Di kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara, Indonesia, beredar sebuah cerita rakyat yang mengisahkan tentang nasib seorang anak yatim bernama La Sirimbone yang dibuang oleh ibunya di tengah hutan. Mengapa La Sirimbone dibuang oleh ibunya di tengah hutan? Lalu, bagaimana nasib La Sirimbone selanjutnya? Apakah dia akan selamat atau mati dimakan binatang buas? Temukan jawabannya dalam cerita La Sirimbone berikut ini!
* * *
Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, Indonesia, hiduplah seorang janda cantik bernama Wa Roe bersama seorang anak laki-lakinya yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Wa Roe bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu hari, datang seorang pedagang kain dari negeri seberang yang bernama La Patamba. Ia menawarkan barang dagangannya dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk lainnya. Ia memulainya dari sebuah gubuk yang terletak di paling ujung kampung itu, yang tidak lain adalah tempat tinggal Wa Roe. Alangkah terkejutnya La Patamba saat melihat penghuni gubuk itu adalah seorang perempuan cantik jelita.
“Aduhai, cantik sekali perempuan ini,” ucapnya dalam hati dengan takjub.
Dengan perasaan gugup, La Patamba menawarkan kain dagangannya kepada Wa Roe. Namun, Wa Roe tidak membeli karena tidak mempunyai uang. Setelah itu, La Patamba mohon diri untuk menawarkan untuknya kepada penduduk lainnya. Dalam perjalanan berkeliling kampung, wajah Wa Roe selalu terbayang-bayang di depan matanya.
Saat hari mulai gelap, La Patamba kembali ke rumahnya di negeri seberang. Keesokan harinya, La Patamba kembali ke kampung itu. Namun, ia kembali bukannya untuk berdagang, melainkan ingin meminang Wa Roe. Untuk menghargai warga di kampung itu, La Patamba terlebih dahulu meminta restu kepada sesepuh kampung itu dan sekaligus meminta tolong untuk menemaninya pergi meminang Wa Roe. Setelah mendapat restu, maka berangkatlah La Patamba bersama sesempuh kampung itu ke tempat Wa Roe.
“Maaf, Wa Roe, jika kami datang secara tiba-tiba tanpa memberitahukanmu sebelumnya. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan La Patamba,” ungkap sesepuh kampung itu.
Mendengar hal itu, Wa Roe terdiam sejenak. Ia betul-betul tidak menyangka, begitu cepatnya La Patamba mengambil keputusan ingin menikah dengannya. Padahal ia baru sekali bertemu dan belum saling mengenal. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu memikirkan dirinya, tapi ia mengkhawatirkan anaknya. Setelah berpikir, Wa Roe bersedia menerima pinangan La Patamba.
“Baiklah. Saya menerima pinangan La Patamba, tapi dengan syarat ia bersedia menyayangi anakku, La Sirimbone,” jawab Wa Roe.
Mendengar jawaban dari Wa Roe, sesepuh kampung itu pun balik bertanya kepada La Patamba tentang syarat yang diajukan Wa Roe itu.
“Bagaiman menurutmu, La Patamba? Apakah kamu sanggup memenuhi syarat itu?”
“Aku bukanlah orang yang membenci anak. Aku akan menyayangi La Sirimbone seperti halnya anak kandungku sendiri,” janji La Patamba.
Wa Roe pun terbuai dengan kata-kata manis La Patamba. Akhirnya mereka pun menikah. Pada awalnya mereka hidup bahagia. La Patamba sangat menyayangi La Sirimbone seperti anak kandunyanya sendiri. Setiap pulang dari berdagang kain dari satu kampung ke kampung lainnya, ia selalu membawakannya oleh-oleh. Namun, kebahagiaan itu hanya berjalan satu bulan. La Patamba tiba-tiba membenci anak tirinya tanpa alasan. Hampir setiap hari ia memarahi dan memukuli La Sirimbone. Bahkan ia menyuruh istrinya agar membuang La Sirimbone ke tengah hutan. Namun, Wa Roe menolak perintah itu.
