Dahulu kala, hiduplah seorang raksasa bernama Kyai Bakuh, di sebuah hutan belantara. Sesuai dengan namanya, Bakuh, yang dalam bahasa Jawa berarti kuat dan kokoh, maka raksasa itu bertubuh kokoh dan kekar. Perawakannya tinggi besar. Kalau berdiri tegak, seakan-akan kepalanya menjulang hingga menjangkau langit. Lengan dan kakinya besar-besar. Kedua matanya memancarkan sinar menyilaukan. Bila dia membelalakkan matanya, orang akan silau memandangnya. Mulutnya lebar dan besar, dipagari gigi-gigi dan taring yang tajam. Suaranya keras menggelegar bagai guntur di langit. Setiap kali suara dahsyat itu terdengar, orang-orang dari tempat yang jauh pun tahu, bahwa suara itu asalnya tidak lain ialah dari Kyai Bakuh.
Kyai Bakuh banyak memangsa binatang yang ada di dalam hutan, sehingga jumlahnya semakin hari semakin berkurang. Binatang apapun yang terlihat oleh Kyai Bakuh tak akan mampu menghindar atau melarikan diri, karena akan langsung disambar dan dimakannya. Akan melarikan diri, tak mungkin. Gerak si raksasa Bakuh luar biasa cekatannya. Rusa dan kijang yang terkenal kencang larinya, dengan mudahnya dapat disambar oleh tangan kekar Kyai Bakuh.
Binatang-binatang yang tidak sempat menjadi mangsa Kyai Bakuh akhirnya banyak yang mengungsi dan masuk ke kampung-kampung di sekitar hutan itu, atau ke hutan-hutan lain, yang dirasa lebih aman. Lama-kelamaan, hutan belantara yang semula penuh sesak dihuni oleh binatang-binatang hutan yang beraneka ragam jenisnya itu, makin menjadi lengang.
Karena merasa makin sulit mencari mangsa di dalam hutan tempat tinggalnya, sesekali Kyai Bakuh pergi ke luar hutan, mencari mangsa ke kampung-kampung sekitar hutan. Apa saja yang dapat ditangkap di perkampungan itu, baik binatang maupun manusia, akan dimakan oleh Kyai Bakuh. Orang-orang yang hidup di perkampungan di sekitar hutan itu pun menjadi takut dan resah.
Melihat kekacauan yang diakibatkan oleh Kyai Bakuh, membuat para dewa di kayangan marah. Para dewa kemudian mengadakan rapat, dan akhirnya mereka sepakat mengutus seorang bidadari cantik bernama Retna Lestari untuk menghukum Kyai Bakuh.
Singkat cerita, suatu hari ketika Kyai Bakuh sedang berjalan-jalan di tengah hutan untuk mencari mangsa, ia melihat sang bidadari yang sangat cantik sedang bermian-main di dekat rumpun bunga. Kyai Bakuh tertarik memandang perempuan cantik itu.
“Makhluk dari manakah engkau ini, hai perempuan cantik?” tanya Kyai Bakuh.
“Aku penghuni hutan ini,” jawab bidadari itu sambil membelai bunga.
“Mustahil,” kata Kyai Bakuh. “Telah sekian lama aku menjelajahi hutan ini, baru kali ini aku melihatmu.”
“Sebenarnya engkau sering berjumpa dengan aku,” kata bidadari itu. “Sering sekali aku melihatmu, bahkan hampir saja perpapasan denganmu. Tetapi, karena perhatianmu hanya terpusat kepada binatang-binatang yang akan kau makan, sehingga engkau tidak melihat aku.”
“Benarkah begitu?” tanya Kyai Bakuh.
“Benar,” jawab si wanita. “Setiap kali kau lewat di dekatku, aku cepat-cepat lari bersembunyi.”
“Mengapa kau bersembunyi?” tanya Kyai Bakuh.
“Aku takut akan kau bunuh dan kau makan.” Jawab bidadari itu.
“Tidak,” kata Bakuh. “Aku tak akan membunuhmu. Kau cantik sekali, sayang kalau aku jadikan santapan.”
“Tetapi aku tetap takut dengan engkau,” kata wanita itu.
“Tak usah takut,” kata Bakuh. “Siapa namamu?”
“Namaku Retna Lestari,” jawab bidadari cantik itu.
“Alangkah indahnya namamu itu. Maukah kau menjadi isteriku?” tanya si raksasa Bakuh.
“Tidak! Aku takut,” jawab Retna Lestari.
“Mengapa takut?”
“Takut akan kau bunuh dan kau makan, seperti binatang dan penduduk yang ada di sekitar hutan ini.”
“Tidak. Kau tak akan kubunuh. Kau akan kujadikan isteriku.”
“Betulkah?”
“Percayalah padaku!” kata Kyai Bakuh bersungguh-sungguh. “Aku cinta padamu!”
“Apa buktinya kau cinta padaku?” tanya Ratna Lestari.
“Apa saja yang kau pinta akan kuberikan, karena aku sangat cinta kepadamu.”
“Betulkah begitu?”
“Betul. Engkau minta apa, aku sanggup memberi.”
“Aku minta mega yang berawan kemerah-merahan,” kata Retna Lestari.
“Mega yang kemerah-merahan?” tanya Kyai Bakuh.
“Ya. Mega kemerah-merahan yang mekar tiap senja hari menjelang matahari terbenam,” jawab Retna Lestari.
“Baiklah,” kata si raksasa. “Sekarang hampir senja, bila mega kemerahan itu tampak mekar di langit, akan kuambilkan untukmu.”
“Jangan,” sela Retna Lestari. “Jangan engkau yang mengambil. Aku khawatir mega-mega itu robek bila kau renggut dengan tanganmu yang kuat itu. Biarlah aku sendiri yang mengambilnya.”
“Tetapi tubuhmu pendek, tanganmu pun juga pendek,” kata si raksasa. “Mega itu melekat tinggi di langit. Tak akan sampai tanganmu menjangkaunya.”
“Tetapi aki ingin mega itu jangan sampai rusak. Jangan robek-robek,” kata Retna Lestari.
“Bagaimana kalau tubuhmu kuangkat tinggi-tinggi, agar kau dapat meraih sendiri mega itu dengan tanganmu?” tanya Kyai Bakuh.
“Tidak,” kata Retna Lestari. “Aku takut cengkeraman kukumu yang tajam.”
“Lalu, bagaimana caranya kau dapat meraih mega itu?” tanya si raksasa.
“Lebih baik kau menelungkup di tanah,” kata Retna Lestari. “Selanjutnya, aku akan berdiri di atas punggungmu. Dengan demikian aku akan dapat mencapai mega itu.”
“Baiklah kalau begitu usulmu,” kata Kyai Bakuh, sambil segera menelungkupkan dirinya di tanah.
Melihat si raksasa telah menelungkup di tanah, Retna Lestari lalu naik dan berdiri di atas punggung raksasa itu.
“Sampaikah tanganmu ke langit?” tanya Kyai Bakuh.
“Kurang sedikit,” jawab Retna Lestari. “Aku akan mengambil beberapa buah batu, untuk tumpukan kaki, agar aku berdiri lebih tinggi lagi.” Kemudian, Retna Lestari turun dari atas punggung Kyai Bakuh, lalu mengambil batu besar, diletakkannya di atas punggung raksasa itu.
“Sudah dapatkah tanganmu menjangkau mega itu?” tanya si raksasa.
“Belum. Kurang sedikit lagi,” Jawab Retna Lestari. “Akan kutambah lagi batunya.”
Begitulah seterusnya, setiap kali Retna Lestari mengambil batu-batu besar, lalu ditumpukkannya di atas punggung raksasa itu. Lama-kelamaan tumpukan batu di atas punggung si raksasa makin bertambah tinggi, bertambah besar, sampai kepala raksasa itu tertimbun oleh batu-batu. Hanya kaki si raksasa yang menendang-nendang, menghindarkan diri dari timbunan batu.
“Kau jangan banyak bergerak. Nanti aku jatuh.”
“Tapi nafasku sudah sesak menahan beratnya timbunan batu ini,” kata Kyai Bakuh.
“Sabarlah,” kata Retna Lestari. “Dengan berdiri di atas batu-batu ini, aku dapat mencapai langit.”
“Kalau begitu, lekaslah kau meraih mega itu. Nafasku sudah terasa sesak karena tertimbun batu,” kata Kyai Bakuh.
“Nanti dulu,” kata Retna Lestari. “Aku harus menanti beberapa saat lagi. Mega itu belum mekar. Belum berwarna kemerah-merahan. Sabarlah sebentar lagi.”
Beberapa saat kemudian, berkatalah Retna Lestari, “Hai, Bakuh. Aku tak tahan lama berdiri dengan sebelah kaki saja. Aku perlu tumpukan batu satu lagi untuk berpijak kakiku yang sebelah lagi.”
Tanpa menunggu persetujuan Kyai Bakuh, Retna Lestari cepat-cepat turun mengambil batu-batu lagi untuk ditumpuk pada bagian kaki si raksasa, sehingga membentuk dua buah gunung di punggung dan kaki Kyai Bakuh.
“Sudah kau petikkah mega itu?” tanya Kyai Bakuh.
“Sabar dulu,” jawab Retna Lestari. “Mega-mega itu sekarang sudah hampir mekar berwarna kemerah-merahan. Sebentar lagi pasti aku ambil.”
“Lekaslah kau turun bila sudah berhasil mengambil mega merah itu,” kata Kyai Bakuh. “Aku sudah merasa kepayahan menahan beratnya tumpukan batu-batu ini.”
Retna Lestari tidak menjawab kata-kata Kyai Bakuh itu, bahkan ia tetap sibuk menambah lagi batu-batu pada tumpukan di atas tubuh raksasa itu.
“Hai, mengapa kau diam saja,” raksasa itu berteriak. Retna Lestari tetap tidak menyahut, bahkan cepat-cepat pergi meninggalkan Kyai Bakuh. Berulang kali Kyai Bakuh memanggil-manggil nama Retna Lestari, tetapi sama sekali tak ada jawaban. Lama-kelamaan tahulah Kyai Bakuh, bahwa ia telah ditipu oleh Retna Lestari. Ia meronta dengan sekuat tenaga, namun batu-batu yang tertumpuk di atas tubuhnya tetap tidak bergerak.
Tumpukan batu yang menimbun Kyai Bakuh itu akhirnya menjadi dua buah gunung. Tumpukan yang terletak di bagian kepala Kyai Bakuh menjadi Gunung Merapi, sedangkan tumpukan yang berada di bagian kaki menjadi Gunung Merbabu. Apabila sesekali terdengar suara menggelegar dari Gunung Merapi, maka orang mengatakan bahwa itu adalah suara si raksasa Kyai Bakuh yang sedang marah, berteriak-teriak dan menympah-nyumpah. Dan, apabila sesekali tanah terasa bergetar di sekitar gunung itu, maka orang pun mengatakan bahwa Kyai Bakuh sedang meronta-ronta akan membebaskan diri dari timbunan batu-batu itu.
Sumber:
Kyai Bakuh banyak memangsa binatang yang ada di dalam hutan, sehingga jumlahnya semakin hari semakin berkurang. Binatang apapun yang terlihat oleh Kyai Bakuh tak akan mampu menghindar atau melarikan diri, karena akan langsung disambar dan dimakannya. Akan melarikan diri, tak mungkin. Gerak si raksasa Bakuh luar biasa cekatannya. Rusa dan kijang yang terkenal kencang larinya, dengan mudahnya dapat disambar oleh tangan kekar Kyai Bakuh.
Binatang-binatang yang tidak sempat menjadi mangsa Kyai Bakuh akhirnya banyak yang mengungsi dan masuk ke kampung-kampung di sekitar hutan itu, atau ke hutan-hutan lain, yang dirasa lebih aman. Lama-kelamaan, hutan belantara yang semula penuh sesak dihuni oleh binatang-binatang hutan yang beraneka ragam jenisnya itu, makin menjadi lengang.
Karena merasa makin sulit mencari mangsa di dalam hutan tempat tinggalnya, sesekali Kyai Bakuh pergi ke luar hutan, mencari mangsa ke kampung-kampung sekitar hutan. Apa saja yang dapat ditangkap di perkampungan itu, baik binatang maupun manusia, akan dimakan oleh Kyai Bakuh. Orang-orang yang hidup di perkampungan di sekitar hutan itu pun menjadi takut dan resah.
Melihat kekacauan yang diakibatkan oleh Kyai Bakuh, membuat para dewa di kayangan marah. Para dewa kemudian mengadakan rapat, dan akhirnya mereka sepakat mengutus seorang bidadari cantik bernama Retna Lestari untuk menghukum Kyai Bakuh.
Singkat cerita, suatu hari ketika Kyai Bakuh sedang berjalan-jalan di tengah hutan untuk mencari mangsa, ia melihat sang bidadari yang sangat cantik sedang bermian-main di dekat rumpun bunga. Kyai Bakuh tertarik memandang perempuan cantik itu.
“Makhluk dari manakah engkau ini, hai perempuan cantik?” tanya Kyai Bakuh.
“Aku penghuni hutan ini,” jawab bidadari itu sambil membelai bunga.
“Mustahil,” kata Kyai Bakuh. “Telah sekian lama aku menjelajahi hutan ini, baru kali ini aku melihatmu.”
“Sebenarnya engkau sering berjumpa dengan aku,” kata bidadari itu. “Sering sekali aku melihatmu, bahkan hampir saja perpapasan denganmu. Tetapi, karena perhatianmu hanya terpusat kepada binatang-binatang yang akan kau makan, sehingga engkau tidak melihat aku.”
“Benarkah begitu?” tanya Kyai Bakuh.
“Benar,” jawab si wanita. “Setiap kali kau lewat di dekatku, aku cepat-cepat lari bersembunyi.”
“Mengapa kau bersembunyi?” tanya Kyai Bakuh.
“Aku takut akan kau bunuh dan kau makan.” Jawab bidadari itu.
“Tidak,” kata Bakuh. “Aku tak akan membunuhmu. Kau cantik sekali, sayang kalau aku jadikan santapan.”
“Tetapi aku tetap takut dengan engkau,” kata wanita itu.
“Tak usah takut,” kata Bakuh. “Siapa namamu?”
“Namaku Retna Lestari,” jawab bidadari cantik itu.
“Alangkah indahnya namamu itu. Maukah kau menjadi isteriku?” tanya si raksasa Bakuh.
“Tidak! Aku takut,” jawab Retna Lestari.
“Mengapa takut?”
“Takut akan kau bunuh dan kau makan, seperti binatang dan penduduk yang ada di sekitar hutan ini.”
“Tidak. Kau tak akan kubunuh. Kau akan kujadikan isteriku.”
“Betulkah?”
“Percayalah padaku!” kata Kyai Bakuh bersungguh-sungguh. “Aku cinta padamu!”
“Apa buktinya kau cinta padaku?” tanya Ratna Lestari.
“Apa saja yang kau pinta akan kuberikan, karena aku sangat cinta kepadamu.”
“Betulkah begitu?”
“Betul. Engkau minta apa, aku sanggup memberi.”
“Aku minta mega yang berawan kemerah-merahan,” kata Retna Lestari.
“Mega yang kemerah-merahan?” tanya Kyai Bakuh.
“Ya. Mega kemerah-merahan yang mekar tiap senja hari menjelang matahari terbenam,” jawab Retna Lestari.
“Baiklah,” kata si raksasa. “Sekarang hampir senja, bila mega kemerahan itu tampak mekar di langit, akan kuambilkan untukmu.”
“Jangan,” sela Retna Lestari. “Jangan engkau yang mengambil. Aku khawatir mega-mega itu robek bila kau renggut dengan tanganmu yang kuat itu. Biarlah aku sendiri yang mengambilnya.”
“Tetapi tubuhmu pendek, tanganmu pun juga pendek,” kata si raksasa. “Mega itu melekat tinggi di langit. Tak akan sampai tanganmu menjangkaunya.”
“Tetapi aki ingin mega itu jangan sampai rusak. Jangan robek-robek,” kata Retna Lestari.
“Bagaimana kalau tubuhmu kuangkat tinggi-tinggi, agar kau dapat meraih sendiri mega itu dengan tanganmu?” tanya Kyai Bakuh.
“Tidak,” kata Retna Lestari. “Aku takut cengkeraman kukumu yang tajam.”
“Lalu, bagaimana caranya kau dapat meraih mega itu?” tanya si raksasa.
“Lebih baik kau menelungkup di tanah,” kata Retna Lestari. “Selanjutnya, aku akan berdiri di atas punggungmu. Dengan demikian aku akan dapat mencapai mega itu.”
“Baiklah kalau begitu usulmu,” kata Kyai Bakuh, sambil segera menelungkupkan dirinya di tanah.
Melihat si raksasa telah menelungkup di tanah, Retna Lestari lalu naik dan berdiri di atas punggung raksasa itu.
“Sampaikah tanganmu ke langit?” tanya Kyai Bakuh.
“Kurang sedikit,” jawab Retna Lestari. “Aku akan mengambil beberapa buah batu, untuk tumpukan kaki, agar aku berdiri lebih tinggi lagi.” Kemudian, Retna Lestari turun dari atas punggung Kyai Bakuh, lalu mengambil batu besar, diletakkannya di atas punggung raksasa itu.
“Sudah dapatkah tanganmu menjangkau mega itu?” tanya si raksasa.
“Belum. Kurang sedikit lagi,” Jawab Retna Lestari. “Akan kutambah lagi batunya.”
Begitulah seterusnya, setiap kali Retna Lestari mengambil batu-batu besar, lalu ditumpukkannya di atas punggung raksasa itu. Lama-kelamaan tumpukan batu di atas punggung si raksasa makin bertambah tinggi, bertambah besar, sampai kepala raksasa itu tertimbun oleh batu-batu. Hanya kaki si raksasa yang menendang-nendang, menghindarkan diri dari timbunan batu.
“Kau jangan banyak bergerak. Nanti aku jatuh.”
“Tapi nafasku sudah sesak menahan beratnya timbunan batu ini,” kata Kyai Bakuh.
“Sabarlah,” kata Retna Lestari. “Dengan berdiri di atas batu-batu ini, aku dapat mencapai langit.”
“Kalau begitu, lekaslah kau meraih mega itu. Nafasku sudah terasa sesak karena tertimbun batu,” kata Kyai Bakuh.
“Nanti dulu,” kata Retna Lestari. “Aku harus menanti beberapa saat lagi. Mega itu belum mekar. Belum berwarna kemerah-merahan. Sabarlah sebentar lagi.”
Beberapa saat kemudian, berkatalah Retna Lestari, “Hai, Bakuh. Aku tak tahan lama berdiri dengan sebelah kaki saja. Aku perlu tumpukan batu satu lagi untuk berpijak kakiku yang sebelah lagi.”
Tanpa menunggu persetujuan Kyai Bakuh, Retna Lestari cepat-cepat turun mengambil batu-batu lagi untuk ditumpuk pada bagian kaki si raksasa, sehingga membentuk dua buah gunung di punggung dan kaki Kyai Bakuh.
“Sudah kau petikkah mega itu?” tanya Kyai Bakuh.
“Sabar dulu,” jawab Retna Lestari. “Mega-mega itu sekarang sudah hampir mekar berwarna kemerah-merahan. Sebentar lagi pasti aku ambil.”
“Lekaslah kau turun bila sudah berhasil mengambil mega merah itu,” kata Kyai Bakuh. “Aku sudah merasa kepayahan menahan beratnya tumpukan batu-batu ini.”
Retna Lestari tidak menjawab kata-kata Kyai Bakuh itu, bahkan ia tetap sibuk menambah lagi batu-batu pada tumpukan di atas tubuh raksasa itu.
“Hai, mengapa kau diam saja,” raksasa itu berteriak. Retna Lestari tetap tidak menyahut, bahkan cepat-cepat pergi meninggalkan Kyai Bakuh. Berulang kali Kyai Bakuh memanggil-manggil nama Retna Lestari, tetapi sama sekali tak ada jawaban. Lama-kelamaan tahulah Kyai Bakuh, bahwa ia telah ditipu oleh Retna Lestari. Ia meronta dengan sekuat tenaga, namun batu-batu yang tertumpuk di atas tubuhnya tetap tidak bergerak.
Tumpukan batu yang menimbun Kyai Bakuh itu akhirnya menjadi dua buah gunung. Tumpukan yang terletak di bagian kepala Kyai Bakuh menjadi Gunung Merapi, sedangkan tumpukan yang berada di bagian kaki menjadi Gunung Merbabu. Apabila sesekali terdengar suara menggelegar dari Gunung Merapi, maka orang mengatakan bahwa itu adalah suara si raksasa Kyai Bakuh yang sedang marah, berteriak-teriak dan menympah-nyumpah. Dan, apabila sesekali tanah terasa bergetar di sekitar gunung itu, maka orang pun mengatakan bahwa Kyai Bakuh sedang meronta-ronta akan membebaskan diri dari timbunan batu-batu itu.
Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat?updated-max=2008-06-14T12%3A45%3A00-07%3A00&max-results=20
0 comments:
Post a Comment