Pamboang adalah nama kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Indonesia. Konon, kecamatan yang identik dengan Mandar[1] ini dulunya bernama kampung Pallayarang Tallu. Namun karena terjadi sebuah peristiwa, sehingga namanya berubah menjadi Pamboang. Peristiwa apa sebenarnya yang terjadi, sehingga nama daerah itu berubah menjadi Pamboang? Peristiwa tersebut diceritakan dalam cerita rakyat Asal Mula Nama Pamboang berikut ini.
* * *
Alkisah, di Kampung Benua, Majene, Sulawesi Barat, hiduplah tiga orang pemuda yang hendak memperluas lahan perladangan dan permukiman penduduk, serta membangun pelabuhan di pantai. Ketiga pemuda tersebut bergelar I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang. Gelar tersebut mereka sandang berdasarkan pada tugas mereka dalam mewujudkan keinginan tersebut.
Pemuda pertama bergelar I Lauase, karena dalam menjalankan tugasnya membuka hutan lebat menjadi lahan perladangan selalu menggunakan wase (kapak). Pemuda kedua bergelar I Lauwella, karena bertugas untuk membabat dan membersihkan wella (rumput) laut di pantai yang akan dijadikan sebagai wilayah perdagangan. Pemuda ketiga bergelar I Labuqang, karena bertugas untuk meratakan tanah di pantai yang berlubang akibat ulah buqang (kepiting).
Ketiga pemuda tersebut melaksanakan tugas di wilayah mereka masing-masing. I Lauase bekerja di daerah hutan untuk membuka lahan perladangan, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang bekerja di daerah pantai. I Lauwella membersihkan rumput laut, sedangkan I Labuqang meratakan tanah yang berlubang di pantai. Ketiga pemuda tersebut bekerja dengan penuh semangat di wilayah kerja masing-masing.
Menjelang sore hari, ketiga pemuda itu kembali ke kampung untuk beristirahat. Sebelum tidur, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing setelah melalui hari pertama.
“Hari ini saya sudah merobohkan puluhan pohon besar,” cerita I Lauase.
“Kalian bagaimana?” tanya I Lauase kepada I Lauwella dan I Labuqang.
“Saya sudah banyak membersihkan rumput laut di pantai,” jawab I Lauwella.
“Saya juga sudah meratakan puluhan lubang kepiting,” sahut I Labuqang.
“Kalau begitu, saya perkirakan dalam waktu seminggu kita sudah dapat menyelesaikan tugas kita masing-masing,” kata I Lauase.
“Benar! Kita harus bekerja lebih keras lagi,” sahut I Lauwella.
Ternyata benar perkiraan mereka, setelah seminggu bekerja keras, semua pekerjaan mereka telah selesai. Kemudian ketiga pemuda tersebut menjadi penguasa di wilayah yang mereka buka. I Lauase menanami ladangnya dengan berbagai jenis tanaman palawija, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang yang wilayah kekuasaannya berada di daerah pantai bekerja sama membangun sebuah pelabuhan untuk dijadikan sebagai sarana perdagangan.
Semakin hari semakin banyak penduduk yang ikut berladang bersama dengan I Lauase. Demikian pula di pelabuhan, aktivitas perdagangan pun semakin ramai. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menggabungkan ketiga wilayah mereka menjadi satu.
“Tapi, apa nama yang cocok untuk wilayah ini?” tanya I Labuqang.
Mendengar pertanyaan itu, I Lauase dan I Lauwella terdiam. Keduanya juga masih bingung untuk memberikan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Setelah beberapa saat berpikir, I Lauase kemudian mengajukan usulan.
“Bagaimana kalau tempat ini kita namakan Pallayarang Tallu?”
“Pallayarang Tallu? Apa masksudnya?” tanya I Lauwella penasaran.
“Pallayarang artinya tiang layar, sedangkan Tallu artinya tiga. Jadi, Pallayarang Tallu berarti Tiga Tiang Layar,” jelas I Lauase.
“Waaah, nama yang bagus. Saya setuju dengan usulan I Lauase. Kalau kamu bagaimana?” tanya I Labuqang kepada I Lauwella.
“Saya juga setuju dengan nama itu,” jawab I Lauwella.
Akhirnya ketiga pemuda itu menemukan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Selanjutnya, mereka selalu bekerja sama mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah mereka.
Pada suatu hari, sekitar 7.000 orang pengungsi yang dipimpin oleh Puatta Di Karena tiba di daerah Adolang yang berbatasan dengan daerah kekuasaan I Lauase. Ribuan pengungsi tersebut berasal dari Kerajaan Passokkorang yang hancur akibat diserang oleh pasukan musuh. Setelah beberapa lama berada di daerah itu, Puatta Di Karena ingin mengajak negeri Pallayarang Tallu untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga, yaitu persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar.
Suatu hari, Puatta Di Karena didampingi oleh beberapa pengawalnya pergi ke Negeri Pallayarang Tallu untuk menemui I Lauase. Setiba di rumah Lauase, ia pun mengutarakan maksud kedatangannya.
”Anak Muda! Maksud kedatangan kami adalah ingin mengajak Anda untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Apakah Anda bersedia?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.
”Maaf, Tuan! Saya tidak dapat memutuskan sendiri masalah ini. Saya harus bermusyawarah dengan kedua saudara saya, I Lauwella dan I Labuqang,” jawab I Lauase.
”Baiklah, kalau begitu! Saya akan menunggu keputusan dari kalian. Tapi, kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Puatta Di Karena.
”Tuan boleh kembali ke mari besok pagi,” jawab I Lauase.
Setelah Puatta Di Karena mohon diri, I Lauase segera mengundang I Lauwella dan I Labuqang. Di rumah I Lauase, ketiga pemuda itu bermusyawarah. Dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk tidak bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga.
Keesokan harinya, Puatta Di Karena pergi lagi ke rumah I Lauase. Kedatangannya disambut oleh ketiga pemuda tersebut.
”Bagaimana keputusan kalian?” tanya Puatta Di Karena penasaran.
”Maafkan kami, Tuan! Kami telah sepakat belum bersedia menerima tawaran, Tuan!” jawab I Lauase.
”Kenapa?” tanya Puatta Di Karena.
”Negeri kami belum makmur. Rakyat kami masih banyak yang hidup susah,” tambah I Lauwella.
”Bagaimana jika aku membayar tambo[2] kepada kalian?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.
Mendengar tawaran itu, ketiga orang pemuda tersebut terdiam. Mereka berpikir, menerima atau menolak tawaran itu. Setelah berunding sejenak, akhirnya mereka memutuskan untuk menerima tawaran itu.
”Baiklah! Kami menerima tawaran Tuan! Kapan tambo itu akan Tuan berikan kepada kami?” tanya I Lauase.
”Kami akan mengantarkan tambo itu minggu depan,” janji Puatta Di Karena.
Akhirnya, Pallayarang Tallu pun bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Ketiga pemuda itu sangat senang, karena mereka akan mendapat tambo untuk digunakan membangun wilayah dan membantu rakyat mereka. Namun, setelah seminggu mereka bergabung, Puatta Di Karena tidak memberikan tambo yang telah dijanjikannya.
Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, Puatta Di Karena tidak kunjung datang mengantarkan tambo. Akhirnya, tambo pun menjadi pembicaraan masyarakat Pallayarang Tallu. Oleh karena setiap hari diucapkan, lama-kelamaan kata tambo berubah menjadi Tamboang, lalu menjadi Pamboang. Berdasarkan kata inilah masyarakat setempat mengganti nama Pallayarang Tallu menjadi Pamboang. Hingga kini, kata Pamboang dipakai untuk menyebut nama sebuah kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Nama Pamboang dari Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat dan tekun dalam bekerja.
Pertama, sifat suka bermusyawarah tercermin pada perilaku ketiga pemuda dalam cerita di atas. Setiap menghadapi suatu pekerjaan atau masalah, mereka senantiasa bermusyawarah untuk mufakat. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah merupakan salah satu sandaran dalam adat Melayu. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati, menjunjung tinggi, dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:
tegak adat karena mufakat,
tegak tuah karena musyawarah
Kedua, rajin dan tekun bekerja. Sifat ini juga tercermin pada keuletan ketiga pemuda tersebut. Dari cerita di atas dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan, kita harus tekun dalam bekerja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera
(SM/sas/73/05-08)
Sumber :
I
_______________________
[1] Mandar adalah suku asli di Sulawesi Barat.
[2] Tambo artinya upah
* * *
Alkisah, di Kampung Benua, Majene, Sulawesi Barat, hiduplah tiga orang pemuda yang hendak memperluas lahan perladangan dan permukiman penduduk, serta membangun pelabuhan di pantai. Ketiga pemuda tersebut bergelar I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang. Gelar tersebut mereka sandang berdasarkan pada tugas mereka dalam mewujudkan keinginan tersebut.
Pemuda pertama bergelar I Lauase, karena dalam menjalankan tugasnya membuka hutan lebat menjadi lahan perladangan selalu menggunakan wase (kapak). Pemuda kedua bergelar I Lauwella, karena bertugas untuk membabat dan membersihkan wella (rumput) laut di pantai yang akan dijadikan sebagai wilayah perdagangan. Pemuda ketiga bergelar I Labuqang, karena bertugas untuk meratakan tanah di pantai yang berlubang akibat ulah buqang (kepiting).
Ketiga pemuda tersebut melaksanakan tugas di wilayah mereka masing-masing. I Lauase bekerja di daerah hutan untuk membuka lahan perladangan, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang bekerja di daerah pantai. I Lauwella membersihkan rumput laut, sedangkan I Labuqang meratakan tanah yang berlubang di pantai. Ketiga pemuda tersebut bekerja dengan penuh semangat di wilayah kerja masing-masing.
Menjelang sore hari, ketiga pemuda itu kembali ke kampung untuk beristirahat. Sebelum tidur, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing setelah melalui hari pertama.
“Hari ini saya sudah merobohkan puluhan pohon besar,” cerita I Lauase.
“Kalian bagaimana?” tanya I Lauase kepada I Lauwella dan I Labuqang.
“Saya sudah banyak membersihkan rumput laut di pantai,” jawab I Lauwella.
“Saya juga sudah meratakan puluhan lubang kepiting,” sahut I Labuqang.
“Kalau begitu, saya perkirakan dalam waktu seminggu kita sudah dapat menyelesaikan tugas kita masing-masing,” kata I Lauase.
“Benar! Kita harus bekerja lebih keras lagi,” sahut I Lauwella.
Ternyata benar perkiraan mereka, setelah seminggu bekerja keras, semua pekerjaan mereka telah selesai. Kemudian ketiga pemuda tersebut menjadi penguasa di wilayah yang mereka buka. I Lauase menanami ladangnya dengan berbagai jenis tanaman palawija, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang yang wilayah kekuasaannya berada di daerah pantai bekerja sama membangun sebuah pelabuhan untuk dijadikan sebagai sarana perdagangan.
Semakin hari semakin banyak penduduk yang ikut berladang bersama dengan I Lauase. Demikian pula di pelabuhan, aktivitas perdagangan pun semakin ramai. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menggabungkan ketiga wilayah mereka menjadi satu.
“Tapi, apa nama yang cocok untuk wilayah ini?” tanya I Labuqang.
Mendengar pertanyaan itu, I Lauase dan I Lauwella terdiam. Keduanya juga masih bingung untuk memberikan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Setelah beberapa saat berpikir, I Lauase kemudian mengajukan usulan.
“Bagaimana kalau tempat ini kita namakan Pallayarang Tallu?”
“Pallayarang Tallu? Apa masksudnya?” tanya I Lauwella penasaran.
“Pallayarang artinya tiang layar, sedangkan Tallu artinya tiga. Jadi, Pallayarang Tallu berarti Tiga Tiang Layar,” jelas I Lauase.
“Waaah, nama yang bagus. Saya setuju dengan usulan I Lauase. Kalau kamu bagaimana?” tanya I Labuqang kepada I Lauwella.
“Saya juga setuju dengan nama itu,” jawab I Lauwella.
Akhirnya ketiga pemuda itu menemukan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Selanjutnya, mereka selalu bekerja sama mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah mereka.
Pada suatu hari, sekitar 7.000 orang pengungsi yang dipimpin oleh Puatta Di Karena tiba di daerah Adolang yang berbatasan dengan daerah kekuasaan I Lauase. Ribuan pengungsi tersebut berasal dari Kerajaan Passokkorang yang hancur akibat diserang oleh pasukan musuh. Setelah beberapa lama berada di daerah itu, Puatta Di Karena ingin mengajak negeri Pallayarang Tallu untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga, yaitu persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar.
Suatu hari, Puatta Di Karena didampingi oleh beberapa pengawalnya pergi ke Negeri Pallayarang Tallu untuk menemui I Lauase. Setiba di rumah Lauase, ia pun mengutarakan maksud kedatangannya.
”Anak Muda! Maksud kedatangan kami adalah ingin mengajak Anda untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Apakah Anda bersedia?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.
”Maaf, Tuan! Saya tidak dapat memutuskan sendiri masalah ini. Saya harus bermusyawarah dengan kedua saudara saya, I Lauwella dan I Labuqang,” jawab I Lauase.
”Baiklah, kalau begitu! Saya akan menunggu keputusan dari kalian. Tapi, kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Puatta Di Karena.
”Tuan boleh kembali ke mari besok pagi,” jawab I Lauase.
Setelah Puatta Di Karena mohon diri, I Lauase segera mengundang I Lauwella dan I Labuqang. Di rumah I Lauase, ketiga pemuda itu bermusyawarah. Dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk tidak bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga.
Keesokan harinya, Puatta Di Karena pergi lagi ke rumah I Lauase. Kedatangannya disambut oleh ketiga pemuda tersebut.
”Bagaimana keputusan kalian?” tanya Puatta Di Karena penasaran.
”Maafkan kami, Tuan! Kami telah sepakat belum bersedia menerima tawaran, Tuan!” jawab I Lauase.
”Kenapa?” tanya Puatta Di Karena.
”Negeri kami belum makmur. Rakyat kami masih banyak yang hidup susah,” tambah I Lauwella.
”Bagaimana jika aku membayar tambo[2] kepada kalian?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.
Mendengar tawaran itu, ketiga orang pemuda tersebut terdiam. Mereka berpikir, menerima atau menolak tawaran itu. Setelah berunding sejenak, akhirnya mereka memutuskan untuk menerima tawaran itu.
”Baiklah! Kami menerima tawaran Tuan! Kapan tambo itu akan Tuan berikan kepada kami?” tanya I Lauase.
”Kami akan mengantarkan tambo itu minggu depan,” janji Puatta Di Karena.
Akhirnya, Pallayarang Tallu pun bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Ketiga pemuda itu sangat senang, karena mereka akan mendapat tambo untuk digunakan membangun wilayah dan membantu rakyat mereka. Namun, setelah seminggu mereka bergabung, Puatta Di Karena tidak memberikan tambo yang telah dijanjikannya.
Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, Puatta Di Karena tidak kunjung datang mengantarkan tambo. Akhirnya, tambo pun menjadi pembicaraan masyarakat Pallayarang Tallu. Oleh karena setiap hari diucapkan, lama-kelamaan kata tambo berubah menjadi Tamboang, lalu menjadi Pamboang. Berdasarkan kata inilah masyarakat setempat mengganti nama Pallayarang Tallu menjadi Pamboang. Hingga kini, kata Pamboang dipakai untuk menyebut nama sebuah kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Nama Pamboang dari Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat dan tekun dalam bekerja.
Pertama, sifat suka bermusyawarah tercermin pada perilaku ketiga pemuda dalam cerita di atas. Setiap menghadapi suatu pekerjaan atau masalah, mereka senantiasa bermusyawarah untuk mufakat. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah merupakan salah satu sandaran dalam adat Melayu. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati, menjunjung tinggi, dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:
tegak adat karena mufakat,
tegak tuah karena musyawarah
Kedua, rajin dan tekun bekerja. Sifat ini juga tercermin pada keuletan ketiga pemuda tersebut. Dari cerita di atas dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan, kita harus tekun dalam bekerja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera
(SM/sas/73/05-08)
Sumber :
I
si cerita diadaptasi dari Anonim, ”Cerita Rakyat Mandar Kabupaten Mamuju” (http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=16619&jenis=Etnik, diakses tanggal 15 Mei 2006).
Anonim. “Pamboang: Majene,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Pamboang,_Majene, diakses tanggal 15 Mei 2006).
Anonim. “Suku Mandar,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Mandar, diakses tanggal 15 Mei 2008).
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
_______________________
[1] Mandar adalah suku asli di Sulawesi Barat.
[2] Tambo artinya upah
0 comments:
Post a Comment