekal pancing pemberian nenek Rabiyah, Dang Bujang menanti di telaga. Dengan merapal ajian yang diajarkan nenek Rabiyah, dipancingnyalah selendang terungguk di sembulan batu. Bidadari yang sedang turun mandi tak satu pun menyadari bahwa salah satu selendangnya telah berada di pelukan Dang Bujang.


Betapa terkejut dan sedihnya Putri Dayang Ayu ditinggal sendiri karena tak lagi dapat terbang bersama dewi-dewi yang lain. Pupus tali dewa dewi dimainkan nasib peruntungan yang seorang pun tak ada yang tahu akhirnya. Tak ada pilihan, selain mengikuti bujukan dan paksaan Dang Bujang untuk kembali ke istana kerajaan Pusat Jalo.

Kendati pesta perkawinan Dang Bujang dengan Putri Dayang Ayu sangat meriah, tujuh hari tujuh malam perhelatan akbar digelar, tapi tak berhasil memupus kesedihan Putri Dayang Ayu. Gundah gulana selalu mewarnai wajah ayu sang putri. Kebahagiaan dunia tak memupus kerinduannya pada kebahagiaan alam dewa-dewi.

Berbagai tabib negeri telah berupaya mengobati sang putri yang semakin hari badannya menyusut bak api dalam sekam. Puncak kerinduan tiba pada saat Putri Dayang Ayu melahirkan. Belum habis masa nipasnya, dengan tubuh lunglai sang putri tegak di anjungan istana. Rasa keperihan yang berbungkus kerinduan telah menghantar doa sang putri ke singgasana Penguasa Alam.


Secara perlahan tubuh Putri Dayang Ayu terangkat melayang melewati jendela anjungan istana. Ada rasa kasih sayang terpancar dari matanya yang bening berkilau linangan air mata mendengar tangisan bayinya di pembaringan. Rasa inilah yang membuhul kesempurnaannya ke alam nirwana. 

Sang putri tak sepenuhnya menjelma menjadi dewi, tapi menjelma menjadi seekor elang dan terbang membumbung tinggi ke awan. Isak kepedihan hati dan kasih sayangnya pada anak yang ditinggalkannya terdengar sebagai kelik elang di angkasa. Orang selalu bercerita itulah jelmaan Putri Dayang Ayu yang sedang terbang membawa lara hatinya. Biasanya kelik itu terjadi sekitar menjelang tengah hari, disaat ia harus menyusui anaknya yang tak pernah lagi kesampaian.


sumber :
dari berbagai sumber
http://sayaindonesia.com/viewtopic.php?f=765&t=893&sid=681e6b8eca389fbb453b1796ac17f6bc
Read full post »

Padi Sebesar Kelapa

0 comments
Dahulu kala di daerah Teluk Pandak terdapatlah sebuah padi sebesar buah kelapa. Masyarakat setempat tidak pernah tahu dari mana asalnya. Padi itu ditemukan oleh seorang penduduk di sekitar rumahnya. Padi yang ditemukan itu bukanlah padi lengkap dengan batangnya, namun hanya sebuah biji padi sebesar kelapa lengkap dengan cangkangnya. Penduduk Teluk Pandak percaya bahwa padi itu merupakan titisan dari Dewi Sri. Mereka seperti mendapatkan berkah dengan turunnya padi itu ke tempat mereka.

Saat musim tanam tiba, masyarakat membawa padi sebesar kelapa tersebut ke sawah yang akan ditanami. Setelah padi di tanam, masyarakat berkumpul untuk melakukan doa bersama agar padi yang ditanam mendapat berkah dari Tuhan. Sekelompok muda-mudi membawakan tari Dewi Sri. Tarian itu diiringi oleh lagu yang bersyair doa dan pujian kepada Tuhan. Lagu itu mereka namakan dengan Nandung. Kulit padi mereka pukul-pukul sebagai gendang pengiring tarian Dewi Sri.
Waktu terus berjalan. Musim panen pun tiba. Masyarakat kembali berkumpul dan bersama-sama melakukan panen. Panen pertama ini mereka lakukan hanya untuk sebagian kecil padi yang akan digunakan untuk acara makan bersama. Saat akan menuai padi, mereka menimang-nimang padi titisan Dewi Sri itu sambil melantunkan puji-pujian kepada Tuhan atas keberhasilan tanaman mereka. Padi yang sudah dituai kemudian diirik dengan kaki. Setelah itu padi dijemur. Setelah menjadi beras, padi itu dimasak dan dipersiapkanlah sebuah acara makan bersama. Dalam acara itu padi sebesar kelapa itu kembali dibawa. Sebelum makan mereka melagukan syair-syair yang intinya adalah syukuran, doa mohon keberkahan, dan keselamatan kepada Tuhan. Acara makan pun selesai. Keesokan harinya masyarakat secara bersama-sama memanen seluruh padi.

