Pada zaman dahulu pada sebuah dusun di Kecamatan Pujut, tinggal sepasang suami-isteri dengan dua orang anak. Anak yang terbesar, seorang perempuan bernama Tempiq-Empiq, sedang adiknya masih kecil. Mata pencaharian keluarga ini hanya mencari kayu bakar di hutan yang letaknya tidak jauh dari pondok mereka. Setiap hari Amaq (ayah) Tempiq-Empiq pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, dan setelah kembali lalu menukarnya dengan kebutuhan pokok lainnya.
Setiap hari ketika Amaq Tempiq-Empiq akan pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, ia berpesan pada isterinya, “Inaq (ibu) Tempiq-Empiq, kalau nasi sudah masak, tinggalkan aku keraknya. Akan kumakan setelah kembali dari hutan.”
Inaq Tempiq-Empiq pernah memberitahu suaminya bahwa anak-anak mereka, terutama si Tempiq-Empiq, juga senang sekali memakan kerak. Karena itu ia menyarankan agar kerak nasi itu sebaiknya diberikan kepada anak-anak. Namun saran itu tak pernah diperhatikan oleh suaminya. Ia tetap menuntut supaya kerak itu harus disediakan untuknya sendiri.
Suatu hari ketika Amaq Tempiq-Empiq sedang asyik memakan kerak, Tempiq-Empiq datang mendekatinya sambil berkata, “Ayah, sebaiknya kerak ini dibagi saja. Untuk saya sebagian dan untuk ayah sebagian. Sejak beberapa hari yang lalu saya ingin sekali memakan kerak. Bagaimana ayah?”
Amaq Tempiq-Empiq menjawab dengan enaknya, “Tempiq-Empiq anakku, sebaiknya kau minta kepada ibumu, pasti bagianmu ditinggalkan di dapur.”
Mendengar perkataan ayahnya itu, Tempiq-Empiq langsung berlari menuju dapur. Di dapur, Tempiq-Empiq lalu menyapa ibunya yang sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk mereka sekeluarga, “Ibu, aku sudah minta kepada ayah, agar kerak yang sedang dimakannya dibagi dua. Tetapi ayah mengatakan bagianku telah ibu sediakan di dapur. Betulkah demikian?”
Ibunya lalu menjawab sambil terus bekerja, “Tempiq-Empiq, kerak itu hanya sedikit. Mana bisa dibagi berdua. Biarlah ayahmu saja yang memakan kerak itu. Kamu boleh mengambil makanan yang lain. Tetapi kalau ingin benar, mintalah pada ayahmu di luar.”
Kembali Tempiq-Empiq berlari menuju ayahnya dan berkata, “Ayah, beri aku kerak itu. Ibu tidak menyediakan untuk aku.”
“Tempiq-Empiq, sudah kukatakan, tentang kerak itu mintalah pada ibumu,” jawab ayahnya
Kembali Tempiq-Empiq masuk ke dapur dan meminta kepada ibunya. Tetapi karena memang tidak ada kerak nasi di dapur, Tempiq-Empiq disuruh kembali lagi kepada ayahnya. Demikianlah, Tempiq-Empiq terus bolak-balik menemui ibu dan ayahnya, sehingga Amaq Tempiq-Empiq menjadi berang dan memasuki dapur sambil menghardik isterinya.
“Hai perempuan celaka, hanya soal kerak nasi saja kau tak dapat mengatasinya. Bosan aku mendengar Tempiq-Empiq terus merengek kepadaku. Di mana kepalamu, hai otak udang.”
Karena tidak mendapat jawaban, Amaq Tempiq-Empiq melanjutkan dengan penuh nafsu. “Kalau terus menerus begini, tidak berarti kau tinggal di rumah ini. Sebaiknya besok pagi kaulah yang pergi ke hutan mencari kayu bakar dan aku tinggal di rumah mengurus anak-anak.”
Sambil berjalan mondar-mandir di dapur, Amaq Tempiq-Empiq melanjutkan amarahnya. “Hai perempuan dungu, pasanglah telingamu dan dengar kata-kataku. Besok pagi pergilah ke hutan. Aku tinggal di rumah. Kamu sanggup? Cepat jawab!”
Inaq Tempiq-Empiq terdiam. Ia tidak mau meladeni suaminya yang sedang dikuasai setan. Ia terdiam sambil melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Melihat gelagat isterinya yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya itu, amarah Amaq Tempiq-Empiq semakin menjadi-jadi. “Cepat jawab. Kamu sanggup atau tidak? Kalau tidak sekarang juga terima bagianmu ini.”
Selesai berkata demikian, Amaq Tempiq-Empiq langsung mengambil sepotong kayu yang kebetulan berada di dekatnya. Kayu itu kemudian dipukulkan ke tubuh isterinya. Setelah puas berbuat demikian, Amaq Tempiq-Empiq masuk ke dalam rumah. Di sana ia mengunci dirinya dan tak mau memperdulikan semua yang terjadi di sekitarnya. Sedang Inaq Tempiq-Empiq masih tertinggal di dapur sambil menahan sakit dan menahan gejolak hati. Dalam hati ia berkata:
“Oh, hanya karena kerak nasi. Ya hanya kerak nasi menyebabkan badanku demikian sengsara. Apa lagi perkara yang lebih besar. Aku sudah tak berarti, apalagi berharga dalam keluarga ini. Aku akan pergi dari sini. Selamat tinggal anak-anak, ibu akan pergi jauh, dan mungkin tak akan kembali lagi.”
Setelah itu dengan dibarengi dengan denyutan hati dan duka nestapa, serta iringan pikiran yang kusut, Inaq Tempiq-Empiq segera meninggalkan rumahnya. Ia berjalan secepat-cepatnya, ia ingin segera pergi dari rumahnya. Ia berjalan tanpa tujuan yang pasti. Ia hanya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh mata kakinya saja. Tujuannya hanya satu, mencari satu tempat yang dapat membuat hatinya tenteram kembali. Setelah berjalan beberapa lama, jarak yang ditempuh sudah jauh sekali.
Saat Tempiq-Empiq mengetahui bahwa ibunya tak berada lagi di rumah, dengan cepat disambarnya adiknya yang masih kecil itu, lalu digendongnya dan berlari secepat-cepatnya menyusul ke arah ibunya berjalan. Tempiq-Empiq berlari terus sambil berteriak memanggil ibunya.
Manakala jarak mereka sudah makin dekat, berkatalah Tempiq-Empiq, “Ibu, kembalilah, lihatlah adikku terus menangis karena haus dan lapar. Kembalilah ibu.”
Mendengar teriakan anaknya yang demikian itu, Inaq Tempiq-Empiq lalu menjawab, “Oh, anakku, tidak usah kamu hiraukan aku lagi. Relakan ibu pergi mencari ketenangan. Segala kebutuhanmu, mintalah pada ayahmu. Pulanglah hai anakku.”
Mendengar jawaban ibunya itu, Tempiq-Empiq tidak menghiraukannya dan terus saja menyusul ibunya. Ia berjalan dan berlari tanpa mengenal lelah. Adiknya terus digendongnya, kendati ia menangis dengan tidak henti-hentinya.
“Ibu, tunggu ibu, ke mana ibu akan pergi? Dengarlah teriakan anakmu ini ibu. Tidakkah ibu mendengar tangis adikku?” teriak Tempiq-Empiq.
“Anakku, ibu mendengar semua kata-katamu. Ibu tahu dan merasakan apa yang kamu rasakan. Namun apa pun yang akan terjadi, ibu tak akan kembali,” teriak ibunya.
“Tidak ibu. Ibu harus kembali bersama kami sekarang juga. Dengarlah bu, tangis adikku, dia sudah lapar dan haus,” teriak Tempiq-Empiq dari kejauhan.
Walaupun Tempiq-Empiq memanggil dengan berteriak sekeras-kerasnya, ibunya tetap berjalan dan jarak yang memisahkan mereka pun menjadi jauh lagi. Walau demikian, Tempiq-Empiq tidak berputus asa. Ia akan tetap menyusul ibunya. Ia sangat kasihan kepada adiknya, yang senantiasa menangis karena kehausan dan kelaparan.
Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya Inaq Tempiq-Empiq tiba di sebuah pantai. Pantai itu merupakan sebuah tanjung yang hanya terdiri dari batu-batu besar dan kecil. Dengan susunan yang demikian, tanjung itu kelihatan indah sekali. Pada suatu bagian dari susunan batu itu ada sebuah tempat yang menyerupai sebuah goa. Susunan batu seperti gua itu mempunyai bagian-bagian yang terdiri dari lubang-lubang yang seolah-olah merupakan sebuah serambi dan di bagian lain ada kamar tidur. Karena tidak tahu kemana lagi harus melanjutkan perjalanan, akhirnya Inaq Tempiq-Empiq beristirahat di dalam gua itu.
Keesokan harinya, Tempiq-Empiq yang selama ini tetap menggendong adiknya, akhirnya sampai juga di tempat itu. Di depan pintu gua itu mereka berjumpa dan berkumpul lagi seperti sedia kala. Anak yang masih kecil itu lalu diambil oleh ibunya dan langsung diberi minum air susunya.
Dalam keadaan menyusui anaknya itu, Inaq Temiq-Empiq berkata, “Tempiq-Empiq anakku, sebenarnya sejak ibu meninggalkan rumah, segala keperluan hidupmu sudah menjadi tanggung jawab ayahmu. Ayahmu tidak membutuhkan kehadiran ibu di rumah itu lagi. Itulah sebabnya dengan sangat terpaksa ibu meninggalkan kamu berdua, walau cinta kasihku kepadamu tidak dapat diukur dengan apa pun juga. Namun apa pun yang terjadi, terimalah dengan sepenuh hati, dan tawakal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Setelah berkata demikian Inaq Tempiq-Empiq yang sedang menyusui anaknya itu menyuruh Tempiq-Empiq mengambil tempat sirihnya di dalam gua. “Tempiq-Empiq, coba kamu ambilkan tempat sirih ibu di dalam.”
“Ah, aku tidak berani masuk gua batu itu, ibu. Aku takut. Gelap sekali di dalam,” jawab Tempiq-Empiq.
“Masuk saja, tidak ada apa-apa. Jangan takut,” kata ibunya.
“Ibu sajalah yang mengambilnya. Aku tetap tidak berani,” jawab Tempiq-Empiq.
Kemudian ibunya memberikan adiknya yang sudah puas menyusu kepada Tempiq-Empiq. Di tangan bayi itu ada sebutir telur yang sengaja dibawa oleh ibunya dari rumah. Telur itulah yang selalu dipegang oleh adiknya dan tidak pernah dilepaskan. Tempiq-Empiq menerima adiknya dari tangan ibunya, lalu dipangkunya dengan mesra sekali. Setelah itu ibunya bangkit, dan kemudian masuk ke dalam gua. Setelah Inaq Tempiq-Empiq berada di dalam, pintu gua yang terdiri dari batu itu tiba-tiba merapat. Inaq Tempiq-Empiq terperangkap di dalam gua itu.
Melihat kejadian itu, Tempiq-Empiq yang masih berada di serambi gua merangkul adiknya erat-erat dan berteriak sekeras-kerasnya, “Ibu, ke mana lagi ibu akan pergi? Bagaimana ibu akan keluar dari dalam gua batu itu? Ibu, ibu, ibu!”
Kemudian Tempiq-Empiq mendengar suatu suara, “Anakku, tidak ada gunanya kau mencari ibu lagi. Ibu telah sampai pada tempat yang ibu inginkan. Lebih baik pulanglah.”
Tidak berapa lama kemudian, Tempiq-Empiq mendengar suara lagi.
“Tempiq-Empiq anakku, bila besok atau lusa, mungkin bulan depan atau pada masa-masa selanjutnya kau dan seluruh anak cucuku berkeinginan untuk menjenguk aku di tempat ini, atau ada yang ingin memberi makan untukku, taruhlah makanan itu pada celah-celah batu ini. Aku akan sangat berterima kasih. Selain itu perhatikanlah anakku. Bila nanti aku mengeluarkan suatu suara dari tempat ini, maka itulah suatu pertanda akan datangnya musim hujan, yang membawa kemakmuran atau mungkin juga suatu tanda akan datangnya wabah penyakit bagi binatang-binatang ternak atau mungkin juga bagi manusia.”
Setelah mendengar wasiat ibunya itu akhirnya Tempiq-Empiq pun pulang ke rumah ayahnya. Perjalanan pulang itu bagi Tempiq-Empiq merupakan perjalanan yang penuh dengan tetesan air mata karena berpisah dengan ibunya melalui suatu peristiwa yang sangat menyedihkan. Setelah berjalan beberapa hari, telur yang selama ini selalu dalam genggaman adiknya, tiba-tiba menetas menjadi seekor ayam. Kehadiran anak ayam ini ternyata dapat menghibur adiknya yang selalu menangis. Dengan mengalami bermacam-macam kesulitan, akhirnya tiba juga Tempiq-Empiq bersama adiknya di rumah.
Setelah sampai di rumah, Tempiq-Empiq menjadi terkejut karena bapaknya telah kawin lagi dengan seorang janda yang bernama Inaq Teriung Riung. Janda itu telah mempunyai seorang anak.
Ketika melihat anak-anaknya pulang, ayahnya pun berkata, “Tempiq-Empiq, ke mana saja kau selama ini?”
“Aku pergi menyusul ibu,” jawab Tempiq-Empiq.
“Di mana ibumu sekarang?” tanya bapaknya.
“Ayah, kita tak mungkin lagi berjumpa dengan ibu. Ibu telah pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya,” jawab Tempiq-Empiq.
“Ayam siapakah yang kau bawa itu?” tanya ayahnya.
Lalu Tempiq-Empiq menceritakan asal-usul ayam jantan yang dibawanya.
“Coba kulihat. Bagus benar ayammu. Aku bermaksud untuk mengadu ayam ini besok pagi. Karena ayam serupa ini jarang kalah dan sulit mencari tandingannya. Lihatlah ciri-ciri ayam ini. Serawah, sekedar, sangkut, sandah samar1. Hebat bukan?”
Memang Amaq Tempiq-Empiq mempunyai kegemaran mengadu ayam. Tidak heran ketika melihat ayam yang dibawa anaknya itu, perhatiannya hanya tertuju pada si ayam. Sehingga hampir-hampir ia tak mendengar segala cerita anaknya.
Keesokan harinya Amaq Tempiq-Empiq ke gelanggang aduan ayam. Setiba di tempat itu ia segera mencari tandingan untuk ayamnya. Pada hari itu ayamnya menang dan tanpa cedera sedikit pun. Demikian juga berturut-turut beberapa hari kemudian. Betapa senang hati Amaq Tempiq-Empiq tak dapat diceritakan lagi, sehingga ia lupa memperhatikan kedua anaknya. Ia hanya asyik menghitung kemenangannya dalam perjudian. Kadang-kadang ia menanyakan apakah kedua anaknya sudah makan. Pertanyaan itu selalu dijawab dengan kata sudah oleh oleh isterinya. Dalam kenyataannya kedua anak itu selalu diabaikan. Makanan yang diterimanya tak pernah memadai. Kedua anak tersebut sangat menderita lahir batin. Itulah sebabnya sehari-harian Tempiq-Empiq dan adiknya selalu berada di luar rumah. Mereka sering bermain-main di bawah sebatang pohon ara, sambil menunggu barangkali ada buah yang jatuh.
Pada suatu hari ketika Amaq Tempiq-Empiq lewat di bawah pohon ara itu, ia mendengar nyanyian seorang anak, yang disambung dengan suara lain. Beberapa kali ia memperhatikan dengan teliti, tetapi nyanyian anak itu tetap saja berulang.
“Oh, betapa manisnya buah ara ini, sedang bagiku, nasi adalah barang yang pahit. Klek, Klek, Kuwo,” begitu bunyi nyanyiannya.
Didorong oleh keinginan yang besar untuk mengetahui siapa yang menyanyikannya Amaq Tempiq-Empiq memandang dengan cermat ke atas pohon itu. Saat ia mengamati, ia amat terkejut ketika melihat kedua anaknya berada di atas ranting pohon itu. Dan ia lebih terkejut lagi, ketika melihat dengan nyata bahwa kedua anaknya memiliki sepasang sayap. Kini jelaslah baginya, bahwa yang menyanyi tadi adalah kedua anak itu. Melihat kedua anak itu menjelma menjadi burung, Amaq Tempiq-Empiq menjadi kalap. Ia kini yakin, tidak ada orang lain yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini, selain dari isterinya sendiri. Akibat kekejaman dan perlakuan ibu tirinya itulah maka kedua anaknya itu berubah menjadi burung.
Setelah tiba di rumah, ia mengamuk sejadi-jadinya, kemudian mengusir isterinya. Tetapi karena anak dari isteri keduanya tak ada yang merawat, maka beberapa hari kemudian Inaq Teriung Riung disuruh pulang kembali. Singkat cerita, mereka kemudian hidup rukun kembali.
Namun dalam hati Amaq Tempiq-Empiq masih merasa sedih karena kehilangan isteri pertama dan anak-anaknya. Suatu saat ia ingat akan pesan isterinya yang disampaikan oleh Tempiq-Empiq. Karena itu ia berkunjung ke Tanjung Salaen, tempat isterinya lenyap ditelan gua batu sambil membawa sesajian untuk isterinya.
Sumber:
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1 Serawah = putih. Sekedas = putih pada kaki. Sangkur = tidak berekor panjang. Sadah samar = tengkuk ayam yang berbulu agak berdiri seperti bulu tengkuk (kepala) burung kakak tua.
Setiap hari ketika Amaq Tempiq-Empiq akan pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, ia berpesan pada isterinya, “Inaq (ibu) Tempiq-Empiq, kalau nasi sudah masak, tinggalkan aku keraknya. Akan kumakan setelah kembali dari hutan.”
Inaq Tempiq-Empiq pernah memberitahu suaminya bahwa anak-anak mereka, terutama si Tempiq-Empiq, juga senang sekali memakan kerak. Karena itu ia menyarankan agar kerak nasi itu sebaiknya diberikan kepada anak-anak. Namun saran itu tak pernah diperhatikan oleh suaminya. Ia tetap menuntut supaya kerak itu harus disediakan untuknya sendiri.
Suatu hari ketika Amaq Tempiq-Empiq sedang asyik memakan kerak, Tempiq-Empiq datang mendekatinya sambil berkata, “Ayah, sebaiknya kerak ini dibagi saja. Untuk saya sebagian dan untuk ayah sebagian. Sejak beberapa hari yang lalu saya ingin sekali memakan kerak. Bagaimana ayah?”
Amaq Tempiq-Empiq menjawab dengan enaknya, “Tempiq-Empiq anakku, sebaiknya kau minta kepada ibumu, pasti bagianmu ditinggalkan di dapur.”
Mendengar perkataan ayahnya itu, Tempiq-Empiq langsung berlari menuju dapur. Di dapur, Tempiq-Empiq lalu menyapa ibunya yang sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk mereka sekeluarga, “Ibu, aku sudah minta kepada ayah, agar kerak yang sedang dimakannya dibagi dua. Tetapi ayah mengatakan bagianku telah ibu sediakan di dapur. Betulkah demikian?”
Ibunya lalu menjawab sambil terus bekerja, “Tempiq-Empiq, kerak itu hanya sedikit. Mana bisa dibagi berdua. Biarlah ayahmu saja yang memakan kerak itu. Kamu boleh mengambil makanan yang lain. Tetapi kalau ingin benar, mintalah pada ayahmu di luar.”
Kembali Tempiq-Empiq berlari menuju ayahnya dan berkata, “Ayah, beri aku kerak itu. Ibu tidak menyediakan untuk aku.”
“Tempiq-Empiq, sudah kukatakan, tentang kerak itu mintalah pada ibumu,” jawab ayahnya
Kembali Tempiq-Empiq masuk ke dapur dan meminta kepada ibunya. Tetapi karena memang tidak ada kerak nasi di dapur, Tempiq-Empiq disuruh kembali lagi kepada ayahnya. Demikianlah, Tempiq-Empiq terus bolak-balik menemui ibu dan ayahnya, sehingga Amaq Tempiq-Empiq menjadi berang dan memasuki dapur sambil menghardik isterinya.
“Hai perempuan celaka, hanya soal kerak nasi saja kau tak dapat mengatasinya. Bosan aku mendengar Tempiq-Empiq terus merengek kepadaku. Di mana kepalamu, hai otak udang.”
Karena tidak mendapat jawaban, Amaq Tempiq-Empiq melanjutkan dengan penuh nafsu. “Kalau terus menerus begini, tidak berarti kau tinggal di rumah ini. Sebaiknya besok pagi kaulah yang pergi ke hutan mencari kayu bakar dan aku tinggal di rumah mengurus anak-anak.”
Sambil berjalan mondar-mandir di dapur, Amaq Tempiq-Empiq melanjutkan amarahnya. “Hai perempuan dungu, pasanglah telingamu dan dengar kata-kataku. Besok pagi pergilah ke hutan. Aku tinggal di rumah. Kamu sanggup? Cepat jawab!”
Inaq Tempiq-Empiq terdiam. Ia tidak mau meladeni suaminya yang sedang dikuasai setan. Ia terdiam sambil melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Melihat gelagat isterinya yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya itu, amarah Amaq Tempiq-Empiq semakin menjadi-jadi. “Cepat jawab. Kamu sanggup atau tidak? Kalau tidak sekarang juga terima bagianmu ini.”
Selesai berkata demikian, Amaq Tempiq-Empiq langsung mengambil sepotong kayu yang kebetulan berada di dekatnya. Kayu itu kemudian dipukulkan ke tubuh isterinya. Setelah puas berbuat demikian, Amaq Tempiq-Empiq masuk ke dalam rumah. Di sana ia mengunci dirinya dan tak mau memperdulikan semua yang terjadi di sekitarnya. Sedang Inaq Tempiq-Empiq masih tertinggal di dapur sambil menahan sakit dan menahan gejolak hati. Dalam hati ia berkata:
“Oh, hanya karena kerak nasi. Ya hanya kerak nasi menyebabkan badanku demikian sengsara. Apa lagi perkara yang lebih besar. Aku sudah tak berarti, apalagi berharga dalam keluarga ini. Aku akan pergi dari sini. Selamat tinggal anak-anak, ibu akan pergi jauh, dan mungkin tak akan kembali lagi.”
Setelah itu dengan dibarengi dengan denyutan hati dan duka nestapa, serta iringan pikiran yang kusut, Inaq Tempiq-Empiq segera meninggalkan rumahnya. Ia berjalan secepat-cepatnya, ia ingin segera pergi dari rumahnya. Ia berjalan tanpa tujuan yang pasti. Ia hanya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh mata kakinya saja. Tujuannya hanya satu, mencari satu tempat yang dapat membuat hatinya tenteram kembali. Setelah berjalan beberapa lama, jarak yang ditempuh sudah jauh sekali.
Saat Tempiq-Empiq mengetahui bahwa ibunya tak berada lagi di rumah, dengan cepat disambarnya adiknya yang masih kecil itu, lalu digendongnya dan berlari secepat-cepatnya menyusul ke arah ibunya berjalan. Tempiq-Empiq berlari terus sambil berteriak memanggil ibunya.
Manakala jarak mereka sudah makin dekat, berkatalah Tempiq-Empiq, “Ibu, kembalilah, lihatlah adikku terus menangis karena haus dan lapar. Kembalilah ibu.”
Mendengar teriakan anaknya yang demikian itu, Inaq Tempiq-Empiq lalu menjawab, “Oh, anakku, tidak usah kamu hiraukan aku lagi. Relakan ibu pergi mencari ketenangan. Segala kebutuhanmu, mintalah pada ayahmu. Pulanglah hai anakku.”
Mendengar jawaban ibunya itu, Tempiq-Empiq tidak menghiraukannya dan terus saja menyusul ibunya. Ia berjalan dan berlari tanpa mengenal lelah. Adiknya terus digendongnya, kendati ia menangis dengan tidak henti-hentinya.
“Ibu, tunggu ibu, ke mana ibu akan pergi? Dengarlah teriakan anakmu ini ibu. Tidakkah ibu mendengar tangis adikku?” teriak Tempiq-Empiq.
“Anakku, ibu mendengar semua kata-katamu. Ibu tahu dan merasakan apa yang kamu rasakan. Namun apa pun yang akan terjadi, ibu tak akan kembali,” teriak ibunya.
“Tidak ibu. Ibu harus kembali bersama kami sekarang juga. Dengarlah bu, tangis adikku, dia sudah lapar dan haus,” teriak Tempiq-Empiq dari kejauhan.
Walaupun Tempiq-Empiq memanggil dengan berteriak sekeras-kerasnya, ibunya tetap berjalan dan jarak yang memisahkan mereka pun menjadi jauh lagi. Walau demikian, Tempiq-Empiq tidak berputus asa. Ia akan tetap menyusul ibunya. Ia sangat kasihan kepada adiknya, yang senantiasa menangis karena kehausan dan kelaparan.
Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya Inaq Tempiq-Empiq tiba di sebuah pantai. Pantai itu merupakan sebuah tanjung yang hanya terdiri dari batu-batu besar dan kecil. Dengan susunan yang demikian, tanjung itu kelihatan indah sekali. Pada suatu bagian dari susunan batu itu ada sebuah tempat yang menyerupai sebuah goa. Susunan batu seperti gua itu mempunyai bagian-bagian yang terdiri dari lubang-lubang yang seolah-olah merupakan sebuah serambi dan di bagian lain ada kamar tidur. Karena tidak tahu kemana lagi harus melanjutkan perjalanan, akhirnya Inaq Tempiq-Empiq beristirahat di dalam gua itu.
Keesokan harinya, Tempiq-Empiq yang selama ini tetap menggendong adiknya, akhirnya sampai juga di tempat itu. Di depan pintu gua itu mereka berjumpa dan berkumpul lagi seperti sedia kala. Anak yang masih kecil itu lalu diambil oleh ibunya dan langsung diberi minum air susunya.
Dalam keadaan menyusui anaknya itu, Inaq Temiq-Empiq berkata, “Tempiq-Empiq anakku, sebenarnya sejak ibu meninggalkan rumah, segala keperluan hidupmu sudah menjadi tanggung jawab ayahmu. Ayahmu tidak membutuhkan kehadiran ibu di rumah itu lagi. Itulah sebabnya dengan sangat terpaksa ibu meninggalkan kamu berdua, walau cinta kasihku kepadamu tidak dapat diukur dengan apa pun juga. Namun apa pun yang terjadi, terimalah dengan sepenuh hati, dan tawakal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Setelah berkata demikian Inaq Tempiq-Empiq yang sedang menyusui anaknya itu menyuruh Tempiq-Empiq mengambil tempat sirihnya di dalam gua. “Tempiq-Empiq, coba kamu ambilkan tempat sirih ibu di dalam.”
“Ah, aku tidak berani masuk gua batu itu, ibu. Aku takut. Gelap sekali di dalam,” jawab Tempiq-Empiq.
“Masuk saja, tidak ada apa-apa. Jangan takut,” kata ibunya.
“Ibu sajalah yang mengambilnya. Aku tetap tidak berani,” jawab Tempiq-Empiq.
Kemudian ibunya memberikan adiknya yang sudah puas menyusu kepada Tempiq-Empiq. Di tangan bayi itu ada sebutir telur yang sengaja dibawa oleh ibunya dari rumah. Telur itulah yang selalu dipegang oleh adiknya dan tidak pernah dilepaskan. Tempiq-Empiq menerima adiknya dari tangan ibunya, lalu dipangkunya dengan mesra sekali. Setelah itu ibunya bangkit, dan kemudian masuk ke dalam gua. Setelah Inaq Tempiq-Empiq berada di dalam, pintu gua yang terdiri dari batu itu tiba-tiba merapat. Inaq Tempiq-Empiq terperangkap di dalam gua itu.
Melihat kejadian itu, Tempiq-Empiq yang masih berada di serambi gua merangkul adiknya erat-erat dan berteriak sekeras-kerasnya, “Ibu, ke mana lagi ibu akan pergi? Bagaimana ibu akan keluar dari dalam gua batu itu? Ibu, ibu, ibu!”
Kemudian Tempiq-Empiq mendengar suatu suara, “Anakku, tidak ada gunanya kau mencari ibu lagi. Ibu telah sampai pada tempat yang ibu inginkan. Lebih baik pulanglah.”
Tidak berapa lama kemudian, Tempiq-Empiq mendengar suara lagi.
“Tempiq-Empiq anakku, bila besok atau lusa, mungkin bulan depan atau pada masa-masa selanjutnya kau dan seluruh anak cucuku berkeinginan untuk menjenguk aku di tempat ini, atau ada yang ingin memberi makan untukku, taruhlah makanan itu pada celah-celah batu ini. Aku akan sangat berterima kasih. Selain itu perhatikanlah anakku. Bila nanti aku mengeluarkan suatu suara dari tempat ini, maka itulah suatu pertanda akan datangnya musim hujan, yang membawa kemakmuran atau mungkin juga suatu tanda akan datangnya wabah penyakit bagi binatang-binatang ternak atau mungkin juga bagi manusia.”
Setelah mendengar wasiat ibunya itu akhirnya Tempiq-Empiq pun pulang ke rumah ayahnya. Perjalanan pulang itu bagi Tempiq-Empiq merupakan perjalanan yang penuh dengan tetesan air mata karena berpisah dengan ibunya melalui suatu peristiwa yang sangat menyedihkan. Setelah berjalan beberapa hari, telur yang selama ini selalu dalam genggaman adiknya, tiba-tiba menetas menjadi seekor ayam. Kehadiran anak ayam ini ternyata dapat menghibur adiknya yang selalu menangis. Dengan mengalami bermacam-macam kesulitan, akhirnya tiba juga Tempiq-Empiq bersama adiknya di rumah.
Setelah sampai di rumah, Tempiq-Empiq menjadi terkejut karena bapaknya telah kawin lagi dengan seorang janda yang bernama Inaq Teriung Riung. Janda itu telah mempunyai seorang anak.
Ketika melihat anak-anaknya pulang, ayahnya pun berkata, “Tempiq-Empiq, ke mana saja kau selama ini?”
“Aku pergi menyusul ibu,” jawab Tempiq-Empiq.
“Di mana ibumu sekarang?” tanya bapaknya.
“Ayah, kita tak mungkin lagi berjumpa dengan ibu. Ibu telah pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya,” jawab Tempiq-Empiq.
“Ayam siapakah yang kau bawa itu?” tanya ayahnya.
Lalu Tempiq-Empiq menceritakan asal-usul ayam jantan yang dibawanya.
“Coba kulihat. Bagus benar ayammu. Aku bermaksud untuk mengadu ayam ini besok pagi. Karena ayam serupa ini jarang kalah dan sulit mencari tandingannya. Lihatlah ciri-ciri ayam ini. Serawah, sekedar, sangkut, sandah samar1. Hebat bukan?”
Memang Amaq Tempiq-Empiq mempunyai kegemaran mengadu ayam. Tidak heran ketika melihat ayam yang dibawa anaknya itu, perhatiannya hanya tertuju pada si ayam. Sehingga hampir-hampir ia tak mendengar segala cerita anaknya.
Keesokan harinya Amaq Tempiq-Empiq ke gelanggang aduan ayam. Setiba di tempat itu ia segera mencari tandingan untuk ayamnya. Pada hari itu ayamnya menang dan tanpa cedera sedikit pun. Demikian juga berturut-turut beberapa hari kemudian. Betapa senang hati Amaq Tempiq-Empiq tak dapat diceritakan lagi, sehingga ia lupa memperhatikan kedua anaknya. Ia hanya asyik menghitung kemenangannya dalam perjudian. Kadang-kadang ia menanyakan apakah kedua anaknya sudah makan. Pertanyaan itu selalu dijawab dengan kata sudah oleh oleh isterinya. Dalam kenyataannya kedua anak itu selalu diabaikan. Makanan yang diterimanya tak pernah memadai. Kedua anak tersebut sangat menderita lahir batin. Itulah sebabnya sehari-harian Tempiq-Empiq dan adiknya selalu berada di luar rumah. Mereka sering bermain-main di bawah sebatang pohon ara, sambil menunggu barangkali ada buah yang jatuh.
Pada suatu hari ketika Amaq Tempiq-Empiq lewat di bawah pohon ara itu, ia mendengar nyanyian seorang anak, yang disambung dengan suara lain. Beberapa kali ia memperhatikan dengan teliti, tetapi nyanyian anak itu tetap saja berulang.
“Oh, betapa manisnya buah ara ini, sedang bagiku, nasi adalah barang yang pahit. Klek, Klek, Kuwo,” begitu bunyi nyanyiannya.
Didorong oleh keinginan yang besar untuk mengetahui siapa yang menyanyikannya Amaq Tempiq-Empiq memandang dengan cermat ke atas pohon itu. Saat ia mengamati, ia amat terkejut ketika melihat kedua anaknya berada di atas ranting pohon itu. Dan ia lebih terkejut lagi, ketika melihat dengan nyata bahwa kedua anaknya memiliki sepasang sayap. Kini jelaslah baginya, bahwa yang menyanyi tadi adalah kedua anak itu. Melihat kedua anak itu menjelma menjadi burung, Amaq Tempiq-Empiq menjadi kalap. Ia kini yakin, tidak ada orang lain yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini, selain dari isterinya sendiri. Akibat kekejaman dan perlakuan ibu tirinya itulah maka kedua anaknya itu berubah menjadi burung.
Setelah tiba di rumah, ia mengamuk sejadi-jadinya, kemudian mengusir isterinya. Tetapi karena anak dari isteri keduanya tak ada yang merawat, maka beberapa hari kemudian Inaq Teriung Riung disuruh pulang kembali. Singkat cerita, mereka kemudian hidup rukun kembali.
Namun dalam hati Amaq Tempiq-Empiq masih merasa sedih karena kehilangan isteri pertama dan anak-anaknya. Suatu saat ia ingat akan pesan isterinya yang disampaikan oleh Tempiq-Empiq. Karena itu ia berkunjung ke Tanjung Salaen, tempat isterinya lenyap ditelan gua batu sambil membawa sesajian untuk isterinya.
Sumber:
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1 Serawah = putih. Sekedas = putih pada kaki. Sangkur = tidak berekor panjang. Sadah samar = tengkuk ayam yang berbulu agak berdiri seperti bulu tengkuk (kepala) burung kakak tua.
0 comments:
Post a Comment