“Bang! Masih ingatkah dengan perjanjian kita sebelum menikah? Bukankah Abang berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandung Abang sendiri? Tapi, mengapa tiba-tiba Abang begitu membencinya?”
“Ah, persetan dengan janji itu! Waktu itu aku hanya berpura-pura memenuhi syarat itu agar aku dapat menikahimu,” jawab La Patamba dengan marah.
Wa Roe bersama anaknya menjadi ketakutan mendengar kemarahan La Patamba. Akhirnya, Wa Roe pun memutuskan untuk membuang anaknya ke tengah hutan dan segera mempersiapkan bekal untuknya. Sambil mempersiapkan bekal, air matanya berderai membasahi pipinya, karena sedih memikirkan nasib anaknya yang malang.
Keesokan harinya, berangkatlah Wa Roe bersama La Sirimbone menuju hutan. Setelah melewati tujuh buah lembah dan tujuh buah gunung, mereka pun berhenti di sebuah hutan lebat dan sepi.
“Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa meninggalkanmu sendiri di sini,” kata Wa Roe sambil memeluk anak semata wayangnya.
“Ibu...! Bagaimana dengan nasibku, Bu?” tanya La Sirimbone mengiba sambil menangis.
“Pergilah sendiri melewati gunung dan lembah! Jagalah dirimu baik-baik! Ibu akan mendoakanmu semoga Tuhan selalu melindungimu,” jawab Wa Roe seraya berpamitan pulang.
Setelah ibunya pergi, La Sirimbone pun melanjutkan perjalanannya menelusuri hutan dan lembah. Sudah tujuh hari tujuh malam ia berjalan sendiri dan sudah tujuh lembah dan gunung yang ia lewati.
Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar.
“Wah, Aneh! Kenapa ada tapak kaki menusia sebesar ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena penasaran, ia pun mengikuti tapak kaki raksasa itu. Setelah beberapa jauh berjalan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara gemuruh. Alangkah terkejutnya ia saat mendekati sumber suara itu. Ia melihat seorang raksasa perempuan sedang menumbuk. Ia pun menjadi gemetar ketakutan dan segera mendekap di betis raksasa perempuan itu.
“Hei, anak manusia! Siapa kamu dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya raksasa perempuan itu.
Dengan perasaan takut, La Sirimbone pun menceritakan tentang dirinya dan semua yang dialaminya hingga ia sampai di hutan itu. Mendengar cerita itu, rakasasa perempuan itu pun merasa iba dan mengajak La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. Di rumah itu, La Sirimbone dimasukkan ke dalam sebuah kurungan.
“Kenapa aku dimasukkan ke dalam kurungan?” keluh La Sirimbone.
“Maaf, La Sirimbone! Aku sengaja memasukkanmu ke dalam kurungan ini agar kamu tidak dimakan oleh raksasa laki-laki. Ia selalu berkeliaran di hutan ini mencari mangsa,” jawab raksasa perempuan itu.
La Sirimbone pun menuruti perintah raksasa perempuan itu, karena takut dimakan oleh raksasa laki-laki. Demikianlah, setiap hari La Sirimbone tinggal di dalam kurungan hingga ia tumbuh menjadi dewasa.
Oleh karena jenuh tinggal terus di dalam kurungan, La Sirimbone meminta izin untuk pergi berjalan-jalan dan berburu binatang di dalam hutan itu. Ia pun diizinkan dan dibuatkan panah oleh raksasa perempuan itu. Setelah setengah hari berburu, ia pun memperoleh banyak binatang buruan.
Tiga hari kemudian, La Sirimbone kembali meminta izin untuk pergi menangkap ikan di sungai yang banyak ikannya. Ia pun diizinkan dan dibuatkan bubu (salah satu alat penangkap ikan). Bubu itu ia pasang di sungai. Alangkah gembiranya ia, karena banyak ikan yang terperangkap ke dalam bubunya. Sebelum pulang, ia memasang kembali bubunya di sungai itu.
Keesokan harinya, La Sirimbone kembali ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat bubunya kosong, tidak seekor ikan pun yang terperangkap di dalamnya.
“Aneh! Kenapa bubuku kosong? Padahal masih banyak sekali ikan di sungai ini,” keluh La Sirimbone dalam hati.
Akhirnya, ia kembali memasang bubunya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Ketika sampai di sungai, ia melihat jin sedang mengangkat bubunya. Oleh karena kesal, La Sirimbone pun menyerang jin itu. Maka terjadilah perkelahian dahsyat antara jin dan La Sirimbone. Dalam perkelahian itu La Sirimbone berhasil mengalahkan dan menangkap jin itu. La Sirimbone tidak mau melepaskannya, hingga akhirnya jin itu berjanji akan memberikan sebuah jimat berupa cincin yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan mampu menghidupkan kembali orang mati.
Setelah menerima jimat itu, La Sirimbone bergegas pulang ke rumah raksasa perempuan dengan menyusuri tepi sungai. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor babi yang sedang berjalan di atas air.
“Hei, Babi! Bagaimana kamu bisa berjalan di atas air?” tanya La Sirimbone heran.
“Aku memakai jimat kalung,” jawab babi itu.
“Maukah kamu memberikan jimat itu kepadaku?” pinta La Sirimbone.
Babi itu pun memberikan jimat kalungnya kepada La Sirimbone. Kemudian La Sirimbone mengalungkan jimat itu ke lehernya dan bisa berjalan di atas air. Tidak beberapa lama berjalan, ia bertemu dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan.
“Hei, Pak Nelayan! Alat apa yang Bapak gunakan menangkap ikan di sungai?” tanya La Sirimbone.
“Saya menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah,” jawab nelayan itu.
Oleh karena tertarik, La Sirimbone pun meminta keris itu kepada si nelayan. Si nelayan pun memberinya dengan suka rela. Setelah itu, La Sirimbone kembali ke darat untuk meneruskan perjalanannya dengan menyusuri hutan. Di tengah perjalanan, ia bertemu orang-orang yang sedang mengusung jenazah. Ia pun memerintahkan orang-orang itu untuk menurunkan jenazah itu dari usungannya. Setelah membuka kain kafan jenazah itu, ia segera menggosok-gosokkan cincin pemberian jin di pusar jenazah itu. Seketika itu pula, jenazah itu hidup kembali. Semua pengantar jenazah tercengang melihat peristiwa itu. Setelah itu, La Sirimbone pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah raksasa perempuan, La Sirimbone pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.
Pada hari berikutnya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang di tempat yang agak jauh. Raksasa perempuan pun mengizinkannya, karena sudah tidak khawatir lagi dengan La Sirimbone. Apalagi La Sirimbone telah memiliki beberapa senjata pusaka. Setelah berpamitan, ia pun berangkat dengan menyusuri hutan dan lembah.
Saat melewati sebuah perkampungan, La Sirimbone memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meminta air minum kepada penduduk kampung karena kehausan. Ia pun berhenti di depan sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Ia berpikir bahwa penghuni rumah itu ada di dalam.
“Permisi! Apakah ada orang di dalam?” tanya La Sirimbone sambil mengetuk pintu rumah itu.
Alangkah terkejutnya La Sirimbone saat melihat seorang gadis cantik jelita muncul dari dalam rumah. Namun, wajah gadis cantik itu tampak murung dan gelisah.
“Maaf kalau saya mengganggu. Bolehkah saya meminta seteguk air minum?” pinta La Sirimbone.
“Boleh. Silahkan duduk dulu!” seru gadis itu seraya masuk ke dapur.
Tidak berapa lama, gadis itu kembali sambil membawa segelas air minum dan memberikannya kepada La Sirimbone.
“Terima kasih, gadis cantik! ucap La Sirimbone.
“O, iya! Perkenalkan, nama saya La Sirimbone. Saya hanya kebetulan lewat di kampung ini dan hendak pergi berburu di sebuah hutan tidak jauh dari sini. Kamu siapa?” tanya La Sirimbone.
“Aku Wa Ngkurorio,” jawab gadis itu dengan suara lirih.
“Kenapa kamu tampak sedih dan murung seperti itu?” tanya La Sirimbone sedikit memberi perhatian.
“Iya. Saya memang sedih, karena ajalku sebentar lagi tiba,” jawab gadis itu.
“Apa maksdumu, Wa Ngkurorio?” tanya La Sirimbone penasaran.
“Saya sekarang sedang menunggu giliran dimakan oleh seekor ular naga. Saudara-saudaraku yang tujuh orang, kini sudah habis dimakan oleh ular naga itu. Yang hidup sekarang tinggal saya, ayah, dan ibu saya,” jelas Wa Ngkurorio dengan perasaan sedih.
“Sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini. Saya khawatir kamu juga akan dimakan oleh ular naga itu,” tambah gadis itu.
“Kamu jangan khawatir, ular naga itu tidak akan memakan kita. Jika dia datang, saya akan melawannya dengan senjata pusaka ini,” kata La Sirimbone sambil mengeluarkan keris pusakanya dari balik bajunya.
“Tapi, ular naga itu sangat besar dan ganas. Walaupun seluruh penduduk di sini menghadapinya tidak akan sanggup mengalahkannya,” ucap Wa Ngkurorio dengan perasaan cemas.
“Sudahlah, Wa Ngkurorio! Jangan takut, saya akan melumpuhkannya dengan keris pusakaku yang sakti ini,” jawab La Sirimbone menenangkan hati gadis itu.
Menjelang sore hari, ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio. Mengetahui hal itu, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan, sedangkan La Sirimbone tenang-tenang saja. Saat ular naga itu hendak masuk ke dalam rumah itu, La Sirimbone segera berbisik kepada keris pusakanya. Dengan secepat kilat, keris itu meluncur masuk ke dalam perut ular naga itu. Dalam sekejap, ular naga itu pun mati seketika, karena seluruh isi perutnya dikoyak-koyak oleh keris itu.
Wa Ngkurorio takjub melihat keampuhan keris pusaka La Sirimbone. Ia pun berterima kasih kepada La Sirimbone karena telah menyelamatkan nyawanya. Tidak berapa lama, para penduduk pun berdatangan ingin melihat ular naga yang sudah tergeletak di tanah itu. Mereka sangat gembira, karena kampung mereka telah aman dari ancaman ular naga pemakan manusia itu.
Untuk merayakan kegembiraan itu, mereka mengadakan pesta besar-besaran, dan untuk membalas jasa La Sirimbone, penduduk kampung itu menikahkan La Sirimbone dengan Wa Ngkurorio. Akhirnya, La Sirimbone tinggal di kampung itu dan hidup berbahagia bersama Wa Ngkurorio.
* * *
Demikian cerita La Sirimbone dari daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang di dalamnya terkandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah bahwa seorang ayah tiri tidak seharusnya membenci anak tirinya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh La Patamba yang tidak menyayangi La Sirimbone. Dalam kehidupan orang Melayu, kasih sayang harus diberikan kepada semua orang, tanpa harus membeda-bedakan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda buah hati bunda,
kasih sayang jangan membilang bangsa
sayang jangan berbeda-beda
itulah sifat orang ternama
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang teraniaya akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidupnya dan Tuhan akan selalu melindunginya. Contohnya La Sirimbone yang dibuang di tengah hutan, selalu mendapatkan pertolongan sehingga ia dapat selamat dan mendapatkan kebahagiaan, yakni menikah dengan seorang gadis cantik jelita. (SM/sas/85/07-08)
Sumber:
* * *
Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, Indonesia, hiduplah seorang janda cantik bernama Wa Roe bersama seorang anak laki-lakinya yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Wa Roe bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu hari, datang seorang pedagang kain dari negeri seberang yang bernama La Patamba. Ia menawarkan barang dagangannya dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk lainnya. Ia memulainya dari sebuah gubuk yang terletak di paling ujung kampung itu, yang tidak lain adalah tempat tinggal Wa Roe. Alangkah terkejutnya La Patamba saat melihat penghuni gubuk itu adalah seorang perempuan cantik jelita.
“Aduhai, cantik sekali perempuan ini,” ucapnya dalam hati dengan takjub.
Dengan perasaan gugup, La Patamba menawarkan kain dagangannya kepada Wa Roe. Namun, Wa Roe tidak membeli karena tidak mempunyai uang. Setelah itu, La Patamba mohon diri untuk menawarkan untuknya kepada penduduk lainnya. Dalam perjalanan berkeliling kampung, wajah Wa Roe selalu terbayang-bayang di depan matanya.
Saat hari mulai gelap, La Patamba kembali ke rumahnya di negeri seberang. Keesokan harinya, La Patamba kembali ke kampung itu. Namun, ia kembali bukannya untuk berdagang, melainkan ingin meminang Wa Roe. Untuk menghargai warga di kampung itu, La Patamba terlebih dahulu meminta restu kepada sesepuh kampung itu dan sekaligus meminta tolong untuk menemaninya pergi meminang Wa Roe. Setelah mendapat restu, maka berangkatlah La Patamba bersama sesempuh kampung itu ke tempat Wa Roe.
“Maaf, Wa Roe, jika kami datang secara tiba-tiba tanpa memberitahukanmu sebelumnya. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan La Patamba,” ungkap sesepuh kampung itu.
Mendengar hal itu, Wa Roe terdiam sejenak. Ia betul-betul tidak menyangka, begitu cepatnya La Patamba mengambil keputusan ingin menikah dengannya. Padahal ia baru sekali bertemu dan belum saling mengenal. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu memikirkan dirinya, tapi ia mengkhawatirkan anaknya. Setelah berpikir, Wa Roe bersedia menerima pinangan La Patamba.
“Baiklah. Saya menerima pinangan La Patamba, tapi dengan syarat ia bersedia menyayangi anakku, La Sirimbone,” jawab Wa Roe.
Mendengar jawaban dari Wa Roe, sesepuh kampung itu pun balik bertanya kepada La Patamba tentang syarat yang diajukan Wa Roe itu.
“Bagaiman menurutmu, La Patamba? Apakah kamu sanggup memenuhi syarat itu?”
“Aku bukanlah orang yang membenci anak. Aku akan menyayangi La Sirimbone seperti halnya anak kandungku sendiri,” janji La Patamba.
Wa Roe pun terbuai dengan kata-kata manis La Patamba. Akhirnya mereka pun menikah. Pada awalnya mereka hidup bahagia. La Patamba sangat menyayangi La Sirimbone seperti anak kandunyanya sendiri. Setiap pulang dari berdagang kain dari satu kampung ke kampung lainnya, ia selalu membawakannya oleh-oleh. Namun, kebahagiaan itu hanya berjalan satu bulan. La Patamba tiba-tiba membenci anak tirinya tanpa alasan. Hampir setiap hari ia memarahi dan memukuli La Sirimbone. Bahkan ia menyuruh istrinya agar membuang La Sirimbone ke tengah hutan. Namun, Wa Roe menolak perintah itu.
“Bang! Masih ingatkah dengan perjanjian kita sebelum menikah? Bukankah Abang berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandung Abang sendiri? Tapi, mengapa tiba-tiba Abang begitu membencinya?”
“Ah, persetan dengan janji itu! Waktu itu aku hanya berpura-pura memenuhi syarat itu agar aku dapat menikahimu,” jawab La Patamba dengan marah.
Wa Roe bersama anaknya menjadi ketakutan mendengar kemarahan La Patamba. Akhirnya, Wa Roe pun memutuskan untuk membuang anaknya ke tengah hutan dan segera mempersiapkan bekal untuknya. Sambil mempersiapkan bekal, air matanya berderai membasahi pipinya, karena sedih memikirkan nasib anaknya yang malang.
Keesokan harinya, berangkatlah Wa Roe bersama La Sirimbone menuju hutan. Setelah melewati tujuh buah lembah dan tujuh buah gunung, mereka pun berhenti di sebuah hutan lebat dan sepi.
“Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa meninggalkanmu sendiri di sini,” kata Wa Roe sambil memeluk anak semata wayangnya.
“Ibu...! Bagaimana dengan nasibku, Bu?” tanya La Sirimbone mengiba sambil menangis.
“Pergilah sendiri melewati gunung dan lembah! Jagalah dirimu baik-baik! Ibu akan mendoakanmu semoga Tuhan selalu melindungimu,” jawab Wa Roe seraya berpamitan pulang.
Setelah ibunya pergi, La Sirimbone pun melanjutkan perjalanannya menelusuri hutan dan lembah. Sudah tujuh hari tujuh malam ia berjalan sendiri dan sudah tujuh lembah dan gunung yang ia lewati.
Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar.
“Wah, Aneh! Kenapa ada tapak kaki menusia sebesar ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena penasaran, ia pun mengikuti tapak kaki raksasa itu. Setelah beberapa jauh berjalan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara gemuruh. Alangkah terkejutnya ia saat mendekati sumber suara itu. Ia melihat seorang raksasa perempuan sedang menumbuk. Ia pun menjadi gemetar ketakutan dan segera mendekap di betis raksasa perempuan itu.
“Hei, anak manusia! Siapa kamu dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya raksasa perempuan itu.
Dengan perasaan takut, La Sirimbone pun menceritakan tentang dirinya dan semua yang dialaminya hingga ia sampai di hutan itu. Mendengar cerita itu, rakasasa perempuan itu pun merasa iba dan mengajak La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. Di rumah itu, La Sirimbone dimasukkan ke dalam sebuah kurungan.
“Kenapa aku dimasukkan ke dalam kurungan?” keluh La Sirimbone.
“Maaf, La Sirimbone! Aku sengaja memasukkanmu ke dalam kurungan ini agar kamu tidak dimakan oleh raksasa laki-laki. Ia selalu berkeliaran di hutan ini mencari mangsa,” jawab raksasa perempuan itu.
La Sirimbone pun menuruti perintah raksasa perempuan itu, karena takut dimakan oleh raksasa laki-laki. Demikianlah, setiap hari La Sirimbone tinggal di dalam kurungan hingga ia tumbuh menjadi dewasa.
Oleh karena jenuh tinggal terus di dalam kurungan, La Sirimbone meminta izin untuk pergi berjalan-jalan dan berburu binatang di dalam hutan itu. Ia pun diizinkan dan dibuatkan panah oleh raksasa perempuan itu. Setelah setengah hari berburu, ia pun memperoleh banyak binatang buruan.
Tiga hari kemudian, La Sirimbone kembali meminta izin untuk pergi menangkap ikan di sungai yang banyak ikannya. Ia pun diizinkan dan dibuatkan bubu (salah satu alat penangkap ikan). Bubu itu ia pasang di sungai. Alangkah gembiranya ia, karena banyak ikan yang terperangkap ke dalam bubunya. Sebelum pulang, ia memasang kembali bubunya di sungai itu.
Keesokan harinya, La Sirimbone kembali ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat bubunya kosong, tidak seekor ikan pun yang terperangkap di dalamnya.
“Aneh! Kenapa bubuku kosong? Padahal masih banyak sekali ikan di sungai ini,” keluh La Sirimbone dalam hati.
Akhirnya, ia kembali memasang bubunya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Ketika sampai di sungai, ia melihat jin sedang mengangkat bubunya. Oleh karena kesal, La Sirimbone pun menyerang jin itu. Maka terjadilah perkelahian dahsyat antara jin dan La Sirimbone. Dalam perkelahian itu La Sirimbone berhasil mengalahkan dan menangkap jin itu. La Sirimbone tidak mau melepaskannya, hingga akhirnya jin itu berjanji akan memberikan sebuah jimat berupa cincin yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan mampu menghidupkan kembali orang mati.
Setelah menerima jimat itu, La Sirimbone bergegas pulang ke rumah raksasa perempuan dengan menyusuri tepi sungai. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor babi yang sedang berjalan di atas air.
“Hei, Babi! Bagaimana kamu bisa berjalan di atas air?” tanya La Sirimbone heran.
“Aku memakai jimat kalung,” jawab babi itu.
“Maukah kamu memberikan jimat itu kepadaku?” pinta La Sirimbone.
Babi itu pun memberikan jimat kalungnya kepada La Sirimbone. Kemudian La Sirimbone mengalungkan jimat itu ke lehernya dan bisa berjalan di atas air. Tidak beberapa lama berjalan, ia bertemu dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan.
“Hei, Pak Nelayan! Alat apa yang Bapak gunakan menangkap ikan di sungai?” tanya La Sirimbone.
“Saya menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah,” jawab nelayan itu.
Oleh karena tertarik, La Sirimbone pun meminta keris itu kepada si nelayan. Si nelayan pun memberinya dengan suka rela. Setelah itu, La Sirimbone kembali ke darat untuk meneruskan perjalanannya dengan menyusuri hutan. Di tengah perjalanan, ia bertemu orang-orang yang sedang mengusung jenazah. Ia pun memerintahkan orang-orang itu untuk menurunkan jenazah itu dari usungannya. Setelah membuka kain kafan jenazah itu, ia segera menggosok-gosokkan cincin pemberian jin di pusar jenazah itu. Seketika itu pula, jenazah itu hidup kembali. Semua pengantar jenazah tercengang melihat peristiwa itu. Setelah itu, La Sirimbone pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah raksasa perempuan, La Sirimbone pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.
Pada hari berikutnya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang di tempat yang agak jauh. Raksasa perempuan pun mengizinkannya, karena sudah tidak khawatir lagi dengan La Sirimbone. Apalagi La Sirimbone telah memiliki beberapa senjata pusaka. Setelah berpamitan, ia pun berangkat dengan menyusuri hutan dan lembah.
Saat melewati sebuah perkampungan, La Sirimbone memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meminta air minum kepada penduduk kampung karena kehausan. Ia pun berhenti di depan sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Ia berpikir bahwa penghuni rumah itu ada di dalam.
“Permisi! Apakah ada orang di dalam?” tanya La Sirimbone sambil mengetuk pintu rumah itu.
Alangkah terkejutnya La Sirimbone saat melihat seorang gadis cantik jelita muncul dari dalam rumah. Namun, wajah gadis cantik itu tampak murung dan gelisah.
“Maaf kalau saya mengganggu. Bolehkah saya meminta seteguk air minum?” pinta La Sirimbone.
“Boleh. Silahkan duduk dulu!” seru gadis itu seraya masuk ke dapur.
Tidak berapa lama, gadis itu kembali sambil membawa segelas air minum dan memberikannya kepada La Sirimbone.
“Terima kasih, gadis cantik! ucap La Sirimbone.
“O, iya! Perkenalkan, nama saya La Sirimbone. Saya hanya kebetulan lewat di kampung ini dan hendak pergi berburu di sebuah hutan tidak jauh dari sini. Kamu siapa?” tanya La Sirimbone.
“Aku Wa Ngkurorio,” jawab gadis itu dengan suara lirih.
“Kenapa kamu tampak sedih dan murung seperti itu?” tanya La Sirimbone sedikit memberi perhatian.
“Iya. Saya memang sedih, karena ajalku sebentar lagi tiba,” jawab gadis itu.
“Apa maksdumu, Wa Ngkurorio?” tanya La Sirimbone penasaran.
“Saya sekarang sedang menunggu giliran dimakan oleh seekor ular naga. Saudara-saudaraku yang tujuh orang, kini sudah habis dimakan oleh ular naga itu. Yang hidup sekarang tinggal saya, ayah, dan ibu saya,” jelas Wa Ngkurorio dengan perasaan sedih.
“Sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini. Saya khawatir kamu juga akan dimakan oleh ular naga itu,” tambah gadis itu.
“Kamu jangan khawatir, ular naga itu tidak akan memakan kita. Jika dia datang, saya akan melawannya dengan senjata pusaka ini,” kata La Sirimbone sambil mengeluarkan keris pusakanya dari balik bajunya.
“Tapi, ular naga itu sangat besar dan ganas. Walaupun seluruh penduduk di sini menghadapinya tidak akan sanggup mengalahkannya,” ucap Wa Ngkurorio dengan perasaan cemas.
“Sudahlah, Wa Ngkurorio! Jangan takut, saya akan melumpuhkannya dengan keris pusakaku yang sakti ini,” jawab La Sirimbone menenangkan hati gadis itu.
Menjelang sore hari, ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio. Mengetahui hal itu, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan, sedangkan La Sirimbone tenang-tenang saja. Saat ular naga itu hendak masuk ke dalam rumah itu, La Sirimbone segera berbisik kepada keris pusakanya. Dengan secepat kilat, keris itu meluncur masuk ke dalam perut ular naga itu. Dalam sekejap, ular naga itu pun mati seketika, karena seluruh isi perutnya dikoyak-koyak oleh keris itu.
Wa Ngkurorio takjub melihat keampuhan keris pusaka La Sirimbone. Ia pun berterima kasih kepada La Sirimbone karena telah menyelamatkan nyawanya. Tidak berapa lama, para penduduk pun berdatangan ingin melihat ular naga yang sudah tergeletak di tanah itu. Mereka sangat gembira, karena kampung mereka telah aman dari ancaman ular naga pemakan manusia itu.
Untuk merayakan kegembiraan itu, mereka mengadakan pesta besar-besaran, dan untuk membalas jasa La Sirimbone, penduduk kampung itu menikahkan La Sirimbone dengan Wa Ngkurorio. Akhirnya, La Sirimbone tinggal di kampung itu dan hidup berbahagia bersama Wa Ngkurorio.
* * *
Demikian cerita La Sirimbone dari daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang di dalamnya terkandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah bahwa seorang ayah tiri tidak seharusnya membenci anak tirinya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh La Patamba yang tidak menyayangi La Sirimbone. Dalam kehidupan orang Melayu, kasih sayang harus diberikan kepada semua orang, tanpa harus membeda-bedakan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda buah hati bunda,
kasih sayang jangan membilang bangsa
sayang jangan berbeda-beda
itulah sifat orang ternama
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang teraniaya akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidupnya dan Tuhan akan selalu melindunginya. Contohnya La Sirimbone yang dibuang di tengah hutan, selalu mendapatkan pertolongan sehingga ia dapat selamat dan mendapatkan kebahagiaan, yakni menikah dengan seorang gadis cantik jelita. (SM/sas/85/07-08)
Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Sidu, La Ode. 2001. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara. Jakarta: Grasindo.
Anonim. “Sulawesi Tenggara,‘ (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Tenggara, diakses tanggal 05 Juli 2008.
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
http://melayuonline.com
0 comments:
Post a Comment