Tuesday, February 28, 2012

Lutung Kasarung

0 comments

Prabu Tapa Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. "Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta," kata Prabu Tapa. 


Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. "Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya," gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. "Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !" ujar Purbararang. 

Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, "Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri". "Terima kasih paman", ujar Purbasari. 


Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya. 

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum. 


Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. "Apa manfaatnya bagiku ?", pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut. 

Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbalarang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. "Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !", kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang. 

"Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku", kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, "Jadi monyet itu tunanganmu ?". 


Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana. 

Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.

Sumber :
http://www.e-smartschool.com
Read full post »

Kutukan Raja Pulau Mintin

0 comments
Pada zaman dahulu, terdapatlah sebuah kerajaan di Pulau Mintin daerah Kahayan Hilir, Kalimantan Tengah. Kerajaan itu sangat terkenal akan kearifan rajanya. Akibatnya, kerajaan itu menjadi wilayah yang tenteram dan makmur.




Pada suatu hari, permaisuri dari raja tersebut meninggal dunia. Sejak saat itu raja menjadi murung dan nampak selalu sedih. Keadaan ini membuatnya tidak dapat lagi memerintah dengan baik. Pada saat yang sama, keadaan kesehatan raja inipun makin makin menurun. Guna menanggulangi situasi itu, raja berniat untuk pergi berlayar guna menghibur hatinya.

Untuk melanjutkan pemerintahan maka raja itu menyerahkan tahtanya pada kedua anak kembarnya yang bernama Naga dan Buaya. Mereka pun menyanggupi keinginan sang raja. Sejak sepeninggal sang raja, kedua putranya tersebut memerintah kerajaan. Namun sayangnya muncul persoalan mendasar baru.
Kedua putra raja tersebut memiliki watak yang berbeda. Naga mempunyai watak negatif seperti senang berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan buaya memiliki watak positif seperti pemurah, ramah tamah, tidak boros dan suka menolong.

Melihat tingkah laku si Naga yang selalu menghambur-hamburkan harta kerajaan, maka si Buayapun marah. Karena tidak bisa dinasehati maka si Buaya memarahi si Naga. Tetapi rupaya naga ini tidak mau mendengar. Pertengkaran itu berlanjut dan berkembang menjadi perkelahian. Prajurit kerajaan menjadi terbagi dua, sebahagian memihak kepada Naga dan sebagian memihak pada Buaya. Perkelahian makin dahsyat sehingga memakan banyak korban.



Dalam pelayarannya, Sang raja mempunyai firasat buruk. Maka ia pun mengubah haluan kapalnya untuk kembali ke kerajaanya. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa putera kembarnya telah saling berperang. Dengan berang ia pun berkata,”kalian telah menyia-nyiakan kepercayaanku. Dengan peperangan ini kalian sudah menyengsarakan rakyat. Untuk itu terimalah hukumanku. Buaya jadilah engkau buaya yang sebenarnya dan hidup di air. Karena kesalahanmu yang sedikit, maka engkau akan menetap di daerah ini. Tugasmu adalah menjaga Pulau Mintin. Sedangkan engkau naga jadilah engkau naga yang sebenarnya. Karena kesalahanmu yang besar engkau akan tinggal di sepanjang Sungai Kapuas. Tugasmu adalah menjaga agar Sungai Kapuas tidak ditumbuhi Cendawan Bantilung.”

Setelah mengucapkan kutukan itu, tiba-tiba langit gelap dan petir menggelegar. Dalam sekejap kedua putranya telah berubah wujud. Satu menjadi buaya. Yang lainnya menjadi naga.

(Diadaptasi secara bebas dari Lambertus Elbaar, “Kutukan Raja Pulau Mintin,”Sumber: www.seasite.niu.edu)


Sumber :
http://legendakita.wordpress.com/2008/04/03/kutukan-raja-pulau-mintin/
http://dongengceritarakyat.blogspot.com/2011/06/kutukan-raja-pulau-mintin.html
Read full post »

The story of Malin Kundang

0 comments
A folk tale from West Sumatra

Once upon a time, on the north coast of Sumatra lived a poor woman and his son. The boy was called Malin Kundang. They didn’t earn much as fishing was their only source of income. Malin Kundang grew up as a skillful young boy. He always helps his mother to earn some money. However, as they were only fisherman’s helper, they still lived in poverty. “Mother, what if I sail overseas?” asked Malin Kundang one day to his mother. Her mother didn’t agree but Malin Kundang had made up his mind. “Mother, if I stay here, I’ll always be a poor man. I want to be a successful person,” urged Malin kundang. His mother wiped her tears, “If you really want to go, I can’t stop you. I could only pray to God for you to gain success in life,” said his mother wisely. “But, promise me, you’ll come home.”


In the next morning, Malin Kundang was ready to go. Three days ago, he met one of the successful ship’s crew. Malin was offered to join him. “Take a good care of yourself, son,” said Malin Kundang’s mother as she gave him some food supplies. “Yes, Mother,” Malin Kundang said. “You too have to take a good care of yourself. I’ll keep in touch with you,” he continued before kissing his mother’s hand. Before Malin stepped onto the ship, Malin’s mother hugged him tight as if she didn’t want to let him go.


It had been three months since Malin Kundang left his mother. As his mother had predicted before, he hadn’t contacted her yet. Every morning, she stood on the pier. She wished to see the ship that brought Malin kundang home. Every day and night, she prayed to the God for her son’s safety. There was so much prayer that had been said due to her deep love for Malin Kundang. Even though it’s been a year she had not heard any news from Malin Kundang, she kept waiting and praying for him.


After several years waiting without any news, Malin Kundang’s mother was suddenly surprised by the arrival of a big ship in the pier where she usually stood to wait for her son. When the ship finally pulled over, Malin Kundang’s mother saw a man who looked wealthy stepping down a ladder along with a beautiful woman. She could not be wrong. Her blurry eyes still easily recognized him. The man was Malin Kundang, her son.
Malin Kundang’s mother quickly went to see her beloved son. “Malin, you’re back, son!” said Malin Kundang’s mother and without hesitation, she came running to hug Malin Kundang, “I miss you so much.” But, Malin Kundang didn’t show any respond. He was ashamed to admit his own mother in front of his beautiful wife. “You’re not my Mother. I don’t know you. My mother would never wear such ragged and ugly clothes,” said Malin Kundang as he release his mother embrace.


Malin Kundang’s mother take a step back, “Malin…You don’t recognize me? I’m your mother!” she said sadly. Malin Kundang’s face was as cold as ice. “Guard, take this old women out of here,” Malin Kundang ordered his bodyguard. “Give her some money so she won’t disturb me again!” Malin Kundang’s mother cried as she was dragged by the bodyguard, ”Malin... my son. Why do you treat your own mother like this?”
Malin Kundang ignored his mother and ordered the ship crews to set sail. Malin Kundang’s mother sat alone in the pier. Her heart was so hurt, she cried and cried. “Dear God, if he isn’t my son, please let him have a save journey. But if he is, I cursed him to become a stone,” she prayed to the God.

In the quiet sea, suddenly the wind blew so hard and a thunderstorm came. Malin Kundang’s huge ship was wrecked. He was thrown by the wave out of his ship, and fell on a small island. Suddenly, his whole body turned into stone. He was punished for not admitting his own mother.***

Source :
http://blog.rofingi.com/2011/11/kumpulan-cerita-rakyat-berbahasa.html
Image source : www.e-smartschool.com


Read full post »

Thursday, February 23, 2012

Asal Mula Situ Bagendit

0 comments
Dongeng Situ Bagendit
Diceritakan kembali oleh : Dani Aristiyanto

Situ Bagendit - Telaga Bangendit, Jawa Barat

Pada zaman dahulu hiduplah seorang janda yang kaya raya,bernama Nyai Bagendit.
Ia tinggal di sebuah desa di daerah Jawa Barat.
Nyai Bagendit mempunyai harta yang berlimpah ruah.
Akan tetapi,ia sangat kikir dan tamak.
Ia juga sangat sombong,terutama pada orang-orang miskin.
Suatu hari Nyai Bagendit mengadakan selamatan karena hartanya bertambah banyak.
Ketika selamatan itu berlangsung,datanglah seorang pengemis.
Keadaan pengemis itu sangat menyedihkan.
Tubuhnya sangat kurus dan bajunya compang-camping.
“Tolong Nyai,berilah hamba sedikit makanan,”pengemis itu memohon.
Melihat pengemis tua yang kotor dan compang-camping masuk ke rumahnya,Nyai Bagendit itu marah dan mengusir pengemis itu.
“Pengemis kotor tidak tahu malu,pergi kau dari rumahku,”bentak Nyai Bagendit.
Dengan sedih pengemis itu pergi.
Keesokan harinya masyarakat disibukkan dengan munculnya sebatang lidi yang tertancap di jalan desa.
Semua orang berusaha mencabut lidi itu.
Namun,tidak ada yang berhasil.
Pengemis tua yang meminta makan pada Nyai Bagendit muncul kembali.
Dengan cepat ia dapat mencabut lidi itu.
Seketika keluarlah pancuran air yang sangat deras.
Makin lama air itu makin deras.
Karena takut kebanjiran,penduduk desa itu mengungsi.
Nyai Bagendit yang kikir dan tamak tidak mau meninggalkan rumahnya.
Ia sangat sayang pada hartanya.
Akhirnya,ia tenggelam bersama dengan harta bendanya.
Penduduk yang lain berhasil selamat.
Konon,begitulah asal mula danau yang di kemudian hari dinamakan Situ Bagendit.

Amanat :”Jadi orang janganlah kikir,sombong,dan tamak terhadap harta”.
Nilai :”Moral,dalam kehidupan sehari-hari”.

Read full post »

Sangkuriang, the legend of Mt. Tangkuban Perahu

0 comments
Sangkuriang - Folk Tale from West Java, Indonesia

Mount Tangkuban Perahu, West Java, Indonesia

In antiquity, there was the story of a daughter of the king in West Java, named Dayang Sumbi. He has a son named Sangkuriang. The child was very fond of hunting. He was accompanied by Tumang hunting, dog palace. Sangkuriang do not know, that dog is the incarnation of the god and father.

One day Tumang not want to follow his orders to pursue prey. So the dog is expelled into the woods. When he returned to the palace, Sangkuriang recounted the incident to her mother. Dayang Sumbi not playing angry when he heard that story. He accidentally hit his head Sangkuriang rice with a spoon in her hand. Sangkuriang injured. He was very disappointed and went wandering.

After the incident, Dayang Sumbi very sorry for himself. He was always very diligent in prayer and penance. At one time, the gods gave him a gift. He will be forever young and everlasting beauty. After years of wandering, Sangkuriang eventually intends to return to his homeland.

Arriving there, the kingdom has changed completely. There he met a lovely girl, who was none other Sumbi Dayang. Fascinated by the beauty of the woman then, Sangkuriang proposed. Therefore it is very handsome youth, Dayang Sumbi was very fascinated him. One day Sangkuriang asked permission to hunt. He ask Sumbi Dayang to straighten the headband. Dayang Sumbi was surprised when he saw the scars on the head of her future husband. The cut was exactly like a wound that has left her son to leave. After a long noticed, it turns out the young man's face is very similar to her son's face. He became very frightened.

So then he sought to thwart the efforts that the process of making a proposal. He filed two terms. First, he asked the young man to stem the Citarum river. And second, he asked Sangkuriang to make a big boat to get across that river. The second requirement that must be met before dawn. That night Sangkuriang do penance. With his power he exert magical creatures to help finish the job. Dayang Sumbi secretly peek at the job.

Once the work was almost complete, Dayang Sumbi ordered his troops to roll out a red silk cloth in the east of the city. When watching the color red in the east of the city, Sangkuriang thought it was late morning. He also stopped work. He was very angry because it meant he could not fulfill the requirements demanded Dayang Sumbi. With his strength, he made the dam break. There followed a great flood swept across the city. He then kicked the big boat he made. The canoe floated and crashed into a mountain named "Tangkuban Boat."


Credit :
Copyright aadesanjaya.blogspot.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:TangkubanPerahu.jpg
Read full post »

Tuesday, February 21, 2012

Si Batek dan Si Toulu (Si kura-kura dan si biawak)

0 comments
Cerita rakyat dari Pulau Mentawai

Black-knobbed Map Turtle, kura kura unik dari Amerika Serikat

Dahulukala hiduplah dua binatang Si Toulutoulu (kura-kura) dan Si Batekbatek (biawak). Pada suatu hari mereka membuka ladang bersama untuk bertanam pisang. Setelah beberapa hari mereka bekerja, mereka merambah ladangnya. Setelah itu mereka mencari bibit pisang untuk ditanam di ladang.
Karena mereka sudah semangat lagi, pergilah mereka mencari tanaman (bibit) pisang yang mau ditanam dalam kebun yang baru mereka babat itu. Ditengah perjalanan mereka menemukan sebatang pisang yang hampir berbuah. Si Toulu dan Si Batek sepakat membagi batang pisang itu.
Karena ingin cepat menikmati hasil, Si Batekbatek memilih bagian atas batang pisang yang sudah hampir muncul buahnya. Si Toulutoulu memilih bakkat-nya (pangkal pisang). Setelah batang pisang dibagi, hari itu juga mereka pergi menanam. Setelah itu mereka pulang kembali.
Beberapa minggu lamanya, tumbuhlah pisang milik Si Toulutoulu. Batang pisang Si Batebatek tidak tumbuh, malah sudah layu. Merasa bahwa tanaman pisang yang di tanam sudah tumbuh bagus, pergilah biawak untuk melihat. Dia kaget melihat batang pisangnya sudah mati. sedangkan batang pisang kura-kura tumbuh besar dan sudah berbuah.
Si batekbatek kemudian menemui Si Toulutoulu memberitahukan bahwa tanaman sahabatnya itu sudah tumbuh dan buahnya lumayan banyak.
“Sobat bagaimana kebun kita. Pisangmu tumbuh semua, sedangkan pisang saya mati!”,  katanya
“Saya tidak tahu”, jawab kura-kura.
Keesokan hari, pagi-pagi benar biawak pergi lagi melihat kebunnya. Dia berpikir, “Siapa tahu sudah tumbuh”. Sampai di ladang Si Batekbatek kaget, ternyata batang pisangnya sudah habis membusuk. Muncullah pikiran jahatnya.
“Seandainya pisang sahabatku sikura-kura ini sudah masak, aku langsung mencurinya dan kumakan sampai habis”.
Beberapa hari waktunya, pisang kura-kura masak satu sisir, waktu itu juga biawak langsung pergi menuju kebun sikura-kura. Dipanjatnya batang pisang itu.
“Mampuslah kau kura-kura tanamanku kau kasih ujungnya, kini pisangmu saya habisi semua”, kata biawak.
Setelah habis, pisang di makan si biawak dan sudah kenyang. Biawak pulang, besoknya lagi biawak pergi dan masih pagi-pagi benar sudah menuju kebun kura-kura. Untuk kedua kalinya biawak menemukan pisang hampir satu tandan yang masak. Semuanya di habisi. Menjelang sore biawak pulang dan bergembira karena kenyang dan puas makan pisang yang masak.
Satu hari jaraknya kura-kura pergi melihat kebunnya sudah termakan. Kura-kura pergi dari ladang sambil memikirkan buah pisangnya.  Di jalan dia bertemu Si Batekbatek.
“Sobat kamu tahu siapa yang memakan pisangku di ladang?”.
“Saya tidak tahu, dan saya tidak melihat mereka”, jawab biawak gelisah.
Tak banyak bicara, kura-kura  pulang dan langsung mengambil tali dan hari itu juga di buatnya tali penangkap (sesere). Rencana kura-kura membuat tali itu, supaya siapa yang mengambil dan memakan pisangnya tertangkap dan ketahuan.
Maka tibalah hari yang baru. Kura-kura pagi-pagi benar sudah pergi melihat pisangnya. ditengah kebun biawak sudah tertangkap di sesere. Biawak menangis dan berkata,”Apa-apaan ini! Ini kerja siapa!”
Setelah kura-kura mendengar bahwa ada suara, pergi lah kura-kura melihat biawak yang suka mencuri terus-terusan tertangkap. Kura-kura tertawak terbahak-bahak.
“ha.. ha.. ha…rupanya kamu yang sering makan pisang saya. Ha.. ha ha.. saat saya katakan siapa makan pisang saya, kamu berkata,” saya tidak tahu!”.
“Sobat lepaskan aku! Tolong aku! Aku takkan  makan lagi pisangmu ini, Saya janji”.
Kemudian kura-kura melepaskan jerat yang membelit si biawak. kemudian biawak itu turun. Sambil mereka berjalan, kura-kura menceriterakan semuanya pada sahabatnya.

Sumber:
http://aldest.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
http://serbater.blogspot.com/2011/02/kura-kura-terunik-dan-eksotik.html 
Read full post »

Nyanyian Burung Hantu

0 comments
Cerita Rakyat dari Kepulauan Mentawai

Mentawai Scops Owl, dalam bahasa latin di sebut Otus mentawi, dikenal dengan nama burung hantu mentawai adalah burung hantu endemik dari Pulau Mentawai

Di hutan Bat Kokok, pemukiman pertama orang-orang Katurei, Hiduplah dua ekor burung di pohon beringin. Salah satu Si Kemut, burung hantu, yang satu lagi bernama Si Turugou’gou’, burung ruak-ruak.
Kedua burung ini biasa bertengger di dahan pohon Beringin yang bernama Si Sokut. Kedua burung ini mempunyai perbedaan baik bentuk badan maupun cara dan waktunya mencari makan. Si Turugou’gou’ ‘ mencari makan di siang hari, tetapi Si Kemut mencari makan malam hari.
Pada suatu sore, ketika Si Turugou’gou baru pulang mencari makan, dilihatnya  Si Kemut sedang tidur dengan nyenyak. Sambil memanggut-manggut Si Turugou’gou’ bernyanyi mengejek
Si Kemut...Kemut si mata cekung
Ada orang pura-pura menari
Ada orang tidur siang bolong
Kalau malam keluyuran
Dasar memang burung hantu
Si Turugou’gou’ cepat-cepat terbang ke pohon lain setelah mengejek Si Kemut. Si Kemut kesal dengan ejekan itu. Dilemparnya ranting pohon ke arah Si Turugou’gou’, tetapi tidak kena. Si Kemut bertambah kesal. Walau begitu dia tidak mengejar Si Tutugou’gou’. Setelah menggeser sedikit tempat bertenggernya, Si Kemut melanjutkan tidur di sore itu.
Kini malam telah tiba. Si Turugou’gou’ sudah tidur dan Si Kemut pergi mencari makan. Memang demikianlah hidup burung hantu. Mereka tidur siang hari dan mencari makan di malam hari. Di waktu malam lah burung hantu biasanya berburu tikus dan binatang malam lainnya.
Saat fajar hampir merekah dan suara monyet di hutan sudah berbunyi, Si Kemut pulang. Dilihatnya Si Turugou’gou’ sedang tidur lelap. Si Kemut berpikir, inilah kesempatan untuk balas dendam. Maka dia pun bernyanyi.
Turugou’gou’ si ruak
Si betis kurus ada orang dia lari
Si Ruak-ruak sok pandai menari
Kakinya kotor sekali
Ejekan Kemut membangunkan si Turugou’gou’. Dia marah sekali pada Si Kemut. Sambil mengantuk Si Turugou’gou’ menyanyikan lagu ejekan Si Kemut. Si Kemut pun membalas menyanyikan ejekan. Mereka terus saling mengejek, hingga burung-burung lain yang tinggal di dahan dan ranting Si Sokut menjadi terganggu.
Akhirnya Si Kemut dan Si Turugou’gou’ bertengkar. Mereka ribut sekali. Burung-burung yang tinggal di pohon lain juga terganggu. Melihat kedua burung bertengkar sambil menuding dan menepuk dada, Si Sokut yang tadinya diam kini angkat bicara.
“Jangan bertengkar wahai sahabat-sahabatku. Jangan membeda-bedakan apalagi menghina kawan”, Si Sokut menasehati Si Kemut dan Si Turugou’gou’.
Mendengar Nasehat Si Sokut kedua burung yang hampir berkelahi kini berhenti dan saling minta maaf. Maka kedua burung itu, Si Kemut dan Si Turugo’gou’ kembali hidup tentram dan damai bersama Si Sokut, si pohon beringin. Walaupun berlainan jalan hidupnya.           
Dongeng ini biasa dibawakan oleh orang tua untuk mengantar tidur anak-anaknya. Konon menurut cerita orang tua dulu, burung hantu dan ruak-ruak pandai menari.  Nenek moyang orang mentawai meniru gerakannya. Turuk biasanya menirukan gerakan-gerakan hewan. Itulah yang dinamakan uliat. Makanya dalam gerakan turuk ada Uliat Kemut dan Uliat Turugou’gou’.


Sumber : 
http://aldest.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
Read full post »

Asal Mula Jerat

0 comments
Cerita rakyat dari Kepulauan Mentawai

Pada suatu hari seorang pemuda berburu di hutan. Hari itu dia sudah berjalan jauh, tetapi tidak seekor pun buruan yang didapatnya.

Sampai di suatu tempat, dia melihat seekor rusa. Diambilnya anak panah dan dibidikkan ke rusa itu. Anak panah dilepas dari busur dan melesat mengenai tubuh rusa. Tetapi rusa itu tidak mati, malah lari menjauh.

Pemuda tersebut mengejar dengan mengikuti jejak rusa tersebut. Sampai jauh dia mengikuti jejak rusa, tetapi rusa tersebut tidak ketemu. Karena kelelahan, si pemuda istirahat di pangkal batang enau.

”Hai sobat, apa yang kau cari?” terdengar sebuah suara.

Si pemuda mencari sumber suara itu. Dilihatnya di sekeliling hanya hutan dan belukar. Suara itu terdengar lagi. Si Pemuda kaget, ternyata suara itu berasal dari pohon enau tempat dia beristirahat. Dia pun menjawab pertanyaan pohon enau.

”Saya sedang mengikuti jejak rusa yang saya panah”, jawab si pemuda.

“Hai sobat, tak usah lah kamu cari. Rusa itu tidak mati. Ambillah ijukku, lalu kamu cuci. Jalinlah dan gunakanlah sebagai jerat penangkap rusa”, Kata pohon enau.

”Bagaimana caranya?” tanya si pemuda

”Aku akan tunjukkan cara membuat jerat serta pantangnya,” kata pohon enau

Pemuda itu melakukan apa yang diajarkan pohon enau. Berjam-jam lamanya dia menjalin ijuk dari pohon enau yang telah dibersihkannya. Setelah jerat itu selesai, si pemuda memasangnya di tempat yang biasa dilalui rusa. Si pemuda kembali lagi ke rumahnya dan menunggu rusa terperangkap dalam jerat yang baru dipasangnya.

Beberapa hari kemudian seekor rusa melintas ditempat si pemuda memasang jerat. Rusa heran melihat mahluk aneh yang belum pernah dilihatnya di daerah tersebut. Walau setiap saat dia melintasi daerah itu.

“Hai sobat, sedang apa sobat disini?,” kata rusa kepada jerat,

”Saya tinggal disini, sobat”, jawab jerat

Rusa tidak suka ada mahluk aneh di sekitar tempat dia mencari makan dan bermain. Diusirnya jerat tersebut. Tetapi jerat tidak mau pergi. Rusa marah dan mengancam jerat.

” kalau begitu ayo berkelahi. Siapa yang kalah harus meninggalkan daerah ini”, tantang rusa.

”Sekali lagi maaf kawan, saya tidak kuat berkelahi, sedangkan kamu mampu melewati beberapa bukit, lembah, rawa dan sungai sedangkan saya hanya disini saja coba lihat punggung saya ini sedang sakit”, jawab jerat.

”Jangan banyak alasan, ayo kita berkelahi,” desak rusa.

”Kalau begitu ulurkan tanganmu,” ujar jerat dengan lembut.

Lalu rusa memberikan tangannya dan jerat langsung menangkap tangan rusa tersebut dan menjepitnya erat erat.

”Lepaskan tanganku…..! lepaskan tanganku….!”, teriak rusa

”Kawanku rusa, walaupun punggungku sakit, kamu tidak akan ku lepas. Kalau bilou sudah berbunyi, berarti ibu saya sudah bangun untuk mempersiapkan ransum bapak saya. Kalau burung sri gunting gunung berkicau, bertanda bapak saya akan datang”, ujar jerat pada rusa.

Rusa sadar dia sudah terperangkap. Tapi tidak ada guna menyesalinya. Dia tidak bisa lepas dari ikatan kuat jerat yang dipasang si pemuda. Kini rusa hanya bisa pasrah menunggu si pemuda, yang di sebut “Bapak” oleh jerat.

Satu malam sudah berlalu dan fajar pun merekah di langit. Rusa masih terikat oleh jerat. Tidak lama kemudian terdengar suara bilou bersahutan. Para perempuan di kampung sudah sibuk memasak dan menyiapkan bekal suami dan anak lelaki mereka yang berangkat ke ladang atau ke hutan.

Beberapa lama kemudian rusa mendengar kicauan burung sri gunting gunung. Dia tahu bahwa si pemasang jerat sudah berada di hutan. Sesampai si pemuda di tempat dia memasang jerat, hatinya bersorak melihat seekor rusa sudah terperangkap. Dia berjanji akan mematuhi segala pantangan memasang jerat seperti yang sudah diajarkan pohon enau.
Ini adalah kisah tentang bagaimana terjadinya jerat, mentawai beserta pantangnya. Dalam cerita ini mengandung makna bahwa manusia (masyarakat) mentawai begitu dekat dengan alam, ada hubungan baik dan saling menghormati antar sesama makhluk hidup dengan menjaga keutuhan ekosistem. 


Sumber :
http://aldest.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
Read full post »

Sunday, February 19, 2012

Legenda Prasasti Munjul

0 comments
Oleh Malvin Dwi Ruda

Prasasti Munjul
Perairan Ujung Kulon

SEBUAH perahu nelayan berpenumpang tiga orang tampak melaju pelan membelah pantai yang berair tenang. Siang itu matahari bersinar tak terlalu terik sehingga angin yang bertiup pun terasa tak terlalu menyengat.

“Dengan hasil tangkapan sebanyak ini, kita bisa istiraltat satu dua hari di darat.” Salah seorang nelayan mengungkapkan kegembiraan hatinya sambil menimang-nimang ikan hasil tangkapan mereka, senyumnya tampak begitu cerah.

“Ya,” jawab kawan yang ada di sebelahnya, “Ini kesempatanku untuk bisa lebih lama berkumpul dengan isteriku.”

“Tiap pulang, aku merasa istriku kian cantik saja dibanding ikan apa pun!” sambut nelayan pertama lagi. Sementara Itu. lelaki pendayung yang berada di belakang kedua temannya tampak menguping perbincangan kedua temannya itu. Wajahnya tampak begitu polos dan dengan lugunya dia mengajukan pertanyaan menyela pembicaraan kedua orang itu.

“Apa sih yang kalian bicarakan?”

Kedua temannya mendengar jelas pertanyaan dari lelaki pendayung namun mereka menganggapnya sepi dan terus saja melanjutkan pembicaraan mereka.

“Kau tahu? Aku bahkan sudah menyiapkan kuda laut!” kata orang kedua. Dan disambut dengan penuh minat oleh orang pertama.

“Wah? Kau menangkapnya? Boleh minta satu?”

Belum sempat orang kedua menjawab pertanyaan itu, lelaki pendayung yang merasa tak diacuhkan dengan tampang tak bersalah kembali mengajukan pertanyaan.

“Apa ada hubungannya antara ikan dengan istri kalian?”

Pertanyaan lelaki pendayung kali ini mendapat reaksi, bahkan lebih dari yang dia bayangkan. Kedua temannya memandang ke arahnya sambil bersama-sama berkata-kata dengan suara keras. “Diam kau, Perjaka!”

Kedua temannya memandang lelaki pendayung dengan alis berkerut, tampaknya mereka sudah merasa terganggu dengan pertanyaan lelaki pendayung. Adapun halnya dengan lelaki pendayung sendiri, demi melihat reaksi kedua temannya yang demikian itu, dia hanya bisa merungkut gugup sambil menggigit batang dayung. Dia hanya berkata-kata dalam hati dengan penuh ketidakmengertian. “Kenapa mereka marah” Rasanya tak ada yang salah dengan perkataanku.”

Kedua teman lelaki pendayung lalu kembali melanjutkan perbincangan mereka dan membelakanginya. Dengan wajah kesal lelaki pendayung membuang muka dan mengumpat dalam hati. “Sombong! Mentang-mentang aku belum punya isteri”

Pantai berpasir putih tempat mereka menyandarkan perahu sudah terlihat. Perahu mereka kini melaju meyusuri sepanjang tepian pantai sebelum akhirnya tiba di tempat tujuan. Namun saat mereka tiba di sebuah tikungan pantai yang terlindung oleh pepohonan lebat, muncul sebuah perahu lain dari balik tikungan itu. Mula-mula hanya bagian depan kapal yang terlihat dan lama kelamaan terlihatlah seluruh bagian kapal itu. Kapal itu tidak terlalu besar namun bila dibanding dengan perahu ketiga orang orang itu, ukurannya tiga kali lebih besar, lengkap dengan tiang layar dan empat dayung di masing-masing sisinya.

Kapal yang muncul tiba-tiba itu seketika mengagetkan kedua teman lelaki pendayung. Jarak mereka terlalu dekat dan mungkin sekali akan terjadi tabrakan bila tidak segera dibelokkan arahnya. Keduanya berseru kaget. “I… itu! “

Dengan tergagap, mereka berteriak pada lelaki pendayung. “Belokkan perahu! Belokkan perahu!”

Adapun lelaki pendayung, kejadian tadi masih membuatnya kesal. Dengan acuh tak acuh dia berpura-pura tak mendengar teriakan gugup temannya. Sambil memandang ke lain arah dan memejamkan mata, dia asyik bersiul-siul. Lelaki pendayung bermaksud hanya ingin membalas sikap kedua temannya tadi yang tidak mengacuhkannya, namun balasannya ini tampak terlalu berlebihan, seharusnya dia mendengar dan bisa membedakan antara perkataan biasa dengan teriakan-teriakan gugup. Dan mungkin apabila dia melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi, sikapnya itu pasti akan sangat disesalinya kelak.

Tabrakan akan segera terjadi, kedua teman lelaki pendayung sudah tak sempat lagi untuk berteriak-teriak kepada lelaki pendayung atau pun melakukan perbuatan lain. Bahkan untuk menghindar dan menyelamatkan diri saja mereka sudah tak ingat. Mereka merungkutkan badan dan menanti dengan pasrah segala yang akan terjadi. Namun di saat-saat genting itu, kapal yang ada di depan mereka tiba-tiba membelokkan perahunya dan tabrakan pun terhindar. Kapal itu melaju searah dan berdampingan dengan perahu ketiga nelayan itu. Dan sebelum ketiga nelayan itu menyadari, beberapa utas tali melayang dari arah kapal itu. Lelaki pendayung masih asyik bersiul-siul dan tak menyadari kalau seutas tali telah melayang di dekatnya. Tali itu tiba-tiba mendarat di tubuhnya dan berputar ke arah leher. Lelaki pendayung terkejut dan melihat apa yang tengah menjalar di lehernya, namun dia tak sempat berbuat apa-apa. Karena saat dia sadar dan tahu apa yang melilit lehernya, tali yang pada ujungnya diikatkan sebuah pemberat dari kayu itu tiba-tiba ditarik dengan kencang ke atas. Lelaki pendayung tercekik dan tubuhnya terangkat mengikuti arah tarikan tali. Sementara itu, tali-tali yang lain tampak melilit dan mengikat di beberapa bagian perahu. Perahu tertarik ke samping dan membuat posisinya agak miring. Kedua teman lelaki pendayung tahu dan sadar apa yang tengah terjadi pada perahu mereka namun mereka belum mengerti apa maksud dari semua itu. Mereka lalu memandang ke arah kapal di samping perahu mereka dan mencari-cari kalau-kalau ada seseorang yang dapat ditanyakan.

Pencarian mereka segera terjawab. Di sana, di atas kapal, di bawah sorotan matahari siang, sesosok tubuh tampak berdiri santai dan tampak tengah mengawasi mereka. Kedua nelayan mengangkat tangan untuk menghalangi silaunya sinar matahari saat mereka memandang ke atas, ke arah kapal tempat sosok tubuh itu berada. Saat itu terdengar sosok itu berkata-kata kepada mereka.

“Banyak juga tangkapan kalian! Kalian pasti tengah memikirkan kesenangan sehingga tak menyadari kehadiran kami!”

Sambil memicingkan mata, salah satu nelayan memberanikan diri mengajukan pertanyaan.”Siapa kalian dan mau apa?”

Sosok itu menjawab sambil berkacak pinggang dan menepuk dada. “Kami adalah perompak! Dan kami senang sekali mengganggu kesenangan orang!” Saat itu sosok itu merendahkan dan memajukan tubuhnya sehingga wajahnya kini dapat terlihat oleh para nelayan. Sosok yang mengaku perompak itu bertubuh tinggi besar. Dia mengenakan baju sebatas pangkal lengan, baju itu terbuka dan tak menutupi dadanya yang bidang dan berotot dengan bulu-bulu lebat, sementara sebuah kalung besar berwarna kuning emas tampak menggantung di depan dadanya. Di bagian bawah, dia hanya mengenakan selembar kain sebatas pertengahan paha.

Wajahnya yang ditumbuhi kumis tebal melintang dan jenggot lebat tak terurus tampak bengis saat berkata-kata. Dengan rambut panjang sebahu dan sebelah anting besar berwarna kuning emas juga, dilengkapi secarik kain ikat kepala melilit keningnya dengan salah satu bagian menutup mata sebelah kiri.

“Serahkan milik kalian kalau ingin selamat!”

Dua nelayan tak bisa berkata-kata, tapi tiba-tiba saja terdengar suara lantang menyambut ucapan perompak itu. “Enak saja! Susah payah kami mencari ikan di laut lalu kalian ingin memintanya begitu saja? Huu!”

Semua mereka menoleh ke arah suara. Tampak lelaki pendayung dengan wajah kesal memandang ke arah perompak itu. Dia tampak terlentang dengan leher terikat tali. Dengan geram dia menarik-narik tali itu dengan tangan dan kakinya membuat tubuhnya yang kurus itu tertekuk sedemikian rupa dan malah jadi terlihat lucu. Perompak itu memicingkan mata. Dia lalu membuang muka ke arah lain dengan acuhnya.

“Kalau begitu, kembalilah ke laut dan bersusah payahlah lagi!”

Usai berkata begitu, dengan tenang perompak bertubuh katai itu menyentakkan tali yang mengikat lelaki pendayung. Lelaki pendayung kontan melotot dengan leher terjulur karena tercekik. Tubuhnya terangkat dari perahu dan melayang ke depan lalu masuk ke dalam air.

Seorang perompak bertubuh katai melongok dari dinding kapal. “Ooh! Mungkin ini artinya `berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu lalu berenang mati-matian’, yaaa?!”

Sementara itu, tanpa membuang waktu, perompak bertampang seram tadi segera memberi perintah kepada perompak-perompak lainnya. “Ayo pindahkan ikan-ikan mereka ke kapal kita!”

Para perompak segera bergerak mengikuti perintah itu. Seorang perompak bertubuh jangkung dan kurus menggamit lengan perompak bertubuh katai.”Ayo!”

Dengan lagak angkuh, si perompak bertubuh katai mengacungkan telunjuknya di depan wajah. “Diamlah! Kalau itu, aku sudah tahu artinya!”

Tapi mendadak, seorang perompak yang berada di bagian belakang kapal bertenak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah. “Ketua! Lihat di sebelah sana!”

Semua menoleh ke arah yang ditunjukan oleh orang itu, dan di kejauhan, tampaklah sebuah perahu yang berukuran dua kali lebih besar dari kapal itu tengah melaju tenang berlawanan arah dengan kapal mereka. Seketika, perompak bertampang bengis yang dipanggil ketua itu melonjak-lonjak sambil menari kegirangan.

“Wah! Ini baru tangkapan besar!”

Perompak katai menyilangkan tangan di depan dadanya sambil berkata angkuh. “Tak masalah bagiku!”

Dengan penuh semangat, ketua memberi perintah baru kepada anak buahnya sambil menunjuk ke arah kapal besar tadi. “Marl kita rusak kesenangan mereka!”

Seorang perompak bertubuh gemuk menarik tali yang tadi mengikat si pendayung. “Maaf, yah! Jangan marah! Talinya kami ambil kembali!” Dia menyentakkan tali itu dan seketika leher si pendayung terbebas sudah dari jeratan tali itu. Sambil berenang, lelaki pendayung menarik nafas lega. Dia segera menuju perahunya dan berpegangan di tepi perahu. Namun seketika itu juga, kedua temannya segera mengambil kesempatan untuk kabur. “Cepat kita pergi!” Tanpa menunggu lelaki pendayung naik kembali ke perahu, mereka segera mendayung perahu itu dengan cepat sementara yang satunya lagi mendayung dengan menggunakan kedua tangannya. Lelaki pendayung dengan kelabakan berteriak-teriak kepada teman-temannya. Dia memegang tepi perahu dengan kencang saat perahu mulai melaju. Air laut bercipratan ke wajah lelaki pendayung.

Sementara itu, di kapal besar yang berbendera dengan lambang naga, seorang pria bertubuh agak gemuk dengan pakaian bangsawan kerajaan keluar dari bagian dalam kapal. Saat itu seorang pria lain tampak menghampiri sambil menundukan tubuhnya.

“Ada apa, Laksamana?” tanya bangsawan itu. Yang ditanya menjura dulu sebelum akhirnya menjawab. “Ada dua perahu di depan kita, Sang Menteri!”

Sang Menteri meninggikan kepalanya memandang ke depan. Lalu katanya lagi. “Biarkan saja! Tapi bila mereka berbuat sesuatu yang mencurigakan, kau tahu apa yang harus dilakukan!” Laksamana menjura lagi. “Hamba, sang Menteri”‘ Sang Menteri mengangguk lalu memandang lagi ke depan, kemudian dia berjalan masuk kembali ke bagian dalam kapal.

Beberapa lama kemudian, kedua perahu saling berdekatan dan berpapasan. Para perompak berdiri di sisi kapal mereka. Para pendayung yang berada di kapal besar melongok ke rah mereka sambil mengangguk ramah. Salah seorang pendayung tampak berbisik kepada temannya. “Tampang mereka aneh-aneh, yah?” Temannya mengangguk dan melongok pula. Sambil mengangkat tangan dengan senyum lebar, dia menyapa perompak itu. “Hai, para nelayan! Apa kabar?”

Baru saja habis berkata-kata, seutas tali tiba-tiba melayang ke arah lehemya. Belum sempat dia menyadan hal Itu, tali sudah ditarik orang dan dan membelit ke arah leher dan kemudian disentakan. Seketika si pendayung ini tercekik dengan lidah terjulur dan tubuhnyan tertarik pula ke depan. Lelaki pendayung tercebur ke dalam laut. Yang menarik tali itu adalah perompak bertubuh gemuk. Saat berhasil menceburkan lelaki pendayung, perompak katai bertanya padanya. “Apa itu artinya: tak ada basa-basi bagi perompak?”

Yang ditanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jari. “Betul!”

Laksamana bertanya marah kepada perompak itu. “Hei! Apa yang kalian lakukan?”

Ketua perompak menjawab. “Kami adalah perompak yang menguasai perairan ini. Disambut oleh perompak bertubuh katai. “Betul!”

Laksamana berkata lagi. “Tahukah kalian? Kapal ini adalah milik kerajaan Tarumanegara! Dan di dalamnya ada seorang menteri Kerajaan!”

Ketua perompak membuang muka sambil berkata acuh. “Tidak peduli!”

Disambut kembali oleh si katai. “Itu artinya: kami akan tetap merampok kapal kalian!”

Baru habis kata-kata itu, si ketua perompak memberi perintah kepada anak buahnya. “Seraaaaaang!”

Melihat hal itu, sang Laksamana mencabut kerisnya dan memberi perintah pula kepada para awak kapalnya. “Pertahankan kapal dan lindungi sang Menteri sampai titik darah terakhir!”

Beberapa minggu kemudian.

Tampak dua orang tengah memancing di tepi pantai. Keduanya mengenakan pakaian seperti umumnya orang-orang pada masa itu, yaitu sehelai kain polos yang diikatkan di pinggang dan hanya menutupi tubuh bagian bawah. Orang yang bertubuh tinggi besar dan berparas cakap dengan rambut tergerai sebatas pundak tampak menyentakan pancingnya. “Dapat lagi!” katanya. Tak jauh di sampingnya temannya yang bertubuh jauh lebih kecil dan jauh lebih pendek dengan rambut digelung ke atas hanya bisa memandang dengan kesal. “Huh!” Tapi mendadak wajahnya berubah cerah. Dia merasa pancingnya ditarik. “Nah! Setelah sekian lama. akhirnya kau makan juga umpanku!” Dia bersiap-siap untuk menarik pancingnya. Temannya yang bernama Bhimaparakrama atau biasa dipanggil Bhima, mendekat dan bertanya.

“Ada apa, Wamana? Ada yang memakan umpanmu?”

Yang ditanya menjawab sombong. “Tentu! Kau kira cuma kau saja?”

Wamana lalu mulai menarik. Tapi dirasanya keras. Wamana menariknya lebih kencang namun tak juga berhasil. Dengan mengerahkan tenaganya lebih keras lagi pancing itu ditariknya, tapi hasilnya tetap sama. Bhima mendekat dan bertanya lagi. “Kenapa? Ada masalah?”

Wamana terus menarik pancingnya. “Berisik! Lihat saja, tangkapanku pasti jauh lebih besar dari semua yang sudah kau dapat!” Wamana lalu menyentakkan pancingnya. Kali ini dia berhasil. Tapi tiba-tiba Bhima menutup mulutnya sambil menahan tertawa.

“Pantas saja keras sekali! ternyata memang besar! Hahaha!”

Wamana kesal sekali karena sikap temannya itu, lalu dia melihat ke mata pancingnya dan seketika dia terkejut. Seekor kepiting tampak menggantung di sana. Bukan ikan seperti apa yang dikiranya. “Hah?”

Dengan geram, Wamana mengangkat dan memutar-mutar pancingnya. Tak puas dengan itu, dia lalu membanting pancingnya dan berjalan mendekat ke arah Bhima. Lalu tanpa basa-basi lagi dia segera mengangkat pancing Bhima untuk kemudian dihempas-hempaskannya ke air. Melihat ulah Wamana, Bhima hanya bisa berteriak-teriak melarang. “Hei! Hei! Jangan ganggu kailku!”

Pada saat itu, Bhima mendengar air berkecipak. Dia mencan-cari suara itu, dan tak berapa jauh dari tepi pantai, terlihat sesuatu terombang-ambing mengapung di atas air. Dia menajamkan pandangannya, lalu setelah yakin kalau yang terombang-ambing bukan hanya sekedar kayu atau onggokan benda tak berarti lainnya, dia menggapai ke arah Wamana. “Wamana! Berhenti! Lihat di sana!”

Wamana tidak perduli. “Masa bodoh! Tidak maul”

“Tampaknya ada orang hanyut! Aku mau menolongnya!” kata Bhima sambil berjalan ke arah pantai sementara Wamana melanjutkan marahnya. Bhima turun ke air dan menghampiri benda yang terapung itu. Begitu dekat, ternyata dugaannya tepat. Seseorang tampak tertelungkup di atas tameng kayu. “Benar! Orang hanyut! Masih hidup atau ….”

Bhima mengangkat kepala orang itu. Dia merasakan kalau orang tersebut masih menghembuskan nafas. “Dia masih hidup!”

Bhima mengangkat orang itu untuk segera memberi pertolongan, namun dia melihat tameng yang dipakai orang hanyut itu. Seketika dia terkejut. Bhima berubah pikiran, dia meletakan tubuh orang ke atas tameng. Lalu dengan tenaga yang luar biasa, dia mengangkat orang itu lagi berikut tamengnya dengan menggunakan sebelah tangan.

Wamana melihat temannya menghampiri namun dia tetap acuh tak acuh sambil duduk di pinggir pantai. Lalu didengarnya Bhima berkata. “Ini prajunt kerajaan Tarumanegara, Wamana! Kita harus membawanya ke istana!”

Wamana menutup wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Bagus! Sempurnalah sudah kesialanku!”

Istana Kerajaan Tarumanegara

Sang Purnawarman tampak duduk di singgasananya dihadapi para pembesar kerajaan saat menerima berita yang disampaikan oleh prajuntnya yang kini duduk di hadapannya didampingi Wamana dan Bhimaparakrama.

Wajah sang Purnawarman terlihat murung. “Betul-betul kejam dan biadab!” Berulang-ulang dia menarik napas resah sambil sekali-sekali mengguman. “Malang sekali nasib menteriku serta para pengawalnya!”

Seperti berkata pada diri sendiri, sang Purnawarman terus saja menggumam. “Padahal para perompak itu sudah diingatkan bahwa kapal itu adalah milik kerajaan. Tapi tetap tak diperdulikan dan mereka tetap merampoknya!”

Sang Purnawarman menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa saat lamanya dia tenggelam dalam diam. Namun mendadak sekali wajahnya terlihat mengeras saat dia mengangkat kepalanya lagi sambil menepuk pangkal sandaran singgasana dengan agak keras.

“Baiklahl Aku harus melakukan tindakan tegas untuk masalah ini!”

Semua yang hadir menundukan kepala saat sang Purnawarman bangkit dari singgasana dan berdiri menyebar pandangan ke arah para bawahannya.

“Demi keamanan dan kelancaran perairan di wilayah kerajaan Tarumanegera ….”

Semua yang hadir kian dalam tertunduk saat sang Purnawarman melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih lantang. Tangan kiri memegang dada sementara yang kanan direntangkan lebar.

“Dengan ini, aku nyatakan perang terhadap bajak laut! Dan aku sendiri yang akan mernimpin penyerangan

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Bagian Gelap Bulan Maga (Januaril Februari) tahun 321 Caka (403 Masehi), sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak laut yang merajalela di perairan barat dan utara.

Puluhan kapal perang kerajaan berbaris meninggalkan pelabuhan kerajaan Tarumanegara. Di bagian depan Kapal terbesar, dengan pakaian besinya, berdiri dengan gagahnya Sang Purnawarman didampingi sang Panglima Cakrawarman dan Sang Senopati Sarwajala, Nagawarman.

Beberapa hari kemudian, di tengah lautan.

Malam telah lama melewati puncaknya. Langit gelap tanpa bi ntang dan tanpa cahaya rembulan. Yang ada hanyalah kegelapan yang pekat dan mencekam. Namun di kejauhan, seperti hampir sejajar dengan garis cakrawala, tampak dua buah titik cahaya kecil yang terayun-ayun di tengah lautan. Kiranya cahaya itu berasal dari dua buah kapal yang agak besar yang tengah melempar sauh. Dilihat dari dekat, hanya satu dari dua kapal itu yang masih menandakan adanya kegiatan. Dan dari kapal itu, sayup-sayup sampai terdengar suara orang berkata-kata dibawa angin yang berhembus timbul tenggelam.

“Kalah lagi! Sudahlah! Lebih baik aku tidur saja.”

Dari sekian banyak awak kapal, hanya tiga orang yang masih terbangun. Mereka berkumpul membentuk setengah lingkaran di antara puluhan orang lain yang berbaring di sana-sini. Di bawah penerangan sinar lampu damar yang samar, mereka menghadapi selembar kulit bergambar beberapa jenis hewan laut yang dihamparkan di lantai kapal. Salah seorang dari mereka memegang sebuah cangkang kelapa yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai mangkuk yang sudah dihaluskan. Perangkat seperti itu merupakan sebuah alat untuk permainan judi pada masa itu. Di dekatnya, di depan masing-masing orang, berceceran sejenis mata uang logam yang digunakan untuk memasang taruhan.

Saat itu, lelaki yang memegang cangkang kelapa tampak berkata pada temannya. “Jangan marah begitu! Ayo pasang sekali lagi! Kali ini pasti dapat! Udang? Kepiting? Keong?”

Yang diajak bicara malah melongok keluar jendela.

“Sejak sore tadi kau bilang begitu! Dan ini sudah hampir pagi!”

“Siapa tahu kalau sekarang saat kemujuranmu tiba?” sahutnya lagi.

Tapi orang yang satu itu malah merebahkan diri sambil sebelumnya berkata dengan suara yang agak keras. `Maimah sendiri.”

Tiba-tiba, kawan-kawan mereka yang tengah tertidur mendadak terjaga dan muka kesal mereka semua serempak berteriak kepada mereka yang masih terjaga. “Berisik! Kalian mau kami rampok?”

Mereka yang bermain seketika merungkut. Tapi mendadak mereka dikagetkan oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Dan sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, dinding kapal tempat di mana mereka saat itu berada, tiba-tiba ditembus oleh mata tombak-mata tombak yang menyembul masuk hingga ke bagian dalam. Para perompak itu kaget setengah mati. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dan melompat ke arah jendela untuk melihat keluar dan mencari tahu apa yang tengah terjadi, mendadak, dia tersurut.

Beberapa puluh meter dari kedua kapal bajak laut, terlihat lampu-lampu yang berjejer membentuk lingkaran mengelilingi kedua kapal itu. Sekilas, memang terlihat indah. Tapi yang membuat salah seorang bajak laut itu tersurut adalah bukan karena keindahan itu, melainkan karena setelah dia mengawasi lebih jelas dan menyadari bahwa lampu-lampu itu berasal dari kapal-kapal kerajaan. Dan kini kapal-kapal itu telah mengepung mereka dengan rapat. Dengan wajah pucat dan gemetaran, salah seorang bajak laut Itu berkata lemas pada teman-temannya.

“Kita — telah-dikepung”‘

Sementara itu, di salah satu kapal terbesar dari armada kapal kerajaan yang saat itu memang telah mengepung dua kapal bajak laut. Sang Purnawarman, Sang Senopati Sarwajala dan Sang Panglima Cakrawarman tengah menanyai salah seorang prajurit dari pasukan pengintai.

“Prajurit. betulkah ini kapal-kapal bajak laut itu?”

Prajurit itu menjura.

“Betul. Sang Senopat’!”

Sang Purnawarman mengangguk-angguk.

“Kalau begiitu, beri aba-aba untuk menyerang, Paman Senopati!”

“Baik. Sang Prabu!”

Senopatt Sarwajala memberi aba-aba kepada peniup terompet untuk segera membunyikannya sebagai tanda untuk mengawali penyerangan. Peniup terompet menjura lalu mulai meniup.

Nguuungggg!

Suara terompet menggema di tengah lautan, para pemimpin pasukan di tiap-tiap kapal segera memberi perintah kepada pasukannya.

“Tembak!”

Seketika, ratusan tombak dan panah dilepaskan. Kilauan mata tombak dan panah dalam kegelapan tampak begitu menggidikkan saat meluncur cepat mencari sasaran. Suara-suara kayu hancur dan jeritan orang-orang yang terkena tombak dan panah itu tumpang tindih berbaur menjadi satu saling atas mengatasi membuat suasana yang tadinya sepi dan tenang berubah menjadi hiruk pikuk. Tak ada perlawanan yang berarti. Sebelum matahari muncul di ufuk timur, gerombolan bajak laut itu sudah dapat ditaklukan. Mereka yang menyerah dijadikan tawanan oleh pasukan kerajaan Tarumanegara.

Saat itu, Wamana bersama Bhima dan para prajurit lain tengah berada di kapal bekas milik para bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan yang mungkin masih bersembunyi. Setelah lama mencari dan tak bertemu, mereka akhirnya mengakhiri pencarian. Saat akan meninggalkan kapal bajak laut itu untuk kembali ke kapal mereka masing-masing, tiba-tiba telinga Wamana menangkap sebuah suara yang mencurigakan.

Wamana menghentikan langkahnya. Suara itu terdengar begitu samar dan hanya terdengar sekali saja, tapi Wamana terasa begitu yakin kalau itu bukamah suara gesekan kayu atau semacamnya. Wamana berniat hendak memanggil Bhima, tapi Bhima terlihat sudah berada agak jauh darinya. Dengan penasaran, Wamana masuk kembali ke bagian dalam kapal sambil mengendap-endap. Dalam keremangan cahaya lampu yang bersinar lemah, Wamana menajamkan pandangannya dan mencari. Namun walau bagaimanapun telitinya Wamana mencari, tetap saja dia tak menemukan apa yang dicarinya, jangankan manusia, kecoa pun tak tampak di sana. Dengan kecewa, Wamana melangkah keluar dari ruangan itu. Tapi mendadak, suara itu terdengar lagi. Tak terlalu keras memang, tapi itu sudah cukup memberi petunjuk kepada Wamana untuk mengetahui arah dari ruangan itu. Wamana merebahkan tubuhnya sejajar dengan lantai ruangan, dengan cermat dia mulai meraba. Dan wajah Wamana mendadak berubah cerah saat tangannya merasakan ada celah tipis pada lantai yang tampaknya rata itu. Suara engsel yang lama tak diberi pelumas segera terdengar saat Wamana mengangkat dan mencongkel celah tipis yang berfungsi sebagai penutup itu dengan menggunakan ujung pedangnya. Cahaya lemah menembus ke dalam lubang yang menganga di bawahnya. Wamana terdiam sebentar. Dia berpikrr dan menimbang-nimbang.

“Apakah aku harus masuk ke sana.’ Tapi sendirian? Amankah? Atau…”

Terdengar suara desiran pelan dari balik kegelapan lubang yang menganga itu. Wamana membentak.

“Siapa itu?”

Tak ada jawaban. Wamana mengulang pertanyaannya.

“Siapa itu? Jawab atau kupanggilkan para prajurit lain!”

Mehdadak sekali, seraut wajah muncul di ambang lubang. Wamana terkejut dan jatuh terduduk, tapi dia segera menguasai dirinya.

“Siapa kau? Apakah kau anggota gerombolan bajak laut itu`’”

“Bukan! Aku adalah prajurit kerajaan!”

“Apa yang kau lakukan di dalam sana? Aku tak percaya! Naiklah ke sini agar aku bisa melihatmu dengan jelas! Dan awas, jangan mencoba untuk berbuat macam-macam!”

“Aku sedang buang air kecil! Tunggulah sebentar, aku akan naik!”

Wamana mengerenyitkan kening. “Apa tidak salah?”

Orang itu naik. Wamana melihat orang tersebut memang berseragam prajurit kerajaan Tarumanegara. Namun tiba-tiba Wamana mundur sambil menutup hidung. Prajurit itu melihat reaksi Wamana tapi dia terus melangkah mendekati. Wamana terus mundur hingga akhirnya punggungnya membentur dinding.

Wamana mengangkat tangannya. “Cukup! Jangan maju lagi! Kau amis sekali!”

Prajurit itu tersenyum dan terus maju, tetapi begitu dekat dengan Wamana, dia tiba-tiba membelokkan arahnya ke pintu keluar. Wamana mengintip melalui sela jari-jarinya dan dia menarik napas lega. Tapi itu hanya sesaat, karena selanjutnya dia melihat prajurit itu berjalan ke tepi kapal dan langsung terjun ke dalam air. Wamana berteriak memanggil. “Hei, jangan!”

Terlambat. Karena beberapa detik kemudian dari bawah kapal terdengar suara sesuatu yang masuk ke dalam air. Wamana berlari mengejar dan memanggil-manggil dengan perasaan bersalah. “Prajurit! Jangan marah! Aku tak bermaksud menghinamu! Keluarlah dari dalam air dan naiklah! Aku tak tahu kalau kau begitu cepat putus asa!”

Saat itu, Bhima dan beberapa prajurit yang juga mendengar suara tadi sudah tiba di sisi Wamana. “Ada apa, Wamana? Suara apa tadi? Apa ada yang tercebur?”

Wamana mengangguk sedih. “lya. Seorang prajurit!”

Tanpa banyak berkata lagi, Bhima langsung meloncat terjun ke dalam air. Beberapa saat lamanya Bhima menyelam mencari-cari, tapi dia tak menemukan seorang pun di bawah sana. Karena penasaran, Bhima mencari hingga dasar samudera namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya Bhima muncul kembali ke permukaan. “Tak ada seorang pun di bawah sana!”.

Wamana tersengguk dan mulai menangis. Beberapa prajurit yang ada di sampingnya berusaha membujuknya.

Sementara itu, Sang Purnawarman beserta para panglima tengah menanyai satu dari sekian bajak laut yang berhasil ditawan. “Mana pimpinan kalian?”

Yang ditanya menggeleng. “Kami tak tahu.”

Panglima Cakrawarman mendekati bajak laut. “Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?”

Bajak laut itu menjura dengan penuh ketakutan. “Tapi kami memang benar-benar tidak tahu!”

Sang Purnawarman berkata lagi. “Baiklah. Bila benar pemimpinmu itu tak ada di sini. Tapi, untuk memastikan apakah pemimpinmu itu masih hidup atau sudah mati, aku ingin kau katakan bagaimana ciri-cirinya!”

Seketika dan tanpa berpikir panjang lagi, bajak laut itu menjawab.

“Dia berbau amis dan berpenyakit asma!”

Panglima Cakrawarman membentak.”Jangan main-main! Kau kira dia itu ikan? Yang kami maksud ciri-ciri itu adalah bagaimana sosok pemimpinmu sebenarnya!”

Dengan ketakutan, bajak laut menjawab. “Susah untuk mengatakannya. Dia selalu berganti rupa sehingga sulit untuk menjelaskan ciri dari sosoknya!”

Sang Panglima membentak lagi. “Cukup! Kau telah mempermainkan Sang Prabu dan akan mendapat hukuman yang setimpal karenanya!”

Bajak laut merungkut ketakutan. “Tapi memang itulah yang sebenarnya!”

Sang Panglima memberi isyarat agar bajak laut itu segera dibawa pergi. Bajak laut berusaha meyakinkan agar kata-katanya dapat dipercaya, tapi dua prajurit segera menghampiri dan membawanya pergi. “Ampun, Sang Prabu! Kami tidak berbohong! Itulah yang sebenarnya! Ampuni kami!”

Selanjutnya dari 80 orang bajak laut, sebagian terbunuh dalam penyerangan oleh armada Kerajaan Tarumanegara sedangkan sisanya sebanyak 52 orang dapat ditawan. Lalu, seorang demi seorang, bajak laut yang ditawan itu dibunuh dengan berbagai cara dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut.

Matahari baru saja muncul. Sinar keemasan mewarnai angkasa. Suasana yang teduh dan sejuk mengiringi armada kapal kerajaan Tarumanegara yang telah tiba di Pantai Teluk Lada. Kapal-kapal ini melaju menyusuri aliran sungai Cidangiang dan masuk ke pedalaman. Penduduk bersorak menyambut kedatangan pasukan kerajaan yang baru saja berhasil menumpas gerombolan perompak yang biasa menghantui dan berkeliaran mengganggu keamanan penduduk setempat.

Sang Purnawarman dan para panglimanya turun dan kapal dan disambut oleh tetua kampung setempat sedangkan para prajurit diizinkan turun ke darat untuk sekedar melepas lelah dan beristirahat setelah sekian lama berada di lautan dan berperang semalaman. Bhima dan Wamana tampak bergabung dengan penduduk setempat. Mereka berbincang-bincang dan saling bertukar cerita. Saat itu, Wamana yang sedang tertawa-tawa, tiba-tiba terdiam. Matanya mendelik dan cuping hidungnya bergerak-gerak. Lalu dia berdiri dengan tiba-tiba sambil menoleh ke sana kemari. Bhima dan yang lainnya menjadi heran melihat perubahan sikap Wamana itu. Wamana berjalan ke sana kemari sambil bertingkah seperti mencium-cium ke segala arah.

Beberapa orang yang melihatnya saling berpandangan dengan heran. Saat kembali ke tempat semula, Wamana seperti tampak tengah berpikir keras. Alisnya berkerut tajam sementara kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggumam. “Aneh!”

Bhima tak dapat menahan rasa ingin tahunya. “Ada apa denganmu, Wamana?”

Wamana masih saja bertingkah sama. “Aneh!”

“Apanya yang aneh, hei?” Tanya Bhima lagi sambil mencolek lengan Wamana.

“Aku seperti mencium bau yang sama.”

“Bau? Bau apa?”

“Bau prajurit yang tadi malam kulihat tercebur ke laut!”

Kali ini Bhima ikut mengerutkan kening. “Jangan bercanda, Wamana. Kau maksud prajurit yang tadi malam tenggelam itu?”

Wamana mengangguk cepat. “Iya”

“Bukankah kau lihat sendiri, aku tak dapat menemukannya walaupun sudah kucari hingga ke dasar laut. Apa mungkin dia selamat? Mungkinkah dia sudah lebih dulu naik ke kapal tanpa kita mengetahuinya?”

“Mungkin. Tapi saat kucari-cari aku tak melihat seorang pun yang bahkan mirip dengannya, apalagi dirinya.”

“Kau tidak melihatnya, tapi kau dapat mencium baunya. Apa kau pikir yang datang tadi itu adalah hantunya” Mana mungkin, ini sudah siang, banyak orang lagi!”

“Lalu, bau apa atau siapa yang tadi kucium? Sayang, bau itu sudah keburu hilang sebelum aku sempat berbuat lebih banyak!”

“Bau ini, Wamana. Bau seperti apakah yang kau cium?”

“Amis”

Bhima mulai tcrsenyum. “Amis? Maksudmu seperti bau ikan” Bukankah itu wajar mengingat tempat ini adalah tepian pantai dan juga perkampungan nelayan?”

Wamana dengan mimik serius tetap mempertahankan keyakinannya.

“Bukan, Bhima. Aku kenal betul bau ini!”

Saat itu, Sang Senopati Sarwajala berdiri di tengah-tengah kampung dan memanggil para prajurit untuk berkumpul karena ada pengumuman yang hendak disampaikannya. Setelah itu, dia pun mulai angkat bicara.

“Segenap penduduk dan prajurit Tarumanegara. Ada hal penting yang akan kami sampaikan atas perintah Sang Prabu Purnawarman. Dari hasil pembicaraan antara Sang Prabu dan Tetua Kampung ini, maka terciptalah suatu rencana untuk mengabadikan peristiwa keberhasilan membasmi gerombolan perompak yang selama ini telah mengusik keamanan di perairan ini dan juga sebagai ungkapan terima kasih dari Sang Prabu atas kesediaan masyarakat di sekitar sungai Cidangiang untuk bersama-sama saling membantu menjaga ketentraman di perairan ini demi kepentingan bersama-sama Juga. Sudah sepantasnya kerajaan dan masyarakatnya saling bahu membahu demi kemajuan negara. Dan akhirnya, semua keberhasilan ini tidak akan terjadi tanpa dukungan dan bantuan serta kerjasama antara kerajaan dengan masyarakat”.

Kalimat sang Senopati itu disambut dengan tempik sorak dari segenap prajurit dan penduduk. Kemudian, diperintahkan para prajurit serta penduduk setempat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara para lelakinya bekerja, para wanita memasak makanan untuk dihidangkan nanti. Suasana di kampung itu menjadi begitu ramai. Puluhan kerbau dikumpulkan di tengah tanah lapang untuk disembelih dan sebagian lagi untuk dihadiahkan kepada penduduk.

Saat tiba waktu makan siang, para lelaki yang bekerja beristirahat dan mencari tempat yang teduh untuk bernaung dan melepas lelah. Anak-anak penduduk berlarian rnembawakan air minum di dalam kendi-kendi tanah dan potongan-potongan barnbu. Tak lama kemudian. para wanita datang membawakan santapan untuk makan siang. Para pekerja langsung menyambut dan mulimkan dengan lahap.

Di pondok kediaman sang Tetua kmpung dimana para panglima dan sang Purnawarman berada, hidangan telah pula diantarkan oleh para wanita. Di dekat anak tangga pondok sang Tetua kampung, tampak Bhim dan Wamana berbaur dengan para pekerja lainnya dan tengah menyantap hidangan. Wamana tampak makan dengan lahap hingga remah-remah makanan bertempelan di sekitar mulut dan pipinya. Dari barisan para wanita yang membawakan hidangan ke pondok Tetua kampung, tampak seorang gadis muda cantik di antrian paling belakang. Dengan lenggang lenggoknya yang gemulai, dia melemparkan senyum manisnya kepada para pekerja sambil mengapit dua buah kendi air di tangan kanan-kirinya. Tiba di tangga pondok, gadis itu melirik sekilas pada Wamana yang masih sibuk dengan makanannya. Tapi beberapa saat setelah gadis itu melewati tangga, Wamana tiba-tiba terhenyak. Dia menghentikan suapan ke mulut dan berhenti mengunyah. Kepalanya terangkat dan matanya terbuka lebar. Beberapa helaan napas Wamana terpaku, cuping hidungnya bergerak kembang-kempis. Bhima yang melihat sikap Wamana itu bertanya.

“Ada apa Wamana? Kau tersedak? Makanya, kalau makan jangan terlalu lahap!” Wamana seperti tak mendengar pertanyaan Bhima. Dia malah memegang lengan Bhima dengan kencang.

“Bhima, kau cium bau itu?”

“Bau apa?” tanya Bhima sambil menajamkan penciumannya. “,Aku tak mencium bau apa-apa selain bau daging yang kita makan, dan bau keringatmu!”

Wamana tiba-tiba meletakkan makanannya dan bangkit berdiri sambil bercelingukan dia bertanya kepada Bhima dengan terburu-buru.

“Siapa orang yang terakhir lewat dekat kita?”

Bhima mengangkat bahu sambil menoleh ke sekeliling. “Kau lihat sendiri, mereka semua sedang makan. Sama seperti kita. Kecuali…”

“Kecuali siapa?” desak Wamana dengan bernafsu.

“Para wanita yang mengantarkan hidangan ke dalam Pondok ini. T api kenapa?”

Tanpa rnenghiraukan pertanyaan Bhima lagi, Wamana segera bergerak cept ke dalam pondok. Dia melompati anak tangga dengan langkah-langkah lebar.

‘Mau apa” dia masuk ke dalam? Bisa-bisa dia akan mengganggu selera makan orang-orang yang ada dI sana!”

Berpikir demikian, Bhima segera bangkit menyusul Wamana.

Di dalam pondok, para wanita yang membawakan makanan telah mulai keluar satu per satu. Mereka berpapasan dengan Wamana. Dan mereka kaget karena Wamana memandang mereka dengan tajam sambil mendekatkan wajahnya ke tubuh para wanita itu. Para wanita memandang heran sambil melanjutkan keluar dari dalam pondok. Wamana masuk ke bagian dalam ruangan di mana Tetua kampung, Sang Purnawarman dan para Panglima tengah berkumpul dan bersiap-siap untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan. Di sana dia melihat hanya tinggal satu orang wanita yang tengah menaruh kendi air di atas lantai. Semua yang ada di dalam, kecuali si wanita, melihat kedatangan Wamana. Tapi Wamana malah menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Dengan berjingkat dia berjalan mendekati si wanita dari belakang. Sang Purnawarman serta para Panglima yang telah mengenal Warnana dan sudah tahu bagaimana sifatnya, hanya terdiam sambil tersenyum melihat tingkah Wamana itu.

Tepat pada saat si wanita selesai meletakkan kendi dan bangkit berdiri, Warnana melompat dan menerkam tubuh si wanita. Tubuh wanita itu terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana. Dengan bemafsu Wamana berseru sambil menekan kepala si wanita ke lantai. “Kena kau sekarang!”

Lalu kaki Wamana bergerak menendang dua kendi air yang tadi dibawa si gadis dengan keras sehingga terpental dan pecah. “Air itu telah dicampur racun!”

Tetua kampung hanya terbengong melihat kejadian itu. Sang Panglima Cakrawarman menegur Wamana. “Wamana, apa yang kau lakukan? Apa kau tak memandang Sang Prabu dengan berbuat keributan seperti ini? Kali ini, leluconmu tidaklah lucu!”

Dengan masih sambil menekan kepala si gadis, Wamana menjawab ucapan Sang Panglima.

“Memang tidak lucu, karena hamba memang tak bermaksud bercanda. Tapi apakah Yang Mulia semua tidak merasa terganggu dengan bau amis ini?”

Seketika yang ada di dalam ruangan mengendus-ngendus.

“Bau amis? Aku memang baru membauinya. Tapi kukira itu hanyalah aroma dari masakan ini saja. Lalu kenapa?” tanya Sang Purnawarman.

Wamana tidak segera menjawab. Tapi dia malah memukul punggung gadis itu dengan keras hingga si gadis terbatuk-batuk dengan payah dan nafas tersengal-sengal.

“Bagaimana pula dengan ini?” tanya Wamana lagi.

Semuanya saling berpandangan tak mengerti akan apa yang dimaksud Wamana.

“Mengapa kau memukulnya sekeras itu? Apa salahnya sehingga kau begitu kasar pada seorang wanita?”

Pada saat itu Bhima pun masuk ke dalam ruangan. Dia menjura saat Sang Purnawarman dan para Panglima menoleh ke arahnya.

“Ampun, Sang Prabu. Maafkan sikap hamba dan kawan hamba ini bila telah berbuat lancang di hadapan Sang Prabu!”

Sang Purnawarman mengangguk. “Aku tak mengerti. Apa yang terjadi dengan Wamana, Bhima. Dia seperti kehilangan kendali.”

“Ampun, Sang Prabu. Hamba pun tidak tahu. Tapi izinkamah hamba mengurusnya.”

Sang Purnawarman mengangkat tangan mempersilahkan. Bhima kemudian menghampiri Wamana. Tapi baru beberapa langkah, Wamana berseru kepada Bhima.

“Diam di tempatmu, Bhima!”

Langkah Bhima seketika terhenti. “Tapi kau telah lancang di hadapan sang Prabu, Wamana. Ayolah, mari kita keluar saja dan lepaskan gadis yang tidak bersalah itu!”

“Bhima, kau ingat kejadian di kapal tadi malam saat kau menyelami laut untuk mencari seorang prajurit yang tenggelam?” Bhima mengangguk. “Kau masih ingat tadi pagi dan barusan saat kukatakan kalau aku mencium bau amis?” Bhima mengangguk lagi.

“Bagus,” kata Wamana. “Sekarang, mendekatlah kemari!”

Bhima menurut saja. Dia melangkah perlahan menghampiri Wamana. Tapi beberapa jengkal dari Wamana, Bhima menghentikan langkahnya sambil menahan nafas. Wamana tersenyum karenanya.

“Nah, bau apa yang barusan kau cium?”

Bhima mengerutkan kening. “Amis!”

“Tepat!” kata Wamana. Lalu katanya lagi kepada Sang Prabu. “Hamba dan Bhima memang tidak hadir saat Sang Prabu menanyai salah seorang bajak laut tadi malam. Tapi dari cerita yang hamba dengar dari salah seorang prajurit yang hadir pada saat itu, bukankah si bajak laut mengatakan ciri-ciri dari pemimpin mereka” Ciri-ciri yang benar-benar tepat, walaupun tidak dipercayai dan dianggap mengada-ada!”

Saat Itu, Sang Purnawarman serta para Panglima tersentak. Mereka semua memandang pada gadis yang ada di bawah tubuh Wamana. “Aku ingat itu. Tapi apakah mungkin gadis seperti dia dapat memimpin gerombolan perampok yang kejam itu”?

Wamana menggeleng cepat. “Ciri-ciri itu juga dikatakan oleh bajak laut itu. Bukankah katanya pemimpinnya itu pun seringkali berganti-ganti rupa?”

Sang Prabu mengangguk- angguk mengerti.

“Kalau begitu, mari kita hukum dia! Tak peduli bagaimana pun wujud dia yang sebenarnya!” kata Sang Panglima.

Tapi tiba-tiba, Wamana merasakan tubuhnya terangkat dan kulit wanita yang tadinya mulus kini berubah kasar dalam genggamannya. Seketika Wamana menoleh ke bawah. Dan dia terkejut saat melihat bagaimana tubuh wanita yang tadi ditindihnya telah hilang dan kini berubah menjadi sosok yang besar, jauh lebih besar bahkan dari tubuhnya sendiri. Belum sempat Wamana berbuat sesuatu, sosok itu tiba-tiba meronta dengan keras. Wamana yang bertubuh kecil tak dapat bertahan. Pegangannya terlepas dan tubuhnya terlempar ke belakang. Sang Prabu dan para Panglima yang juga melihat perubahan-perubahan itu segera bangkit dari duduknya karena terkejut, begitu juga dengan Bhima. Sosok tinggi besar itu kini bangkit sambil menggeram marah. Kini terlihatlah sosok pemimpin bajak laut itu yang sebenamya. Dia memandang marah pada orang-orang di sekelilingnya. Melihat itu, dengan ketakutan Wamana melompat mundur ke arah pintu keluar dan berlindung di balik tubuh Bhima. “Bhima! Tolong aku!”

Para Panglima segera bergerak mengelilingi Sang Prabu untuk menjaga segala kemungkinan buruk yang dapat mengancam keselamatan Sang Prabu.

“Kau tidak akan bisa keluar dari sini, Perompak! Menyerahlah!” Sang Senopati membentak.

“Dan membuat kalian senang dengan merighukumku?” tanya si pemimpin. “Tidak!” jawabnya lagi sambil menggeleng-geleng. “Tapi kalian semua telah mengganggu kesenanganku. padahal kalian tahu kalau aku ini adalah perompak yang bekerja untuk mengganggu kesenangan orang! Aku ingatkan kalian kalau kalian belum sadar, itu terbalik, tahu?”

“Kau tahu apa kesalahan terbesarmu?” tanya Sang Purnawarman.

“Apa ya ?” Si perompak menggelengkan kepala.

“Kau telah merampok dan membunuh salah seorang menteri dari kerajaan Tarumanegara! Itu adalah kesalahan tak terampuni!” kata sang Purnawarman lagi sambil menuding ke arah perompak.

“Aku tak butuh ampunan dari siapapun! Dan bila aku ingin merampok, jangankan seorang menteri, seorang raja sekalipun akan tetap kurampok bila aku memang menginginkan!” Kalimat terakhir diucapkan perompak dengan sangat bersemangat. Karenanya, tiba-tiba memegang dadanya sambil berusaha menarik napas dengan payah. Melihat hal itu, Sang Senopati mengira kalau perompak itu lengah. Maka dengan segera dia melompat menyerang si perompak. Tapi dugaan sang Senopati salah, karena si perompak justru dapat dengan mudah menghindari serangan itu dan bahkan membalasnya. Terjadi pertempuran sengit di dalam pondok tetua kampung. Para penduduk dan prajurit telah mendengar keributan di dalam pondok dan mereka semua datang berkerumun di sekeliling tempat itu. Beberapa saat kemudian, rupanya perompak itu lebih tangguh dibanding sang Senopati. Pertempuran sengit kembali terjadi. Namun kembali terbukti bahwa si perompak memang benar-benar tangguh. Sang Panglima pun kembali terdesak hebat hingga akhirnya dia mundur menjauhi si perompak. Demi melihat kedua panglimanya tak berdaya menghadapi perompak itu, Sang Purnawarman sendiri akhirnya turun tangan. Tapi para panglimanya mengllalangi.

“Jangan, Sang Prabu! Lebih baik kita menyingkir dari sini! Dia terlalu tangguh buat kami! Kami tak ingin keselamatan Sang Prabu terancam!”

Perompak tertawa terkekeh-kekeh melihat hal tersebut. Kesombongannya pun timbul.

“Tak usah berebut, Kalau mau, kalian semua boleh majumenyerangku! Aku senang-senang saja”

Sungguh sangat meremehkan kalimat si perompak itu. Sang Purnawarman merasa dihina dan ditantang. Lalu dia menepis tangan para panglima yang melindunginya. Tapi kemudian terdengar suara seseorang berkata:

“Izinkan hamba menghadapinya. Sang Prabu tak perlu turun tangan!”

Sang Purnawarman menoleh danmelihat Bhima tengah menjura kepadanya. Seperti orang baru sadar dri suatu lamunan, Sang Purnawarman tersentak lalu tersenyum gembira.

“Ah. Bhima. Aku begitu termakan oleh kesombongan perompak ini sampai-sampai tak menyadari keberadaanmu di sini!”

“Dia memang sakti, Sang Prabu. Tapi kesombongannya justru seperti melebihi kemampuannya itu sendiri. Dengan izin dan restu dari Sang Prabu serta para Panglima semua, hamba akan mencoba melawannya!”

“Dengan senang hati, Bhima. Mungkin hanya kaulah yang mampu menghadapinya. Semoga berhasil!”

Bhima lalu melangkah tenang mendekati si perompak yang masih dengan sambil tertawa-tawa mencibirkan mulutnya ke arah Bhima.

“Heli, rupanya Tarumanegara sudah kehabisan Panglima andalannva sehingga harus menyerahkan tanggung jawab kepada bocah bongsor ini!”

Bhima terus mendekat.

“Bocah, jangan karena kau merasa tubuhmu tinggi besar lalu kau mengira akan dapat mengalahkanku! Lebih baik kau mundur dan biarkan aku menghabisi rajamu, maka kau akan kubiarkan hidup!”

Bhima tak menjawab ejekan si perompak. Dia terus saja melangkah menghampiri si perompak yang menjadi heran karena sikap Bhima itu. Tepat pada saat Bhima tinggal beberapa depa lagi darinya, si perompak dengan kesal menyerang Bhima. Pukulan si perompak tepat menghantam dada Bhima. Bhima tak bergeming lalu dengan secepat kilat Bhima mengulurkan tangan ke arah si perompak. Tahu-tahu, leher si perompak telah dicekik oleh tangan Bhima yang kokoh. Si perompak meronta-ronta sambil memukul dan menendangi tubuh Bhima, Bhima malah mengangkat tangannya ke atas sehingga tubuh si perompak ikut terangkat pula ke atas. Si perompak mulai tercekik pernapasannya, matanya melotot sementara tangan dan kakinya terus saja memukuli dan menendangi Bhima. Dari mulutnya dia mengeluarkan suara serak tak jelas apa yang dikatakannya. Wajah si perompak kian memerah. Perlahan-lahan gerakannya yang meronta-ronta mulai mengendur. Saat itu Bhima menurunkan tubuh si perompak dan melepaskan cekikannya. Tubuh si perompak meluruk ke lantai dengan lemah, dia memegangi lehemya dengan wajah kesakitan sambil terbatuk-batuk. Pada saat itu, Sang Panglima melambai pada beberapa orang prajurit yang tengah menyaksikan kejadian itu.

“Ringkus dial”

Para prajurit segera melakukan perintah itu. Mereka menghampiri si perompak dan mengamankannya, kali ini dia tak lagi melawan. Begitu juga saat para prajurit membawanya pergi dari pondok itu. Dia hanya bisa memandang heran dan tak mengerti pada Bhima. Untuk kesekian kalinya, Sang Purnawarman dan Para Panglima menghaturkan terimakasih kepada Bhima dan Wamana atas jasa mereka yang telah menghindarkan Sang Purnawarman beserta para Panglimanya dari bahaya yang mengancam mereka.

Tak lama kemudian, Sang Purnawarman memerintahkan agar perompak itu dibawa ke tengah laut untuk menerima hukuman seperti yang diterima oleh para anak buahnya sebelumnya. Kini sempurnalah sudah penumpasan mereka terhadap para bajak laut yang selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi para pelaut.

Sementara itu, acara pengabadian keberhasilan penumpasan gerombolan bajak laut segera dimulai. Bentuk pengabadian itu diwujudkan dalam sebuah prasasti yang terletak di tepi sungai Cidangiang, Sang Purnawarman rnenuliskannya dalam aksara Pallawa bahasa Sansekerta yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Vikrantayam vanipateh
Prabbhuh satyaparakramah
Narendraddhvajabutena crimatah
Purnnavarmmanah

((Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman)

Prasasti itu berada di tepi sungai Cidangiang, di desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang sekarang.
Read full post »
 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger