Saturday, December 20, 2008

Legenda Ular Nepa

Banyak cerita yang dituturkan oleh orang-orang yang datang membezuk. Adakalanya cerita itu menarik tapi tak jarang juga ada yang membosankan karena sudah sangat sering aku dengar dari orang lain. Pada umumnya cerita yang ditawarkan berkutat seputar success story dari orang-orang yang mengalami sakit khususnya patah tulang seperti yang aku alami ini, dan cerita-cerita tentang pahit getir kehidupan dari orang-orang yang pengalaman hidupnya lebih panjang dari pada aku.

Salah satu cerita yang menurutku sangat menarik dan meninggalkan kesan mendalam adalah kisah yang aku dapat dari seorang pemuda bernama Rofinus. Rofinus ini berasal dari Flores – NTT, bekerja sebagai driver di suatu perusahaan dan tinggal di rumah Wak Haji Fatma persis di depan rumahku.

Pada suatu siang dia menyempatkan diri datang untuk menengok keadaanku. Awalnya dia bercerita tentang pengalaman masa remaja – waktu dia masih di daerah asalnya Flores - dimana dia pernah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan pecah pada tulang dahinya dan harus ditambal (entah ditambal dengan apa aku juga lupa bertanya). Untuk itu dia juga telah menghabiskan beberapa minggu di rumah sakit dan sudah bertemu dengan orang-orang yang mengalami kasus-kasus semacam patah tulang. Dari hasil ngobrol dengan orang-orang itu dia mendapat cerita bahwa di daerah itu ada seorang yang ahli mengobati patah tulang melalui cara-cara yang adikodrati, sebut saja bernama Opa Mundus (bukan nama sebenarnya – red.).

Sampai di sini aku masih belum tertarik, karena di sini pun banyak orang-orang berkeahlian semacam itu atau yang di Jakarta populer disebut sebagai “dukun patah”, sebut saja seperti Guru Singa, Haji Ilyas, dan dukun-dukun lain dari daerah Cimande. Namun yang begitu menyentuh bagiku adalah legenda tentang bagaimana Opa Mundus ini memperoleh keahliannya itu.

**********

Syahdan, puluhan tahun lalu ketika Opa Mundus masih remaja belia, dia ikut bersama rombongan pemburu dari desanya menuju hutan. Sebagaimana lazimnya di daerah itu, perburuan untuk mencari rusa atau babi hutan dilakukan serombongan laki-laki dewasa berjumlah belasan orang secara bersama-sama demi alasan keamanan. Mundus remaja adalah anggota termuda dalam rombongan itu. Demikianlah, pagi hari mereka berangkat dan sampai di hutan. Setelah mendirikan tenda mereka menugaskan Mundus tinggal di tenda sambil memasak makanan, lalu yang lain masuk ke hutan yang lebih dalam untuk memulai perburuan.

Hari itu rupanya mereka kurang beruntung, karena sepanjang siang tak satu rusa atau babi hutan pun yang berhasil mereka tangkap. Menjelang sore mereka menemuka seekor ular – yang menurut Rofinus – berdiameter sebesar bantal guling dan memiliki panjang 2-3 meter. Ular itu mereka sebut sebagai ular nepa dan sudah biasa dijadikan santapan oleh penduduk setempat. Maka ular nepa yang malang itu mereka tangkap dan bunuh, lalu menjelang malam mereka kembali ke perkemahan dimana Mundus telah menunggu sedari siang.

Malam harinya ular itu mereka kuliti lalu dipotong kecil-kecil, sebagian mereka panggang dan mereka jadikan menu makan malam. Sisanya mereka keringkan lalu disimpan. Setelah puas makan, mereka pun tertidur dibuai angin malam, diterangi cahaya bintang dan ditemani suara lirih burung hantu. Dan ketika matahari mulai bersinar esok pagi, mereka kembali melanjutkan perburuannya dan meninggalkan Mundus di perkemahan bersama sisa tulang-tulang ular nepa yang berserakan di sekitar tenda.

Pagi telah berganti siang ketika Mundus mendengar gemerisik suara daun kering. Semakin Mundus mengarahkan pendengarannya suara itu terdengar semakin kuat dan terkadang ditingkahi suara mendesis. Betapa terkejutnya Mundus ketika ia melihat seekor ular nepa seukuran ular yang telah mereka potong itu berjalan mendekat ke arahnya. “Tentu ini adalah teman nepa itu,” pikir Mundus, “Dan dia datang kemari untuk membalas dendam.”

Dengan jantung berdebar kencang Mundus lari dan memanjat pohon terdekat. Mundus mengamat-amati arah gerakan nepa itu kalau-kalau dia ikut naik mengejar ke pohon. Mundus tidak bisa membayangkan kalau nanti nepa itu akan datang bersama teman-temannya yang lain mengejarnya, pasti ia akan menjadi santapan nepa itu.

Namun apa yang dilihat Mundus sangat jauh dari bayangannya. Bukannya mengejar, nepa itu malah sibuk mengumpulkan sisa-sisa tulang yang berserakan itu dengan mulutnya. Setelah semua tulang itu terkumpul, kini ia mengobrak-abrik peralatan masak, dan memunguti semua potongan daging yang tersimpan di belanga. Setelah semua terkumpul, lalu nepa itu seperti mulai “merekonstruksi” potongan-potongan itu mulai dari kepala, badan sampai ekor, hingga akhirnya tersusun seperti seekor ular.

Mundus terus mengamati gerak-gerik nepa itu. Kini setelah semua potongan itu tersusun, nepa itu pergi ke semak-semak lalu mengambil sejenis daun-daunan dengan mulutnya, mengunyah daun-daun itu dan menaburi sepah-sepah kunyahannya ke atas susunan potongan daging nepa malang tadi. Dan setelah semua sepah ditaburi lalu nepa ini mulai menjilati dengan lidahnya. Merinding bulu roma Mundus melihat potongan daging tadi sedikit demi sedikit mulai menyatu dan lambat laun bergerak seiring gerakan lidah nepa itu menjilatinya. Sampai akhirnya seluruh potongan tubuh itu tersambung kembali dan berwujud seperti ular nepa utuh.

Kini nepa itu telah hidup lagi. Lalu kedua nepa itu mendekat terlihat seperti sendang berbicara dengan mesra. Kiranya nepa yang datang itu adalah pasangan nepa malang yang sudah dipotong-potong itu. Beberapa saat kemudian kedua nepa itu berjalan beriringan masuk kembali ke dalam hutan dan menghilang dari pandangan Mundus.

Takjub, takut dan haru memenuhi hati Mundus sehingga hilang kekuatannya untuk turun dari pohon itu. Sore hari ketika para pemburu itu kembali ke perkemahan baru dia berani turun dan menceritakan semua yang dilihatnya siang itu. Saat itu juga mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan perburuan.

Esok paginya mereka kembali ke desanya tanpa membawa hasil apa pun. Namun tidak bagi Mundus, kini ia telah memperoleh suatu penerangan budi yang memberinya kemampuan baru. Semenjak itu ia dikenal sebagai mengobati orang yang patah tulang melalui cara yang telah diajarkan oleh nepa itu.

Aku begitu terharu waktu Rofinus mengakhiri ceritanya. Tak sadar setetes bening membasahi sudut mataku. Terlepas dari benar atau tidaknya, legenda ini begitu mengesankan bagiku. Aku seperti baru mendapat suatu pencerahan. Bukan karena kini aku telah tahu cara mengobati patah tulang, tapi sungguh aku tersentuh dengan prilaku ular ini. Yang karena begitu besarnya cinta itu, ia sungguh kehilangan dan tidak rela jika pasangannya itu direnggut dari kehidupannya. Dan pada akhirnya cinta itu telah menang. Cinta lah yang mampu memulihkan si nepa malang itu.

Contoh yang ekstrim memang. Tapi kadang-kadang suatu pelajaran penting perlu diilustrasikan dalam contoh ekstrim. Jika ular saja mampu mencintai seperti itu, manusia seharusnya bisa lebih. Bahkan jauh lebih!

*******

Sumber : http://bona-amanitogar.blog.friendster.com/2005/11/tujuh-legenda-ular-nepa/

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright © Indonesia Folk Tales Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger