Sepasang suami istri itu bahagia sekali setelah melihat bayi mereka lahir dengan selamat. ”Hem, ini dia anak lelaki pertama gue. Lihat dia nampak sehat dan gagah!”
“Iya Bang ! Anak kita ini nampak gagah sekali ya?”
“Siapa dulu dong Bapaknya? Orang Banten memang gagah-gagah!” sambung si suami.
“Abang selalu mengandalkan asal Abang saja. Tanpa ada aku ibunya yang dari Jampang ini, dia tidak akan pernah ada!”
“Iya deh! Lalu kita beri nama apa dia?” tanya si suami.
Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama si Jampang. Anak itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang benar-benar gagah, ganteng, sebagai pemuda keturunan Banten, ia juga diajari ilmu pencak silat yang sangat terkenal itu ia juga pandai memainkan golok. Jika ia hadir di pesta-pesta keramaian selalu menarik perhatian gadis-gadis remaja.
Setelah usianya cukup dewasa dia dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari dari Kebayoran Lama. Setelah menikah, si Jampang tidak mau hidup serumah dengan kedua orang tuanya. Ia juga tak mau tinggal di rumah mertuanya. Ia lebih suka hidup mandiri. Suka duka akan dijalaninya bersama dengan istri tercinta.
Demikianlah, setelah mengumpulkan perbekalan yang cukup ia membeli tanah dan membangun rumah sendiri yang sederhana. Ia dan keluarganya pindah ke Grogol, Depok.
Ia hidup baik-baik dan bahagia dengan istrinya itu. Namun sayang, setelah dikaruniai anak laki-laki, belum lagi anak itu beranjak remaja, sang istri sudah meninggal. Sejak itu, Jampang hanya hidup dengan anak laki satu-satunya. Anak ini dikenal dengan nama Jampang muda. Dia tumbuh pula menjadi seorang anak muda yang tampan seperti ayahnya.
Si Jampang ingin anaknya menjadi orang soleh yang berguna bagi masyarakat. Maka ia titipkan anak itu di pondok pesantren. Kadang-kadang saja anak itu pulang menemui ayahnya karena ia lebih seneng tinggal di pesantren dengan kawan-kawannya.
Sejak ditinggal mati istrinya si Jampang merasa kesepian. Ia makin sedih melihat kenyataan bahwa kehidupan rakyat Betawi banyak yang menderita. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang kaya dan senang. Maka seperti si Pitung, Jampang kemudian merampok harta orang-orang kaya yang kikir lalu diberikan kepada penduduk yang menderita.
Pada suatu hari anaknya pulang ke rumah.”Ayah, saya tak mau lagi mondok di Pesantren. Saya malu sekali, Yah!” kata anaknya
“Malu? Malu kenapa Tong?” tanya si Jampang penasaran. Tong adalah panggilan sang ayah kepada anaknya.
“Ayah kan orang Banten. Biasanya orang-orang Banten itu alim dan hidup baik-baik. Tapi ayah kok sering merampok? Di Pesantren sudah dibicarakan orang terus. Saya jadi malu sekali, Yah.”
“Kamu tidak perlu memberi nasihat kepada Ayah. Kamu masih anak kemarin, Tong. Sebenarnya kamu pulang punya maksud apa?” tanya ayahnya.
“Saya tidak mau mengaji lagi, Yah.” sahut anaknya.
“Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kyai, sekarang tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi tukang pukul seperti ayahmu ini?”
si Jampang muda menggelengkan kepala, ”Lho jadi apa maumu Tong? Kamu tidak mau mondok? Kalau begitu, lebih baik nikah saja.”
Ciput mengangguk-angguk.
“Ibu seperti kena guna-guna,” kata Abdih, ”Pelakunya tentu Mang Jampang. Sungguh bikin malu. Saya malu sekali. Dukun mana yang bisa menyembuhkan Ibu, Ciput?”
Ciput belum pernah tahu soal guna-guna. Jadi, dia tidak bisa menjawab. Abdih bertanya kesana kemari. Akhirnya dapat berita. Pak Dul di kampung Gabus. Karena dukun itu sendiri yang membuat, dengan tidak menemui kesukaran dia pula yang mencabut guna-gunanya. Mayangsari seketika sembuh. Tidak ingat lagi kepada si Jampang.
Sesudah itu Abdih mencari Jampang. Ia marah tapi ketika bertemu Jampang ia malah tak bisa bersikap keras. Terpaksa ia bicara baik-baik.
“Bisa atau tidak bisa, saya harus menikah dengan Ibumu, Abdih,” kata Jampang menegaskan.
“Saya tidak melarang, Mang Jampang,” jawab Abdih yang ketakutan juga, ”Tetapi ada syaratnya, Mang Jampang harus menyerahkan sepasang kerbau sebagai emas kawinnya.”
“Saya tidak keberatan, Abdih. Saya akan usahakan!”
Abdih pulang menyampaikan kesanggupan Jampang kepada ibunya.
Dari mana dapat kerbau sepasang ? Harga kerbau sepasang sangat mahal. Jampang tidak punya uang. Namun, dia segera ingat Haji Saud di Tambun. Dia kaya sekali. Sawahnya luas, kerbau dua ekor bukan apa-apa. Ke tempat itulah Jampang dan Sarpin pergi merampok dengan mudah. Ketika dia dengan Sarpin akan keluar dari pintu desa, sekawanan polisi sudah mengepung. Mereka menunjukkan laras-laras senapan kearah Jampang dan Sarpin. Tertangkaplah Jampang. Jampang pun tidak bisa melakukan perlawanan.
Orang-orang kaya, tuan-tuan tanah, serta pejabat pemerintah Belanda merasa gembira melihat Jampang telah dipenjara dan akhirnya dihukum mati. Sebaliknya, rakyat kecil, para petani dan mereka yang menderita amat sedih. Walaupun Jampang sering merampok, dia tidak pernah menikmati sendiri hasil rampokannya. Bagi rakyat kecil Jampang adalah sosok pahlawan mereka sering mendapat pembagian hasil rampokan dari orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah yang tamak dan kikir.
Jampang menemui nasib naas ketika merampok sepasang kerbau yang hendak digunakan sebagai Mas Kawin bagi Mayangsari, yang berarti untuk kepentingannya sendiri. Memang cara yang tidak benar, tidak halal, tidak boleh ditiru oleh siapapun agar tidak bernasib sial.
Sumber : http://www.bali-directory.com/education/folks-tale/SiJampangJagoBetawi.asp
“Iya Bang ! Anak kita ini nampak gagah sekali ya?”
“Siapa dulu dong Bapaknya? Orang Banten memang gagah-gagah!” sambung si suami.
“Abang selalu mengandalkan asal Abang saja. Tanpa ada aku ibunya yang dari Jampang ini, dia tidak akan pernah ada!”
“Iya deh! Lalu kita beri nama apa dia?” tanya si suami.
Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama si Jampang. Anak itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang benar-benar gagah, ganteng, sebagai pemuda keturunan Banten, ia juga diajari ilmu pencak silat yang sangat terkenal itu ia juga pandai memainkan golok. Jika ia hadir di pesta-pesta keramaian selalu menarik perhatian gadis-gadis remaja.
Setelah usianya cukup dewasa dia dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari dari Kebayoran Lama. Setelah menikah, si Jampang tidak mau hidup serumah dengan kedua orang tuanya. Ia juga tak mau tinggal di rumah mertuanya. Ia lebih suka hidup mandiri. Suka duka akan dijalaninya bersama dengan istri tercinta.
Demikianlah, setelah mengumpulkan perbekalan yang cukup ia membeli tanah dan membangun rumah sendiri yang sederhana. Ia dan keluarganya pindah ke Grogol, Depok.
Ia hidup baik-baik dan bahagia dengan istrinya itu. Namun sayang, setelah dikaruniai anak laki-laki, belum lagi anak itu beranjak remaja, sang istri sudah meninggal. Sejak itu, Jampang hanya hidup dengan anak laki satu-satunya. Anak ini dikenal dengan nama Jampang muda. Dia tumbuh pula menjadi seorang anak muda yang tampan seperti ayahnya.
Si Jampang ingin anaknya menjadi orang soleh yang berguna bagi masyarakat. Maka ia titipkan anak itu di pondok pesantren. Kadang-kadang saja anak itu pulang menemui ayahnya karena ia lebih seneng tinggal di pesantren dengan kawan-kawannya.
Sejak ditinggal mati istrinya si Jampang merasa kesepian. Ia makin sedih melihat kenyataan bahwa kehidupan rakyat Betawi banyak yang menderita. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang kaya dan senang. Maka seperti si Pitung, Jampang kemudian merampok harta orang-orang kaya yang kikir lalu diberikan kepada penduduk yang menderita.
Pada suatu hari anaknya pulang ke rumah.”Ayah, saya tak mau lagi mondok di Pesantren. Saya malu sekali, Yah!” kata anaknya
“Malu? Malu kenapa Tong?” tanya si Jampang penasaran. Tong adalah panggilan sang ayah kepada anaknya.
“Ayah kan orang Banten. Biasanya orang-orang Banten itu alim dan hidup baik-baik. Tapi ayah kok sering merampok? Di Pesantren sudah dibicarakan orang terus. Saya jadi malu sekali, Yah.”
“Kamu tidak perlu memberi nasihat kepada Ayah. Kamu masih anak kemarin, Tong. Sebenarnya kamu pulang punya maksud apa?” tanya ayahnya.
“Saya tidak mau mengaji lagi, Yah.” sahut anaknya.
“Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kyai, sekarang tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi tukang pukul seperti ayahmu ini?”
si Jampang muda menggelengkan kepala, ”Lho jadi apa maumu Tong? Kamu tidak mau mondok? Kalau begitu, lebih baik nikah saja.”
Ciput mengangguk-angguk.
“Ibu seperti kena guna-guna,” kata Abdih, ”Pelakunya tentu Mang Jampang. Sungguh bikin malu. Saya malu sekali. Dukun mana yang bisa menyembuhkan Ibu, Ciput?”
Ciput belum pernah tahu soal guna-guna. Jadi, dia tidak bisa menjawab. Abdih bertanya kesana kemari. Akhirnya dapat berita. Pak Dul di kampung Gabus. Karena dukun itu sendiri yang membuat, dengan tidak menemui kesukaran dia pula yang mencabut guna-gunanya. Mayangsari seketika sembuh. Tidak ingat lagi kepada si Jampang.
Sesudah itu Abdih mencari Jampang. Ia marah tapi ketika bertemu Jampang ia malah tak bisa bersikap keras. Terpaksa ia bicara baik-baik.
“Bisa atau tidak bisa, saya harus menikah dengan Ibumu, Abdih,” kata Jampang menegaskan.
“Saya tidak melarang, Mang Jampang,” jawab Abdih yang ketakutan juga, ”Tetapi ada syaratnya, Mang Jampang harus menyerahkan sepasang kerbau sebagai emas kawinnya.”
“Saya tidak keberatan, Abdih. Saya akan usahakan!”
Abdih pulang menyampaikan kesanggupan Jampang kepada ibunya.
Dari mana dapat kerbau sepasang ? Harga kerbau sepasang sangat mahal. Jampang tidak punya uang. Namun, dia segera ingat Haji Saud di Tambun. Dia kaya sekali. Sawahnya luas, kerbau dua ekor bukan apa-apa. Ke tempat itulah Jampang dan Sarpin pergi merampok dengan mudah. Ketika dia dengan Sarpin akan keluar dari pintu desa, sekawanan polisi sudah mengepung. Mereka menunjukkan laras-laras senapan kearah Jampang dan Sarpin. Tertangkaplah Jampang. Jampang pun tidak bisa melakukan perlawanan.
Orang-orang kaya, tuan-tuan tanah, serta pejabat pemerintah Belanda merasa gembira melihat Jampang telah dipenjara dan akhirnya dihukum mati. Sebaliknya, rakyat kecil, para petani dan mereka yang menderita amat sedih. Walaupun Jampang sering merampok, dia tidak pernah menikmati sendiri hasil rampokannya. Bagi rakyat kecil Jampang adalah sosok pahlawan mereka sering mendapat pembagian hasil rampokan dari orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah yang tamak dan kikir.
Jampang menemui nasib naas ketika merampok sepasang kerbau yang hendak digunakan sebagai Mas Kawin bagi Mayangsari, yang berarti untuk kepentingannya sendiri. Memang cara yang tidak benar, tidak halal, tidak boleh ditiru oleh siapapun agar tidak bernasib sial.
Sumber : http://www.bali-directory.com/education/folks-tale/SiJampangJagoBetawi.asp
0 comments:
Post a Comment