Setelah seluruh padi selesai dipanen, tumbuhlah anak padi dari bekas batang padi yang tinggal. ini lebih kecil. Mereka menamakan padi yang lebih kecil itu dengan Salibu. Padi itu ukurannya lebih kecil dari ukuran padi biasa. Salibu itu kemudian di panen. Setelah dipisahkan dari cangkangnya, Salibu kemudian digonseng dan ditumbuk hingga berbentuk emping. Proses menggonseng hingga menumbuk Salibu dilakukan oleh muda-mudi dari sore hingga malam hari. Selama proses itu tidak jarang ada muda-mudi yang akhirnya berjodoh. Emping dari Salibu kemudian dimakan bersama-sama dalam acara pernikahan muda-mudi yang berjodoh itu.


sumber :
http://yayasanlangit.blogspot.com
http://sayaindonesia.com/viewtopic.php?f=765&t=894&sid=681e6b8eca389fbb453b1796ac17f6bc
Read full post »

Lubuk Bujang Gadis

0 comments
Dahulu kala hiduplah seorang bujang yang digelari oleh masyarakat dengan Bujang Tuo. Gelar itu dilekatkan kepadanya karena usianya yang sudah tidak muda lagi, namun ia tak kunjung menikah. bujang Tuo cukup gagah, apalagi ia memiliki tubuh yang kekar. Bujang Tuo tinggal di desa Senamat Ulu. Desa itu terletak di hulu batang Senamat. Penduduk desa Senamat Ulu tidak terlalu banyak. Mereka hidup dengan mencari ikan di Batang Senamat dan sebagian ada yang bercocok tanam.

Orang tua Bujang Tuo sebenarnya sudah lama menyinggung soal pernikahan kepadanya, namun ia tidak begitu menanggapinya. Bagi Bujang Tuo jodoh ada di tangan Sang Pencipta. Bujang Tuo adalah anak yang suka bekerja. Hal ini yang membuatnya tidak begitu terbebani dengan keinginan untuk menikah.
Untuk kesekian kalinya bertanyalah ibu Bujang Tuo kepadanya, "Kapan lagi kau nak menikah, Bujang, sudah rindu rasanya kami nak menimang cucu."
"Sudahlah, Mak, biar Tuhan yang berkehendak. Aku pun hendak, namun tak mungkin bila tiada rasa," jawab Bujang Tuo.
"Tapi, bagaimana dengan orang kampung. Rasanya sakit telinga Mak mendengar gunjingan mereka."
"Sabarlah, Mak. Aku pun begitu."

Bujang Tuo pamit kepada orang tuanya untuk berjalan-jalan menenangkan pikiran. Iba hati orang tuanya melihat nasib anak satu-satunya itu. Mereka tahu bahwa Bujang Tuo lebih tertekan dengan sindiran penduduk kampung, namun mereka tak dapat berbuat banyak. Mereka hanya dapat berdoa agar Bujang Tuo segera mendapatkan jodoh dan menikah.

Bujang Tuo pergi ke Batang Senamat. Dilepasnya pautan rakitnya dan ia mulai menyusuri Batang Senamat. Gundah juga hatinya memikirkan persoalan itu. Sebetulnya ia juga ingin untuk menikah, namun ia tidak mau menikah dengan gadis yang tidak disukainya. Selama ini Batang Senamat merupakan tempat pelarian keluh kesahnya. Hamparan hutan dan bukit di kiri kanan Batang Senamat seolah memberikan ketenangan kepadanya. Ia sering berlayar jauh untuk mengobati luka hatinya. Saat ini kata hatinya ingin pergi ke desa Senamat yang terletak di hilir Batang Senamat.

Dalam perjalanannya, Bujang Tuo sering bersenandung untuk menghibur diri. Ia begitu mengagumi kebesaran Tuhan yang telah menciptakan alam yang begitu indah, namun ia juga sering berkeluh kesah kepada Tuhan mengapa belum juga ada jodoh untuk dirinya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia mendengar suara perempuan menyanyi. Suara itu berasal dari bukit di sisi Batang Senamat. Namun suara itu tidak terdengar lagi ketika ia ingin menghentikan rakitnya. Ingin rasanya Bujang Tuo pergi ke sana, namun ia juga takut kalau itu hanya igauannya. Lama ia menunggu suara itu, namun tidak terdengar juga. Akhirnya Bujang Tuo melanjutkan perjalanannya. Namun ia masih memikirkan peristiwa tadi. Ia masih penasaran dengan suara itu.

Keesokan harinya ia kembali melewati tempat itu. Sesampai di sana ia kembali mendengar suara perempuan menyanyi, namun lebih mirip suara tangisan. Ketika Bujang Tuo akan menghentikan rakitnya suara itu kembali hilang. Bujang Tuo semakin penasaran. Namun ia masih belum berani untuk menaiki bukit tempat suara itu berasal. Ia takut kalau suara itu adalah miliki penunggu bukit itu. Bulu kuduknya berdiri dan ia kembali melanjutkan perjalanannya. Sesampai di rumah Bujang Tuo tak bisa tidur. Ia masih penasaran dengan peristiwa di Batang Senamat itu. Ingin rasanya ia pergi ke bukit itu, namun ia takut kalau itu bukan suara manusia melainkan penghuni bukit itu. Tetapi selama perjalanannya ke desa Senamat, baru hari itu ia mendengar suara perempuan menyanyi. Bujang Tuo semakin penasaran. Setelah lama merenung, akhirnya ia berjanji bila besok masih mendengar suara itu, maka ia akan menaiki bukit itu.

Keesokan harinya ia kembali melewati bukit itu dan ia kembali mendengar suara perempuan menyanyi. Dengan cepat Bujang Tuo menepikan rakitnya dan menaiki bukit mencari sumber suara itu. Suara itu semakin jelas didengarnya. Perlahan Bujang Tuo mengintip dari balik daun-daun siapa gerangan yang sedang menyanyi itu. Ia melihat seorang perempuan sedang menangis tersedu-sedu duduk di atas batu. Ia yakin itu adalah manusia karena tak jauh dari sana ada kebun dan sebuah rumah.

Bujang Tuo mendekati perempuan itu dan mereka pun berkenalan. Akhirnya diketahuilah bahwa perempuan itu bernama Gadis. Ia tinggal dengan kedua orang tuanya. Hanya mereka yang tinggal di atas bukit itu. Usia Gadis sudah tidak muda lagi. Namun selama ini ia belum mau menikah karena masih asik dengan pekerjaan dan kebebasannya. Meskipun orang tuanya sudah berulang kali menanyakan perihal itu kepadanya. Sekarang setelah tidak muda lagi baru muncul keinginannya untuk menikah. itulah yang membuatnya bersedih sehingga sering menangis. Bujang Tuo merasa bahwa jalan hidup Gadis mirip dengan dirinya.

Semenjak saat itu, Bujang Tuo sering berkunjung ke sana. Ia merasa tertarik dengan Gadis, namun ia belum berani untuk mengungkapkannya. Ia masih ingin melihat-lihat terlebih dahulu. Bujang Tuo juga tidak menceritakan peristiwa itu kepada orang lain termasuk orang tuanya. Ia tak ingin mereka tahu sebelum ia mendapat kepastian akan hubungan mereka. Hingga pada suatu saat Bujang Tuo pun mengutarakan perasaannya kepada Gadis. Akan tetapi, Gadis masih ragu dengan keseriusan Bujang Tuo. Ia takut kalau-kalau Bujang Tuo hanya bermain-main apalagi ia belum begitu mengenal asal-usul Bujang Tuo. Akhirnya Bujang Tuo memberikan kesempatan kepada Gadis untuk memikirkannya beberapa waktu.

Sampailah pada masa yang telah disepakati untuk bertemu. Mereka duduk di tepi lubuk. Bujang Tuo ingin sekali mendengar jawaban Gadis. Di dalam hati ia berdoa agar Gadis berjodoh dengannya.

"Sampaikanlah buah renungmu, Gadis. Ingin aku segera mendengarnya."
"Abang, bimbang aku memutuskannya. Masih ada ragu di hati tentang keseriusan Abang. Namun, jika benar abang bersungguh-sungguh, kelak datanglah sebulan lagi untuk melamarku. Itulah bukti keseriusan abang."
Tanpa pikir panjang Bujang Tuo langsung menyanggupi permintaan Gadis. Ia bahagia dengan jawaban yang diberikan Gadis.

"Baiklah, jika itu pintamu aku menyanggupinya," jawab Bujang Tuo.
"Tapi, aku ingin abang berikrar setia dalam sumpah bahwa abang bersungguh-sungguh. Selama ini baru abang lelaki yang mampu menggerakkan hatiku. Aku tidak ingin semua ini hanya angan belaka. Niat baik sering banyak cobaannya, Bang."

Bujang Tuo terdiam sesaat. Ia mencoba memahami permintaan Gadis. Namun Bujang Tuo bingung seperti apa sumpah yang dapat memberikan keyakinan pada Gadis. Setelah terdiam beberapa saat akhirnya Bujang Tuo bicara juga.
"Baiklah. Untuk kesungguhan kita aku bersumpah akan menjadi buaya di lubuk ini seandainya kita tidak jadi menikah." gadis pun menerima sumpah yang diikrarkan BujangTuo. Ia memilih menjadi buaya di lubuk itu daripada harus menanggung malu karena batal menikah.

Hari berganti. Sebulan telah berlalu semenjak Bujang Tuo mengikrarkan sumpah. Pagi itu Gadis telah berada di tepi lubuk tempat dulu mereka berjanji. Gadis ingin lekas bertemu dengan Bujang Tuo yang akan datang melamarnya sesuai janjinya. Lama ia duduk, namun belum tampak juga olehnya Bujang Tuo. Sampai selepas tengah hari Bujang Tuo masih juga belum datang. Gadis mulai resah kalau-kalau Bujang Tuo tidak akan datang. Jika itu terjadi ia tak sanggup menanggung malu kepada orang tuanya.

Hari sudah mulai sore, namun Bujang Tuo belum juga menampakkan diri. Gadis menangis. Hancur hatinya Bujang Tuo belum juga datang. Dalam kesedihan dan keputusasaan itu keluarlah keluhannya.

"Mengapa ketika ada keinginanku untuk menikah setelah ada orang yang menggerakkan hatiku, semua menjadi begini? Tak sanggup aku menanggung malu. Jika memang ini nasibku, aku terima kutukan itu."

Setelah meratap seperti itu tiba-tiba terjadi perubahan pada Gadis. Secara perlahan mulai dari kakinya mundul sisik-sisik buaya. Lalu bentuk tubuhnya pun mulai berubah menjadi bentuk buaya. Namun semua berwarna putih. Pada saat kepalanya akan berubah menjadi kepala buaya, Bujang Tuo datang. Bujang Tuo sempat melihat kepala Gadis yang belum berubah menjadi buaya, namun terlambat. Ketika ia datang seluruh tubuh gadis telah berubah menjadi buaya. Bujang tuo menyesali keterlambatannya. Ia menangis tersedu-sedu. Dalam kesedihan itu ia pun berkata, "Mengapa ini yang terjadi. Setelah datang keinginanku untuk menikah, tapi tidak juga terkabul. Buruk sekali nasibku. Jika ini suratanku, aku teruma kutukan itu!" Akhirnya Bujang Tuo pun berubah menjadi seekor buaya putih.

Mereka sama-sama telah berubah menjadi buaya putih di sebuah lubuk di Batang Senamat. Kepala mereka akan terlihat apabila air di lubuk itu surut.

sumber :
http://yayasanlangit.blogspot.com
http://sayaindonesia.com/viewtopic.php?f=765&t=896&sid=681e6b8eca389fbb453b1796ac17f6bc
Read full post »

Gadis Berambut Panjang

0 comments
Gadis berambut panjang adalah cerita yang berasal dari Desa Air Liki, Dusun Renah Kepayang, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin. Cerita ini juga sudah berkembang di daerah lain di Kabupaten Merangin.

Bukti fisik berupa rambut panjang tersebut masih dapat ditemukan hingga sekarang. Rambut ini disimpan dan dirawat oleh Rosdiana, keturunan ke sembilan dari pemilik asli rambut panjang tersebut. Rambut itu sendiri sendiri memiliki panjang ±2.5 meter. Rambut panjang tersebut berbentuk jalinan dan besarnya ± dua jari orang dewasa. Pada bagian ujung rambut tersebut terbentuk sebuah rongga. Menurut ahli waris, rongga tersebut merupakan tempat bersarangnya seekor lipan putih penjaga Si Kusuk. Keunikan lain dari rambut tersebut ialah tidak diketahuinya bagian awal dan akhir jalinan rambut tersebut. Namun, bagian pangkal dan ujung rambut masih dapat diketahui. Bagi keturunan Si Kusuk, rambut tersebut juga dinamakan dengan Sarang Tampuo.

Pemilik rambut panjang tersebut bernama Si Kusuk. Ia berasal dari daerah Muaro Lolo, Kabupaten Kerinci. Ia adalah seorang perempuan yang unik. Selain berciri fisik seperti laki-laki, yakni bertubuh tinggi besar, Si Kusuk hanya mempunyai satu buah payudara yang terletak di bagian tengah dadanya. Rambut panjang Si Kusuk hanya tumbuh di bagian ubun-ubunnya. Sementara pada bagian kepala yang lain hanya ditumbuhi oleh rambut layaknya pada manusia biasa. Konon, rambut itulah sumber kesaktiannya. Rambut yang panjang tersebut digulung dan dikonde. Untuk penguncinya, tusuk konde, ia menggunakan sebuah pisau. Si Kusuk berangkat dari Muaro Lolo dengan membawa enam orang pengawal. Keenam pengawalnya tidak mengetahui bahwa Si Kusuk sebenarnya adalah seorang perempuan. Sebaliknya, mereka menyangka bahwa tuan mereka adalah seorang laki-laki. Sesampainya di Desa Air Liki, Si Kusuk memutuskan untuk berdiam di sana.

Pada malam harinya, Si Kusuk mengadakan pertemuan dengan keenam pengawalnya. Ia ingin mengetahu tingkatan usia mereka. Setelah diketahui, akhirnya Si Kusuk membeberkan jati dirinya yang sebenarnya. Setelah itu, ia menyampaikan niatnya untuk menikahi pengawalnya yang berusia paling tua. Dan mereka pun menikah.
Pada malam setelah pernikahan mereka sudah tidur bersama dalam satu kamar. Akan tetapi, pagi harinya diketahui ternyata suami Si Kusuk sudah meninggal dunia. Setelah dikuburkan, Si Kusuk menikah lagi dengan pengawalnya yang tersisa yang usianya paling tua di antara mereka. Akan tetapi, kejadian serupa suami yang pertama terjadi lagi. Suami ke dua Si Kusuk ditemukan meninggal pada pagi setelah hari pernikahan. Hal itu terus berulang hingga lima dari enam orang pengawal Si Kusuk telah meninggal setelah dinikahinya.
Sampailah akhirnya giliran pengawalnya yang terakhir. Akhirnya mereka pun menikah. Pengawal Si Kusuk yang terakhir ini sudah menyimpan kecurigaan tentang peristiwa kematian kelima kawan-kawannya yang sebelumnya dinikahi oleh Si Kusuk.
Pada malam hari setelah menikah, ia tidak langsung masuk ke kamar. Ia pura-pura bekerja menganyam, membuat lukah dari rotan. Ketika Si Kusuk sudah tidur, ia pun menuju kamar. Sesampai di dalam kamar, ia melihat ada seekor lipan putih yang menjalar di badan Si Kusuk. Ia pun segera mengambil kayu untuk membunuh lipan tersebut. Namun, sesaat sebelum dipukul Si Kusuk bangun dan langsung melarangnya membunuh lipan tersebut. Sebagai gantinya, Si Kusuk memberikan obat penawar apabila digigit oleh lipan tersebut. Atas permintaan Si Kusuk, suaminya tidak jadi membunuh lipan tersebut. Akhirnya, mereka pun berhasil memperoleh keturunan. Hingga suatu saat Si Kusuk merasa bahwa waktunya di dunia ini sudah berakhir, ia pun mengumpulkan anggota keluarganya dan menjelaskan perihal tersebut. Sebelum meninggal, ia memotong sendiri rambut yang panjang tersebut karena memang hanya dia yang bisa memotong rambut tersebut. Setelah rambut itu dipotong barulah ia meninggal dunia.
Setelah Si Kusuk meninggal, rambut sekaligus pisau yang digunakan sebagai penguncinya disimpan oleh keluarganya di dalam sebuah kotak dan diletakkan di bubungan bagian atas rumah. Setiap lebaran Idulfitri, keluarga Si Kusuk membersihkannya dengan cara dilimaukan, yaitu mencucinya dengan menggunakan beberapa jenis kembang yang dicampur dengan jeruk nipis.

