Saturday, March 17, 2012

Lubuk Bujang Gadis

Dahulu kala hiduplah seorang bujang yang digelari oleh masyarakat dengan Bujang Tuo. Gelar itu dilekatkan kepadanya karena usianya yang sudah tidak muda lagi, namun ia tak kunjung menikah. bujang Tuo cukup gagah, apalagi ia memiliki tubuh yang kekar. Bujang Tuo tinggal di desa Senamat Ulu. Desa itu terletak di hulu batang Senamat. Penduduk desa Senamat Ulu tidak terlalu banyak. Mereka hidup dengan mencari ikan di Batang Senamat dan sebagian ada yang bercocok tanam.

Orang tua Bujang Tuo sebenarnya sudah lama menyinggung soal pernikahan kepadanya, namun ia tidak begitu menanggapinya. Bagi Bujang Tuo jodoh ada di tangan Sang Pencipta. Bujang Tuo adalah anak yang suka bekerja. Hal ini yang membuatnya tidak begitu terbebani dengan keinginan untuk menikah.
Untuk kesekian kalinya bertanyalah ibu Bujang Tuo kepadanya, "Kapan lagi kau nak menikah, Bujang, sudah rindu rasanya kami nak menimang cucu."
"Sudahlah, Mak, biar Tuhan yang berkehendak. Aku pun hendak, namun tak mungkin bila tiada rasa," jawab Bujang Tuo.
"Tapi, bagaimana dengan orang kampung. Rasanya sakit telinga Mak mendengar gunjingan mereka."
"Sabarlah, Mak. Aku pun begitu."

Bujang Tuo pamit kepada orang tuanya untuk berjalan-jalan menenangkan pikiran. Iba hati orang tuanya melihat nasib anak satu-satunya itu. Mereka tahu bahwa Bujang Tuo lebih tertekan dengan sindiran penduduk kampung, namun mereka tak dapat berbuat banyak. Mereka hanya dapat berdoa agar Bujang Tuo segera mendapatkan jodoh dan menikah.

Bujang Tuo pergi ke Batang Senamat. Dilepasnya pautan rakitnya dan ia mulai menyusuri Batang Senamat. Gundah juga hatinya memikirkan persoalan itu. Sebetulnya ia juga ingin untuk menikah, namun ia tidak mau menikah dengan gadis yang tidak disukainya. Selama ini Batang Senamat merupakan tempat pelarian keluh kesahnya. Hamparan hutan dan bukit di kiri kanan Batang Senamat seolah memberikan ketenangan kepadanya. Ia sering berlayar jauh untuk mengobati luka hatinya. Saat ini kata hatinya ingin pergi ke desa Senamat yang terletak di hilir Batang Senamat.

Dalam perjalanannya, Bujang Tuo sering bersenandung untuk menghibur diri. Ia begitu mengagumi kebesaran Tuhan yang telah menciptakan alam yang begitu indah, namun ia juga sering berkeluh kesah kepada Tuhan mengapa belum juga ada jodoh untuk dirinya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia mendengar suara perempuan menyanyi. Suara itu berasal dari bukit di sisi Batang Senamat. Namun suara itu tidak terdengar lagi ketika ia ingin menghentikan rakitnya. Ingin rasanya Bujang Tuo pergi ke sana, namun ia juga takut kalau itu hanya igauannya. Lama ia menunggu suara itu, namun tidak terdengar juga. Akhirnya Bujang Tuo melanjutkan perjalanannya. Namun ia masih memikirkan peristiwa tadi. Ia masih penasaran dengan suara itu.

Keesokan harinya ia kembali melewati tempat itu. Sesampai di sana ia kembali mendengar suara perempuan menyanyi, namun lebih mirip suara tangisan. Ketika Bujang Tuo akan menghentikan rakitnya suara itu kembali hilang. Bujang Tuo semakin penasaran. Namun ia masih belum berani untuk menaiki bukit tempat suara itu berasal. Ia takut kalau suara itu adalah miliki penunggu bukit itu. Bulu kuduknya berdiri dan ia kembali melanjutkan perjalanannya. Sesampai di rumah Bujang Tuo tak bisa tidur. Ia masih penasaran dengan peristiwa di Batang Senamat itu. Ingin rasanya ia pergi ke bukit itu, namun ia takut kalau itu bukan suara manusia melainkan penghuni bukit itu. Tetapi selama perjalanannya ke desa Senamat, baru hari itu ia mendengar suara perempuan menyanyi. Bujang Tuo semakin penasaran. Setelah lama merenung, akhirnya ia berjanji bila besok masih mendengar suara itu, maka ia akan menaiki bukit itu.

Keesokan harinya ia kembali melewati bukit itu dan ia kembali mendengar suara perempuan menyanyi. Dengan cepat Bujang Tuo menepikan rakitnya dan menaiki bukit mencari sumber suara itu. Suara itu semakin jelas didengarnya. Perlahan Bujang Tuo mengintip dari balik daun-daun siapa gerangan yang sedang menyanyi itu. Ia melihat seorang perempuan sedang menangis tersedu-sedu duduk di atas batu. Ia yakin itu adalah manusia karena tak jauh dari sana ada kebun dan sebuah rumah.

Bujang Tuo mendekati perempuan itu dan mereka pun berkenalan. Akhirnya diketahuilah bahwa perempuan itu bernama Gadis. Ia tinggal dengan kedua orang tuanya. Hanya mereka yang tinggal di atas bukit itu. Usia Gadis sudah tidak muda lagi. Namun selama ini ia belum mau menikah karena masih asik dengan pekerjaan dan kebebasannya. Meskipun orang tuanya sudah berulang kali menanyakan perihal itu kepadanya. Sekarang setelah tidak muda lagi baru muncul keinginannya untuk menikah. itulah yang membuatnya bersedih sehingga sering menangis. Bujang Tuo merasa bahwa jalan hidup Gadis mirip dengan dirinya.

Semenjak saat itu, Bujang Tuo sering berkunjung ke sana. Ia merasa tertarik dengan Gadis, namun ia belum berani untuk mengungkapkannya. Ia masih ingin melihat-lihat terlebih dahulu. Bujang Tuo juga tidak menceritakan peristiwa itu kepada orang lain termasuk orang tuanya. Ia tak ingin mereka tahu sebelum ia mendapat kepastian akan hubungan mereka. Hingga pada suatu saat Bujang Tuo pun mengutarakan perasaannya kepada Gadis. Akan tetapi, Gadis masih ragu dengan keseriusan Bujang Tuo. Ia takut kalau-kalau Bujang Tuo hanya bermain-main apalagi ia belum begitu mengenal asal-usul Bujang Tuo. Akhirnya Bujang Tuo memberikan kesempatan kepada Gadis untuk memikirkannya beberapa waktu.

Sampailah pada masa yang telah disepakati untuk bertemu. Mereka duduk di tepi lubuk. Bujang Tuo ingin sekali mendengar jawaban Gadis. Di dalam hati ia berdoa agar Gadis berjodoh dengannya.

"Sampaikanlah buah renungmu, Gadis. Ingin aku segera mendengarnya."
"Abang, bimbang aku memutuskannya. Masih ada ragu di hati tentang keseriusan Abang. Namun, jika benar abang bersungguh-sungguh, kelak datanglah sebulan lagi untuk melamarku. Itulah bukti keseriusan abang."
Tanpa pikir panjang Bujang Tuo langsung menyanggupi permintaan Gadis. Ia bahagia dengan jawaban yang diberikan Gadis.

"Baiklah, jika itu pintamu aku menyanggupinya," jawab Bujang Tuo.
"Tapi, aku ingin abang berikrar setia dalam sumpah bahwa abang bersungguh-sungguh. Selama ini baru abang lelaki yang mampu menggerakkan hatiku. Aku tidak ingin semua ini hanya angan belaka. Niat baik sering banyak cobaannya, Bang."

Bujang Tuo terdiam sesaat. Ia mencoba memahami permintaan Gadis. Namun Bujang Tuo bingung seperti apa sumpah yang dapat memberikan keyakinan pada Gadis. Setelah terdiam beberapa saat akhirnya Bujang Tuo bicara juga.
"Baiklah. Untuk kesungguhan kita aku bersumpah akan menjadi buaya di lubuk ini seandainya kita tidak jadi menikah." gadis pun menerima sumpah yang diikrarkan BujangTuo. Ia memilih menjadi buaya di lubuk itu daripada harus menanggung malu karena batal menikah.

Hari berganti. Sebulan telah berlalu semenjak Bujang Tuo mengikrarkan sumpah. Pagi itu Gadis telah berada di tepi lubuk tempat dulu mereka berjanji. Gadis ingin lekas bertemu dengan Bujang Tuo yang akan datang melamarnya sesuai janjinya. Lama ia duduk, namun belum tampak juga olehnya Bujang Tuo. Sampai selepas tengah hari Bujang Tuo masih juga belum datang. Gadis mulai resah kalau-kalau Bujang Tuo tidak akan datang. Jika itu terjadi ia tak sanggup menanggung malu kepada orang tuanya.

Hari sudah mulai sore, namun Bujang Tuo belum juga menampakkan diri. Gadis menangis. Hancur hatinya Bujang Tuo belum juga datang. Dalam kesedihan dan keputusasaan itu keluarlah keluhannya.

"Mengapa ketika ada keinginanku untuk menikah setelah ada orang yang menggerakkan hatiku, semua menjadi begini? Tak sanggup aku menanggung malu. Jika memang ini nasibku, aku terima kutukan itu."

Setelah meratap seperti itu tiba-tiba terjadi perubahan pada Gadis. Secara perlahan mulai dari kakinya mundul sisik-sisik buaya. Lalu bentuk tubuhnya pun mulai berubah menjadi bentuk buaya. Namun semua berwarna putih. Pada saat kepalanya akan berubah menjadi kepala buaya, Bujang Tuo datang. Bujang Tuo sempat melihat kepala Gadis yang belum berubah menjadi buaya, namun terlambat. Ketika ia datang seluruh tubuh gadis telah berubah menjadi buaya. Bujang tuo menyesali keterlambatannya. Ia menangis tersedu-sedu. Dalam kesedihan itu ia pun berkata, "Mengapa ini yang terjadi. Setelah datang keinginanku untuk menikah, tapi tidak juga terkabul. Buruk sekali nasibku. Jika ini suratanku, aku teruma kutukan itu!" Akhirnya Bujang Tuo pun berubah menjadi seekor buaya putih.

Mereka sama-sama telah berubah menjadi buaya putih di sebuah lubuk di Batang Senamat. Kepala mereka akan terlihat apabila air di lubuk itu surut.

sumber :
http://yayasanlangit.blogspot.com
http://sayaindonesia.com/viewtopic.php?f=765&t=896&sid=681e6b8eca389fbb453b1796ac17f6bc

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger