yang malas lagi manja. Hal itu membuat malu sang ayah. Hingga ia pun diusir dari istana. Bagaimana nasib Rohib selanjutnya? Dan apa yang dimaksud dengan Mentiko Betuah tersebut?
**********
Dahulu ada seorang raja yang sangat kaya raya. Ia memerintah di daerah Semeulue, Aceh. Raja begitu dicintai rakyatnya. Wajar saja karena ia sangat bijak dan dermawan. Sayang meski telah menikah bertahun-tahun, raja belum juga dikaruniai seorang putra yang akan meneruskan tahtanya.
Suatu hari ia mengajak permaisurinya untuk berdoa dan mensucikan diri dengan berendam di hulu sungai. Maka dengan membawa perbekalan yang cukup, mereka pun berangkat. Tempat yang ditujunya sangatlah jauh. Harus melewati hutan yang lebat dan sungai yang deras. Namun dengan ketabahan mereka, akhirnya mereka tiba dengan selamat. Mereka pun mulai berdoa memohon kepada Tuhan untuk memberi mereka keturunan. Setelah dirasa cukup, mereka kembali ke istana.
Doa mereka ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Permaisuri ternyata hamil. Sembilan bulan kemudian permaisuri melahirkan seorang putra yang diberi nama Rohib. Kedua orang tuanya sangat menyayangi anak satu-satunya itu, bahkan cenderung memanjakannya. Tidak heran jika Rohib tumbuh menjadi anak yang malas dan manja.
Ketika Rohib menginjak remaja, raja mengirimnya ke kota untuk belajar ilmu pengetahuan.
“Jangan lupa untuk selalu belajar dengan giat!” kata raja ketika Rohib berpamitan.
Namun karena sifatnya yang malas dan manja, Rohib tidak kunjung bisa menamatkan belajarnya meskipun sudah bertahun-tahun ia berguru. Hal itu membuat raja malu dan murka.
“Kamu memang anak yang tidak berguna,” maki raja saat Rohib pulang ke istana. “Bisamu hanya mempermalukan orang tua saja. Lihat dirimu! Sudah setua ini kamu belum bisa apapun. Bagaimana kamu bisa memimpin negri. Lebih baik kubunuh saja kamu daripada membuatku malu!”
Permaisuri menangis mendengar kata-kata raja tersebut.
“Jangan kau bunuh anak kita kanda! Dia anak kita satu-satunya. Kau boleh menghukumnya, asal tidak membahayakan nyawanya,” isak permaisuri.
“Hhhh….tapi kelakuan anak ini sudah membuatku muak,” ujar raja.
“Itu karena kita terlalu memanjakannya. Bagaimana kalau kanda memberinya modal untuk berdagang. Biar ia berkelana dan belajar bagaimana susahnya hidup,” usul permaisuri.
“Baiklah aku terima usulmu dengan satu syarat! Ia tidak boleh menghabiskan uangnya kecuali untuk berdagang. Dan jika ia pulang nanti ia harus membawa keuntungan dari hasil dagangnya. Jika tidak, maka hukuman berat sudah menanti,” kata raja.
Maka berangkatlah Rohib dengan berbekal sekantung uang di kantungnya dan deraian air mata sang bunda. Ia berjalan berhari-hari tanpa tahu kemana harus menuju dan apa yang harus dilakukan.
**********
Dahulu ada seorang raja yang sangat kaya raya. Ia memerintah di daerah Semeulue, Aceh. Raja begitu dicintai rakyatnya. Wajar saja karena ia sangat bijak dan dermawan. Sayang meski telah menikah bertahun-tahun, raja belum juga dikaruniai seorang putra yang akan meneruskan tahtanya.
Suatu hari ia mengajak permaisurinya untuk berdoa dan mensucikan diri dengan berendam di hulu sungai. Maka dengan membawa perbekalan yang cukup, mereka pun berangkat. Tempat yang ditujunya sangatlah jauh. Harus melewati hutan yang lebat dan sungai yang deras. Namun dengan ketabahan mereka, akhirnya mereka tiba dengan selamat. Mereka pun mulai berdoa memohon kepada Tuhan untuk memberi mereka keturunan. Setelah dirasa cukup, mereka kembali ke istana.
Doa mereka ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Permaisuri ternyata hamil. Sembilan bulan kemudian permaisuri melahirkan seorang putra yang diberi nama Rohib. Kedua orang tuanya sangat menyayangi anak satu-satunya itu, bahkan cenderung memanjakannya. Tidak heran jika Rohib tumbuh menjadi anak yang malas dan manja.
Ketika Rohib menginjak remaja, raja mengirimnya ke kota untuk belajar ilmu pengetahuan.
“Jangan lupa untuk selalu belajar dengan giat!” kata raja ketika Rohib berpamitan.
Namun karena sifatnya yang malas dan manja, Rohib tidak kunjung bisa menamatkan belajarnya meskipun sudah bertahun-tahun ia berguru. Hal itu membuat raja malu dan murka.
“Kamu memang anak yang tidak berguna,” maki raja saat Rohib pulang ke istana. “Bisamu hanya mempermalukan orang tua saja. Lihat dirimu! Sudah setua ini kamu belum bisa apapun. Bagaimana kamu bisa memimpin negri. Lebih baik kubunuh saja kamu daripada membuatku malu!”
Permaisuri menangis mendengar kata-kata raja tersebut.
“Jangan kau bunuh anak kita kanda! Dia anak kita satu-satunya. Kau boleh menghukumnya, asal tidak membahayakan nyawanya,” isak permaisuri.
“Hhhh….tapi kelakuan anak ini sudah membuatku muak,” ujar raja.
“Itu karena kita terlalu memanjakannya. Bagaimana kalau kanda memberinya modal untuk berdagang. Biar ia berkelana dan belajar bagaimana susahnya hidup,” usul permaisuri.
“Baiklah aku terima usulmu dengan satu syarat! Ia tidak boleh menghabiskan uangnya kecuali untuk berdagang. Dan jika ia pulang nanti ia harus membawa keuntungan dari hasil dagangnya. Jika tidak, maka hukuman berat sudah menanti,” kata raja.
Maka berangkatlah Rohib dengan berbekal sekantung uang di kantungnya dan deraian air mata sang bunda. Ia berjalan berhari-hari tanpa tahu kemana harus menuju dan apa yang harus dilakukan.
Suatu hari ia melihat beberapa anak sedang menganiaya seekor burung. Ia mendekati mereka.
“Nak, jangan kau aniaya burung itu! Kasihan. Lepaskanlah burung yang tak berdosa itu!” tegurnya.
“Jangan ikut campur! Apa urusanmu menegur kami? Kami tidak kenal kamu,” kata mereka.
Mereka meneruskan perbuatannya tanpa mempedulikan Rohib.
“Nak, bagaimana kalau aku membeli burung itu? Aku akan memberimu uang yang banyak,” kata Rohib.
Anak-anak itu setuju melepaskan burung tersebut dan menerima beberapa keping uang dari tangan Rohib.
Rohib kembali meneruskan perjalanannya. Belum seberapa jauh ia berjalan, kembali ditemuinya beberapa orang yang sedang menganiaya seekor ular. Ia pun menukar ular itu dengan beberapa keping uang. Demikianlah ia selalu memberikan uangnya untuk membebaskan binatang-binatang yang ditemuinya. Hingga tanpa disadarinya semua uangnya telah habis. Rohib pun gelisah memikirkan bagaimana cara menghadapi ayahnya.
Rohib yang kelelahan menyandarkan dirinya di sebuah pohon di pinggir hutan. Di sana ia menyadari kesalahannya dan mulai menangis.
“Kenapa kau menangis anak muda,” tanya sebuah suara.
Rohib mengangkat mukanya dan menengok ke kanan dan ke kiri mencari penegurnya. Namun yang dilihatnya hanyalah seekor ular yang sangat besar. Rohib mundur dengan ketakutan.
“Jangan takut, aku tidak akan membunuhmu,” kata ular itu.
Rohib tercengang mengetahui bahwa ular itulah yang menegurnya.
“Apakah aku tidak salah dengar? Aku mendengarmu berbicara. Siapakah kau wahai ular?” tanya Rohib.
“Aku adalah raja Ular. Dan hutan ini adalah tempatku. Lalu kau siapa anak muda dan kenapa kau bersedih?” tanya ular.
“Namaku Rohib. Dan aku sedang menagisi kebodohanku,” kata Rohib. Ia lalu menceritakan kisahnya kepada ular.
“Hmmm…aku sudah mendengar bahwa kau menyelamatkan banyak warga hutan ini. Dan aku mewakili mereka mengucapkan terima kasih,” kata ular sambil menganggukan kepalanya.
“Aku bisa membantumu!” ujar ular. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah batu permata dari mulutnya dan memberikannya pada Rohib.
“Ini adalah sebuah mustika, namanya Mentiko Betuah. Mustika ini sangat sakti. Ia bisa mengabulkan apapun permintaanmu. Simpanlah sebagai hadiah dariku,” kata ular tersebut. Rohib mengucapkan terima kasih dan ular itu pun kembali ke dalam hutan.
Berbekal mustika tersebut, Rohib memutuskan untuk pulang ke isatana. Sebelumnya ia meminta mustika itu untuk memeberinya uang yang banyak, lebih banyak daripada uang yang diterimanya dari sang ayah. Ia mengatakan pada ayahnya bahwa uang itu adalah keuntungan dagangnya. Maka raja pun menerima ia kembali di istana.
Kini Rohib kebingungan mencari tempat yang aman untuk menyimpan mustikanya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikatnya dengan emas menjadi sebuah cincin. Ia menyuruh seorang tukang emas untuk mengerjakannya. Tapi tukang emas itu tahu bahwa permata itu adalah sebuah mustika, maka ia membawa cincin itu kabur.
Rohib meminta tolong kepada ular sahabatnya untuk mendapatkan kembali cincin mustika tersebut. Ular memerintahkan kucing, anjing dan tikus untuk mengejar si tukang emas.
Anjing yang penciumannya sangat tajam segera menemukan tempat persembunyian si tukang emas di seberang sungai. Mereka mencari akal bagaimana caranya mengeluarkan cincin mustika yang disembunyikan tukang emas itu di dalam mulutnya. Kucing dan tikus menyeberangi sungai saat malam tiba dan menunggu hingga tukang emas itu tidur. Kucing berhasil membuka pintu masuknya. Lalu tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung tukang emas, membuatnya bersin dan membuat cincin itu terlempar dan menangkapnya. Mereka pun kembali menyeberangi sungai. Di sana anjing sudah menunggu mereka dengan cemas.
“Kalian berhasil mendapatkannya?” tanya anjing.
“Ya. Tikus yang menyimpannya,” kata kucing.
Tiba-tiba tikus menangis tersedu-sedu.
“Maafkan aku kawan-kawan. Aku ceroboh. Saat kita menyeberang sungai tadi, tanpa sengaja aku menjatuhkan cincinnya. Kini cincin itu hilang,” katanya.
“Apaa…? Kita harus mencarinya!” kata kucing.
Sementara anjing dan kucing sibuk mencari cincin mustika itu di dasar sungai. Tikus melarikan diri menuju ke tempat Rohib menunggu. Sebenarnya cincin itu tidak hilang. Tikus menyimpannya di dalam mulutnya. Sehingga ketika ia menyerahkan cincin itu ke tangan Rohib, ialah yang dianggap sebagai pahlawan dan dianugerahi hadiah.
Ketika kucing dan anjing tiba dengan tubuh basah kuyup dan mendengar bahwa cincin mustika itu telah kembali ke tangan Rohib, tahulah mereka bahwa tikus telah berbohong. Sejak saat itu Anjing dan Kucing sangat membenci tikus. Setiap kali ada kesempatan mereka selalu memburunya.
“Nak, jangan kau aniaya burung itu! Kasihan. Lepaskanlah burung yang tak berdosa itu!” tegurnya.
“Jangan ikut campur! Apa urusanmu menegur kami? Kami tidak kenal kamu,” kata mereka.
Mereka meneruskan perbuatannya tanpa mempedulikan Rohib.
“Nak, bagaimana kalau aku membeli burung itu? Aku akan memberimu uang yang banyak,” kata Rohib.
Anak-anak itu setuju melepaskan burung tersebut dan menerima beberapa keping uang dari tangan Rohib.
Rohib kembali meneruskan perjalanannya. Belum seberapa jauh ia berjalan, kembali ditemuinya beberapa orang yang sedang menganiaya seekor ular. Ia pun menukar ular itu dengan beberapa keping uang. Demikianlah ia selalu memberikan uangnya untuk membebaskan binatang-binatang yang ditemuinya. Hingga tanpa disadarinya semua uangnya telah habis. Rohib pun gelisah memikirkan bagaimana cara menghadapi ayahnya.
Rohib yang kelelahan menyandarkan dirinya di sebuah pohon di pinggir hutan. Di sana ia menyadari kesalahannya dan mulai menangis.
“Kenapa kau menangis anak muda,” tanya sebuah suara.
Rohib mengangkat mukanya dan menengok ke kanan dan ke kiri mencari penegurnya. Namun yang dilihatnya hanyalah seekor ular yang sangat besar. Rohib mundur dengan ketakutan.
“Jangan takut, aku tidak akan membunuhmu,” kata ular itu.
Rohib tercengang mengetahui bahwa ular itulah yang menegurnya.
“Apakah aku tidak salah dengar? Aku mendengarmu berbicara. Siapakah kau wahai ular?” tanya Rohib.
“Aku adalah raja Ular. Dan hutan ini adalah tempatku. Lalu kau siapa anak muda dan kenapa kau bersedih?” tanya ular.
“Namaku Rohib. Dan aku sedang menagisi kebodohanku,” kata Rohib. Ia lalu menceritakan kisahnya kepada ular.
“Hmmm…aku sudah mendengar bahwa kau menyelamatkan banyak warga hutan ini. Dan aku mewakili mereka mengucapkan terima kasih,” kata ular sambil menganggukan kepalanya.
“Aku bisa membantumu!” ujar ular. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah batu permata dari mulutnya dan memberikannya pada Rohib.
“Ini adalah sebuah mustika, namanya Mentiko Betuah. Mustika ini sangat sakti. Ia bisa mengabulkan apapun permintaanmu. Simpanlah sebagai hadiah dariku,” kata ular tersebut. Rohib mengucapkan terima kasih dan ular itu pun kembali ke dalam hutan.
Berbekal mustika tersebut, Rohib memutuskan untuk pulang ke isatana. Sebelumnya ia meminta mustika itu untuk memeberinya uang yang banyak, lebih banyak daripada uang yang diterimanya dari sang ayah. Ia mengatakan pada ayahnya bahwa uang itu adalah keuntungan dagangnya. Maka raja pun menerima ia kembali di istana.
Kini Rohib kebingungan mencari tempat yang aman untuk menyimpan mustikanya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikatnya dengan emas menjadi sebuah cincin. Ia menyuruh seorang tukang emas untuk mengerjakannya. Tapi tukang emas itu tahu bahwa permata itu adalah sebuah mustika, maka ia membawa cincin itu kabur.
Rohib meminta tolong kepada ular sahabatnya untuk mendapatkan kembali cincin mustika tersebut. Ular memerintahkan kucing, anjing dan tikus untuk mengejar si tukang emas.
Anjing yang penciumannya sangat tajam segera menemukan tempat persembunyian si tukang emas di seberang sungai. Mereka mencari akal bagaimana caranya mengeluarkan cincin mustika yang disembunyikan tukang emas itu di dalam mulutnya. Kucing dan tikus menyeberangi sungai saat malam tiba dan menunggu hingga tukang emas itu tidur. Kucing berhasil membuka pintu masuknya. Lalu tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung tukang emas, membuatnya bersin dan membuat cincin itu terlempar dan menangkapnya. Mereka pun kembali menyeberangi sungai. Di sana anjing sudah menunggu mereka dengan cemas.
“Kalian berhasil mendapatkannya?” tanya anjing.
“Ya. Tikus yang menyimpannya,” kata kucing.
Tiba-tiba tikus menangis tersedu-sedu.
“Maafkan aku kawan-kawan. Aku ceroboh. Saat kita menyeberang sungai tadi, tanpa sengaja aku menjatuhkan cincinnya. Kini cincin itu hilang,” katanya.
“Apaa…? Kita harus mencarinya!” kata kucing.
Sementara anjing dan kucing sibuk mencari cincin mustika itu di dasar sungai. Tikus melarikan diri menuju ke tempat Rohib menunggu. Sebenarnya cincin itu tidak hilang. Tikus menyimpannya di dalam mulutnya. Sehingga ketika ia menyerahkan cincin itu ke tangan Rohib, ialah yang dianggap sebagai pahlawan dan dianugerahi hadiah.
Ketika kucing dan anjing tiba dengan tubuh basah kuyup dan mendengar bahwa cincin mustika itu telah kembali ke tangan Rohib, tahulah mereka bahwa tikus telah berbohong. Sejak saat itu Anjing dan Kucing sangat membenci tikus. Setiap kali ada kesempatan mereka selalu memburunya.
Sumber :
http://www.freewebs.com/dongengperi/Tales/Dong%20Bocah/Mentiko_betuah.html
0 comments:
Post a Comment