Ada beberapa kejadian unik yang dialami oleh keturunan Si Kusuk sehubungan dengan rambut tersebut. Di dekat rumah mereka ada pohon durian yang hampir jatuh. Melihat kemiringannya, apabila pohon tersebut jatuh niscaya menimpa rumah mereka. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengeluarkan seluruh isi rumah agar tidak hancur tertipa runtuhan pohohn. Namun, rambut panjang tetap ditinggalkan di rumah tersebut. Alasan mereka meninggalkan rambut tersebut adalah sebagai sebuah pengujian apakah rambut tersebut juga memiliki kesaktian meskipun pemiliknya sudah meninggal. Ternyata memang muncul sebuah keanehan, pohon durian yang semula dipastikan bakal menimpa rumah tersebut ternyata jatuhnya tidak mengenai rumah tersebut. Keanehan lain dari rambut tersebut adalah ketika rambut tersebut dipamerkan dalam ajang pameran di Kota Jambi. Ternyata kakak Pak Said, seorang keturunan Si Kusuk, orang yang membawa rambut tersebut, jatuh sakit dan akhirnya meninggal dengan penyakit yang tidak diketahui. Menurut Pak Said, korban meninggal dengan kondisi seluruh tubuh membengkak. Sementara itu, orang yang satu lagi mengalami kelainan jiwa, namun akhirnya berhasil diobati oleh paranormal.paranormal tersebut mengatakan bahwa penyebab keadaan orang tersebut adalah akibat membawa untuk memamerkan rambut tersebut tanpa disetujui secara ikhlas oleh seluruh keturunan Si Kusuk.
Pisau yang digunakan sebagai pasak rambut panjang itu juga memiliki keanehan. Pernah suatu kali pisau tersebut dijual oleh salah seorang anggota keluarga. Namun, tidak berapa lama pisau tersebut sudah ditemukan kembali di dalam peti tempat rambut panjang itu disimpan. Keanehan lain adalah pada saat seorang lagi keturunan Si Kusuk tertarik untuk memakai pisau tersebut. Maka ia membuatkan sarung untuk pisau tersebut lengkap dengan kopelnya untuk dililitkan di pinggang. Namun, tidak berapa lama setelah pisau itu dibawa, bagian pinggang orang tersebut terkena penyakit semacam koreng yang menyebabkan ia meninggal dunia. Keanehan ketiga yang mereka alami sehubungan dengan pisau tersebut adalah saat Pak Said mengantarkan kakaknya menemui penghulu kampung. Kakaknya tersebut sedang berada dalam masalah karena telah melarikan anak gadis orang untuk diajak menikah sehingga keluarga dan kerabat gadis tersebut berniat mencari dan mencelakakan kakaknya. Namun, Pak Said memberanikan diri membantu kakaknya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebelum berangkat ia tidak lupa membawa pisau tersebut. Selama diperjalanan, ternyata mereka tidak berhasil ditemukan oleh orang yang mencari kakaknya dan meskipun jalan yang mereka lalui banyak terdapat serangga, namun mereka tidak digigit oleh seekor serangga pun.

sumber :
http://yayasanlangit.blogspot.com
http://sayaindonesia.com/viewtopic.php?f=765&t=897&sid=681e6b8eca389fbb453b1796ac17f6bc
Read full post »

Pati Enggang dan Rio Brani

0 comments
Cerita rakyat dari daerah Kerinci, Jambi

Gadih Kincai (Gadis Kerinci)
Pati Enggang adalah cucu nenek orang Selampaung.Sedangkan Rio Brani adalah cucu nenek Sigindo Sakti,menetap di Lempur Tengah, setelah pindah dari Genah padang buku.
Hubungan antara Patih Enggang dan Rio Brani adalah sebagai teman mengembara atau berburu didalam hutan.mereka mengantungkan hidup pada hasil berburu kijang dan rusa.

Sedang Patih Enggang adalah orang yang berkuasa di Selampaung dibawah kekuasaan Rencong Telang Pulau Sangkar.Patih adalah gelar kebesaranya dalam memimpin.

Gelar Rio juga gelar kebesaran.Pada waktu itu orang Lempur tidak diperkenankan memakai gelar Depati oleh orang Pulau Sangkar.

Sebab.Orang Genah Padang Buku adalah pendatang baru.Kekuasaanya,berada di Pulau Sangkar. Mereka wajib tunduk pada kekuasaan Pulau Sangkar.

Diceritakan, Rio Brani adalah orang tangguh.Masuk dan keluar hutan seorang diri.Karena itu pula dinamai Rio Brani.Karena keberanianya luar biasa.

Hubungan baik Patih Enggang dan Rio Brani. Kala mereka berburu dalam hutan.Ketika hendak mau pulang dari berburu.Pada sebuah danau.Kala turun dari Ujung danau,kawasan Saluk wi,danau duo.Karena pertemuan dua orang ini.maka sekarang terkenal dengan nama objek wisata danau duo.

K esepakatan mereka bangun.bahwa danau ini adalah milik mereka berdua.Milik orang lempur juga milik orang Selampaung.

Pada saat istirahat dipenghujung pingiran Danau,kawasan saluk wi.Mereka mengarahkan pandangan pada kawasan sekitarnya.terutama pada kawasan batu belang dikaki Gunung Batuah. Alangkah kaget. Mereka melihat seorang gadis cantik,rupawan, sedang mandi dipenghujung kawasan Batu Belang.Mereka kaget dan heran.

“ Apa yang kau lihat patih” Kata Rio Brani.” Itu, ada seorang gadis cantik sedang mandi di sebelah ujung

Danau ini”ujarnya.” Kalau,memang benar,bagaimana kalau kita taruhan”Imbuh patih.”Taruhan bagaimana”” Siapa yang berani menangkap gadis itu.ialah jadi suaminya”” ok.

Setelah mereka sepakat.Mulai mereka menangkap gadis itu dari permukaan air dengan menyelam pada kedalaman Danau duo.

Kesepakat memilih patih enggang Enggang yang pertama memulainya,dengan cara menyelam.Namun sayang .Pada pertengahan danau,Patih enggang kehabisan nafas,hingga mundur kembali kebelakang.

“ Maaf sobat.Aku tidak bisa.Nafasku tidak sampai untuk mencapai pada tempat gadis itu.Aku mengaku kalah dan mundur.Sekarang giliranmu” Kata Patih Enggang dengan sikap kesatria.

iliran Rio.Ia berhasil menangkap gadis itu, dengan menyelam pada danau duo.Tepatnya menyembul pada permukaan air dan berhasil menangkap gadis cantik rupawan itu.

” Apakah maksud menangkap saya,apa salah saya, kami punya adat, tidak dibenarkan laki-laki memegang perempuan yang bukan isterinya”Kata Cewek cantik ini.

“ Kalau saudari tidak keberataan,Saya ingin jadi suami saudari” Kata Rio Brani. Kemudian Rio Bertanya panjang lebar

“ Saudari dari mana”

“ kami dari golongan jin (dewa)

“ Desa kami dipuncak Gunung Batuah”

“ kedua orang tua saya ada disana”

Rio brani mengarahkan pandangan pada puncak Gunung Batuah.dari kejauhan terlihat jalan berliku dan berkelok penuh keindahan.Kemudian.Rio brani dengan suara lantang memanggil patih Enggang, yang masih berada dipenghujung danau duo. untuk bersamanya.
“ Sampaikan pada orang kampung Ujung Tanjung, bahwa saya tidak pulang kekampung halaman lagi, karena saya hendak menikah dan tingal di Gunung Batuah.Tolong berikan pula tombak pusaka ini sebagai bukti cinta negeri dan anjing berburu saya bawa ke Gunung Batuah sebagai teman ” kata Rio Brani pada Patih Enggang setelah berada didekatnya.

“ Kalau begitu,akan saya sampaikan pesan saudara pada orang kampung””Terima kasih,kami akan segera berangkat sobat”

Rio Brani berangkat ke Gunung Batuah dengan gadis dewa jin.dan patih Engang pulang kekampung di Selampaung.

Setelah perkawinan mereka. Sepuluh tahun kemudian memperoleh anak, bernama, Wali Bujang. Kemudian,ia membawa anaknya ke dusun Ujung Tanjung.Setelah wali Bujang dewasa dinikahkan dengan (dewi) Jin dari Gunung Bujang.



Sumber :
http://jonmisteri-kerinci.blogspot.com
Read full post »
 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger