* * *
Alkisah, di sebuah bukit yang bernama Napo di daerah Tammajarra, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Balanipa yang dipimpin oleh Raja Balanipa. Sudah tiga puluh tahun sang Raja berkuasa, namun tidak mau turun dari tahtanya. Ia ingin berkuasa sepanjang masa. Untuk itu, ia senantiasa menjaga kesehatan badannya dengan cara berolahraga secara teratur, berburu, minum jamu dan obat ramuan tabib terkenal agar tetap awet muda dan panjang umur.
Raja Balanipa memiliki empat orang anak, dua putra dan dua putri. Akan tetapi, kedua putranya sudah dibunuhnya, karena ia tidak mau mewariskan tahtanya kepada mereka. Sementara sang Permaisuri selalu merasa cemas jika sedang mengandung. Jangan-jangan anak yang dikandungnya itu seorang bayi laki-laki. Ia sudah tidak kuat lagi melihat anaknya dibunuh oleh suaminya sendiri. Ia pun selalu berdoa kepada Tuhan, agar anak yang dikandungnya kelak adalah bayi perempuan.
Pada suatu waktu, sang Permaisuri sedang hamil besar. Ketika itu, Raja Balanipa hendak pergi berburu di daerah Mosso. Sebelum berangkat, sang Raja berpesan kepada panglima perangnya yang bernama Puang Mosso.
”Puang Mosso! Tolong jaga Permaisuriku yang sedang hamil besar itu! Jika aku belum kembali dan ia melahirkan anak laki-laki, maka bunuhlah anak itu!” titah Raja Balanipa.
”Baik, Baginda! Segala perintah Baginda pasti hamba laksanakan,” jawab Puang Mosso sambil memberi hormat.
Setelah itu, berangkatlah Raja Balanipa ke Mosso. Keesokan harinya, sang Permaisuri pun melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Namun anehnya, lidah bayi itu berwarna hitam dan berbulu.
Mengetahui permaisuri melahirkan, anjing pengawal raja segera menjilati kain bekas persalinan, sehingga meninggalkan darah di moncongnya. Kemudian anjing itu segera mencari sang Raja yang sedang berburu di daerah Mosso. Setelah menemukan tuannya, anjing itu terus menggonggong untuk memperlihatkan darah di moncongnya. Sang Raja yang mengerti jika permaisurinya telah melahirkan segera kembali ke istana.
Sementara itu, Puang Mosso sedang dilanda kebingungan setelah mengetahui sang Permaisuri melahirkan bayi laki-laki. Ia merasa kasihan dan tidak tega membunuh bayi itu. Sesaat ia berpikir keras untuk mencari cara agar sang Raja tidak murka dan bayi laki-laki itu tetap hidup.
”Mmm, aku tahu caranya. Aku akan menyembelih seekor kambing dan aku kuburkan, lalu membuatkan nisan di atas kuburannya, sehingga sang Raja akan mengira bahwa isi kuburan itu adalah putranya,” pikir Puang Mosso lalu segera melaksanakan niatnya itu.
Oleh karena khawatir rahasianya diketahui sang Raja, Puang Mosso menitipkan bayi itu kepada keluarganya yang tinggal di sebuah kampung yang berada jauh dari istana.
Keesokan harinya, Raja Balanipa kembali dari berburu dan langsung menemui Puang Mosso.
”Bagaimana keadaan Permaisuri? Apakah ia sudah melahirkan?” tanya sang Raja.
”Ampun, Baginda! Sehari setelah Baginda berangkat, Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki. Sesuai dengan pesan Baginda, hamba sudah menyembelih dan menguburkan bayi itu,” jelas Puang Mosso.
“Di mana kamu kuburkan?” tanya sang Raja.
”Ampun, Baginda! Hamba menguburnya di samping kuburan putra Baginda yang lainnya,” jawab Puang Mosso.
Raja Balanipa belum yakin jika belum melihat langsung kuburan itu. Ia pun segera ke tempat perkuburan keluarga istana, dan tampaklah sebuah kuburan kecil yang masih baru. Sang Raja pun percaya bahwa bayi laki-lakinya sudah mati. Ia pun kembali menjalankan tugasnya sebagai raja dengan perasaan tenang, karena pewaris tahtanya sudah tidak ada lagi.
Waktu terus berjalan. Putra raja yang tinggal di sebuah kampung sudah besar. Dia sudah lancar berbicara dan mengenal orang-orang di sekelilingnya. Ia juga sangat akrab dengan Puang Mosso, karena hampir setiap minggu Puang Mosso membesuknya secara diam-diam. Oleh karena khawatir rahasianya diketahui oleh sang Raja, Puang Mosso menitipkan anak itu kepada seorang pedagang yang akan berlayar menuju Pulau Salemo[1] yang berada jauh dari bukit Napo.
Di Pulau Salemo, putra raja itu tumbuh menjadi anak yang sehat. Ia diasuh dan dididik oleh keluarga pedagang yang membawanya ke tempat itu. Ia sangat tekun bekerja dan mahir memanjat pohon kelapa.
Pada suatu hari, ketika ia sedang memanjat pohon kelapa, tiba-tiba seekor burung rajawali raksasa menyambarnya, lalu membawanya terbang ke tempat yang jauh. Ketika sampai di daerah Gowa,[2] anak itu terlepas dari cengkeraman rajawali raksasa sehingga terjatuh di tengah sawah dan ditemukan oleh seorang petani. Si petani pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Gowa, Tumaparissi Kalonna.
”Ampun, Baginda! Hamba menemukan seorang anak laki-laki berbaju merah di tengah sawah yang terlepas dari cengkeraman seekor burung rajawali raksasa.”
”Di mana anak itu sekarang?” tanya Raja Gowa.
”Ada di rumah hamba, Baginda!” jawab petani itu.
“Pak Tani! Bawa anak itu kemari, aku ingin melihatnya!” titah Raja Gowa.
Mendengar perintah sang Raja, petani itu segera menjemput anak itu di rumahnya. Beberapa lama kemudian, petani itu sudah kembali ke istana bersama dengan anak itu. Ketika sang Raja melihat dan mengamati anak itu, ia langsung tertarik melihat tubuh anak itu.
“Waaah, kekar sekali tubuh anak ini! Jika anak ini aku rawat dan didik dengan baik, kelak ia akan menjadi pemuda yang gagah perkasa,” pikir Raja Gowa.
“Hei, anak kecil! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Raja Gowa.
Putra Raja Balanipa itu menceritakan asal-usulnya hingga ia dapat sampai di tempat itu. Sang Raja menjadi terharu mendengar cerita anak itu. Akhirnya, Raja Gowa merawat dan mendidiknya hingga menjadi pemuda gagah perkasa dan sakti. Kemudian ia mengangkatnya menjadi panglima perang (tobarani) Kerajaan Gowa. Sejak putra Raja Balanipa itu menjadi panglima perang, pasukan Kerajaan Gowa selalu menang dalam peperangan. Panglima perang Kerajaan Gowa itu pun terkenal hingga ke berbagai negeri. Raja Gowa kemudian memberinya gelar I Manyambungi.
Sementara itu, di Kerajaan Balanipa, kondisi keamanan sedang kacau-balau. Rupanya Raja Balanipa yang merupakan ayah kandung Panglima I Manyambungi telah wafat dan digantikan oleh Raja Lego yang terkenal sakti. Raja tersebut sangat kejam dan bengis. Ia suka menganiaya rakyat, baik yang berada di wilayah kekuasaannya maupun yang berada di negeri sekitarnya, yaitu negeri Samsundu, Mosso dan Todang-Todang.[3] Hal itu membuat raja-raja negeri bawahannya menjadi resah dan benci kepadanya. Untuk mengatasi hal itu, mereka pun mengadakan musyawarah untuk mencari cara menyingkirkan Raja Lego.
”Bagaimana caranya menyingkirkan Raja Lego yang kejam itu?” tanya salah seorang raja.
”Saya mendengar kabar bahwa Kerajaan Gowa memiliki seorang panglima perang yang sakti bernama I Manyambungi. Barangkali kita dapat meminta bantuannya untuk melawan Raja Lego,” jawab seorang raja yang lain.
Para raja negeri bawahan itu pun bersepakat untuk mengundang Panglima I Manyambungi. Maka diutuslah beberapa perwakilan dari kerajaan-kerajaan bawahan ke Kerajaan Gowa. Sesampainya di Gowa, mereka pun segera menemui panglima sakti itu dan mengutarakan maksud kedatangan mereka.
”Maaf, Tuan! Kami adalah utusan dari kerajaan-kerajaan kecil di daerah Polewali Mandar. Maksud kedatangan kami adalah ingin meminta bantuan Tuan untuk melawan Raja Lego,” lapor seorang utusan.
”Siapa Raja Lego itu?” tanya I Manyambungi.
”Dia adalah penguasa Kerajaan Balanipa yang menggantikan Raja Balanipa. Ia sangat kejam, suka menganiaya rakyat kami yang tidak berdosa,” jelas salah seorang utusan.
I Manyambungi sangat terkejut saat mendengar jawaban itu. Ia jadi teringat dengan ayah dan keluarganya yang pernah diceritakan oleh Puang Mosso kepadanya semasa ia masih kecil.
”Bagaimana dengan Raja Balanipa dan keluarga istana lainnya?” tanya I Manyambungi penasaran.
”Raja Balanipa dan permaisurinya telah wafat. Sementara beberapa keluarga istana lainnya sedang mengungsi ke daerah Mosso.” jelas utusan itu.
”Bagaimana dengan Panglima Puang Mosso? Apakah ia masih hidup?” tanya I Manyambungi.
”Iya, Tuan! Dia masih hidup. Bahkan dialah yang telah menyelamatkan sebagian keluarga istana. Bagaimana Tuan dapat mengenal Puang Mosso?” tanya salah seorang utusan heran.
Panglima I Manyambungi pun menceritakan perihal asal-usulnya. Para utusan dari Mandar itu pun terkejut dan segera memberi hormat.
”Ampun, Tuan! Sungguh kami tidak mengetahui jika Tuan adalah putra Raja Balanipa,” kata utusan serentak.
”Baiklah! Aku akan memenuhi permintaan kalian, tapi dengan syarat Puang Mosso yang harus datang sendiri menjemputku,” pesan Panglima I Manyambungi.
”Baik, Tuan! Kami akan menyampaikan berita ini kepada Puang Mosso” jawab para utusan seraya berpamitan kembali ke Mandar.
Sesampai di Mandar, mereka segera menemui Puang Mosso. Mendengar laporan para utusan itu, Puang Mosso menjadi cemas. Oleh karena penasaran, Puang Mosso berlayar sendiri ke Gowa dengan hati berdebar-debar. Dalam perjalanan, ia selalu bertanya-tanya dalam hati.
”Siapa sebenarnya I Manyambungi itu. Kenapa harus aku yang menjemputnya? Jangan-jangan dia adalah putra Raja Balanipa yang pernah aku titipkan kepada seorang pedagang?”
Sesampainya di Gowa, Puang Mosso segera menghadap Panglima I Manyambungi. Saat berada di hadapan panglima yang sakti itu, hati Puang Mosso semakin berdebar kencang. Lain halnya dengan I Manyambungi yang selalu tersenyum sambil menatap Puang Mosso dengan mata berkaca-kaca. Puang Mosso bukanlah sosok yang asing di mata I Manyambungi.
”Benarkah Anda Puang Mosso?” tanya I Manyambungi.
”Benar, Tuan!” jawab Puang Mosso.
”Maafkan hamba Tuan! Maukah Tuan menjulurkan lidah sebentar?” Puang Mosso balik bertanya kepada I Manyambungi dengan perasaan ragu-ragu.
Ketika melihat lidah I Manyambungi berwarna hitam dan berbulu, maka semakin yakinlah Puang Mosso jika panglima itu adalah putra Raja Balanipa. Tanpa berpikir panjang, Puang Mosso segera memeluknya dengan erat sambil berkata:
”Benar, engkaulah putra Raja Balanipa.”
I Manyambungi pun membalas pelukan Puang Mosso sambil meneteskan air mata, lalu berkata:
”Iya, Puang Mosso! Terima kasih karena engkau telah menyelamatkan nyawaku dan merawatku semasa aku masih kecil.”
”Sudahlah, Tuan! Kita harus segera ke daerah Mandar untuk menyelamatkan warga yang tidak berdosa dan merebut kembali Kerajaan Napo dari tangan Raja Lego yang bengis dan kejam itu,” ujar Puang Mosso.
”Baik, Puang Mosso! Kita berangkat saat tengah malam agar tidak ketahuan oleh Raja Gowa. Jika mengetahui hal ini, beliau pasti akan melarangku pergi,” kata I Manyambungi.
Pada saat tengah malam, Puang Masso dan Panglima I Manyambungi beserta beberapa pengikutnya meninggalkan istana Kerajaan Gowa. Setelah beberapa hari berlayar, kapal mereka pun merapat di pelabuhan Tangnga-tangnga. Semua peralatan perang mereka turunkan dari kapal dan kemudian membawanya ke bukit Napo. Sejak itu, Panglima I Manyambungi dikenal dengan nama Panglima To Dilaling.[4]
Sementara itu, Raja Lego semakin kejam terhadap rakyat yang lemah. Segala keinginannya harus segera dipenuhi. Jika ia menginginkan harta atau pun gadis untuk dikawini, tidak seorang pun yang dapat menghalanginya. Akibatnya, seluruh warga menjadi resah dan semakin benci kepadanya. Maka, pada saat Panglima To Dilaling mengajak para warga untuk memerangi Raja Lego, mereka menyambutnya dengan senang hati dan penuh semangat.
Pada waktu yang telah ditentukan, Panglima To Dilaling beserta seluruh warga menyerbu istana Raja Lego. Pertempuran sengit pun tidak didapat dihindari lagi. Pada mulanya, pasukan Raja Lego dapat mengadakan perlawanan. Namun, karena jumlah mereka lebih sedikit daripada pasukan Panglima To Dilaling, akhirnya mereka pun menyerah.
Sementara itu, Raja Lego yang dihadapi langsung oleh Panglima To Dilaling masih mampu melakukan perlawanan. Keduanya saling mengadu kesaktian. Tidak berapa lama kemudian, Raja Lego akhirnya kalah juga dan mati di ujung badik Panglima To Dilaling. Seluruh warga menyambut kemenangan itu dengan gembira. Akhirnya, Panglima To Dilaling dinobatkan menjadi raja di bukit Napo. Selama masa pemerintahan Panglima To Dilaling, negeri Napo dan sekitarnya menjadi aman, makmur dan sentosa. Hingga kini, makam Panglima To Dilaling dapat disaksikan di bawah sebuah pohon beringin yang rindang yang berada di atas bukit Napo, Polewali Mandar.
* * *
Demikian cerita Panglima To Dilaling dari daerah Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat suka lupa diri sendiri dan sifat sombong atau angkuh.
Pertama, sifat suka lupa diri. Sifat lupa diri yang dimaksud di sini adalah bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, semua makhluk pasti akan mati. Sifat ini tercermin pada sifat dan perilaku Raja Balanipa yang ingin berkuasa sepanjang masa. Ia merasa bahwa dirinya akan hidup selama-lamanya, sehingga tidak mau mewariskan tahtanya kepada putranya.
Kedua, sifat sombong atau angkuh yang tercermin pada perilaku Raja Lego. Dengan kekuasaan dan kesaktiannya, ia suka menindas rakyat yang lemah. Pelajaran yang dapat dipetik dari sifat dan perilaku Raja Lego ini adalah bahwa hendaknya kita tidak bersikap menyombongkan diri dengan kekuasaan dan kekuatan yang kita miliki, karena suatu saat kekuasaan dan kekuatan itu pasti akan binasa juga. Dikatakan alam tunjuk ajar Melayu:
kalau hidup melagakkan kuasa,
alamat hidup menanggung siksa
bila hidup melagakkan pangkat,
lambat laun ditimpa laknat
(SM/sas/81/05-08)
Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Muthalib, H. Abdul. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan. Jakarta: Grasindo.
Kantor Kominfo dan Kearsipan Polewali Mandar. “Sekilas tentang To Dilaling”, (www.polewalimandarkab.go.id/index.php?page=72, diakses pada tanggal 20 Juni 2008).
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
Effendy, Tenas. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru, Bappeda Tingkat I Riau.
Cerita Rakyat di Sulawesi Selatan. Jakarta: Grasindo.
http://melayuonline.com
[1] Pulau Salemo terletak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan.
[2] Gowa adalah nama sebuah kabupaten yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan.
[3] Negeri Napo bersama negeri Samsundu, Mosso dan Todang-Todang merupakan persekutuan “Empat Negeri Besar”, atau dalam bahasa Mandar disebut dengan istilah “Appe Banua Kaiyyang.”
[4] To Dilaling diambil dari bahasa Mandar yang terdiri dari dua kata, to dan dilaling. Kata to berarti orang, sedangkan dilaling berarti hijrah. Jadi, To Dilaling berarti orang yang hijrah dari Gowa (Sulawesi Selatan) ke Napo (Sulawesi Barat), atau orang yang diangkut bersama dengan perlengkapannya.
0 comments:
Post a Comment